Klakson mobil membuat Aruna mengangkat kepala. Biasanya satpam yang bertugas akan membukakan pintu gerbang perumahan saat ada yang datang.
Wanita itu menajamkan pandangan. Siapa orang yang datang malam-malam begini di tengah deras hujan? Menurut akal sehatnya, sebagian besar orang pasti akan memilih bergelung dalam selimut dan menikmati teh melati hangat untuk merilekskan badan.Sekali lagi Aruna menajamkan pandangan. Mendadak emosinya kembali naik saat mengetahui siapa yang ada di belakang kemudi. Kedua tangannya terkepal di atas paha, sementara dadanya naik turun dengan sangat cepat.“Andhira,” desisnya. Untuk apa perempuan j*lang itu malam-malam di saat hujan deras begini datang ke area perumahan ini? Seingat Aruna, wanita itu tidak punya kenalan di sini, kecuali dia dan Tibra. Aruna tertawa kecil, merasa lucu dengan pikirannya sendiri. Sudah jelas tujuan wanita penggoda itu adalah rumah yang dulu menjadi istananya.Apakah memang sudah biasa baginya datang ke rumah saat dia sedang kunjungan rutin ke cabang di luar kota? Atau jangan-jangan malah lebih dari itu, jangan-jangan Andhira bahkan sering tidur di kamarnya menemani Tibra? Aruna memukul pahanya pelan. Dia merutuki kebodohannya selama ini.Apa tadi kata Tibra? Istrinya? Ah! Ternyata mereka telah menikah, fakta yang membuatnya semakin yakin ini adalah keputusan yang tepat baginya.Aruna kembali memijat kepalanya yang terasa pusing. Bayangan kedua pasang mata Zahir dan Zafar yang menatap penuh ketakutan tadi sore kembali memenuhi ingatannya. Wanita itu menggigit bibir. Badannya menggigil kedinginan. Dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya berharap bisa memberi kehangatan pada ujung jarinya yang mengkerut.Lamat-lamat dia memperhatikan punggung tangannya, beberapa tanda biru tercetak jelas di sana. Ah, dia bahkan tidak merasa sakit sama sekali karena tendangan lelaki yang dulu meminangnya dengan sepenuh jiwa. Hatinya jauh lebih sakit melihat ketakutan di mata kedua anaknya.Aruna memejamkan mata. Ingatan itu kembali mendesak masuk walau dia berusaha mengenyahkannya. Semakin dia abaikan, semakin kuat memori itu memeluknya. Dia akhirnya pasrah membiarkan ingatan itu kembali dipertontonkan dengan jelas dalam pikirannya.“Cukup, Mas! Cukup. Kumohon! Ada anak-anak di pintu. Ada anak-anak.” Aruna memeluk kaki Tibra agar berhenti menendangnya.Lelaki itu tidak mempedulikan ucapan Aruna. Dia menarik rambut Aruna kencang dan menginjak tangan Aruna yang sedari memegang kakinya.“Ah!” Aruna berteriak kesakitan. Sekilas dia melihat punggung tangannya membiru di bawah kaki Tibra.“Ibu!” Zahir menerobos masuk. Anak lelaki berusia delapan tahun itu mendorong Ayahnya hingga terjatuh. Sigap dia membantu ibunya bangkit karena rambut Aruna ikut terseret dalam cengkeraman tangan Tibra.“Zahir.” Bibir Aruna yang pecah bergetar. Anak lelaki itu memeluknya dengan sangat kencang. Aruna menoleh ke pintu, Zafar terduduk sambil menangis ketakutan.Tibra bangkit dan kembali menendang belakang tubuh Aruna yang sedang berpelukan dengan Zahir.“Cukup, Mas. Cukup!” Aruna memeluk Zahir erat. Melindungi anak lelakinya agar tidak ikut terkena tendangan Tibra.“Sini!” Tibra menarik Zahir dari pelukan Aruna, sementara kakinya kembali menendang Aruna sehingga membuat wanita itu terjengkang.“Ibu!” Zahir berteriak. Anak lelaki berusia delapan tahun itu memberontak, berusaha melepaskan diri dari tangan ayahnya.“Cukup, Mas! Jangan di depan anak-anak.” Aruna bergerak menjauh. Dia tidak ingin meninggalkan trauma masa kecil pada kedua anak lelakinya. Yang paling penting, dia tidak ingin Zahir dan Zafar mencontoh tindakan ayahnya, itu akan mempengaruhi cara mereka memperlakukan istri nantinya.