Share

MADUKU TERNYATA KEMBARANKU
MADUKU TERNYATA KEMBARANKU
Penulis: ZULIAPENACINTA

PERTENGKARAN

Tiada hari tanpa pertengkaran. Itulah yang terjadi kepada pasangan muda yang telah menikah hampir dua tahun ini.

Yoga tidak memberikan hak yang seharusnya diterima oleh Diana--istrinya, sehingga perempuan itu merasa tidak dihargai sebagai seorang istri.

Tidak hanya itu.

Diana harus melakukan begitu banyak pekerjaan di rumah suaminya seorang diri. Padahal, penghuninya tidak hanya dirinya. Namun, dialah yang bertanggung jawab penuh. Menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga yang tiada habisnya. Belum lagi, ibu mertua dan adik ipar perempuannya, selalu minta dimasakkan setiap saat, tanpa melihat kondisinya yang telah kelelahan--seperti saat ini.

"Lama sekali! Apa kamu tidak bisa lihat, kami sudah kelaparan dari tadi?" teriak bu Rossa marah.

Suaranya menggelegar dari arah dapur, sangat memekikkan telinga. Wanita yang sibuk menatap makanan di meja, terkesiap mendengar teriakan ibu mertuanya.

"Maafkan Diana. Diana sudah berusaha memasak semuanya dengan cepat," ucap Diana pelan sambil menundukkan pandangan.

"Halah, tidak usah mengelak! Kamu pasti sengaja membiarkan kami kelaparan, biar kami cepat mati dan kamu bisa menguasai rumah ini sepenuhnya. Iya ‘kan? Ayo mengaku!" seru Divia lantang.

Mendengar cacian, serta diperlakukan dengan sangat buruk oleh keluarga suaminya, tentu membuat nyalinya semakin ciut. Di satu sisi dia mencintai sang suami, yang nyatanya tidak peduli terhadapnya. Di sisi lain bentakan serta cacian yang terlontar dari mulut mertua dan adik iparnya, membuat perasaannya kian bertambah sakit. Namun, sekalipun dicaci dan dibentak dengan kata-kata yang menyakitkan, Diana tidak pernah melawan. Bahkan dia tidak punya keberanian sama sekali untuk membantah. Menatap saja dia tidak berani.

"Ada apa ini? Pagi-pagi sudah ribut saja.”

Pak Hans, sang ayah mertua, sampai datang dari biliknya. Dia berbicara dengan suara yang ditinggikan.

"Itu loh, Diana, diminta mama masak, lambat sekali. Padahal kami sudah kelaparan," adu Divia dengan pongahnya pada sang ayah.

Namun, Pak Hans justru menggelengkan kepala jengah. "Sejak kapan kamu memanggil Diana dengan sebutan nama? Dia istri kakakmu, panggil kakak! Dan satu lagi, jangan suruh-suruh Diana! Dia bukan pembantu di rumah ini!" sahutnya tegas.

Pria itu menoleh ke menantunya yang masih saja menunduk. "Diana makanlah! Setelah itu mandi dan beristirahatlah! Kamu terlihat lelah," tuturnya lembut.

Bu Rossa mengentak-entakkan kakinya karena kesal. "Mama jadi tidak selera makan, bau sekali badanmu! Ayo Divia kita makan di restoran saja!" serunya sambil beranjak meninggalkan meja makan.

Diana terdiam. Dia merasa tak enak hati pada ayah mertua yang selalu membelanya ini. "Diana mohon sama Ayah untuk tidak membela di depan ibu ataupun Divia. Bukannya Diana tak menghargai, tapi Diana merasa tidak enak," ujar perempuan itu lirih.

Di sisi lain, Pak Hans menghembuskan napas berat. Dia mengerti maksud dari menantunya itu, tetapi Pak Hans tidak nyaman melihat perlakuan tidak adil dari istri dan anaknya sendiri. "Maaf Diana, Ayah tidak akan membiarkan kamu diperintah seenaknya di rumah ini. Kamu bukan pembantu. Asisten di rumah ini ada delapan orang. Semua perkerjaan dipegang kendali oleh mereka."

"Diana tidak apa-apa Ayah. Justru Diana sangat senang memasak untuk ibu dan Divia," balasnya diakhiri senyum tipis, walau hatinya tengah terluka.

"Sudah, kamu makan dulu! Ayah mau pergi sebentar. Jangan pikirkan lagi ibu dan Divia!" ucap Pak Hans, seraya berlalu meninggalkan meja makan.

