5. Arra Hilang Kesabaran
"Apa, sih? Kamu itu nggak usah kurang ajar deh sama suami!" Mas Arya menyahut cepat. "Pokoknya aku nggak mau dengar pembahasan tentang hal ini lagi! Kamu itu sebagai istri seharusnya bisa mendukung suami kamu, kamu seharusnya lebih banyak berdoa dan mengerjakan sesuatu yang bermanfaat di rumah ini. Bukannya malah menanyakan hal yang tidak diperlukan!" Mas Arya berujar lagi."Loh, nggak diperlukan bagaimana, Mas?" tanyaku sambil terkekeh kecil. "Tentu saja hal ini sangat diperlukan, benar-benar diperlukan. Malah aku itu menanyakan masalah uang yang kamu miliki. Memangnya nggak boleh seorang Istri bertanya kepada suami tentang uang miliknya?" tanyaku lagi."Ya, tapi kamu itu kan udah aku kasih uang, Ra, bukannya kekurangan," kata Mas Arya dengan cepat."Kita nggak kekurangan karena aku memakai uangku, Mas! Apa kamu kira uang kamu itu cukup untuk kita berempat? Enggaklah!" aku memetik kesal."Turunkan nada bicaramu, Arra! Tidak sepantasnya kamu berteriak di depan suamimu sendiri!" Mas Arya menatapku dengan pandangan nyalang.Namun, aku sama sekali tidak menghiraukan kata-katanya barusan. Aku menatapnya dengan pandangan tajam, seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. Bagaimanapun juga aku benar-benar merasa kesal saat ini karena kata-kata Mas Arya barusan.Apa dia kira kami bisa hidup hanya dengan uang yang dia berikan? Apakah dia tidak pernah berpikir Apakah uang itu cukup atau kah kurang?Aku memakai uang pribadiku untuk menghidupi keluarga ini, aku memakai uang pribadiku untuk membelikan barang-barang milik Ibu dan juga bapaknya. Lalu pantaskah dia berbicara seperti tadi? "Aku katakan kepadamu sekali lagi ya, Mas, jika aku tidak menggunakan uangku, maka keluarga ini tidak akan bisa makan dengan kenyang!" Aku berujar dengan nada penuh penekanan."Ya, terus gunanya uang kamu itu apa? Ya, uang kamu itu gunanya untuk membantu aku agar keluarga kita ini berkecukupan," Mas Arya kemudian menyahut cepat. "Kamu itu udah aku izinkan untuk menjalankan usaha keluargamu, kamu itu juga aku izinkan untuk keluar rumah melihat kebun yang keluargamu punya, lalu apalagi yang kamu inginkan? Seharusnya kamu bersyukur. Banyak orang di luar sana yang tidak diizinkan oleh suaminya keluar dari rumah, maupun bekerja!" kata Mas Arya dengan sinis.Ingin sekali rasanya aku tertawa terbahak-bahak sekarang ini, bagaimana bisa dia mengungkit tentang izinnya yang dia berikan kepadaku, ketika aku ingin melanjutkan usaha yang dimiliki oleh keluargaku?Bagaimana bisa dia mengungkit izinnya yang dia berikan kepadaku, ketika aku ingin keluar rumah untuk melihat kebun yang ditinggalkan oleh keluargaku?Apa dia tidak menyadari jika tidak dari usaha dan juga perkebunan itu, maka kami tidak akan hidup berkecukupan dan juga mewah sekarang ini?Apa dia kira Ibu dan bapaknya akan hidup dengan nyaman, tidak mempunyai kesulitan, tidak pernah terlilit hutang, makan dengan mewah, makan dengan enak, jika hanya mengandalkan uang yang diberinya itu?Bukannya aku tidak mensyukuri uang yang sudah Mas Arya berikan kepadaku, tetapi aku tidak suka saat dia mengatakan kalau aku mulai hitung-hitungan dengannya.Jika dia memang mau kami berhitung, maka aku akan dengan sangat senang hati menghitung apa yang sudah aku berikan dan yang sudah aku terima dari dirinya."Kan, kamu kalau udah diungkit mengenai hal itu langsung terdiam, tidak bisa lagi menyahut apapun. Jadi kamu itu seharusnya tidak usah banyak mengeluh, Ra! Tidak usah banyak menuntut, banyak orang di luaran sana yang tidak diberi nafkah oleh suaminya, sedangkan kamu kamu masih hidup dengan nyaman, hidup dengan kemewahan dan kamu masih menuntut? Kamu benar-benar keterlaluan!" kata Mas Arya dengan gelengan kecil di