Dini hari. Udara sejuk Kota Raja Majapahit menyelinap melalui celah jendela Kediaman Mahapatih. Cahaya temaram awal hari menyentuh lantai batu dingin, membiaskan siluet Raja Arya Wuruk yang sedang menyambar jubah luarnya. Ia bergerak tanpa suara, keahlian seorang pemimpin yang terbiasa menyelinap kembali ke bangsalnya sebelum para Rakryan sadar ia tidak tidur di sana.Di ranjang besar itu, Alesha bergeser, mengikuti gerakan Arya. Ia menatap punggung tegap itu, hatinya dipenuhi perasaan campur aduk: lega karena kecemburuannya terjawab, dan ngeri karena pengakuan cintanya tadi malam."Arya," panggil Alesha pelan. Suaranya masih serak, bukan karena politik, melainkan karena keintiman.Arya berhenti, menoleh ke ranjang, senyumnya tipis dan gelap—senyum puas."Kau sudah bangun, Mahapatih?" goda Arya. Ia melangkah kembali ke sisi ranjang, membungkuk.Alesha meraih lengan Arya, menahan Raja itu agar tidak pergi. Jiwa feminin yang ia kurung rapat sebagai Gaja Mada kini muncul menguji. Ia haru
"Apa ini?" tanya Alesha, suaranya pelan dan berat, memecah keintiman yang baru saja dibangun Arya.Lontar berlabel Dyah Citraloka, Tuan Putri Pajajaran terasa dingin di tangannya yang gemetar.Arya Wuruk tidak terlihat terkejut sama sekali. Ia meneruskan langkahnya, dengan santai membuang jubah luarnya, lalu merebahkan diri menyamping di tempat tidur besar kediaman Mahapatih. Ia menopang kepalanya dengan satu tangan, menatap Alesha yang masih berdiri kaku, memegang lembaran lontar itu."Oh, itu surat dari Pajajaran," jawab Arya, nadanya terlalu santai."Pajajaran atau wanita cantik mantan kekasihmu?" tanya Alesha, sindiran galak itu keluar begitu saja. Jantungnya berdebar, ia sadar betapa kekanak-kanakannya ia terdengar.Arya Wuruk malah tertawa. Tawa rendah, penuh kekuasaan dan kepuasan, yang membuat Alesha semakin kesal. Ia mendudukkan posisinya, menyandarkan punggungnya pada tiang tempat tidur, menatap ekspresi cemberut Alesha yang biasanya dingin dan tangguh."Wanita cantik mana y
Pelantikan Mahapatih Gaja Mada berlangsung khidmat, sebuah ritual kuno yang mengukuhkan Alesha sebagai orang kedua paling berkuasa di Wilwatikta. Setelah upacara, ia segera dipindahkan ke Kediaman Mahapatih—sebuah kompleks luas yang terletak di jantung Istana, bersebelahan dengan kediaman Raja sendiri.Secara politis, ini berarti jarak antara dirinya dan Arya Wuruk kini nyaris tiada. Secara pribadi, Alesha merasa tercekik.Alesha mengesampingkan kekhawatiran pribadinya untuk sementara. Sebagai Mahapatih Gaja Mada yang baru, ia harus segera membuktikan diri kepada faksi Rakryan yang menentangnya. Ia tidak bisa langsung bicara ekspansi; ia memilih fokus pada tata laksana yang efektif, bidang di mana naluri auditornya unggul.Di ruang kerjanya yang baru, ia tidak menyusun taktik pertempuran, melainkan bagan alur kerja yang jauh lebih modern.Dalam beberapa minggu pertamanya, para Rakryan dikejutkan dengan reformasi yang aneh tapi efektif. Gaja Mada, yang terkenal dingin, ternyata fokus p
Suasana di kediaman Arya Tadah, Mahapatih tua yang telah mengabdi puluhan tahun, diselimuti aroma dupa dan rempah obat yang pekat. Udara terasa berat, bukan hanya karena sakit yang diderita sang Mahapatih, tetapi juga karena ketegangan politik yang menggantung.Raja Arya Wuruk duduk di sisi ranjang Arya Tadah, dikelilingi oleh para Rakryan terkemuka—termasuk Alesha, yang kini menjabat sebagai Rakryan Tumenggung Gaja Mada. Alesha berdiri tegak, jubahnya menutupi rasa cemas yang ia pendam sejak Arya Wuruk menyalin kalender pribadi miliknya.Arya Tadah tampak kurus, namun matanya yang tua masih bersinar tajam. Setelah menarik napas panjang, ia mengangkat tangan lemahnya."Paduka Raja," kata Arya Tadah, suaranya parau namun tegas, memecah keheningan. "Waktu hamba telah tiba. Tubuh ini telah menjadi terlalu lemah untuk menopang beban Wilwatikta. Hamba mohon... izinkan hamba untuk purna tugas."Permintaan pensiun itu disambut oleh desahan rendah dari para bangsawan. Mereka tahu, kepergian A
Alesha membeku di bawah sentuhan Arya. Bisikan sang Raja yang lembut namun penuh kepemilikan (“meragukan cintaku... itu akan menjadi hal yang jauh lebih buruk”) terasa seperti racun yang lebih mematikan daripada ramuan Tiongkok yang tersembunyi.Ia sadar, berbohong tentang "logistik asing" hanya menunda kehancuran. Arya telah melihat huruf Alfabet. Ia tidak bisa lari dari fakta bahwa Aksara Kawi adalah bahasa keraton, dan tulisan yang ia sembunyikan itu berasal dari dunia Alesha.Satu-satunya cara untuk meredakan kecurigaan Arya adalah dengan mengakui sebagian kebenaran.Alesha menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberaniannya—keberanian yang sama yang ia gunakan saat memimpin pasukan di medan perang. Ia menjauhkan tangannya dari lontar, membiarkan Arya melihat tulisan 'M, S, S, R' dan lingkaran-lingkaran di bawahnya."Paduka," kata Alesha, suaranya pelan dan malu, namun dipaksa stabil. Ia menundukkan kepala, menghindari tatapan Raja yang tajam. "Ini... ini memang bukan perhitunga
Empat hari telah berlalu sejak malam di pelabuhan. Setiap hari adalah penyiksaan bagi Alesha. Ia harus menjaga penampilan sebagai Rakryan Tumenggung yang cakap, menyusun laporan, dan menghadiri rapat, sementara di dalam dirinya, ia menghitung detik-detik kedatangan siklus. Jika siklusnya terlambat, itu berarti kepastian yang harus ia hadapi.Pagi itu, Alesha mengambil risiko besar. Ia berada di ruangan kerjanya di kompleks kepatihan—ruangan yang seharusnya menjadi benteng terakhir privasinya.Lontar-lontar laporan resmi ia singkirkan. Di hadapannya kini terbentang selembar lontar lain yang tampak mencolok. Bukan karena bahan dasarnya, tetapi karena isinya.Alesha sedang memaksakan ketenangan seorang auditor untuk menganalisis risiko kehamilan. Ia telah mengambil pena bulu dan, alih-alih menggunakan Aksara Kawi atau Pallawa, ia menulis menggunakan aksara paling akrab di benaknya: Huruf Alfabet Latin.Ia membagi lontar itu menjadi tujuh kolom, menandai hari-hari: M, S, S, R, K, J, S (Mi