“Aku pergi!” Aruna mengambil tas tangannya.“Pergilah jika itu menurutmu yang terbaik, tetapi jangan bawa apapun dari rumah ini termasuk Zahir dan Zafar!” Tibra melepaskan Zahir dan berjalan cepat ke arah Aruna. Sekuat tenaga dia menarik tas yang sedang dipegang Aruna.“Keluarlah, tetapi tinggalkan semua yang ada di sini. Kau tidak ada hak sedikitpun untuk membawanya!”Aruna memilih diam. Bukan karena takut, dia hanya enggan menjawab semua ucapan Tibra. Dia hafal mati watak lelaki yang sudah sepuluh tahun membina rumah tangga dengannya itu, lelaki itu sangat tidak suka ucapannya dibantah. Sekali dia menjawab, maka perkelahian akan kembali terjadi walau di depan anak-anak.Aruna berjalan keluar. Dia masih sempat memeluk Zafar yang menangis. Berbisik semua akan baik-baik saja. Ibu akan segera menjemput kalian berdua.“Ibu!” Zahir berteriak, anak lelaki itu meronta-ronta dalam cengkeraman ayahnya.Aruna hanya menoleh sekilas pada Zahir. Dia segera berlalu. Aruna tahu persis, semakin dia berlama-lama di sini, semakin Tibra menyakiti Zahir untuk membuat perasaannya tersiksa.Klakson mobil kembali terdengar di antara deru hujan. Aruna membuka matanya, dia masih melihat mobil Andhira di sana, menunggu pintu gerbang dibuka.Aruna melirik jam di dinding. Pukul 20.35 waktu setempat. Itu artinya hampir sejam dia di sini, dan hujan sepertinya masih enggan berhenti.Kilatan cahaya kembali menerangi sekitar, membuat mobil merah menyala Andhira di luar gerbang terlihat lebih jelas. Sepersekian detik kemudian petir kembali menggelegar, suaranya beruntun seperti saling bersahutan.Aruna menutup telinganya saat dentuman petir paling keras seakan ada di atas atap bangunan tempatnya berteduh, seolah awan itu bertabrakan di atas genteng, sehingga suaranya sangat kencang memekakkan telinga.Aruna keluar tanpa membawa apapun bukan berarti dia mengalah. Wanita itu hanya tidak ingin anak-anak semakin terluka melihat ayah dan ibunya terus bertengkar dan saling cakar.Dia akan mempertahankan haknya. Empat anak cabang usaha dan satu cabang utama, belum lagi rumah, usaha kos-kosan empat puluh lima pintu di dekat kampus hijau di Kota Hujan dan tiga puluh pintu di dekat kampus almamater kuning dengan embel-embel nama negeri ini di belakangnya, dua buah villa di puncak, deretan mobil, deposito, giro, tabungan. Semua itu akan dia ambil lagi walau kini pergi dengan hanya membawa baju yang melekat di badan.Ekor mata Aruna menangkap pergerakan dari mobil Andhira. J*lang itu sepertinya memutuskan urung berkunjung karena pintu gerbang tidak kunjung dibuka. Aruna tersenyum sinis.“Andhira, jangan harap kau bisa menikmati harta yang kukumpulkan dengan susah payah!” desis Aruna.Wanita itu menunggu hujan reda. Tujuannya malam ini adalah kantor polisi untuk melaporkan KDRT yang dilakukan Tibra. Setelah itu dia akan melakukan visum untuk menguatkan bukti laporannya. Otaknya yang cerdas berpikir cepat. Dia harus segera bertindak agar tidak kalah langkah.“Tibra, bukan kau yang membuangku, tetapi aku yang meninggalkanmu.”"Andhira, jangan harap kau bisa menikmati harta yang kukumpulkan dengan susah payah!” desis Aruna.Wanita itu menunggu hujan reda. Tujuannya malam ini adalah kantor polisi untuk melaporkan KDRT yang dilakukan Tibra. Setelah itu dia akan melakukan visum untuk menguatkan bukti laporannya. Otaknya yang cerdas berpikir cepat. Dia harus segera bertindak agar tidak kalah langkah.“Tibra, bukan kau yang membuangku, tetapi aku yang meninggalkanmu,” desis Aruna.Suara berisik seperti kain dikibaskan dan percikan air yang mengenai wajah mengagetkan Aruna. Wanita itu menoleh ke arah pintu masuk. Pak Arpin, satpam komplek yang dikenal Aruna sedang mengibas-ngibaskan payung biru yang tadi dipakainya. Aruna menarik napas pelan, rupanya percikan air yang tadi mengenai wajahnya berasal dari sana.“Pak Arpin,” sapa Aruna.“Astagfirullahaladzim!” Pak Arpin melompat kaget. Lelaki itu mundur selangkah dari tempatnya berdiri. Payung yang tadi dia pegang terlepas dari tangannya.“Eh?” Aruna berdiri melihat