kepalanya.Jika orang-orang yang mendengar kata-kata masa Arya barusan, maka aku pastilah sudah dicap sebagai orang yang tidak tahu balas budi, orang yang sama sekali tidak bisa menghargai suaminya sedikitpun.Padahal semuanya tidak seperti itu, karena aku tidak pernah menuntut apapun, bahkan pertengkaran ini terjadi hanya gara-gara Pakde Mul yang ingin meminjam uang.Aku menghela nafas dengan panjang, menghirupnya dengan dalam dan mengeluarkannya dengan amat pelan, berusaha menetralisir rasa emosi yang masih menggelegak di hatiku.Jika tidak ada yang mengalah di dalam pertengkaran ini, maka aku yakin tidak akan pernah ada jalan keluar dan juga penyelesaian yang akan didapat.Jadi, lagi dan lagi aku berusaha untuk mengalah dan meredam egoku."Bukan begitu yang aku maksud, Mas. Aku sama sekali tidak pernah menuntut kamu," kataku sambil menatap wajahnya dengan pandangan sendu."Halah, kamu nggak usah bersikap seperti itu, Ra! Aku sangat tahu bagaimana kamu. Kamu pasti bersikap seperti ini, lemah lembut kepadaku karena kamu sudah merasa kalah, iya, kan?!" dia membentakku.Kalah? Apakah dia tahu kalau saat ini aku sedang berusaha mengalah? Aku sedang berusaha menekan egoku agar pertengkaran ini tidak semakin melebar. Tapi bagaimana bisa dia menuduhku seperti itu dan malah mengejekku kalau aku saat ini sedang kalah, sehingga aku bersikap lemah lembut kepadanya?"Kamu itu selalu seperti ini, memulai pertengkaran tapi setelah itu ketakutan sendiri," ujar Mas Arya lagi.Kata-katanya barusan sontak saja kembali menyulut api amarahku, entah kenapa hari ini aku benar-benar merasa sangat kesal dan Mas Arya yang mencari gara-gara seperti ini merupakan pelampiasan yang sangat empuk bagiku.Tespek yang aku gunakan tadi hanya bergaris satu, lanjut lagi dengan Ibu yang memintaku untuk mengikhlaskan Mas Arya untuk berpoligami, ditambah lagi dengan saat ini pertengkaran akibat Pakde Mul yang ingin meminjam uang.Jika ada hari buruk di dunia ini, maka aku merasa kalau hari ini adalah hari terburuk bagiku. Rasa-rasanya kejadian-kejadian tidak mengenakkan ini secara bertubi-tubi langsung menimpaku."Jangan mulai, Mas! Aku berbicara seperti ini karena aku menghargai kamu. Aku tidak mau berdebat lagi," kataku sambil memalingkan wajah."Bukan karena tidak mau berdebat, tetapi karena kamu kalah. Makanya jadi istri itu yang legowo, menerima apapun yang suaminya berikan! Ini sudah diberikan uang dan juga kehidupan yang nyaman, kamu malah menuntut lebih. Malah menanyakan ke mana uang hasil bengkel yang lain!" mas Arya berujar ketus. "Dan satu lagi, Ra, kamu itu jangan hitung-hitungan sama aku, kebiasaan sama suami sendiri kamu itu hitung-hitungan!" kata Mas Arya lagi."Aku nggak pernah hitung-hitungan sama, Mas," kataku dengan marah. "Hitung-hitungan apa sih yang Mas maksud? Ini semua kan berasal dari Pakde Mul yang ingin meminjam uang dari kita. Sudah aku bilang, bagaimana aku ingin meminjamkan uang kepada dia, sedangkan pinjamannya yang dulu belum dikembalikan?" kataku dengan cepat."Ya, itu sama aja kamu hitung-hitungan sama aku! Kalau kamu hitung-hitungan sama saudaraku, maka itu artinya kamu juga tengah bersikap hal yang sama kepadaku, Ara!" kata Mas Arya dengan mata yang mendelik.BRAK!Suara memekakkan itu terdengar dari luar kamar dan aku serta Mas Arya langsung bergegas untuk membuka pintu. Saat pintu terbuka kami berdua langsung melotot kaget.