Share

BAB 2

Klakson mobil membuat Aruna mengangkat kepala. Biasanya satpam yang bertugas akan membukakan pintu gerbang perumahan saat ada yang datang.

Wanita itu menajamkan pandangan. Siapa orang yang datang malam-malam begini di tengah deras hujan? Menurut akal sehatnya, sebagian besar orang pasti akan memilih bergelung dalam selimut dan menikmati teh melati hangat untuk merilekskan badan.

Sekali lagi Aruna menajamkan pandangan. Mendadak emosinya kembali naik saat mengetahui siapa yang ada di belakang kemudi. Kedua tangannya terkepal di atas paha, sementara dadanya naik turun dengan sangat cepat.

“Andhira,” desisnya. Untuk apa perempuan j*lang itu malam-malam di saat hujan deras begini datang ke area perumahan ini? Seingat Aruna, wanita itu tidak punya kenalan di sini, kecuali dia dan Tibra. Aruna tertawa kecil, merasa lucu dengan pikirannya sendiri. Sudah jelas tujuan wanita penggoda itu adalah rumah yang dulu menjadi istananya.

Apakah memang sudah biasa baginya datang ke rumah saat dia sedang kunjungan rutin ke cabang di luar kota? Atau jangan-jangan malah lebih dari itu, jangan-jangan Andhira bahkan sering tidur di kamarnya menemani Tibra? Aruna memukul pahanya pelan. Dia merutuki kebodohannya selama ini.

Apa tadi kata Tibra? Istrinya? Ah! Ternyata mereka telah menikah, fakta yang membuatnya semakin yakin ini adalah keputusan yang tepat baginya.

Aruna kembali memijat kepalanya yang terasa pusing. Bayangan kedua pasang mata Zahir dan Zafar yang menatap penuh ketakutan tadi sore kembali memenuhi ingatannya. Wanita itu menggigit bibir. Badannya menggigil kedinginan. Dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya berharap bisa memberi kehangatan pada ujung jarinya yang mengkerut.

Lamat-lamat dia memperhatikan punggung tangannya, beberapa tanda biru tercetak jelas di sana. Ah, dia bahkan tidak merasa sakit sama sekali karena tendangan lelaki yang dulu meminangnya dengan sepenuh jiwa. Hatinya jauh lebih sakit melihat ketakutan di mata kedua anaknya.

Aruna memejamkan mata. Ingatan itu kembali mendesak masuk walau dia berusaha mengenyahkannya. Semakin dia abaikan, semakin kuat memori itu memeluknya. Dia akhirnya pasrah membiarkan ingatan itu kembali dipertontonkan dengan jelas dalam pikirannya.

“Cukup, Mas! Cukup. Kumohon! Ada anak-anak di pintu. Ada anak-anak.” Aruna memeluk kaki Tibra agar berhenti menendangnya.

Lelaki itu tidak mempedulikan ucapan Aruna. Dia menarik rambut Aruna kencang dan menginjak tangan Aruna yang sedari memegang kakinya.

“Ah!” Aruna berteriak kesakitan. Sekilas dia melihat punggung tangannya membiru di bawah kaki Tibra.

“Ibu!” Zahir menerobos masuk. Anak lelaki berusia delapan tahun itu mendorong Ayahnya hingga terjatuh. Sigap dia membantu ibunya bangkit karena rambut Aruna ikut terseret dalam cengkeraman tangan Tibra.

“Zahir.” Bibir Aruna yang pecah bergetar. Anak lelaki itu memeluknya dengan sangat kencang. Aruna menoleh ke pintu, Zafar terduduk sambil menangis ketakutan.

Tibra bangkit dan kembali menendang belakang tubuh Aruna yang sedang berpelukan dengan Zahir.

“Cukup, Mas. Cukup!” Aruna memeluk Zahir erat. Melindungi anak lelakinya agar tidak ikut terkena tendangan Tibra.

“Sini!” Tibra menarik Zahir dari pelukan Aruna, sementara kakinya kembali menendang Aruna sehingga membuat wanita itu terjengkang.

“Ibu!” Zahir berteriak. Anak lelaki berusia delapan tahun itu memberontak, berusaha melepaskan diri dari tangan ayahnya.

