Share

Greget

Jarum jam menunjukan angka sepuluh lebih lima belas menit. Saat deru mobil milik Mas Damar terdengar. Tak berapa lama, klakson berbunyi.

Tentu! Karena tak ada lagi yang membukakan pintu gerbang seperti biasanya.

Segera aku turun dan langsung membuka gerbang. Tentu ini untuk yang terakhir kalinya. Besok tugas ini akan di lakukan oleh Tari.

Mobil masuk. Dengan angkuh Tari duduk di kursi depan. Aku menutup gerbang kemudian masuk kedalam. Tak ada lagi sambutan hangat untuk suamiku.

Ku menunggu di dalam, tak lama masing-masing menyeret satu koper. Koper Tari tentu yang lebih besar. Penampilan yang dulu masih di bilang standar, kini terlihat sudah hampir menyaingiku. Tentu itu yang membuat ia bangga.

"Dek!" Mas Damar memanggil.

"Iya, Mas." Aku menjawab dengan tersenyum. Mas Damar dan Tari masih berdiri di ruang tamu yang cukup luas.

"Mas-mas, mau jelaskan sesuatu. Ini semua tak seperti yang Adek pikirkan. Semua ...." ucapan Mas Damar tertahan.

"Sudahlah, Mas. Kalian capek kan? Istirahatlah. Kita bahas besok pagi!" Aku berjalan ingin menuju kamarku.

"Dek, aku tidur di mana?" tanya Mas Damar. Aneh, di rumah sendiri bingung mau tidur di mana. Pasti dia pikir aku akan memintanya tidur bersamaku. Dia pasti ketakutan kalau memilih tidur dengan Tari. Takut aku berbuat anarkis.

Bukan levelku.

Saat Tari menyeret kopernya menuju kamar tamu, tentu aku menghentikannya.

"Tari, kamarmu bukan disitu!" cegahku, "kamarmu ada di pojok sana! tepatnya kamar yang di tinggali Mbak Ani. Kamar kecil di sebelah dapur yang berisi single bed alias kasur kecil. Tanpa Ace, hanya kipas angin kecil. Bukan pelit, tapi itu dulu permintaan Mbak Ani yang tak suka kipas angin yang terlalu besar.

"Apa?!" Dia kaget, tentunya dia tahu kamar yang di maksud. Hampir satu bulan lamanya ia disini jadi tak mungkin tak paham soal itu.

Mas Damar menatapku, kuabaikan saja!

"Tau gini tadi kita nginep di hotel saja, Pah!" ucapan Tari membuat aku muak. Bahkan baru nikah saja sudah panggil Papah! Sedangkan aku hanya panggil Mas dan Adek.

Tak lagi aku dengarkan lagi kata-kata apa yang keluar dari mulut wanita itu. Aku bergegas naik keatas. Kudengar tak jauh, suara langkah Mas Damar. Itu artinya dia ada di belakangku.

"Dek, Tari ...."

Belum selesai Mas Damar mengucapkan kata-kata untuk mencari pembelaan Tari, aku memotongnya, "kenapa, Mas? Ngga terima silahkan ikut saja tidur di sana!"

Mas Damar tak dapat menjawab. Pasti ia tak ingin mau. Dari punya rumah ini saja, dia bisa di hitung berapa kali masuk kamar itu. Itu dalam waktu bertahun-tahun. Apalagi Mas Damar gampang berkeringat, tak mungkin mau tidur tanpa Ace.

"Bilangkan pada Tari, besok bikin sarapan buat anak-anak. Mbak Ani sedang pulang!" ujarku pada Mas Damar. Tentu dia pasti akan kembali kesana untuk memberi tahunya jika aku tetep kekeh dengan keputusanku.

Sebelum dia pindah kekamar tamu atau kamar yang biasa di tempati Ibu ku atau Ibu mertua di sini semuanya sudah aku kunci. Rumah ini memang besar. Punya 5 kamar dengan dua lantai. 2 kamar di bawah dan 3 kamar di atas. Tentunya 2 kamar lain yang di atas di huni masing-masing Aziz dan Wulan.

Setengah jam berlalu, aku yakin mereka tengah sibuk dengan berbagai ide. Bagaimana bisa tidur nyaman. Sudah tak kupedulikan lagi jika mereka tengah bercinta. Sudah kubuang jauh-jauh rasa cemburu ini. Bagiku sekarang, lebih baik memberi pelajaran dulu. Masalah hati, biar nanti saatnya aku obati.

~~~~

Pagi hari menjelang. Aku terbangun dan mendapati Mas Damar masih tertidur pulas. Pintu di ketuk oleh Wulan.

"Apa, Sayang?" tanyaku melongok di pintu.

"Ayah sudah pulang, Bun?" tanya Wulan.

"Sudah, itu!" Aku membuka lebar. Dengan cepat Wulan naik keatas tempat tidur dan menggangu Ayahnya yang masih terlelap.

Bocah berumur dua belas tahun itu, memang sangat dekat dengan ayahnya. Dia bagaikan amplop dan perangko kalau Ayahnya di rumah.

"Bangun, Ayah. Wulan kangen!" Dia masih terus mencubit kaki Ayahnya. Aku hanya melihat dengan senyum. Senyum yang sudah tak sama saat kemarin Wulan bersikap begitu.

"Apaaan si ini anak rese Ayah!" Mas Damar langsung membawa Wulan dalam pelukannya. Aku memilih turun untuk melihat apakah Tari sudah masak apa belum.

"Bagaimana, Tar? Apa masakan sudah siap!" tanyaku.

Dia masih dengan baju tidur, dengan rambut acak-acakan. Pasti dia baru bangun.

"Semalam aku ngga bisa tidur, Fat. Banyak nyamuk!"

Aku tersenyum penuh kemenangan.

"Jangan panggil aku dengan sebutan namanya saja di depan Anak-anak. Panggil aku Nona atau nyonya!" Sengaja aku membuat ia kesal. Dia membalikan mata.

"Oke! Oke ... Kalau dirasa itu terlalu memberatkan, panggil saja Mbak! Memang sudah sepantasnya bukan. Kakak madu di panggil mbak walau sepantaran?" Kali ini Tari bergeming. Pasti tandanya setuju.

Mas Damar sudah berdandan rapi, begitu juga dengan Wulan dan Aziz. Mereka siap sarapan. Serentak turun untuk mengikuti prosesi makan bersama.

Mereka semua duduk, Tari menyiapkan piring dan alat-alatnya kemeja makan. Wulan dan Aziz terlihat bengong.

"Kok bukan Mbak Ani, Bun?" tanya Wulan melihat siapa yang menyiapkan makanan.

Dulu aku yang selalu membawakan Tari makanan kekamarnya. Dia tak pernah sarapan bareng karena dia dirundung kesedihan.

"Iya, Nak. Mbak Ani dan Mang Udin sudah Bunda hentikan. Gantinya dia Mbak Tari, yang akan menghendle dan mengantikan semua pekerjaan Mbak Ani dan Mas Udin!"

Seketika Mas Damar tersedak dan Tari juga menjatuhkan gelas yang ia pegang. Puas rasanya melihat mereka kaget!

Setelah ini aku akan membuat perjanjian tertulis dengan mereka. Apa itu? Tunggu part selanjutnya

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status