Kalau boleh meminta, cukup kali ini merasakan sakit seperti ini. Teman yang kutolong enam bulan lalu, kini tengah bersanding dengan imamku.
"Apa benar jika Mas Damar sering memberi perhatian padanya saat Tari di sini? Bukankah saat itu Mas Damar sering lembur. Bahkan bisa aku hitung dengan jari, Mas Damar bertemu Tari."Aku pusing memikirkan ini. Segera beranjak. Masuk kekamar mandi. Merendam diri dalam bathtub serta menyalakan lilin aroma terapi. Semua aku lakukan agar hatiku tenang. Hati yang sebenarnya telah di terjang badai badai.Ahhh!Hidup memang tak selalu mulus. Jika aku memiliki segalanya. Mungkin ini ujian hidupku, memiliki suami yang ternyata tak setia.Setengah jam sudah, aku naik. Rasanya cukup membuat tubuh rileks.Hp terus berbunyi. Notifikasi chat demi chat terus saja kudengar. Siapa yang mengirim pesan?Setelah memakai handuk yang seperti baju, aku duduk pada ranjang perukuran King dengan desain mewah. Kulipat kaki untuk memudahkan membaca setiap chat.[Mbak, memang Mas Damar keterlaluan ya! Dia menikah sama teman Mba. Aku sebenarnya ngga setuju, tapi tau sendiri lah Mas Damar.] Pesan dari Leli--adik Mas Damar.Aku tersenyum tersingung.[Damar keterlaluan, berani menghianatimu! Kamu jangan diam saja, Fat!] Kali ini dari Mbak Saras--Kakak Mas Damar.[Maafkan Ibu ya, Fat. Ngga bisa mencegah Damar untuk tak menikah lagi. Sebenarnya kami tak setuju!] Kali ini dari Ibu Mertua yang pandai bermain muka.Aku tersenyum kecut. Bagaimana bisa mereka bilang begitu? Nyatanya saat ijab kobul terjadi. Mereka dengan senyum merekah menyaksikannya.Kuabaikan pesan dari mereka. Tak aku balas satupun. Pasti mereka tengah takut jika ketahuan mendukung Mas Damar. Tentu aku akan stop uang bulanan untuk Ibu, uang kuliah untuk Leli dan ngga ada lagi tas branded yang kuberikan padanya.Kurang apa aku?Mereka semua munafik! Baik hanya didepan saja. Bermuka dua tapi masih selalu cari muka.Kukeringkan rambut dengan hairdryer. Aku ingin tampil perfect saat Mas Damar pulang nanti. Walau aku akui, itu pasti sangat menyakitkan tapi tak akan kuperlihatkan sedikitpun kesedihanku.Jika Mas Damar langsung pulang, waktu tempuh delapan jam. Itu artinya ia akan sampai sekitar jam 9 atau 10-an. Itu artinya anak-anak sudah tidur. Hal baik untuk membawa Tari dan Mas Damar pulang bersama. Tentu tak akan menimbulkan curiga.Akan aku usahakan sekuat tenaga, agar anak-anak tak pernah tahu jika bapaknya menikah. Itu tentunya rencana pertama yang akan tertulis dalam sebuah perjanjian dengan Tari nanti.Sederhana, tapi tentu akan membuat batas gerak Tari dan Mas Damar sedikit susah. Mereka harus berpura-pura jika mereka tak ada apa-apa. Aku yakin Mas Damar setuju, karena selama ini Mas Damar sangat menyayangi anak-anaknya.Telfon berdering. Leli ternyata."Iya, Lel." Dari sebrang telfon aku menjawab."Kenapa ngga bales WA ku, Mbak. Kan aku khawatir takut Mbak ngga kuat dan ...""Dan apa? Bunuh diri? Ngga sependek itu pikiranku, Lel. Lagian memangnya siapa Mas Damar, harus aku ratapi. Aku bertahan hanya demi anak-anak. Itu saja tak tahu sampai kapan!" ujarku berbohong. Tentu agar adiknya merasa jika Kakaknya memang tak berguna.Lelaki akan merasa bangga kalau di buat rebutan, lebih baik aku abaikan. Justru pasti akan kelabakan. Lihat saja, bagaimana nanti menghadapi sikapku dengan Tari saat nanti kita disini. Akan berbeda tentunya, tak sama seperti dulu."Iya, Mbak. Mas Damar sudah pulang bersama Mbak Tari. Dia langsung senang ketika tadi di suruh Mbak Fat pulang. Tadinya Tari mau ditinggal disini, bareng Ibu. Tentu aku keberatan, bagaimanapun pasti akan nambah beban