*******MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 6 Kedatangan Janda"Ibu?""Ibu tadi gak sengaja lewat, malah denger kalian ribut. Sudah toh, Arya. Kalau istrimu keberatan membantu Pakdemu, jangan dipaksa. Ibu gak mau rumah tangga kalian bersitegang karena saudara ibu jadi benalu. Ara, maafkan Arya, dan Pakdemu, yah.""Bukan gitu maksud Ara, Bu.""Tuh, ibuku tersinggung karena kamu. Jangan perhitungan, Ara, Bu maafkan istri Arya.""Jangan begitu, Arya. Ini bukan salah Ara. Ibu yang harusnya minta maaf sama Ara. Ra, maafkan saudara ibu, yah, ibu gak enak, selalu jadi beban."Ibu menampakkan raut sedih. Matanya berkaca-kaca, membuatku jadi tak enak hati. Niatnya ingin membuat Mas Arya tegas pada saudaranya, malah ibu yabg terluka karena sikapku. Rasanya sangat tidak tega, apalagi ibu sangat baik, aku sudah menganggapnya seperti ibu kandung sendiri. "Ya sudah, nanti Ara bantu Pakde.""Jangan, Ra, ibu gak mau kamu terbebani.""Enggak ko, Bu, demi ibu. Ibu jangan sedih, yah."Senyum merekah dari wajah
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 7 Mandul"Bu, ko, malah nangis, sih?""Ibu ngerasa serba salah, Nduk, ibu tahu kamu pasti marah kaya gini. Tapi, ibu juga gak tega. Mungkin karena ibu sangat menginginkan seorang cucu, saat melihat anak kecil terlunta-lunta, jadi gak tega. Ibu mohon yah, Nduk, izinkan Mela tinggal di sini. Biar dia jadi pembantu, bantu-bantu kamu di sini.""Tapi di rumah ini udah ada pembantu, Bu.""Ibu mohon, Nduk. Mela bilang, dia gak harus digaji, asal diberi tempat tinggal dan makan saja sudah cukup."Dilema, aku bingung harus mengambil keputusan seperti apa. Satu sisi tak mau janda itu tinggal di sini, takut dia menggoda suamiku, tapi aku tak tega dengan pada ibu mertua. Merasa bersalah, andai bisa memberi dia cucu, pasti tidak begini ceritanya. "Bu Lastri, Mbak Ara, saya pamit kembali ke desa saja, takutnya kedatangan saya malah menganggu kenyamanan Mbak Ara. Saya mohon maaf yah, Mbak. Raka, ayok, kita pulang, Nak."Melati menggandeng anaknya, sambil menenta
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKU8. Terpuruk"Coba di cek lagi, Dok. Dulu saya pernah hamil walaupun keguguran, terus setiap saya cek, katanya subur-subur saja.""Sepertinya saat proses pembersihan kurang baik, jadi meninggalkan sisa-sisa dan membuat ibu jadi susah hamil.""Tapi saya sering haid teratur, Dok.""Seperti yang saya bilang ibu ini kurang subur, bukan mandul. Jadi masih punya kemungkinan untuk hamil, tapi sangat kecil. Tolong tenang, yah, Bu, memang berat, tapi kalau ibu tahu hasilnya seperti ini, setidaknya ibu lebih lapang dada."Tanpa banyak kata lagi, aku langsung keluar dari ruang pemerikasaan. Merasa janggal dengan ucapan dokter. Walaupun, memang cukup masuk akal. Saat satu tahun pernikahan, aku pernah hamil, tapi keguguran. Saat itu dokter mendiagnosa kalau aku salah makan, padahal aku merasa sudah benar menjaga makanan. Sejak saat itu, sangat sulit untuk hamil."Sudahlah, jangan sedih, Ra. Mau punya anak atau tidak aku tetep suami kamu. Tenang saja, gak usah diambi
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 9 Ibu Mertua Dirawat "Kita ikutin saja kemauan ibumu, Mas.""Gila Kamu, Ra!""Ya sudah, coba Mas bilang ibumu biar tidak menekan aku terus, bisa stres aku kalau ditekan terus.""Loh, kenapa kamu malah nyalahin ibuku? lagian, gak usah didengerin, gampang. Kamu aja jadi perempuan terlalu baper, apa-apa bawa perasaan. Belajar cuek, beres, gak ribet kaya gini.""Ibu yang minta, bahkan ngusulin kamu nikah lagi. Bukan cuman sekali ngomongnya, tapi berkali-kali. Perempuan mana yang gak kepikiran?""Halah, salahkan diri kamu sendiri, malah menjadikan ibu kambing hitam. Maklumi dong, namanya orang tua, semakin tua emang banyak tingkahnya. Kamu harus bijak menanggapinya, gak usah dianggap serius.""Arrggh, terserah kamu, Mas!" sentakku kesal. Bukan mencari solusi, Mas Arya malah banyak bicara tanpa memberi jalan keluar. Aku putuskan pergi ke rumah sahabatku. Cape di sini terus, batin dan jiwa sedikit tertekan. Posisiku serba salah, aku butuh tempat mengadu.
