Share

BAB 3

"Andhira, jangan harap kau bisa menikmati harta yang kukumpulkan dengan susah payah!” desis Aruna.

Wanita itu menunggu hujan reda. Tujuannya malam ini adalah kantor polisi untuk melaporkan KDRT yang dilakukan Tibra. Setelah itu dia akan melakukan visum untuk menguatkan bukti laporannya. Otaknya yang cerdas berpikir cepat. Dia harus segera bertindak agar tidak kalah langkah.

“Tibra, bukan kau yang membuangku, tetapi aku yang meninggalkanmu,” desis Aruna.

Suara berisik seperti kain dikibaskan dan percikan air yang mengenai wajah mengagetkan Aruna. Wanita itu menoleh ke arah pintu masuk. Pak Arpin, satpam komplek yang dikenal Aruna sedang mengibas-ngibaskan payung biru yang tadi dipakainya. Aruna menarik napas pelan, rupanya percikan air yang tadi mengenai wajahnya berasal dari sana.

“Pak Arpin,” sapa Aruna.

“Astagfirullahaladzim!” Pak Arpin melompat kaget. Lelaki itu mundur selangkah dari tempatnya berdiri. Payung yang tadi dia pegang terlepas dari tangannya.

“Eh?” Aruna berdiri melihat Pak Arpin yang sangat terkejut.

Sejenak mereka berpandangan, sedetik kemudian keduanya tertawa berbarengan. Aruna menunduk hendak mengambil payung Pak Arpin yang tadi terjatuh.

“Biar, biar saya saja, Bu.” Lelaki berusia empat puluh delapan tahun itu bergegas memungut payungnya yang terjatuh dan meletakkan di belakang pintu.

“Sendirian saja, Bu?” Pak Arpin memperhatikan sekitar. Biasanya wanita yang sedang di hadapannya ini selalu berpenampilan rapi. Lelaki itu mengernyitkan kening melihat pakaian Aruna yang basah. Dia bahkan bisa melihat dengan jelas darah yang mengering di sudut bibirnya. Ada apakah?

“Ibu dirampok?” Pak Arpin kembali bertanya. Dia menoleh keluar, tidak ada mobil hijau tua yang biasa dikendarai Aruna.

“Saya pergi dari rumah.”

“Hah?!”

“Tibra melakukan KDRT. Bapak lihat?” Aruna menunjukkan kedua tangannya yang membiru.

“Lelaki itu menginjak tanganku dengan kencang sehingga menimbulkan bekas yang sangat menyakitkan.”

Pak Arpin terdiam mendengar cerita Aruna. Kalau saja hal ini dia ketahui dari orang lain, bisa dipastikan dia akan langsung menyangkal kabar itu. Bagaimana mungkin keluarga pengusaha sukses yang cabang usahanya dimana-mana, kehidupan berumah tangga yang romantis dilengkapi dengan kehadiran dua jagoan itu bisa goyah? Mereka tidak kekurangan apapun. Materi maupun kasih sayang. Namun, cerita ini disampaikan oleh Aruna sendiri. Masihkah dia bisa menyangkalnya?

Tibra dan Aruna merupakan pasangan yang sangat serasi dimata kenalan dan kolega bisnisnya. Tibra yang tampan dan gagah, serta Aruna yang cantik dan anggun merupakan definisi pasangan yang sangat ideal. Mereka berpacaran bahkan sejak masih SMP. Tamat SMA, Tibra memberanikan diri melamar Aruna yang ditentang habis-habisan oleh kedua orangtua Aruna. Namun, cinta telah membutakan Aruna. Dia nekat menikah dengan Tibra.

Awal pernikahan adalah tahun-tahun perjuangan bagi mereka berdua. Namun, mereka tetap saling menggenggam walau kadang makan sepiring berdua, itupun sehari sekali.

Tahun kedua menikah, Aruna hamil. Dari sana pintu rezeki mulai terbuka untuk mereka. Tibra yang sangat menyukai ayam goreng krispi mendapat ide untuk berjualan. Berhari-hari dia dan Aruna melakukan percobaan untuk mendapatkan cita rasa dan krispi yang pas sesuai keinginan mereka.

Setelah mendapatkan formula yang membuat rasa ayam goreng krispi itu berbeda dari yang selama ini mereka beli, Aruna dan Tibra mulai mencari formula saus. Mereka ingin mempunyai ciri khas tersendiri, tidak mau memakai saus yang selama ini beredar di pasaran. Kedua suami istri yang masih muda itu bertekad, nama mereka harus terpasang sebagai merek dagang usahanya.

Arapi (Arti Ayam Krispi), nama yang mereka pilih untuk melambangkan usaha mereka. Arti Ayam Krispi, Arti diambil dari singkatan nama Aruna dan Tibra.

