"Andhira, jangan harap kau bisa menikmati harta yang kukumpulkan dengan susah payah!” desis Aruna.
Wanita itu menunggu hujan reda. Tujuannya malam ini adalah kantor polisi untuk melaporkan KDRT yang dilakukan Tibra. Setelah itu dia akan melakukan visum untuk menguatkan bukti laporannya. Otaknya yang cerdas berpikir cepat. Dia harus segera bertindak agar tidak kalah langkah.“Tibra, bukan kau yang membuangku, tetapi aku yang meninggalkanmu,” desis Aruna.Suara berisik seperti kain dikibaskan dan percikan air yang mengenai wajah mengagetkan Aruna. Wanita itu menoleh ke arah pintu masuk. Pak Arpin, satpam komplek yang dikenal Aruna sedang mengibas-ngibaskan payung biru yang tadi dipakainya. Aruna menarik napas pelan, rupanya percikan air yang tadi mengenai wajahnya berasal dari sana.“Pak Arpin,” sapa Aruna.“Astagfirullahaladzim!” Pak Arpin melompat kaget. Lelaki itu mundur selangkah dari tempatnya berdiri. Payung yang tadi dia pegang terlepas dari tangannya.“Eh?” Aruna berdiri melihat Pak Arpin yang sangat terkejut.Sejenak mereka berpandangan, sedetik kemudian keduanya tertawa berbarengan. Aruna menunduk hendak mengambil payung Pak Arpin yang tadi terjatuh.“Biar, biar saya saja, Bu.” Lelaki berusia empat puluh delapan tahun itu bergegas memungut payungnya yang terjatuh dan meletakkan di belakang pintu.“Sendirian saja, Bu?” Pak Arpin memperhatikan sekitar. Biasanya wanita yang sedang di hadapannya ini selalu berpenampilan rapi. Lelaki itu mengernyitkan kening melihat pakaian Aruna yang basah. Dia bahkan bisa melihat dengan jelas darah yang mengering di sudut bibirnya. Ada apakah?“Ibu dirampok?” Pak Arpin kembali bertanya. Dia menoleh keluar, tidak ada mobil hijau tua yang biasa dikendarai Aruna.“Saya pergi dari rumah.”“Hah?!”“Tibra melakukan KDRT. Bapak lihat?” Aruna menunjukkan kedua tangannya yang membiru.“Lelaki itu menginjak tanganku dengan kencang sehingga menimbulkan bekas yang sangat menyakitkan.”Pak Arpin terdiam mendengar cerita Aruna. Kalau saja hal ini dia ketahui dari orang lain, bisa dipastikan dia akan langsung menyangkal kabar itu. Bagaimana mungkin keluarga pengusaha sukses yang cabang usahanya dimana-mana, kehidupan berumah tangga yang romantis dilengkapi dengan kehadiran dua jagoan itu bisa goyah? Mereka tidak kekurangan apapun. Materi maupun kasih sayang. Namun, cerita ini disampaikan oleh Aruna sendiri. Masihkah dia bisa menyangkalnya?Tibra dan Aruna merupakan pasangan yang sangat serasi dimata kenalan dan kolega bisnisnya. Tibra yang tampan dan gagah, serta Aruna yang cantik dan anggun merupakan definisi pasangan yang sangat ideal. Mereka berpacaran bahkan sejak masih SMP. Tamat SMA, Tibra memberanikan diri melamar Aruna yang ditentang habis-habisan oleh kedua orangtua Aruna. Namun, cinta telah membutakan Aruna. Dia nekat menikah dengan Tibra.Awal pernikahan adalah tahun-tahun perjuangan bagi mereka berdua. Namun, mereka tetap saling menggenggam walau kadang makan sepiring berdua, itupun sehari sekali.Tahun kedua menikah, Aruna hamil. Dari sana pintu rezeki mulai terbuka untuk mereka. Tibra yang sangat menyukai ayam goreng krispi mendapat ide untuk berjualan. Berhari-hari dia dan Aruna melakukan percobaan untuk mendapatkan cita rasa dan krispi yang pas sesuai keinginan mereka.Setelah mendapatkan formula yang membuat rasa ayam goreng krispi itu berbeda dari yang selama ini mereka beli, Aruna dan Tibra mulai mencari formula saus. Mereka ingin mempunyai ciri khas tersendiri, tidak mau memakai saus yang selama ini beredar di pasaran. Kedua suami istri yang masih muda itu bertekad, nama mereka harus terpasang sebagai merek dagang usahanya.Arapi (Arti Ayam Krispi), nama yang mereka pilih untuk melambangkan usaha mereka. Arti Ayam Krispi, Arti diambil dari singkatan nama Aruna dan Tibra.Tepat empat bulan usia kehamilan Aruna, tempat usaha mereka resmi dibuka untuk pertama kalinya. Tempat usaha? Lebih tepatnya gerobak dorong