4. Interogasi
“Maksud kamu apa, Mas?” Aku menjawab cepat.Mata Mas Arya lalu memicing tajam, dan menatapku dengan dalam. Sedangkan aku sendiri langsung membalas tatapannya dengan pandangan tak kalah tajam, jelas saja aku tidak terima dengan kata-katanya barusan.“Kok, kamu jadi nyalahin aku sih, Mas?” tanyaku lagi.Mas Arya langsung memalingkan wajahnya ke arah jendela kamar, kelihatannya dia sadar kalau kata-katanya barusan menyinggungku. Karena aku sama sekali tidak mau melunturkan wajah masamku sedikitpun, biar dia sadar kalau aku tidak menyukai apa yang baru saja dia bilang.“Aku juga nggak tahu kalau Pakde Mul mau meminjam uang, lagian … uang yang dia pinjam saja belum dikembalikan sampai hari ini, gimana aku mau minjemin lagi, coba?" Aku berujar marah."Kamu kok, hitung-hitungan banget sih sama aku sekarang, Ra?" Mas Arya malah menjawab kata-kataku dengan pertanyaan, yang terdengar amat menyebalkan di telingaku."Loh, aku nggak pernah hitung-hitungan sama Mas, kok!" Aku berujar cepat. "Coba Mas ngomong, kapan aku hitung-hitungan sama, Mas?" tanyaku lagi.Mas Arya menatapku sebentar, tapi kemudian dia langsung mengalihkan pandangannya lagi ke arah jendela. Sedangkan aku langsung menghela nafas dengan panjang, meredakan amarahku yang hampir memuncak.Niat hati ingin bermanja-manja dengan Mas Arya saat dia sudah selesai mandi, eh … ujung-ujungnya malah berdebat. Hanya karena masalah sepele, masalah yang bahkan aku tidak tahu.Selalu, selalu seperti ini. Kami selalu bertengkar hanya karena orang lain, karena keluarganya itu. Aku juga tidak masalah membantu, tapi jangan terus-terusan seperti ini.Hutang Pakde Mul yang dulu juga belum dibayar, terus aku harus memberinya hutang lagi? Ya jelas saja aku merasa keberatan!"Mas mau beli motor, aku belikan. Mas mau berhenti kerja di pabrik dan mau membuka bengkel, aku modali. Bahkan uang bengkel saja aku tak tahu rimbanya, Mas!" Aku berujar ketus, tak pernah aku menaikkan nada bicaraku pada Mas Arya sebelumnya.Tetapi, memang hari ini aku merasa luar biasa kesal. Aku hanya berharap, Allah mengampuni semua kesalahanku hari ini."Ra, kamu setiap bulan Mas kasih uang, loh!" Mas Arya menyahut kesal. "Kenapa ucapan kamu ini, seolah-olah menyudutkan aku?" tanya Mas Arya lagi."Yang Mas maksud ini, adalah uang yang Mas beri setiap bulan? Yang jumlahnya hanya satu juta setengah?" tanyaku dengan nada tak percaya. "Apa Mas kira uang segitu cukup untuk kita berempat hidup selama satu bulan? Apa Mas kira uang segitu cukup untuk mengisi perut kita semua hingga kenyang? Apa uang segitu Mas kira cukup, untuk membeli gas, token listrik, dan lain-lain?!" tanyaku dengan nada yang naik beberapa oktaf.Kesabaranku habis, lenyap tak bersisa. Bagaimanapun juga, ucapan Mas Arya barusan membuat kemarahanku memuncak. "Segitu juga uang, Ra!" jawab Mas Arya sambil memalingkan wajahnya.Aku mendengus, dan memalingkan wajah ke arah lemari. Wajah Mas Arya terlihat amat menyebalkan di mataku sekarang ini, padahal wajah tampan itulah yang selalu aku puja.Wajah itulah yang selalu membuat aku terkesima sebelumnya, namun entah kenapa saat ini wajah itu terlihat sangat memuakkan di mataku.“Memang begitu juga uang Mas, tetapi tetap saja itu tidak mencukupi uang belanja untuk kita berempat. Namun, pernahkah aku menuntut kepadamu? Pernahkah sku meminta lebih kepadamu? Pernahkah aku mempertanyakan ke mana sisa uangmu yang lain? Tidak, kan? Lalu kenapa Mas bilang kalau aku hitung-hitungan kepada Mas sekarang ini?" tanyaku bertubi-tubi. "Bengkel Mas selalu ramai, tidak pernah sepi, tetapi yang Mas berikan kepadaku hanya uang satu juta setengah setiap bulannya. Sebenarnya itu tidak masuk akal, tetapi aku selalu diam," lanjutku lagi.Mas Arya langsung terdiam, dia tidak menyahut lagi ucapanku. Tetapi terlihat jelas kalau wajahnya masih jengkel, sebenarnya apa yang dia jengkelkan sekarang ini? Aku pun tidak tahu salahku apa.Jika memang karena Pakde Mul yang ingin