Diana mengamati punggung Ayah mertuanya yang semakin menjauh. ‘Aku beruntung memiliki ayah yang sangat baik padaku. Jika tidak, tentu saja aku tidak akan sanggup menjalani ini semua,’ gumamnya dalam hati.

Tak lama, Diana menangkap sosok suami yang keluar dari kamar. Meski mendengar pertengkaran, pria itu tidak akan menghiburnya.

Dua kali awalnya terasa perih, tetapi kini sudah sering, hingga ia mati rasa. Yoga bahkan tanpa malu langsung meminta Diana melayaninya.

Namun, anehnya pria itu terus saja berjalan melewatinya begitu saja.

Diana jelas tampak bingung.

"Mau ke mana mas? Ayo sarapan dulu! Aku sudah masak," serunya pada sang suami.

"Aku makan di luar, kamu makan saja masakanmu. Aku tidak menyukai masakan kamu," ketus Yoga dengan angkuhnya.

Deg!

Wanita itu menunduk sedih. "Tapi mas, aku sudah memasak masakan kesukaan ka--"

"Sudah, jangan memaksaku! Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah memakan masakanmu, walaupun itu makanan kesukaanku. Hanya masakan dari ibu yang akan aku makan," seru Yoga dengan sinis.

Diana hanya diam. Dia tak lagi mendebat suaminya yang angkuh itu. Namun, perempuan itu mengepalkan tangannya---menahan emosi.

"Sampai kapan aku harus menahan ini?" lirih Diana pada diri sendiri.

*****

"Sayang! Maaf ya, mas telat?" ucap Yoga dengan lembut kepada seorang wanita yang telah menunggunya untuk makan.

Wajahnya tampak bahagia--berbanding jauh saat melihat istrinya sendiri.

"Tidak apa-apa, Mas. Ayo kita makan! Aku masak menu spesial buat kamu," sahut Rista seraya mengambilkan piring untuk Yoga.

Yoga lantas duduk di kursi dengan nyaman. Bibirnya menyunggingkan senyum manis. "Kamu pintar sekali sayang! Masakan kamu selalu enak," tutur Yoga memuji.

Perempuan itu hanya tersenyum.

‘Siapa juga yang masak? Itu tadi aku beli di warung,’ gumam Rista dalam hati dan tentunya tidak akan memberitahukan itu ke Yoga.

"Tentu saja, Mas. Sebentar lagi kita menikah. Aku harus belajar masak untuk kamu," celetuk Rista sambil menyunggingkan senyum di bibirnya yang ranum itu.

"Benar-benar calon istri yang baik. Terima kasih sayang," ucap Yoga sambil terus menyendokkan nasi ke mulutnya.

Selesai makan, Yoga tidak langsung pulang.

Dia terus saja menikmati waktu bersama kekasih gelapnya itu. Tentu, saja kekasih gelap. Dia sudah memiliki istri, tetapi masih berhubungan dengan wanita lain. Tentu saja Diana tidak mengetahuinya.

Sementara Yoga menikmati waktu bersama Rista, Diana hanya duduk terpaku di dalam kamar, yang diperuntukkan untuk pembantu.

Selama ini, dia tidak lagi tidur di kamar suaminya. Dia pernah memprotes, tetapi justru diancam akan diceraikan.

Meski Diana yakin keluarganya akan menerima dirinya, tetapi dia tak enak membuat keluarganya jadi perbincangan tetangga.

Wanita itu menghembuskan napas berat. Kini, rasa lelah sudah menguasai dirinya. "Dulu, kamu memintaku pada ayah dengan sangat hormat, tetapi mengapa kamu memperlakukan aku sedemikian hina? Jika tidak lagi mencintaiku, kamu bisa ceraikan aku.”

Mengusap air mata, perempuan itu terdiam. Dia lelah bersandiwara dan selalu mengatakan dirinya bahagia ketika ayahnya menelepon. Padahal kenyataannya, Diana sangat menderita di sini.

Berulang kali, Diana diperlakukan dengan hina oleh suami, maupun keluarga besar suaminya. Namun, dia tetap bertahan--berharap mereka berubah.

"Diana! Diana! Di mana kamu?" teriak bu Rossa mendadak dengan sangat nyaring.

Diana lantas menyembul dari balik pintu kamar. Raut wajahnya terlihat ketakutan. Dia sudah menebak apa yang terjadi nanti.

Benar saja, Bu Rossa tampak berkacak pinggang dengan mata menyorot tajam. "Dasar pemalas! Siang-siang begini, malah santai-santai di kamar. Sial aku punya menantu macam kamu!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status