“Cukup, Mas! Jangan di depan anak-anak.” Aruna bergerak menjauh. Dia tidak ingin meninggalkan trauma masa kecil pada kedua anak lelakinya. Yang paling penting, dia tidak ingin Zahir dan Zafar mencontoh tindakan ayahnya, itu akan mempengaruhi cara mereka memperlakukan istri nantinya.

“Aku pergi!” Aruna mengambil tas tangannya.

“Pergilah jika itu menurutmu yang terbaik, tetapi jangan bawa apapun dari rumah ini termasuk Zahir dan Zafar!” Tibra melepaskan Zahir dan berjalan cepat ke arah Aruna. Sekuat tenaga dia menarik tas yang sedang dipegang Aruna.

“Keluarlah, tetapi tinggalkan semua yang ada di sini. Kau tidak ada hak sedikitpun untuk membawanya!”

Aruna memilih diam. Bukan karena takut, dia hanya enggan menjawab semua ucapan Tibra. Dia hafal mati watak lelaki yang sudah sepuluh tahun membina rumah tangga dengannya itu, lelaki itu sangat tidak suka ucapannya dibantah. Sekali dia menjawab, maka perkelahian akan kembali terjadi walau di depan anak-anak.

Aruna berjalan keluar. Dia masih sempat memeluk Zafar yang menangis. Berbisik semua akan baik-baik saja. Ibu akan segera menjemput kalian berdua.

“Ibu!” Zahir berteriak, anak lelaki itu meronta-ronta dalam cengkeraman ayahnya.

Aruna hanya menoleh sekilas pada Zahir. Dia segera berlalu. Aruna tahu persis, semakin dia berlama-lama di sini, semakin Tibra menyakiti Zahir untuk membuat perasaannya tersiksa.

Klakson mobil kembali terdengar di antara deru hujan. Aruna membuka matanya, dia masih melihat mobil Andhira di sana, menunggu pintu gerbang dibuka.

Aruna melirik jam di dinding. Pukul 20.35 waktu setempat. Itu artinya hampir sejam dia di sini, dan hujan sepertinya masih enggan berhenti.

Kilatan cahaya kembali menerangi sekitar, membuat mobil merah menyala Andhira di luar gerbang terlihat lebih jelas. Sepersekian detik kemudian petir kembali menggelegar, suaranya beruntun seperti saling bersahutan.

Aruna menutup telinganya saat dentuman petir paling keras seakan ada di atas atap bangunan tempatnya berteduh, seolah awan itu bertabrakan di atas genteng, sehingga suaranya sangat kencang memekakkan telinga.

Aruna keluar tanpa membawa apapun bukan berarti dia mengalah. Wanita itu hanya tidak ingin anak-anak semakin terluka melihat ayah dan ibunya terus bertengkar dan saling cakar.

Dia akan mempertahankan haknya. Empat anak cabang usaha dan satu cabang utama, belum lagi rumah, usaha kos-kosan empat puluh lima pintu di dekat kampus hijau di Kota Hujan dan tiga puluh pintu di dekat kampus almamater kuning dengan embel-embel nama negeri ini di belakangnya, dua buah villa di puncak, deretan mobil, deposito, giro, tabungan. Semua itu akan dia ambil lagi walau kini pergi dengan hanya membawa baju yang melekat di badan.

Ekor mata Aruna menangkap pergerakan dari mobil Andhira. J*lang itu sepertinya memutuskan urung berkunjung karena pintu gerbang tidak kunjung dibuka. Aruna tersenyum sinis.

“Andhira, jangan harap kau bisa menikmati harta yang kukumpulkan dengan susah payah!” desis Aruna.

Wanita itu menunggu hujan reda. Tujuannya malam ini adalah kantor polisi untuk melaporkan KDRT yang dilakukan Tibra. Setelah itu dia akan melakukan visum untuk menguatkan bukti laporannya. Otaknya yang cerdas berpikir cepat. Dia harus segera bertindak agar tidak kalah langkah.

“Tibra, bukan kau yang membuangku, tetapi aku yang meninggalkanmu.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
saking pintarnya sampak belur. untung g mati
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status