Tepat empat bulan usia kehamilan Aruna, tempat usaha mereka resmi dibuka untuk pertama kalinya. Tempat usaha? Lebih tepatnya gerobak dorong yang mereka beri tempelan nama Arapi. Untuk memodali usaha ini, Aruna bahkan harus rela menjual cincin yang menjadi mas kawin saat pernikahan mereka.

Hari pertama berjualan, Arpin pulang dengan keadaan kaki bengkak karena berjalan jauh. Aruna menangis tersedu saat merendam kaki suaminya dengan air hangat. Namun, secercah harapan terbit di hati mereka, dua potong ayam yang dijual hari itu habis. Bahkan mereka langsung mendapat pesanan sebanyak dua puluh porsi untuk acara pengajian di masjid yang tadi dilewati Tibra.

Kedua suami istri itu menangis berpelukan saat mengetahui usaha mereka meracik formula untuk ayam dan sausnya selama berbulan-bulan tidak sia-sia. Pelan tapi pasti, usaha mereka mulai dikenal orang. Cita rasanya yang khas, menjadi daya tarik tersendiri bagi pelanggan yang selama ini mengetahui rasa ayam krispi hanya begitu-begitu saja.

Dari yang awalnya hanya berjualan menggunakan gerobak dorong, usaha mereka mulai naik dengan menyewa salah satu ruko yang dijadikan sekalian dengan tempat tinggal. Dari ruko kecil, mereka mulai berpindah ke ruko yang lebih besar. Hingga akhirnya saat Aruna hamil anak kedua, Tibra memberi kejutan dengan membawa sertifikat ruko atas nama mereka berdua.

Aruna menangis haru saat itu. Dia memeluk Tibra kencang. Perasaan Tibra buncah oleh perasaan bahagia. Dia mengucapkan terima kasih pada Aruna karena telah bersabar mendampinginya selama ini. Aruna hanya mengangguk, wanita yang sedang hamil lima bulan itu mengambil tangan suaminya dan meletakkannya pada perutnya yang bergerak. Mata Tibra basah, seolah di dalam sana anak kedua mereka ikut merasakan suka cita.

Pelan tapi pasti usaha mereka semakin maju. Hingga saat ini sudah ada empat anak cabang yang tersebar di berbagai kota. Mereka tidak pernah kekurangan lagi. Dikaruniai kedua putra dan harta yang berlimpah, suami yang tampan bagi Aruna dan istri yang cantik bagi Tibra, sungguh, mereka adalah gambaran keluarga ideal bagi setiap orang.

Wajah Tibra dan Aruna menjadi langganan menghiasi sampul majalah bisnis. Keduanya adalah pasangan suami istri yang tidak hanya elok rupa namun juga sangat pandai mengatur dan menjalankan usaha, membuat keduanya menjadi orang yang disegani oleh rekan maupun lawan bisnisnya. Sedari awal usaha dimulai, Aruna memang melibatkan diri dan terjun langsung bersama Tibra mengelola usaha mereka. Pasangan itu saling bergandengan tangan dan melangkah beriringan dalam menjalani semua lini kehidupan.

Itulah sebabnya, kalau bukan karena mendengar kabar KDRT itu dari mulut Aruna sendiri, rasanya sulit bagi Pak Arpin untuk mempercayai kabar keretakan rumah tangga mereka.

“Ini, Bu.” Pak Arpin memberikan kotak P3K yang selalu tersedia di pos kepada Aruna.

“Terima kasih.” Aruna mengambil kotak P3K dari Pak Arpin dengan tangan gemetar. Wanita itu kedinginan dan juga mulai merasakan sakit di setiap badan karena tendangan Tibra tadi.

“Ibu mau kemana malam-malam begini?” Pak Arpin bertanya pelan sambil memperhatikan Aruna meneteskan alkohol pada kapas.

“Kantor polisi. Saya harus segera bergerak cepat, Pak. Sebelum Tibra menyadari rencana yang akan saya lakukan dan menyumpal para oknum itu menggunakan orang-orangnya.” Aruna meringis saat membersihkan beberapa luka di bagian tubuhnya.

“Mari saya antar.”

“Ya?” Aruna mengangkat kepalanya.

“Mari saya antar. Kantor polisi lumayan jauh dari sini.”

Aruna menarik napas lega. Akhirnya ada yang mau membantunya. Wanita itu memang terkenal baik selama ini, dia sering membawakan para satpam makanan dan minuman saat pulang dari mengontrol tempat usaha. Sesekali dia juga memberikan tips pada mereka. Sehingga, dia mempunyai hubungan yang cukup baik dengan Pak Arpin dan teman-temannya.

Aruna tersenyum.

“Tunggulah kehancuranmu sebentar lagi, Mas.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status