Share

5. Arra Hilang Kesabaran

Penulis: Aksara Ocean
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-08 10:22:21

5. Arra Hilang Kesabaran

"Apa, sih? Kamu itu nggak usah kurang ajar deh sama suami!" Mas Arya menyahut cepat. "Pokoknya aku nggak mau dengar pembahasan tentang hal ini lagi! Kamu itu sebagai istri seharusnya bisa mendukung suami kamu, kamu seharusnya lebih banyak berdoa dan mengerjakan sesuatu yang bermanfaat di rumah ini. Bukannya malah menanyakan hal yang tidak diperlukan!" Mas Arya berujar lagi.

"Loh, nggak diperlukan bagaimana, Mas?" tanyaku sambil terkekeh kecil. "Tentu saja hal ini sangat diperlukan, benar-benar diperlukan. Malah aku itu menanyakan masalah uang yang kamu miliki. Memangnya nggak boleh seorang Istri bertanya kepada suami tentang uang miliknya?" tanyaku lagi.

"Ya, tapi kamu itu kan udah aku kasih uang, Ra, bukannya kekurangan," kata Mas Arya dengan cepat.

"Kita nggak kekurangan karena aku memakai uangku, Mas! Apa kamu kira uang kamu itu cukup untuk kita berempat? Enggaklah!" aku memetik kesal.

"Turunkan nada bicaramu, Arra! Tidak sepantasnya kamu berteriak di depan suamimu sendiri!" Mas Arya menatapku dengan pandangan nyalang.

Namun, aku sama sekali tidak menghiraukan kata-katanya barusan. Aku menatapnya dengan pandangan tajam, seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. Bagaimanapun juga aku benar-benar merasa kesal saat ini karena kata-kata Mas Arya barusan.

Apa dia kira kami bisa hidup hanya dengan uang yang dia berikan? Apakah dia tidak pernah berpikir Apakah uang itu cukup atau kah kurang?

Aku memakai uang pribadiku untuk menghidupi keluarga ini, aku memakai uang pribadiku untuk membelikan barang-barang milik Ibu dan juga bapaknya. Lalu pantaskah dia berbicara seperti tadi? 

"Aku katakan kepadamu sekali lagi ya, Mas, jika aku tidak menggunakan uangku, maka keluarga ini tidak akan bisa makan dengan kenyang!" Aku berujar dengan nada penuh penekanan.

"Ya, terus gunanya uang kamu itu apa? Ya, uang kamu itu gunanya untuk membantu aku agar keluarga kita ini berkecukupan," Mas Arya kemudian menyahut cepat. "Kamu itu udah aku izinkan untuk menjalankan usaha keluargamu, kamu itu juga aku izinkan untuk keluar rumah melihat kebun yang keluargamu punya, lalu apalagi yang kamu inginkan? Seharusnya kamu bersyukur. Banyak orang di luar sana yang tidak diizinkan oleh suaminya keluar dari rumah, maupun bekerja!" kata Mas Arya dengan sinis.

Ingin sekali rasanya aku tertawa terbahak-bahak sekarang ini, bagaimana bisa dia mengungkit tentang izinnya yang dia berikan kepadaku, ketika aku ingin melanjutkan usaha yang dimiliki oleh keluargaku?

Bagaimana bisa dia mengungkit izinnya yang dia berikan kepadaku, ketika aku ingin keluar rumah untuk melihat kebun yang ditinggalkan oleh keluargaku?

Apa dia tidak menyadari jika tidak dari usaha dan juga perkebunan itu, maka kami tidak akan hidup berkecukupan dan juga mewah sekarang ini?

Apa dia kira Ibu dan bapaknya akan hidup dengan nyaman, tidak mempunyai kesulitan, tidak pernah terlilit hutang, makan dengan mewah, makan dengan enak, jika hanya mengandalkan uang yang diberinya itu?

Bukannya aku tidak mensyukuri uang yang sudah Mas Arya berikan kepadaku, tetapi aku tidak suka saat dia mengatakan kalau aku mulai hitung-hitungan dengannya.

Jika dia memang mau kami berhitung, maka aku akan dengan sangat senang hati menghitung apa yang sudah aku berikan dan yang sudah aku terima dari dirinya.