yang mereka beri tempelan nama Arapi. Untuk memodali usaha ini, Aruna bahkan harus rela menjual cincin yang menjadi mas kawin saat pernikahan mereka.Hari pertama berjualan, Arpin pulang dengan keadaan kaki bengkak karena berjalan jauh. Aruna menangis tersedu saat merendam kaki suaminya dengan air hangat. Namun, secercah harapan terbit di hati mereka, dua potong ayam yang dijual hari itu habis. Bahkan mereka langsung mendapat pesanan sebanyak dua puluh porsi untuk acara pengajian di masjid yang tadi dilewati Tibra.Kedua suami istri itu menangis berpelukan saat mengetahui usaha mereka meracik formula untuk ayam dan sausnya selama berbulan-bulan tidak sia-sia. Pelan tapi pasti, usaha mereka mulai dikenal orang. Cita rasanya yang khas, menjadi daya tarik tersendiri bagi pelanggan yang selama ini mengetahui rasa ayam krispi hanya begitu-begitu saja.Dari yang awalnya hanya berjualan menggunakan gerobak dorong, usaha mereka mulai naik dengan menyewa salah satu ruko yang dijadikan sekalian dengan tempat tinggal. Dari ruko kecil, mereka mulai berpindah ke ruko yang lebih besar. Hingga akhirnya saat Aruna hamil anak kedua, Tibra memberi kejutan dengan membawa sertifikat ruko atas nama mereka berdua.Aruna menangis haru saat itu. Dia memeluk Tibra kencang. Perasaan Tibra buncah oleh perasaan bahagia. Dia mengucapkan terima kasih pada Aruna karena telah bersabar mendampinginya selama ini. Aruna hanya mengangguk, wanita yang sedang hamil lima bulan itu mengambil tangan suaminya dan meletakkannya pada perutnya yang bergerak. Mata Tibra basah, seolah di dalam sana anak kedua mereka ikut merasakan suka cita.Pelan tapi pasti usaha mereka semakin maju. Hingga saat ini sudah ada empat anak cabang yang tersebar di berbagai kota. Mereka tidak pernah kekurangan lagi. Dikaruniai kedua putra dan harta yang berlimpah, suami yang tampan bagi Aruna dan istri yang cantik bagi Tibra, sungguh, mereka adalah gambaran keluarga ideal bagi setiap orang.Wajah Tibra dan Aruna menjadi langganan menghiasi sampul majalah bisnis. Keduanya adalah pasangan suami istri yang tidak hanya elok rupa namun juga sangat pandai mengatur dan menjalankan usaha, membuat keduanya menjadi orang yang disegani oleh rekan maupun lawan bisnisnya. Sedari awal usaha dimulai, Aruna memang melibatkan diri dan terjun langsung bersama Tibra mengelola usaha mereka. Pasangan itu saling bergandengan tangan dan melangkah beriringan dalam menjalani semua lini kehidupan.Itulah sebabnya, kalau bukan karena mendengar kabar KDRT itu dari mulut Aruna sendiri, rasanya sulit bagi Pak Arpin untuk mempercayai kabar keretakan rumah tangga mereka.“Ini, Bu.” Pak Arpin memberikan kotak P3K yang selalu tersedia di pos kepada Aruna.“Terima kasih.” Aruna mengambil kotak P3K dari Pak Arpin dengan tangan gemetar. Wanita itu kedinginan dan juga mulai merasakan sakit di setiap badan karena tendangan Tibra tadi.“Ibu mau kemana malam-malam begini?” Pak Arpin bertanya pelan sambil memperhatikan Aruna meneteskan alkohol pada kapas.“Kantor polisi. Saya harus segera bergerak cepat, Pak. Sebelum Tibra menyadari rencana yang akan saya lakukan dan menyumpal para oknum itu menggunakan orang-orangnya.” Aruna meringis saat membersihkan beberapa luka di bagian tubuhnya.“Mari saya antar.”“Ya?” Aruna mengangkat kepalanya.“Mari saya antar. Kantor polisi lumayan jauh dari sini.”Aruna menarik napas lega. Akhirnya ada yang mau membantunya. Wanita itu memang terkenal baik selama ini, dia sering membawakan para satpam makanan dan minuman saat pulang dari mengontrol tempat usaha. Sesekali dia juga memberikan tips pada mereka. Sehingga, dia mempunyai hubungan yang cukup baik dengan Pak Arpin dan teman-temannya.Aruna tersenyum.“Tunggulah kehancuranmu sebentar lagi, Mas.”“Ibu mau kemana malam-malam begini?” Pak Arpin bertanya pelan sambil memperhatikan Aruna meneteskan alkohol pada kapas.