“Ibu mau kemana malam-malam begini?” Pak Arpin bertanya pelan sambil memperhatikan Aruna meneteskan alkohol pada kapas.“Kantor polisi. Saya harus segera bergerak cepat, Pak. Sebelum Tibra menyadari rencana yang akan saya lakukan dan menyumpal para oknum itu menggunakan orang-orangnya.” Aruna meringis saat membersihkan beberapa luka di bagian tubuhnya.“Mari saya antar.”“Ya?” Aruna mengangkat kepalanya.“Mari saya antar. Kantor polisi lumayan jauh dari sini.”Aruna menarik napas lega. Akhirnya ada yang mau membantunya. Wanita itu memang terkenal baik selama ini, dia sering membawakan para satpam makanan dan minuman saat pulang dari mengontrol tempat usaha. Sesekali dia juga memberikan tips pada mereka. Sehingga, dia mempunyai hubungan yang cukup baik dengan Pak Arpin dan teman-temannya.Aruna tersenyum.“Tunggulah kehancuranmu sebentar lagi, Mas,” desis Aruna.“Pak Arpin tahu mobil warna merah menyala yang sering ke sini? Kalau tidak salah plat mobilnya berakhiran ADR.” Aruna melirik
Terpaan angin malam selama perjalanan membuat Aruna harus menahan dingin. Tangannya bahkan mati rasa, susah payah dia mengendalikan diri agar tetap bisa mengendarai motor. Sekuat tenaga dia meneguhkan hati agar bisa sampai ke cabang utama yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari perumahan.“Dulu, aku matian-matian berjuang mendampingimu untuk mendapatkan semua ini, Mas. Maka kini aku tidak keberatan sedikitpun untuk berjuang sekali lagi mempertahankan milikku dan hak anak-anakku.”Empat puluh menit berlalu saat akhirnya motor yang dikendarai Aruna memasuki halaman cabang utama usaha mereka. Resto yang menyajikan makanan cepat saji itu terlihat ramai oleh pengunjung. Resto itu buka dua puluh empat jam dengan sistem shifting bagi karyawannya. Shift pertama pukul 06.00-14.00, shift kedua pukul 14.00-22.00, shift terakhir pukul 22.00-06.00.Aruna berlalu cepat menuju pintu belakang. Dia bahkan mengabaikan petugas keamanan yang sedang membicarakan entah apalah di salah satu sudut ha
"S*ialan!" Tibra menghembuskan napas kencang seraya tangannya bergerak meninju udara. Lelaki itu berkali-kali melemparkan makian saat tidak menemukan keberadaan istrinya disana.Dia menggeleng tidak percaya. Tibra akhirnya melangkah masuk dan menutup pintu ruang kerja Aruna. Dia memperhatikan ruangan itu sejenak. Tibra menajamkan mata saat melihat seperti ada bercak air tertinggal di lantai. Sebelum dia berjongkok untuk memastikan, dia mendadak menyadari kalau bajunya sedikit basah saat berlari dari parkiran tadi.Tibra berjalan menuju meja kerja Aruna dan meletakkan kunci mobil beserta ponselnya. Ruangan itu tidak terlalu besar. Lampu dari bahan kristal berbentuk rangkaian anggur menggantung di plafon. Sofa dengan warna hijau muda senada dengan cat dinding terletak di sudut kanan. Biasanya digunakan oleh Aruna saat ada teman atau rekanan bisnis yang berkunjung kemari.Dua kursi terletak tepat di depan meja kerja Aruna. Biasanya digunakan jika ada karyawan yang datang menghadap atau a
