Share

RASA YANG HILANG

Diana segera keluar dari balik pintu--menahan gemetar di tubuhnya.

"Semua pekerjaan sudah Diana selesaikan. Diana hanya istirahat siang sebentar Ibu," cicit Diana dengan suara bergetar.

"Ck!" Bu Rosa berdecak malas. "Sana! Buatkan kami makan siang yang enak. Awas kalau tidak!"

Wanita itu memerintahnya dengan suara lantang.

Diana terdiam. "Tapi, masakan tadi pagi masih banyak, Bu. Nanti mubazir.”

"Heh! Banyak alasan kamu! Berani kamu membantah saya, Diana? Sadar diri! Kamu hanya menumpang di rumah ini. Lihat! Bahkan suamimu sudah tidak peduli lagi sama kamu. Dia bisa menceraikanmu kapan saja yang dia mau. Jangan banyak bicara lagi! Cepat masak! Saya dan Divia sudah lapar," ketus wanita itu seraya berlalu meninggalkan Diana.

Mata Diana mulai memerah. Air matanya bisa luruh kapan saja. Sampai kapan dia seperti ini terus? Dia lelah.

****

Seharian Diana melayani ibu mertua dan adik iparnya.

Ada saja yang dipinta mereka dari perempuan itu.

Lama, Diana menunggu Yoga kembali--setidaknya dia punya alasan untuk tidak bersama dengan kedua wanita itu. Namun, suaminya itu tak kunjung datang.

Barulah ketika pukul 23:00, pria itu tampak memasuki rumah.

Diana menghembuskan napas berat. "Dari mana saja, Mas? Sudah larut malam baru pulang," celetuk Diana dengan sedikit penekanan.

Mata Yoga sontak melotot tajam ke arah istrinya. "Apa hak kamu mengintimidasi aku seperti itu?" ketus Yoga emosi.

Diana terdiam sembari mengamati suaminya. Dia mengernyitkan dahi samar melihat sesuatu di leher sang suami.

Ada tanda merah di leher Yoga.

"Ada apa dengan leher kamu, Mas? Apa itu tanda kecupan dari seorang wanita?" tanya Diana sambil memicingkan mata.

"Kalau iya, kenapa? Kamu mau marah? Marah saja! Aku tidak akan peduli. Dasar istri tidak tahu diri!" semprot Yoga seraya menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa.

Wanita itu menatap suaminya sendu. Dia sangat kecewa. Bagaimana bisa suaminya melakukan ini di saat masih memilikinya sebagai seorang istri?

"Tega kamu, Mas! Aku ini istrimu! Dulu kamu memintaku penuh hormat, setelah menjadi suami, kamu perlakukan aku semaumu," lirih Diana sambil terisak.

Pria itu memutar bola mata jengah. "Bukan salahku, kamu sendiri yang tidak pernah berhias dan berusaha menyenangkanku. Wajar bukan aku mencari kepuasan di luar?" ucapnya acuh dengan entengnya tanpa merasa bersalah sedikit pun.

"Bagaimana aku mau cantik? Kamu memberiku uang saja tidak pernah," protes Diana.

"Halah alasan! Bilang saja kamu mau menguasai uangku? Makanya kerja! Biar tahu rasanya cari uang seperti apa. Jangan tahunya hanya minta saja. Kamu pikir enak cari uang?" seru Yoga dengan suara yang ditinggikan.

"Baiklah jika itu maumu, aku akan kerja. Aku capek diremehkan seperti ini," putus Diana seraya mengusap air matanya yang sedari tadi membasahi pipi dengan kasar.

Dia tidak pernah menyangka, suaminya akan memperlakukannya seburuk ini. Jika tahu, dulu pasti dia tidak akan mau menikah dengan lelaki tidak bertanggung jawab itu.

Dengan buliran air mata yang terus saja membasahi pipi. Diana menangis sesenggukan, sembari membenamkan wajah di bantal kesayangannya yang telah menemaninya selama ini. Bantal itu sekaligus menjadi saksi air matanya yang selalu saja menetes dengan deras dan mengering dengan sendirinya di bantal karakter itu.

Suaminya hanya bisa membuatnya menangis, tanpa pernah meminta maaf dan mengusap air mata istrinya. Dia tidak pernah menyangka, laki-laki yang sudah mendampinginya dua tahun terakhir ini, tega melakukan ini semua.

*******

"Diana! Enak sekali kamu! Jam berapa ini? Cepat bangun! Buatkan aku minuman!" bentak Yoga seraya menyeret tubuh istrinya yang baru saja terbangun.

Rupanya wanita itu tertidur pulas, setelah puas menangis.

Tak lama, wanita itu terbangun dan menatap suaminya. "Minta saja sama selingkuhanmu itu, Mas," sindir Diana.

"Sudah berani melawan sekarang? Dasar istri tidak berguna!" rutuk Yoga kesal.

"Bukan begitu, Mas. Aku tidak menerima sepeser pun uang kamu, jadi jangan harap bisa memerintahku sesukamu. Aku bukan pembantumu!" tekan Diana dengan tatapan nyalang.

Dia muak dengan kelakuan suaminya.

"Secepatnya aku akan menikahi perempuan baru, biar kamu tahu rasa!" teriaknya murka.

Deg!

Hati Diana berdenyut nyeri. Tapi, dia tidak menunjukkannya. Perempuan itu justru menatap Yoga tajam. "Silakan saja! Sekarang kalau perlu," balas Diana menantang.

Perempuan itu lalu merebahkan tubuhnya kembali untuk beristirahat.

Tanpa sadar, Yoga melihat tubuh indah Diana. Pria itu tiba-tiba berniat ingin menyentuh istrinya itu.

Namun, dia sangat marah saat ini. Hanya saja, Yoga memang tidak ada malunya. Degan sigap, dia menindih tubuh istrinya penuh nafsu.

Mata Diana membulat.

"Hentikan, Mas!” seru Diana.

Namun, Yoga malah semakin beringas di atas wanita itu.

Ketika permainan selesai, Diana gegas berbaring memunggungi suaminya.

Perasaannya bercampur aduk saat ini. Kecewa, marah, benci, tak ada lagi cinta seperti dulu.

Rasa cinta itu luntur seiring berjalannya waktu. Dampak dari sikap Yoga yang semakin hari semakin menyebalkan dan seenaknya tanpa tahu perasaannya.

"Tak cukup kamu jadikan aku pembantu. Sekarang, kamu memperlakukanku seperti wanita jalang, Mas," batin Diana perih. "Sudah cukup. Akan aku buktikan sama kalian, aku bukanlah Diana yang selalu bisa kalian remehkan. Sudah cukup kalian memperlakukan aku sedemikian hina."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status