meminjam uang, lalu kenapa malah kami yang bertengkar? Ini semua akibat Mas Arya yang selalu bersikap sok kaya di depan keluarganya, sehingga semua keluarganya menjadikan kami sebagai tempat mengeluh.Entah itu Pakde Mul, maupun anak-anaknya, jika mereka mempunyai kesulitan selalu berbicara kepada kami dan memohon bantuan entah apapun itu.Jika dahulu aku selalu saja memberikan apa yang mereka inginkan, tetapi sekarang aku tidak akan mau lagi. Karena aku tahu yang mereka pinjam saja belum dikembalikan sampai sekarang ini."Kalau Mas mau meminjamkan uang kepada Pakde Mul, seharusnya Mas meminjamkan uang Mas sendiri, bukannya uangku!" kataku lagi."Aku mana punya uang, Ra. Kamu jangan mengejekku seperti itu, dong!" Mas Arya berujar dengan nada tidak suka."Loh, kenapa kamu bisa nggak punya uang, padahal kan bengkel kamu ramai?" kataku lagi. "Sekarang lebih bagus Mas jujur kepadaku, sebenarnya uang penghasilan dari bengkel itu ke mana Mas larikan? Karena aku sama sekali tidak tahu mengenai usaha yang Mas jalankan," kataku dengan mata yang memicing tajam."Kamu ini ngomong apa sih, Ra? uangnya untuk kamu semua, lah," kata Mas Arya lagi."Kalau begitu, bengkelmu tutup saja, Mas. Jika hanya dalam satu bulan dia cuma menghasilkan uang satu juta setengah, lalu untuk apa dibuka?!" Aku berujar tajam. "Lebih baik kamu di rumah saja dan kembali ke pabrik seperti dulu!" kataku lagi.Mas Arya langsung melotot ke arahku, dia sepertinya terkejut dengan kata-kataku barusan, karena seperti yang aku bilang tadi, selama kami menikah aku tidak pernah menyela kata-katanya maupun menaikkan nada suaraku di depannya.Tapi hari ini aku melakukan semuanya, tentu saja itu karena aku yang merasa geram dengan sifat Mas Arya yang terus-terusan ingin aku membantu keluarganya."Kalau kamu kerja di pabrik kan jelas Mas uang gajinya per bulan, dan aku juga bisa menikmati uang gaji itu karena sudah jelas ditransfer langsung ke dalam rekening kita," kataku lagi. "Sedangkan di bengkel ini, kamu sama sekali tidak menghasilkan uang sedikitpun, untuk apa kamu bekerja di sana jika memang tidak mempunyai penghasilan?" kataku lagi."Sumpah ya, Mas benar-benar nggak ngerti sama jalan pikiran kamu, Ra! Bagaimanapun juga kamu itu nggak pantas mempertanyakan ke mana uang yang sudah aku hasilkan!" kata Mas Arya dengan nada ketus."Nah, kalau begitu aku semakin yakin sekarang ini, kalau sebenarnya uang yang Mas hasilkan lebih daripada itu. Tetapi kenapa ya, Mas hanya memberikan uang satu juta lima ratus kepadaku, padahal uang Mas jauh lebih banyak daripada itu?" sahutku dengan cepat."Kamu ini ngomong apa sih, Ra?" tanya Mas Arya dengan nada suara yang tergagap."Udah deh, seharusnya Mas jujur aja sekarang ini. Sebenarnya ke mana uang bengkel yang selama ini Mas kelola?" tanyaku dengan mata yang memicing tajam.*******5. Arra Hilang Kesabaran"Apa, sih? Kamu itu nggak usah kurang ajar deh sama suami!" Mas Arya menyahut cepat. "Pokoknya aku nggak mau dengar pembahasan tentang hal ini lagi! Kamu itu sebagai istri seharusnya bisa mendukung suami kamu, kamu seharusnya lebih banyak berdoa dan mengerjakan sesuatu yang bermanfaat di rumah ini. Bukannya malah menanyakan hal yang tidak diperlukan!" Mas Arya berujar lagi."Loh, nggak diperlukan bagaimana, Mas?" tanyaku sambil terkekeh kecil. "Tentu saja hal ini sangat diperlukan, benar-benar diperlukan. Malah aku itu menanyakan masalah uang yang kamu miliki. Memangnya nggak boleh seorang Istri bertanya kepada suami tentang uang miliknya?" tanyaku lagi."Ya, tapi kamu itu kan udah aku kasih uang, Ra, bukannya kekurangan," kata Mas Arya dengan cepat."Kita nggak kekurangan karena aku memakai uangku, Mas! Apa kamu kira uang kamu itu cukup untuk kita berempat? Enggaklah!" aku memetik kesal."Turunkan nada bicaramu, Arra! Tidak sepantasnya kamu berteriak di depan