Ibu saja!" ucapan Leli sudah dapat kuduga. Memang begitulah sikap Leli, dulu saja dia tak suka padaku, mungkin sekarang pun sama. Hanya karena aku dermawan saja dia mau berkomunikasi, lebihnya aku tak ingin tahu.Setelah telfon kumatikan, bergegas aku memanggil Mbak Ani dan Mang Udin."Pulanglah dulu kalian." Kusodorkan masing-masing satu amplop tebal berwarna coklat."Kami di pecat, Neng?" Tanya Mbak Ani yang sudah lama bekerja denganku."Tidak, Mbak. Tenang saja. Aku hanya ingin kalian menghabiskan waktu bersama keluarga. Nanti aku kabari lagi, kapan kembali kesini!" ujarku."Benar, Neng?" Kali ini Mang Udin yang tersenyum. Dia lelaki yang memang tak punya istri, hanya ada anak-anak dan cucunya. Hingga jarang pulang. Mungkin hal ini yang membuat ia bahagia.Mereka pamit dengan senang, bahkan Mbak Ani sampai mencium tanganku berkali-kali mengucapkan terima kasih.Permainan akan di mulai. Tari akan mengantikan posisi Mbak Ani dan Mang Udin selama disini. Tentu itu untuk menutupi kecurigaan anak-anak. Apa ia akan dengan senang hati melakukannya? Entahlah, tentunya itu sudah jadi tujuan utamaku dia kupulangkan kesini! Selanjutnya akan ada derita-derita lain yang lebih menyakitkan!"Bun!" Aziz tahu perubahan expresiku. Dia langsung mendekat kearahku yang merasa Tek bertulang. Sedangkan Wulan juga dengan sigap langsung menopangku."Ada apa, Bu?" tanya Wulan, berbarengan dengan Aziz yang sampai di dekatku. Aku harus kuat. Aku tak ingin sampai Aziz tak punya foto kenang-kenangan atas prestasinya."Ngga papa, ayok! Ayah minta maaf tak bisa datang karena keadaan." Aku berusaha untuk melangkah keatas podium. Menyambut uluran tangan kepala sekolah, menerima penghargaan kemudian berfoto. Setelah selesai dan turun dari podium aku meminta berbicara dengan Aziz kebelakang sebentar sebelum ia masuk kembali ke barisan teman-temannya."Bunda mau bicara sebentar. Bisa?" Dia mengganuk dan mengikuti langkahku. Aku memilih untuk keluar karena suara yang riuh. Wulan juga kubawa."Aziz, Ayahmu kecelakaan saat akan kesini. Dia katanya kritis." ucapku dengan menahan serak didada. Bagaimanapun dia telah mengisi hariku puluhan tahun, aku tak mungkin abai disaat seperti ini."A-ayah?"
"Tak semudah itu, Mas! Kami pikir dengan menalak Tari didepanku, aku akan langsung memaafkanmu? Jangan mimpi!" Aku segera beranjak pergi. Malu, masih ada beberapa polisi yang lewat dan memperhatikan kami."Fat! Dek!" Mas Damar memanggil, aku acuh langsung menuju kendaraan. Tak perduli Mas Damar yang mengetuk kaca keras.Kulajukan mobil dengan sedikit kencang. Kepalaku pusing, memikirkan semua masalah yang ada. Rasanya lelah hidup ini. Menghadapi semua masalah yang terus melanda.Ponsel berdering. Dari Lukman!"Hallo, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Bu. Saya mau menginformasikan bahwa resto yang berada di jalan mangga di miliki oleh seseorang dari Pakistan dan menurut yang info saya dapatkan jika perempuan yang di nikahi secara mut'ah bernama Saras."Deg!Mendengar penjelasan Lukman aku kaget. Bukan kaget karena pemilik resto adalah Mbak Saras. Tapi kaget tentang pernikahan mut'ah yang dia lakukan."Kamu yakin jika berita ini akurat, Luk?""Yakin, Bu."Aku menutup sambungan telfon d
