Share

bab 2

Kalau boleh meminta, cukup kali ini merasakan sakit seperti ini. Teman yang kutolong enam bulan lalu, kini tengah bersanding dengan imamku.

"Apa benar jika Mas Damar sering memberi perhatian padanya saat Tari di sini? Bukankah saat itu Mas Damar sering lembur. Bahkan bisa aku hitung dengan jari, Mas Damar bertemu Tari."

Aku pusing memikirkan ini. Segera beranjak. Masuk kekamar mandi. Merendam diri dalam bathtub serta menyalakan lilin aroma terapi. Semua aku lakukan agar hatiku tenang. Hati yang sebenarnya telah di terjang badai badai.

Ahhh!

Hidup memang tak selalu mulus. Jika aku memiliki segalanya. Mungkin ini ujian hidupku, memiliki suami yang ternyata tak setia.

Setengah jam sudah, aku naik. Rasanya cukup membuat tubuh rileks.

Hp terus berbunyi. Notifikasi chat demi chat terus saja kudengar. Siapa yang mengirim pesan?

Setelah memakai handuk yang seperti baju, aku duduk pada ranjang perukuran King dengan desain mewah. Kulipat kaki untuk memudahkan membaca setiap chat.

[Mbak, memang Mas Damar keterlaluan ya! Dia menikah sama teman Mba. Aku sebenarnya ngga setuju, tapi tau sendiri lah Mas Damar.] Pesan dari Leli--adik Mas Damar.

Aku tersenyum tersingung.

[Damar keterlaluan, berani menghianatimu! Kamu jangan diam saja, Fat!] Kali ini dari Mbak Saras--Kakak Mas Damar.

[Maafkan Ibu ya, Fat. Ngga bisa mencegah Damar untuk tak menikah lagi. Sebenarnya kami tak setuju!] Kali ini dari Ibu Mertua yang pandai bermain muka.

Aku tersenyum kecut. Bagaimana bisa mereka bilang begitu? Nyatanya saat ijab kobul terjadi. Mereka dengan senyum merekah menyaksikannya.

Kuabaikan pesan dari mereka. Tak aku balas satupun. Pasti mereka tengah takut jika ketahuan mendukung Mas Damar. Tentu aku akan stop uang bulanan untuk Ibu, uang kuliah untuk Leli dan ngga ada lagi tas branded yang kuberikan padanya.

Kurang apa aku?

Mereka semua munafik! Baik hanya didepan saja. Bermuka dua tapi masih selalu cari muka.

Kukeringkan rambut dengan hairdryer. Aku ingin tampil perfect saat Mas Damar pulang nanti. Walau aku akui, itu pasti sangat menyakitkan tapi tak akan kuperlihatkan sedikitpun kesedihanku.

Jika Mas Damar langsung pulang, waktu tempuh delapan jam. Itu artinya ia akan sampai sekitar jam 9 atau 10-an. Itu artinya anak-anak sudah tidur. Hal baik untuk membawa Tari dan Mas Damar pulang bersama. Tentu tak akan menimbulkan curiga.

Akan aku usahakan sekuat tenaga, agar anak-anak tak pernah tahu jika bapaknya menikah. Itu tentunya rencana pertama yang akan tertulis dalam sebuah perjanjian dengan Tari nanti.

Sederhana, tapi tentu akan membuat batas gerak Tari dan Mas Damar sedikit susah. Mereka harus berpura-pura jika mereka tak ada apa-apa. Aku yakin Mas Damar setuju, karena selama ini Mas Damar sangat menyayangi anak-anaknya.

Telfon berdering. Leli ternyata.

"Iya, Lel." Dari sebrang telfon aku menjawab.

"Kenapa ngga bales WA ku, Mbak. Kan aku khawatir takut Mbak ngga kuat dan ..."

"Dan apa? Bunuh diri? Ngga sependek itu pikiranku, Lel. Lagian memangnya siapa Mas Damar, harus aku ratapi. Aku bertahan hanya demi anak-anak. Itu saja tak tahu sampai kapan!" ujarku berbohong. Tentu agar adiknya merasa jika Kakaknya memang tak berguna.

Lelaki akan merasa bangga kalau di buat rebutan, lebih baik aku abaikan. Justru pasti akan kelabakan. Lihat saja, bagaimana nanti menghadapi sikapku dengan Tari saat nanti kita disini. Akan berbeda tentunya, tak sama seperti dulu.

"Iya, Mbak. Mas Damar sudah pulang bersama Mbak Tari. Dia langsung senang ketika tadi di suruh Mbak Fat pulang. Tadinya Tari mau ditinggal disini, bareng Ibu. Tentu aku keberatan, bagaimanapun pasti akan nambah beban Ibu saja!" ucapan Leli sudah dapat kuduga. Memang begitulah sikap Leli, dulu saja dia tak suka padaku, mungkin sekarang pun sama. Hanya karena aku dermawan saja dia mau berkomunikasi, lebihnya aku tak ingin tahu.

Setelah telfon kumatikan, bergegas aku memanggil Mbak Ani dan Mang Udin.

"Pulanglah dulu kalian." Kusodorkan masing-masing satu amplop tebal berwarna coklat.

"Kami di pecat, Neng?" Tanya Mbak Ani yang sudah lama bekerja denganku.

"Tidak, Mbak. Tenang saja. Aku hanya ingin kalian menghabiskan waktu bersama keluarga. Nanti aku kabari lagi, kapan kembali kesini!" ujarku.

"Benar, Neng?" Kali ini Mang Udin yang tersenyum. Dia lelaki yang memang tak punya istri, hanya ada anak-anak dan cucunya. Hingga jarang pulang. Mungkin hal ini yang membuat ia bahagia.

Mereka pamit dengan senang, bahkan Mbak Ani sampai mencium tanganku berkali-kali mengucapkan terima kasih.

Permainan akan di mulai. Tari akan mengantikan posisi Mbak Ani dan Mang Udin selama disini. Tentu itu untuk menutupi kecurigaan anak-anak. Apa ia akan dengan senang hati melakukannya? Entahlah, tentunya itu sudah jadi tujuan utamaku dia kupulangkan kesini! Selanjutnya akan ada derita-derita lain yang lebih menyakitkan!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status