“Kantor polisi. Saya harus segera bergerak cepat, Pak. Sebelum Tibra menyadari rencana yang akan saya lakukan dan menyumpal para oknum itu menggunakan orang-orangnya.” Aruna meringis saat membersihkan beberapa luka di bagian tubuhnya.“Mari saya antar.”“Ya?” Aruna mengangkat kepalanya.“Mari saya antar. Kantor polisi lumayan jauh dari sini.”Aruna menarik napas lega. Akhirnya ada yang mau membantunya. Wanita itu memang terkenal baik selama ini, dia sering membawakan para satpam makanan dan minuman saat pulang dari mengontrol tempat usaha. Sesekali dia juga memberikan tips pada mereka. Sehingga, dia mempunyai hubungan yang cukup baik dengan Pak Arpin dan teman-temannya.Aruna tersenyum.“Tunggulah kehancuranmu sebentar lagi, Mas,” desis Aruna.“Pak Arpin tahu mobil warna merah menyala yang sering ke sini? Kalau tidak salah plat mobilnya berakhiran ADR.” Aruna melirik
Terpaan angin malam selama perjalanan membuat Aruna harus menahan dingin. Tangannya bahkan mati rasa, susah payah dia mengendalikan diri agar tetap bisa mengendarai motor. Sekuat tenaga dia meneguhkan hati agar bisa sampai ke cabang utama yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari perumahan.“Dulu, aku matian-matian berjuang mendampingimu untuk mendapatkan semua ini, Mas. Maka kini aku tidak keberatan sedikitpun untuk berjuang sekali lagi mempertahankan milikku dan hak anak-anakku.”Empat puluh menit berlalu saat akhirnya motor yang dikendarai Aruna memasuki halaman cabang utama usaha mereka. Resto yang menyajikan makanan cepat saji itu terlihat ramai oleh pengunjung. Resto itu buka dua puluh empat jam dengan sistem shifting bagi karyawannya. Shift pertama pukul 06.00-14.00, shift kedua pukul 14.00-22.00, shift terakhir pukul 22.00-06.00.Aruna berlalu cepat menuju pintu belakang. Dia bahkan mengabaikan petugas keamanan yang sedang membicarakan entah apalah di salah satu sudut ha
"S*ialan!" Tibra menghembuskan napas kencang seraya tangannya bergerak meninju udara. Lelaki itu berkali-kali melemparkan makian saat tidak menemukan keberadaan istrinya disana.Dia menggeleng tidak percaya. Tibra akhirnya melangkah masuk dan menutup pintu ruang kerja Aruna. Dia memperhatikan ruangan itu sejenak. Tibra menajamkan mata saat melihat seperti ada bercak air tertinggal di lantai. Sebelum dia berjongkok untuk memastikan, dia mendadak menyadari kalau bajunya sedikit basah saat berlari dari parkiran tadi.Tibra berjalan menuju meja kerja Aruna dan meletakkan kunci mobil beserta ponselnya. Ruangan itu tidak terlalu besar. Lampu dari bahan kristal berbentuk rangkaian anggur menggantung di plafon. Sofa dengan warna hijau muda senada dengan cat dinding terletak di sudut kanan. Biasanya digunakan oleh Aruna saat ada teman atau rekanan bisnis yang berkunjung kemari.Dua kursi terletak tepat di depan meja kerja Aruna. Biasanya digunakan jika ada karyawan yang datang menghadap atau a
Perasaannya menghangat saat tangan mereka berjabat. Hatinya berbisik, wanita di hadapannya ini butuh perlindungan. Sikap Andhira yang lemah seperti menjadi daya tarik tersendiri bagi Tibra. Dia langsung menyetujui saat Aruna mengusulkan untuk memberi Andhira pekerjaan. Apalagi, mereka memang sedang membutuhkan tenaga tambahan karena manajer yang lama baru saja mengundurkan diri. Seiring berjalannya waktu, pekerjaan membuat mereka sering bertemu.Dari Andhira, Tibra merasakan dirinya menjadi lelaki seutuhnya. Wanita itu rapuh dan sangat bergantung padanya. Tibra merasa kehadirannya sangat dihargai oleh Andhira. Bertahun hidup bersama Aruna yang serba bisa melakukan apa saja, membuat Tibra seperti menemukan kehidupan baru saat bersama Andhira.Bantuan-bantuan kecil yang dia berikan, sering membuat wanita itu berkaca-kaca karena terharu. Ucapan terima kasih yang tulus dari bibir mungil Andhira seolah menjadi candu bagi Tibra. Hal yang tidak pernah dia dapatkan dari Aruna. Wanita yang te