"Kan, kamu kalau udah diungkit mengenai hal itu langsung terdiam, tidak bisa lagi menyahut apapun. Jadi kamu itu seharusnya tidak usah banyak mengeluh, Ra! Tidak usah banyak menuntut, banyak orang di luaran sana yang tidak diberi nafkah oleh suaminya, sedangkan kamu kamu masih hidup dengan nyaman, hidup dengan kemewahan dan kamu masih menuntut? Kamu benar-benar keterlaluan!" kata Mas Arya dengan gelengan kecil di kepalanya.

Jika orang-orang yang mendengar kata-kata masa Arya barusan, maka aku pastilah sudah dicap sebagai orang yang tidak tahu balas budi, orang yang sama sekali tidak bisa menghargai suaminya sedikitpun.

Padahal semuanya tidak seperti itu, karena aku tidak pernah menuntut apapun, bahkan pertengkaran ini terjadi hanya gara-gara Pakde Mul yang ingin meminjam uang.

Aku menghela nafas dengan panjang, menghirupnya dengan dalam dan mengeluarkannya dengan amat pelan, berusaha menetralisir rasa emosi yang masih menggelegak di hatiku.

Jika tidak ada yang mengalah di dalam pertengkaran ini, maka aku yakin tidak akan pernah ada jalan keluar dan juga penyelesaian yang akan didapat.

Jadi, lagi dan lagi aku berusaha untuk mengalah dan meredam egoku.

"Bukan begitu yang aku maksud, Mas. Aku sama sekali tidak pernah menuntut kamu," kataku sambil menatap wajahnya dengan pandangan sendu.

"Halah, kamu nggak usah bersikap seperti itu, Ra! Aku sangat tahu bagaimana kamu. Kamu pasti bersikap seperti ini, lemah lembut kepadaku karena kamu sudah merasa kalah, iya, kan?!" dia membentakku.

Kalah? Apakah dia tahu kalau saat ini aku sedang berusaha mengalah? Aku sedang berusaha menekan egoku agar pertengkaran ini tidak semakin melebar. 

Tapi bagaimana bisa dia menuduhku seperti itu dan malah mengejekku kalau aku saat ini sedang kalah, sehingga aku bersikap lemah lembut kepadanya?

"Kamu itu selalu seperti ini, memulai pertengkaran tapi setelah itu ketakutan sendiri," ujar Mas Arya lagi.

Kata-katanya barusan sontak saja kembali menyulut api amarahku, entah kenapa hari ini aku benar-benar merasa sangat kesal dan Mas Arya yang mencari gara-gara seperti ini merupakan pelampiasan yang sangat empuk bagiku.

Tespek yang aku gunakan tadi hanya bergaris satu, lanjut lagi dengan Ibu yang memintaku untuk mengikhlaskan Mas Arya untuk berpoligami, ditambah lagi dengan saat ini pertengkaran akibat Pakde Mul yang ingin meminjam uang.

Jika ada hari buruk di dunia ini, maka aku merasa kalau hari ini adalah hari terburuk bagiku. Rasa-rasanya kejadian-kejadian tidak mengenakkan ini secara bertubi-tubi langsung menimpaku.

"Jangan mulai, Mas! Aku berbicara seperti ini karena aku menghargai kamu. Aku tidak mau berdebat lagi," kataku sambil memalingkan wajah.

"Bukan karena tidak mau berdebat, tetapi karena kamu kalah. Makanya jadi istri itu yang legowo, menerima apapun yang suaminya berikan! Ini sudah diberikan uang dan juga kehidupan yang nyaman, kamu malah menuntut lebih. Malah menanyakan ke mana uang hasil bengkel yang lain!" mas Arya berujar ketus. "Dan satu lagi, Ra, kamu itu jangan hitung-hitungan sama aku, kebiasaan sama suami sendiri kamu itu hitung-hitungan!" kata Mas Arya lagi.

"Aku nggak pernah hitung-hitungan sama, Mas," kataku dengan marah. "Hitung-hitungan apa sih yang Mas maksud? Ini semua kan berasal dari Pakde Mul yang ingin meminjam uang dari kita. Sudah aku bilang, bagaimana aku ingin meminjamkan uang kepada dia, sedangkan pinjamannya yang dulu belum dikembalikan?" kataku dengan cepat.