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 10 Setuju Dipoligami"Arya, pikirkan matang-matang, ini demi kebaikan kita bersama.""Sudahlah, Bu. Jangan korbankan Ara demi ambisi ibu. Ada anak atau tidak, rumah tangga kami tetap bahagian.""Hiks, hiks, ibu memang egois, tapi ini demi kebaikan kamu juga, Arya. Anggap saja ini permintaan terkahir ibu. Mungkin, tak lama lagi ajal menjemput, hiks, hiks.""Bu, jangan ngomong kaya gitu."Mas Arya langsung diam seribu bahasa. Dia menjambak rambut frustasi. Lalu, duduk di rajang ibu. Matanya menatap serius ke arah ibunya. Tangan kanan mengusap pundak ibu, agar dia bisa berhenti menangis."Oke-oke, kalau itu bisa buat ibu bahagia, Arya setuju."Aneh, hatiku perih, dan rasanya teriris-iris. Padahal, aku yang menyetujuinya terlebih dulu. Tapi, mendengar ucapan pasrah dari suami, rasanya sakit hati juga. Aku pikir, Mas Arya akan mati-matian menolak. Mungkin, memang ini yang terbaik untukku. ***Setelah kami semua sepakat melakukan pernikahan kedua untuk M
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 11 Akad Nikah "Kalau pun dibatalkan, tetap saja Ara gak bakal hidup damai, terus dihantui rasa bersalah karena tak bisa memberi keturunan dan cucu. Ibu mertua sangat mendambakan kehadiran cucu kandung, Mbak.""Jangan lemah jadi perempuan, kita temui mertuamu.""Pakde, Ara paham Pakde sayang sama Ara, tapi semua ini sudah dipikirkan matang-matang. Tolong hargai keputusan Ara, Pakde.""Pikirkan lagi, Ra. Jangan hanya memikirkan kebahagian mertuamu, tapi kamu lupa dengan kebahagian diri sendiri.""Insyallah, ada hikmah indah di balik ini semua, Mbak.""Pergi dari sini.""Pakde ....""Cepat pergi!""Pak, jangan kasar gitu sama Ara.""Percuma saja kita membela anak ini, dia tidak peduli dengan dirinya sendiri. Adikku pasti kecewa di alam sana.""Hiks, hiks, Pakde ...." Kalau Pakde sudah bicara demikian, air mata langsung mengalir deras. Andai Pakde tahu, aku pun terluka. Tapi, dituntut punya keturunan dengan kondisi sulit hamil, sangat menyiksa. "Usir
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 12 Hamil "Huwek!""Huwek!""Kamu kenapa, Mel?""Gak tahu, Mbak. Nyium bau nasi goreng malah mual banget. Huwek ... huwek."Tak terasa empat bulan sudah berlalu. Selama ini, alhamdulilah aku merasa baik-baik saja. Mas Arya tampak lebih condong kepadaku, walaupun sikapnya tetap berusaha adil. Mulai dari jadwal tidur, sampai uang bulanan. Ya, meskipun uang bulanan yang diberikan Mas Arya hanya pas-pasan, kebutuhan rumah lebih banyak ditutupi oleh uangku. "Mel, jangan-jangan kamu hamil, Nduk.""Masa sih, Bu, ko, cepet banget.""Tentu bisa dong, Nduk. Mela ini peranakannya subur, sekali saja sudah pasti berbuah. Tunggu yah, Mel, ibu panggil Arya, kalian harus secepatnya ke rumah sakit.""Arya!"Mulai terasa, dua orang yang awalnya sangat menyayangiku, kasih sayangnya jadi terbagi. Mereka pergi ke rumah sakit tanpa mengajakku. Aku dibiarkan di sini menunggu Raka. "Yang, sabar, Mbak.""Gak papa, Mbok. Titip Raka yah, aku masih mau ngurusin kerjaan."Ak
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 13 Bukti"Dok, terima kasih, izin minta nomernya boleh? tahu saja saya ada keperluan untuk bertemu dokter lagi." Dokter mengangguk, kami bertukaran nomer telepon. Setelahnya, aku ingin kembali ke rumah, tapi saat ini bukan waktu yang tepat. Emosi terus menguasai hati. Percuma aku memaksa ibu dan Mas Arya untuk jujur, mereka pasti berkelit. Aku harus cari cara untuk mengorek kebenarannya."Innalilahi, berarti mertua atau suamimu sengaja membunuh bayi kalian?""Mungkin seperti itu, Mbak. Tapi, Ara mau mengumpulkan bukti lebih banyak lagi.""Bagus, Ra. Dari dulu aku emang curiga sama suamimu itu. Kamu cari bukti yang banyak. Tahu saja, suami dan mertuamu memang menyimpan banyak rahasia.""Mbak Yuli jangan cerita siapa-siapa, yah. Biarkan untuk saat ini semuanya berjalan seperti biasa. Ada waktunya aku bongkar semua bukti yang aku dapatkan.""Iya, Ra. Mbak dukung apapun yang mau kamu lakukan. Asal kamu hati-hati, dan jangan gegabah. Kalau butuh bantuan