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 6 Kedatangan Janda"Ibu?""Ibu tadi gak sengaja lewat, malah denger kalian ribut. Sudah toh, Arya. Kalau istrimu keberatan membantu Pakdemu, jangan dipaksa. Ibu gak mau rumah tangga kalian bersitegang karena saudara ibu jadi benalu. Ara, maafkan Arya, dan Pakdemu, yah.""Bukan gitu maksud Ara, Bu.""Tuh, ibuku tersinggung karena kamu. Jangan perhitungan, Ara, Bu maafkan istri Arya.""Jangan begitu, Arya. Ini bukan salah Ara. Ibu yang harusnya minta maaf sama Ara. Ra, maafkan saudara ibu, yah, ibu gak enak, selalu jadi beban."Ibu menampakkan raut sedih. Matanya berkaca-kaca, membuatku jadi tak enak hati. Niatnya ingin membuat Mas Arya tegas pada saudaranya, malah ibu yabg terluka karena sikapku. Rasanya sangat tidak tega, apalagi ibu sangat baik, aku sudah menganggapnya seperti ibu kandung sendiri. "Ya sudah, nanti Ara bantu Pakde.""Jangan, Ra, ibu gak mau kamu terbebani.""Enggak ko, Bu, demi ibu. Ibu jangan sedih, yah."Senyum merekah dari wajah
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 7 Mandul"Bu, ko, malah nangis, sih?""Ibu ngerasa serba salah, Nduk, ibu tahu kamu pasti marah kaya gini. Tapi, ibu juga gak tega. Mungkin karena ibu sangat menginginkan seorang cucu, saat melihat anak kecil terlunta-lunta, jadi gak tega. Ibu mohon yah, Nduk, izinkan Mela tinggal di sini. Biar dia jadi pembantu, bantu-bantu kamu di sini.""Tapi di rumah ini udah ada pembantu, Bu.""Ibu mohon, Nduk. Mela bilang, dia gak harus digaji, asal diberi tempat tinggal dan makan saja sudah cukup."Dilema, aku bingung harus mengambil keputusan seperti apa. Satu sisi tak mau janda itu tinggal di sini, takut dia menggoda suamiku, tapi aku tak tega dengan pada ibu mertua. Merasa bersalah, andai bisa memberi dia cucu, pasti tidak begini ceritanya. "Bu Lastri, Mbak Ara, saya pamit kembali ke desa saja, takutnya kedatangan saya malah menganggu kenyamanan Mbak Ara. Saya mohon maaf yah, Mbak. Raka, ayok, kita pulang, Nak."Melati menggandeng anaknya, sambil menenta
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKU8. Terpuruk"Coba di cek lagi, Dok. Dulu saya pernah hamil walaupun keguguran, terus setiap saya cek, katanya subur-subur saja.""Sepertinya saat proses pembersihan kurang baik, jadi meninggalkan sisa-sisa dan membuat ibu jadi susah hamil.""Tapi saya sering haid teratur, Dok.""Seperti yang saya bilang ibu ini kurang subur, bukan mandul. Jadi masih punya kemungkinan untuk hamil, tapi sangat kecil. Tolong tenang, yah, Bu, memang berat, tapi kalau ibu tahu hasilnya seperti ini, setidaknya ibu lebih lapang dada."Tanpa banyak kata lagi, aku langsung keluar dari ruang pemerikasaan. Merasa janggal dengan ucapan dokter. Walaupun, memang cukup masuk akal. Saat satu tahun pernikahan, aku pernah hamil, tapi keguguran. Saat itu dokter mendiagnosa kalau aku salah makan, padahal aku merasa sudah benar menjaga makanan. Sejak saat itu, sangat sulit untuk hamil."Sudahlah, jangan sedih, Ra. Mau punya anak atau tidak aku tetep suami kamu. Tenang saja, gak usah diambi
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 9 Ibu Mertua Dirawat "Kita ikutin saja kemauan ibumu, Mas.""Gila Kamu, Ra!""Ya sudah, coba Mas bilang ibumu biar tidak menekan aku terus, bisa stres aku kalau ditekan terus.""Loh, kenapa kamu malah nyalahin ibuku? lagian, gak usah didengerin, gampang. Kamu aja jadi perempuan terlalu baper, apa-apa bawa perasaan. Belajar cuek, beres, gak ribet kaya gini.""Ibu yang minta, bahkan ngusulin kamu nikah lagi. Bukan cuman sekali ngomongnya, tapi berkali-kali. Perempuan mana yang gak kepikiran?""Halah, salahkan diri kamu sendiri, malah menjadikan ibu kambing hitam. Maklumi dong, namanya orang tua, semakin tua emang banyak tingkahnya. Kamu harus bijak menanggapinya, gak usah dianggap serius.""Arrggh, terserah kamu, Mas!" sentakku kesal. Bukan mencari solusi, Mas Arya malah banyak bicara tanpa memberi jalan keluar. Aku putuskan pergi ke rumah sahabatku. Cape di sini terus, batin dan jiwa sedikit tertekan. Posisiku serba salah, aku butuh tempat mengadu.