Aku terperanjat karena terkena cipratan air juga. Ervan pun langsung berdiri."Apa-apaan ini?" Ervan mengadu saat tahu siapa pelaku penyiraman itu. Melisa."Kamu, Mas, yang apa-apaan. Berdua makan dengan babysitter!" Melisa berkata dengan amarah. Beberapa orang melihat, kami menjadi tontonan, bahkan saat Lukman mencoba mendekat aku menahannya dengan isyarat tangan."Tega-teganya aku di luar negri, kamu main sama seorang pengasuh anakmu! Ngga tau malu!" Melisa masih saja berargumen. Ervan bahkan gelagapan karena tak diberi waktu untuk berbicara."Jadi begitu kelakuanmu, Mas. Kamu benar-benar lelaki tak setia! Dan kamu!" Kali ini ia menunjukku, aku hanya bergeming."Kamu tak akan pernah selevel dengan seorang dokter. Kamu hanya pengasuh! Jangan berharap lebih. Palingan juga Mas Ervan mau karena di guna-guna. Kamu cuma mau hartanya saja kan? Mau meninggikan stratamu!" Dengan jari telunjuk ia mengarahkan padaku."Cukup, Mel!" Akhirnya Ervan bersuara. "Kamu ngomong apa? Pulang dari LN ngga
" Ya resto itu berdiri di jalan mangga. Kata pelanggan harganya jauh dibawah kita. Tadi sempat berbincang dengan para grabfood jika itu benar adanya. Mereka meminta kepastian jika itu benar-benar cabang kita." Aku terdiam. Jalan mangga? Itu artinya sekitar seratus meter dari Restoku. Kenapa? Apa benar itu milik Mbak Saras? Aku harus secepatnya mencari tahu."Baik, terima kasih, Luk. Biar aku cari tahu. Kamu tetap kerja dengan baik!" "Baik, Bu."Segera aku melajukan mobil dengan cepat. Menuju dimana resto itu berdiri. Aku sangat ingin tahu apa benar Resto itu meniru tempat usahaku."Macet lagi!" Aku menggerutu. Ingin cepat sampai malah terjebak macet.Cukup lama dan panjang. Entah apa yang ada didepan sana. Aku hanya bisa bersabar. "Ada apa ya, Pak. Di depan sana?" tanyaku pada seorang tukang sapu jalanan."Oh, ada truk guling, Bu. Mungkin akan memakan waktu lama. Soalnya alat berat belum datang!" Aku mengangguk, kemudian kembali fokus pada jalanan yang mulai terasa panas walau suda
Aku langsung menuju di mana sosok berdiri. Wulan. Ia menatapku dengan pandangan penuh amarah."Kamu belum tidur, Sayang?" tanyaku.Dia menepis tanganku yang hendak menyentuh rambutnya. Kenapa?"Bunda apa-apaan? Pake jalan sama laki-laki lain! Bunda punya pacar?!" Aku tersentak kaget. Bagaimana bisa Wulan berkata demikian. Apa yang membuat dia menuduhku sedemikian rupa."Kamu ngomong apa, si Wulan?" Aku mencari penjelasan."Bunda jangan ngelak! Wulan sudah tahu semua dari ayah!" Nadanya ia naikkan.Kupastikan Mas Damar mengadu pada Wulan. Mencuci otak anak yang masih belum memiliki pikiran dewasa."Bunda cuma pergi sama anak temen Bunda. Dia anak kecil, baru sekolah paud. Ituloh, yang saat Bunda di rumah sakit. Anaknya pak dokter." Aku berusaha menjelaskan. Namun wajah kusut Wulan tak berubah."Iya, makanya Wulan tahu! Bunda dan Dokter tengil itu mulai pacaran kan?"Astaghfirullah. Aku menyebut, apa yang sudah di katakan Mas Damar pada Wulan?"Tidak, Wulan. Kita cuma sahabat. Maklum la
"Tari?" Apa aku tak salah lihat. Tari berada di Paud? Anak siapa? Jangan-jangan dia mau menculik?Ah! Kenapa aku jadi berfikir negatif. Kalau anak itu di culik pasti udan teriak.Aku ingin menyambanginya. Menanyakan bahwa aku sudah melaporkan dia pada polisi. Namun, aku tersadar saat akan membuka pintu."Tante!" Panggil Sifa. Aku tak mungkin meninggalkannya."Iya, Sayang." Aku urung keluar, Sifa terlihat juga menatap ke Tari."Sifa kenal anak itu?""Kenal, Tan. Dia namanya Ines.""Terus itu siapa?" tanyaku memastikan tentang Tari."Dia itu babycitternya. Galak banget!" ujar Sifa polos."Kok tahu kalau dia galak?" ucapku memancing."Iya, Ines sering kena marah-marah sama dia, dia itu kata Ines nenek lampir!"Aku tertawa mendengar penuturan Sifa. Bocah kecil sudah tahu maklampir. Setelah melihat Tari masuk sebuah mobil, akhirnya aku juga melajukan mobilku menuju pusat perbelanjaan. Ada beberapa kebutuhan yang memang ingin kubeli, sekaligus mengajak Sifa main di Playground. Menghabiskan