Perasaannya menghangat saat tangan mereka berjabat. Hatinya berbisik, wanita di hadapannya ini butuh perlindungan. Sikap Andhira yang lemah seperti menjadi daya tarik tersendiri bagi Tibra. Dia langsung menyetujui saat Aruna mengusulkan untuk memberi Andhira pekerjaan. Apalagi, mereka memang sedang membutuhkan tenaga tambahan karena manajer yang lama baru saja mengundurkan diri. Seiring berjalannya waktu, pekerjaan membuat mereka sering bertemu.Dari Andhira, Tibra merasakan dirinya menjadi lelaki seutuhnya. Wanita itu rapuh dan sangat bergantung padanya. Tibra merasa kehadirannya sangat dihargai oleh Andhira. Bertahun hidup bersama Aruna yang serba bisa melakukan apa saja, membuat Tibra seperti menemukan kehidupan baru saat bersama Andhira.Bantuan-bantuan kecil yang dia berikan, sering membuat wanita itu berkaca-kaca karena terharu. Ucapan terima kasih yang tulus dari bibir mungil Andhira seolah menjadi candu bagi Tibra. Hal yang tidak pernah dia dapatkan dari Aruna. Wanita yang te
Tibra menarik napas panjang. Sejak mereka menikah beberapa bulan yang lalu, dia memang sengaja meminta Andhira tidur di rumah. Selain dia bisa tetap menjaga Zahir dan Zafar, dia juga bisa menjaga Andhira. Perasaannya sering tidak tenang meninggalkan wanita itu, berbeda dengan Aruna. Dia tidak perlu takut wanita itu akan kenapa-kenapa. Aruna pandai menjaga diri dan bisa berpikir cepat.Bisa berpikir cepat, inilah yang sedikit dikhawatirkan Tibra. Sepuluh tahun berumah tangga, dia masih kesulitan menyelami pikiran Aruna. Dia tidak bisa menebak tindakan apa yang akan diambil Aruna. Satu yang pasti, dia harus menemukan Aruna malam ini. Bukan karena dia khawatir, tetapi agar dia bisa memastikan wanita itu tidak pergi jauh dan tetap dalam pengawasannya.“Mas?” suara di seberang sana kembali terdengar.“Ah iya, Dhir. sudah dulu ya? Mas sudah mengantuk ini.” Tibra berpikir cepat mencari alasan. Lebih baik menyudahi obrolan segera daripada harus menjelaskan pada Andhira apa yang terjadi. Salah
“Saya sudah di depan, Bu.”Aruna yang baru saja menyelesaikan sarapan tersenyum tipis membaca pesan di ponselnya. Dia segera kembali ke kamar dan bergegas mengambil paper bag yang dia bawa. Wanita itu kemudian berjalan anggun menuju lobby depan hotel tempat mobil mewah warna biru tua sedang parkir.Sebelum niat Aruna mengetuk kaca mobil terlaksana. Pintu mobil terbuka, lelaki berusia kurang dari empat puluh tahun berpenampilan perlente tersenyum lebar pada Aruna. Aruna langsung masuk setelah dipersilakan.“Saya Lendra.” Lelaki itu mengulurkan tangan sambil melepaskan kaca mata hitam yang dia kenakan. "Pak, tolong suara musiknya agak dikecilkan sedikit." Lendra memberi perintah pada supirnya. Suara musik yang sedikit kencang bisa mengganggu pembicaraan serius yang akan mereka mulai.Aruna tertawa kecil menatap Lendra. Dia langsung membalas jabat tangan pria matang di sampingnya. Siapa yang tidak tahu pengacara yang sedang naik daun ini? Penampilannya yang selalu modis dan rapi namun
Lendra menatap wanita disampingnya lamat-lamat. Lipstik warna merah maroon yang Aruna gunakan tidak dapat menutupi jejak kekerasan yang dia dapatkan tadi malam. Bengkak dan sedikit pecah karena sobek, menjadi bukti kuat ucapan wanita di sampingnya ini bukan sekedar omong kosong belaka.“Saya sengaja tidak mengobatinya.” Aruna tiba-tiba berbicara sambil menoleh pada Lendra yang sedang mengamati wajahnya. Lendra tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya, sedikit salah tingkah karena Aruna bisa membaca pikirannya.“Saya paham maksud pernyataan anda.” Aruna mengangguk pada asisten Lendra yang menawarinya permen. Dia mengambil satu untuk menyegarkan mulut. Mint, adalah rasa yang sangat disukainya.“Thank you.” Aruna tersenyum pada gadis yang memperkenalkan diri dengan nama Viana.“Kita masih punya waktu hingga sampai di kantor polisi, Bu Aruna.” Lendra menatap Aruna lamat-lamat. Wanita di sampingnya ini bahkan masih dibawah tiga puluh tahun. Usia yang masih sangat muda.“Untuk?” Aruna mena