Tibra menarik napas panjang. Sejak mereka menikah beberapa bulan yang lalu, dia memang sengaja meminta Andhira tidur di rumah. Selain dia bisa tetap menjaga Zahir dan Zafar, dia juga bisa menjaga Andhira. Perasaannya sering tidak tenang meninggalkan wanita itu, berbeda dengan Aruna. Dia tidak perlu takut wanita itu akan kenapa-kenapa. Aruna pandai menjaga diri dan bisa berpikir cepat.Bisa berpikir cepat, inilah yang sedikit dikhawatirkan Tibra. Sepuluh tahun berumah tangga, dia masih kesulitan menyelami pikiran Aruna. Dia tidak bisa menebak tindakan apa yang akan diambil Aruna. Satu yang pasti, dia harus menemukan Aruna malam ini. Bukan karena dia khawatir, tetapi agar dia bisa memastikan wanita itu tidak pergi jauh dan tetap dalam pengawasannya.“Mas?” suara di seberang sana kembali terdengar.“Ah iya, Dhir. sudah dulu ya? Mas sudah mengantuk ini.” Tibra berpikir cepat mencari alasan. Lebih baik menyudahi obrolan segera daripada harus menjelaskan pada Andhira apa yang terjadi. Salah
“Saya sudah di depan, Bu.”Aruna yang baru saja menyelesaikan sarapan tersenyum tipis membaca pesan di ponselnya. Dia segera kembali ke kamar dan bergegas mengambil paper bag yang dia bawa. Wanita itu kemudian berjalan anggun menuju lobby depan hotel tempat mobil mewah warna biru tua sedang parkir.Sebelum niat Aruna mengetuk kaca mobil terlaksana. Pintu mobil terbuka, lelaki berusia kurang dari empat puluh tahun berpenampilan perlente tersenyum lebar pada Aruna. Aruna langsung masuk setelah dipersilakan.“Saya Lendra.” Lelaki itu mengulurkan tangan sambil melepaskan kaca mata hitam yang dia kenakan. "Pak, tolong suara musiknya agak dikecilkan sedikit." Lendra memberi perintah pada supirnya. Suara musik yang sedikit kencang bisa mengganggu pembicaraan serius yang akan mereka mulai.Aruna tertawa kecil menatap Lendra. Dia langsung membalas jabat tangan pria matang di sampingnya. Siapa yang tidak tahu pengacara yang sedang naik daun ini? Penampilannya yang selalu modis dan rapi namun
Lendra menatap wanita disampingnya lamat-lamat. Lipstik warna merah maroon yang Aruna gunakan tidak dapat menutupi jejak kekerasan yang dia dapatkan tadi malam. Bengkak dan sedikit pecah karena sobek, menjadi bukti kuat ucapan wanita di sampingnya ini bukan sekedar omong kosong belaka.“Saya sengaja tidak mengobatinya.” Aruna tiba-tiba berbicara sambil menoleh pada Lendra yang sedang mengamati wajahnya. Lendra tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya, sedikit salah tingkah karena Aruna bisa membaca pikirannya.“Saya paham maksud pernyataan anda.” Aruna mengangguk pada asisten Lendra yang menawarinya permen. Dia mengambil satu untuk menyegarkan mulut. Mint, adalah rasa yang sangat disukainya.“Thank you.” Aruna tersenyum pada gadis yang memperkenalkan diri dengan nama Viana.“Kita masih punya waktu hingga sampai di kantor polisi, Bu Aruna.” Lendra menatap Aruna lamat-lamat. Wanita di sampingnya ini bahkan masih dibawah tiga puluh tahun. Usia yang masih sangat muda.“Untuk?” Aruna mena
Untuk visum, dia memang berharap visum bisa segera dilakukan. Tanda-tanda penganiayaan masih terlihat jelas di tubuhnya. Lebam bekas tendangan Tibra, telapak tangannya yang membiru dan terluka karena diinjak, bibirnya yang bengkak dan pecah, bahkan kulit kepalanya terasa perih karena Tibra menarik sisir dengan kasar sehingga rambutnya ikut terseret kencang.Namun di atas semua itu, hatinya jauh lebih sakit karena pengakuan Tibra tentang pernikahannya dengan Andhira, wanita yang sudah dia anggap saudara sendiri. Seseorang yang tidak tahu cara berterima kasih pada orang yang telah mengangkat derajat hidup dan menolongnya dari kesulitan dan kesengsaraan.Bukan dia egois hanya memikirkan perasaannya sendiri. Jauh sebelum ini dia telah berpikir matang. Dia bahkan masih bertahan di rumah, bersikap seolah semua baik-baik saja di depan anak-anak setelah memergoki suaminya dan sang wanita penggoda tengah bermesraan.Namun, kejadian tadi malam benar-benar mengikis habis kebesaran hati Aruna. T