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 10 Setuju Dipoligami"Arya, pikirkan matang-matang, ini demi kebaikan kita bersama.""Sudahlah, Bu. Jangan korbankan Ara demi ambisi ibu. Ada anak atau tidak, rumah tangga kami tetap bahagian.""Hiks, hiks, ibu memang egois, tapi ini demi kebaikan kamu juga, Arya. Anggap saja ini permintaan terkahir ibu. Mungkin, tak lama lagi ajal menjemput, hiks, hiks.""Bu, jangan ngomong kaya gitu."Mas Arya langsung diam seribu bahasa. Dia menjambak rambut frustasi. Lalu, duduk di rajang ibu. Matanya menatap serius ke arah ibunya. Tangan kanan mengusap pundak ibu, agar dia bisa berhenti menangis."Oke-oke, kalau itu bisa buat ibu bahagia, Arya setuju."Aneh, hatiku perih, dan rasanya teriris-iris. Padahal, aku yang menyetujuinya terlebih dulu. Tapi, mendengar ucapan pasrah dari suami, rasanya sakit hati juga. Aku pikir, Mas Arya akan mati-matian menolak. Mungkin, memang ini yang terbaik untukku. ***Setelah kami semua sepakat melakukan pernikahan kedua untuk M
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 11 Akad Nikah "Kalau pun dibatalkan, tetap saja Ara gak bakal hidup damai, terus dihantui rasa bersalah karena tak bisa memberi keturunan dan cucu. Ibu mertua sangat mendambakan kehadiran cucu kandung, Mbak.""Jangan lemah jadi perempuan, kita temui mertuamu.""Pakde, Ara paham Pakde sayang sama Ara, tapi semua ini sudah dipikirkan matang-matang. Tolong hargai keputusan Ara, Pakde.""Pikirkan lagi, Ra. Jangan hanya memikirkan kebahagian mertuamu, tapi kamu lupa dengan kebahagian diri sendiri.""Insyallah, ada hikmah indah di balik ini semua, Mbak.""Pergi dari sini.""Pakde ....""Cepat pergi!""Pak, jangan kasar gitu sama Ara.""Percuma saja kita membela anak ini, dia tidak peduli dengan dirinya sendiri. Adikku pasti kecewa di alam sana.""Hiks, hiks, Pakde ...." Kalau Pakde sudah bicara demikian, air mata langsung mengalir deras. Andai Pakde tahu, aku pun terluka. Tapi, dituntut punya keturunan dengan kondisi sulit hamil, sangat menyiksa. "Usir
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 12 Hamil "Huwek!""Huwek!""Kamu kenapa, Mel?""Gak tahu, Mbak. Nyium bau nasi goreng malah mual banget. Huwek ... huwek."Tak terasa empat bulan sudah berlalu. Selama ini, alhamdulilah aku merasa baik-baik saja. Mas Arya tampak lebih condong kepadaku, walaupun sikapnya tetap berusaha adil. Mulai dari jadwal tidur, sampai uang bulanan. Ya, meskipun uang bulanan yang diberikan Mas Arya hanya pas-pasan, kebutuhan rumah lebih banyak ditutupi oleh uangku. "Mel, jangan-jangan kamu hamil, Nduk.""Masa sih, Bu, ko, cepet banget.""Tentu bisa dong, Nduk. Mela ini peranakannya subur, sekali saja sudah pasti berbuah. Tunggu yah, Mel, ibu panggil Arya, kalian harus secepatnya ke rumah sakit.""Arya!"Mulai terasa, dua orang yang awalnya sangat menyayangiku, kasih sayangnya jadi terbagi. Mereka pergi ke rumah sakit tanpa mengajakku. Aku dibiarkan di sini menunggu Raka. "Yang, sabar, Mbak.""Gak papa, Mbok. Titip Raka yah, aku masih mau ngurusin kerjaan."Ak