"Ya, itu sama aja kamu hitung-hitungan sama aku! Kalau kamu hitung-hitungan sama saudaraku, maka itu artinya kamu juga tengah bersikap hal yang sama kepadaku, Ara!" kata Mas Arya dengan mata yang mendelik.

BRAK!

Suara memekakkan itu terdengar dari luar kamar dan aku serta Mas Arya langsung bergegas untuk membuka pintu. Saat pintu terbuka kami berdua langsung melotot kaget.

*******

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKU    37. Tamat

    MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 37 Tamat“Berulah apa sih, Mas. Jelas-jelas makanannya gak enak, makanan murahan.”“Gak enak tapi abis, Mbak,” ujar karyawan katering.“Betul tuh, habis dua piring bilangnya gak enak,” ujar tamu undangan yang lain.“Iya nih, buat gaduh aja. Baru nemu mkanan enak yah, Mbak, jadinya norak.”“Eh, jaga moncongmu!”“Halah, ibu-ibu miskin tukang bikin sensasi. Ayok, bubar-bubar!” “Mel, ayok pergi!”“Awas kalian!”Mas Arya kelihatan menahan malu sekaligus kesal, pipinya memerah. Dia langsung menarik Melati pulang. Aku kasihan melihatnya, sudah diberi banyak peringatan, tetap saja belum sadar. Semoga suatu saat nanti Melati mendapat hidayah, agar bisa menjadi istri dan ibu yang baik.“Mereka sudah pergi, kamu jangan cemas lagi, Sayang. Orang yang hatinya jahat, akan memakan kejahatannya sendiri.”Aku tersenyum sambil menggenggam tangan suami. Kerusuhan yang dibuat Melati tak bearti apa-apa, diibandingkan kebahagianku yang tak ternilai ini. Mulai saat ini,

  • MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKU   36. Akad Nikah

    MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 36 Akad Nikah"Jangan mulut Anda," bentak Mas Andra. Dia memang paling emosi kalau ada orang yang berbicara buruk kepadaku. Wajahnya langsung berubah menyeramkan."Melati, kamu pulang saja. Bikin rusuh.""Ih, emang kenyataan." Dengan wajah kesal karena dibentak dua pria sekaligus, Melati pergi sambil menutup sebagain wajahnya dengan selendang. "Andra, Ara, maafkan Melati.""Iya, tapi ajarin istri kamu, biar mulutnya tidak menyakiti orang terus.""Sudah, Mas, ayok kita pulang. Banyak yang harus diurus untuk pernikahan kita.""Sekali lagi maaf."Aku mengangguk, dan pamit pulang. Kasihan Mas Arya, kondisi sedang berduka, malah harus menanggung malu karena sikap istrinya yang tidak punya tata krama.“Jangan emosi, Sayang.” Aku genggam tangan Mas Andra saat kami di dalam mobil. Calon suamiku tersenyum sambil mencium tanganku.Hidup memang penuh misteri, dan kejutan indah. Dulunya aku yang selalu memperlakukan Mas Arya dan keluarga bak raja. Sementara ak

  • MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKU   35. Meninggal

    MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 35 MeninggalPov Ara"Ya, sudah, ayok, Mas."Aku merasakan firasat tak enak. Pantas saja kemarin-kemarin gelisah, mendadak teringat mantan ibu mertua. Sejahat apapun dia, aku harus memaafkannya. Allah saja maha pemaaf, maka tak pantas jika hambanya sombong dan tak mau memaafkan kesalahan sesama manusia. "Pakde, aku izin mau menengok Bu Lastri di rumah sakit." Sebelum berangkat aku izin dulu kepada orang rumah. "Jangan diizinin, Pak. Lagian ngapain sih, Ra, kamu ke sana. Ingat perbuatan buruk mereka dulu. Udah, kamu fokus sama kebahagian kamu saja. Anggap mereka gak ada di muak bumi," ujar Mbak Yuli emosi. Dia melirik sinis ke arah Mas Arya yang sedang menunggu di teras. "Aku cuman mau nengok Bu Lastri, Mbak. Itu permintaan dia, takutnya ...," ucapanku menggantung, tak tega membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi."Pergi, Nak," ujar Pakde Ahmad. Aku tersenyum senang, lalu mencium tangannya. Aku dan Mas Arya berangkat ke rumah sakit.

  • MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKU   34. Melati Kena Batunya

    MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 34 Melati Kena Batunya"Apa istri saya kecelakaan, Sus?""Betul, Pak. Silakan datang ke rumah sakit Medika.""Iya, Sus, saya segera ke sana."Astaga ada-ada saja, kenapa Melati bisa ada di kabupaten sebelah. Sebenarnya dia mau ke mana, sampai kecelakaan. Aku memberitahu kabar ini pada ibu, dan menitipkan anak-anak. Lalu, bersiap menggunakan motor menuju alamat rumah sakit. Perjalanan sekitar satu jam setengah. Akhirnya sampai juga, aku di arahkan masuk ke ruang rawat Delima. Di sana Melati sedang terbaring lemah dengan kondisi wajah dipenuhi perban. "Melati, sadar, Mel.""Ma-mas, akhirnya kamu datang. Wajahku perih, Mas.""Mangkanya jangan bertingkah, Mel. Kenapa segala kabur, rasakan akibatnya. Wajahmu rusak kaya gini."Melati terdiam sambil menangis. Lalu, ada seorang perempuan seumuranku masuk. Ternyata dia yang menabrak. Diceritakan kronologi kecelakaan, bahwa Melati lengah di jalanan, dan pelaku kaget, tapi untungnya menyenggol tubuh melati t

  • MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKU   33. Pangeran Untuk Ara

    MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 33 Pangeran Untuk Ara"Jadi, kita sepakati hari pernikahannya satu bulan lagi," ujar Pakde Ahmad."Setuju, Pak.""Alhamdulilah."Semua orang memancarkan aura kebahagian. Apalagi Kevandra, pasti dia merasa sangat beruntung mendapatkan Ara. Di lubuk hati ini terasa perih, bagai dikuliti hidup-hidup. Aku mematung menyaksikan kebahagian mantan istriku. Saat tersadar, aku melangkah untuk pergi. Berat sekali kaki ini melangkah. Tapi, aku harus sadar diri siapa diri ini. Hanya sampah masa lalunya Ara. Sampai kapan pun, tak bisa jadi pangeran Ara lagi. "Arya.""Mas Arya."Saat mau pergi, dua sejoli itu memanggilku. Aku lukiskan senyum terpaksa. Mereka melangkah mendekat. "Ngapain kamu di sini, Mas?" tanya Ara dengan raut jutek. "A-aku ... mampir saja, habis dari rumah Anwar.""Oh.""Masuk, Arya, kebetulan sedang ada acara lamaran. Kalau gak buru-buru bergabung sama kita.""Ka-kalian mau menikah?" tanyaku gugup, bercampur kaget."Iya, Mas. Insyallah satu

  • MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKU   32. Ibu Jadi Pembantu

    MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 32 Ibu Jadi Pembantu"Bagaimana istri saya, Bu bidan?""Tenang, Pak, saya sudah memberikan suntikan penenang. Istri bapak mengalami sindrom baby blues, nanti juga reda dengan sendirinya. Tolong jangan dibentak, atau disuruh kerja berat, harus dilayani dengan baik. Agar pikirannya tidak semakin kacau."Ada-ada saja, kondisi ekonomi sulit, dompet menjerit, istri malah membuatku seolah-olah terlilit. Ibu lumpuh, aku harus jualan, bagaimana caranya menjaga mereka sekaligus berjualan. Arrgh, cobaan makin tidak karuan. "Saya pamit dulu, yah, Pak.""Iya, Bu bidan.""Kami juga pamit, Arya," ujar ibu-ibu tetangga rumah. Melati tertidur tenang di atas kasur. Giliran aku yang harus berubah dari tulang punggung menjadi tulang rusuk. Aku memandikan Raka, dan menjaga putri kecilku. "Bu, mau ngapain?""Biar ibu yang masak, Arya.""Gak usah, Bu, memangnya bisa?""Bisa, Arya. Ibu bisa masak sambil duduk, tapi tolong kompornya simpan di meja lebih pendek.""Iya, B

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status