Share

74 - Sandiwara Kakak Beradik

Author: Dualismdiary
last update Huling Na-update: 2025-09-27 07:13:31

Jalanan itu sepi, hanya diterangi sisa cahaya senja yang merambat di dinding tanah liat. Samudra masih menggenggam lengan Alesha erat, matanya memberi isyarat agar tetap tenang.

“Sudah lama sekali kau tak berkunjung ke rumah, Dik,” suara Samudra mendadak terdengar lebih keras, seolah sengaja dibuat agar siapa pun yang mengintai bisa mendengar. “Ayah selalu menanyakanmu. Kau tahu kan, betapa rindunya beliau?”

Alesha, yang jantungnya masih berdegup cepat, sejenak menatap Samudra, menyadari maksudnya. Perlahan ia mengangguk, lalu menjawab dengan suara yang juga cukup lantang.

“Aku tahu, Kak. Sebenarnya… hari ini aku sudah berniat mampir. Aku ingin menemuinya, menanyakan kabarnya. Tapi—” ia menunduk, menghela napas, “tiba-tiba aku dipanggil ke balai Panewu. Urusannya begitu mendesak, sampai aku lupa niat awalku.”

Samudra mengangguk dramatis, memasang wajah seolah menyesali kelalaian adiknya. “Ayah sudah tua, Gaja. Jangan sampai ia merasa dilupakan. Kau tahu, sejak kau jadi pamong muda,
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   82 – Laga yang Tertahan

    Debu di halaman belakang rumah itu perlahan mengendap. Api unggun masih menyala, sisa bara merahnya berkilau di antara sorakan prajurit. Pertarungan antara Raja Arya Wuruk dan Gaja Mada baru saja berakhir.Keduanya berdiri berhadapan, napas teratur, keringat menetes di pelipis. Tidak ada pemenang—keduanya sama-sama berhenti di titik seri. Namun hanya Arya yang tahu, ia tidak mengeluarkan seluruh kemampuannya.Alesha, yang tersembunyi di balik jubah dan penutup wajah Gaja Mada, berusaha menenangkan degup jantungnya. Baginya, berhadapan dengan rajanya sendiri—apalagi dengan kedekatan fisik tadi—sudah cukup membuat nyalinya nyaris runtuh. Ia benar-benar tidak menyangka Arya akan memilihnya sebagai lawan.Sorakan pecah di sekeliling mereka. “Hebat sekali!” “Lawan raja dan bisa bertahan sejauh ini, sungguh luar biasa!” “Gerakannya cepat sekali, bahkan dengan jubah dan wajah tertutup begitu!”Prajurit-prajurit Wilwatikta bersorak kagum, sebagian menepuk bahu Gaja Mada, sebagian lagi mas

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   81 – Bara yang Tersembunyi

    Api unggun berderak, memercikkan bara kecil ke udara malam. Aroma daging rusa yang dipanggang menyebar, menghangatkan halaman belakang rumah kosong itu. Rendra, duduk tak jauh dari Arya dan Gaja Mada, sibuk mengipas api agar bara tetap menyala.Arya, dengan gerak santai khas seorang raja yang sedang menyamar dalam kebersahajaan, merobek sepotong daging rusa bakar dengan belatinya. Potongan itu ia sodorkan terlebih dahulu kepada Rendra.“Coba kau dulu,” katanya ringan.Rendra menurut tanpa banyak pikir, memakan langsung dari tangan rajanya. Semua berlangsung biasa, seolah itu hanyalah percakapan santai di antara sahabat lelaki.Namun kemudian Arya memotong sepotong daging lain. Tatapannya beralih pada Gaja Mada. Senyumnya tipis, seolah penuh keisengan yang tak perlu dicurigai siapa pun.“Sekarang giliranmu, Gaja. Katakan apakah rasanya sudah cukup matang.”Alesha, yang duduk tegak di seberang api, seketika membeku. Dadanya berdegup keras, bagai genderang yang dipukul bertalu-talu.Asta

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   80 – Rumah yang Tak Pernah Hilang

    Suasana hutan mulai mereda. Burung-burung kembali bernyanyi setelah dentum panah berhenti, dan sinar sore menyelinap di antara dahan. Para pengiring sibuk mengangkut hasil buruan, sementara Arya Wuruk dan Gaja Mada menuntun kuda mereka perlahan keluar dari hutan.Angin sore menyapu wajah Alesha, tetapi jantungnya belum juga tenang. Ia masih bisa merasakan sisa hangat napas Arya di tengkuknya, seolah tadi bukan sekadar kebetulan.Dalam diam yang terasa menyesakkan, suara tenang Arya akhirnya memecah udara. “Pamong muda yang kini menjadi bendahara ibukota… tentu sudah memiliki rumah dinas, bukan?”Alesha menelan ludah. Pertanyaan menjebak… Dengan suara yang ia usahakan tetap datar, ia menjawab, “Hamba… masih tinggal di rumah dinas pamong muda, Paduka. Rumah dinas bendahara ibukota belum kosong. Keluarga bendahara sebelumnya masih bersiap pindah.”Arya melirik sekilas, matanya dalam dan sulit terbaca. “Begitu. Jadi, seorang bendahara ibukota masih tidur di rumah pamong? Kedengarannya

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   79 – Panah yang Tersembunyi

    Suasana hutan sore itu seolah menahan napas. Bayangan pepohonan jatuh memanjang di tanah, angin membawa bau dedaunan basah. Seekor rusa terkapar, tubuhnya sudah tak bergerak, tapi ketegangan justru semakin memuncak.Arya menatap pemuda di hadapannya dengan penuh selidik. Gaja Mada—atau siapa pun dia sebenarnya—duduk di atas kuda yang begitu dikenalnya. Hatinya mendidih oleh kecurigaan, namun wajahnya tetap dingin.“Dari mana kau mendapat kuda ini?” tanya Arya lagi, nada suaranya tenang tapi tajam seperti bilah keris.Alesha berusaha mengendalikan napasnya, otaknya berpacu mencari jawaban. “Kuda ini…” ia menunduk sedikit lebih dalam, menyembunyikan mata yang hampir bergetar, “ayahku, Mahadeva, membelinya dari seorang pedagang yang katanya menerima langsung dari seorang gadis bangsawan.”Sejenak hening.Arya mengangkat sebelah alisnya, sorot matanya jelas menyiratkan ketidakpercayaan. Namun bibirnya melengkung tipis, pura-pura percaya. “Seorang gadis bangsawan, katamu?” ia mengulang per

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   78 – Bayangan di Balik Busur

    Hutan perburuan di tepi Trowulan dipenuhi aroma tanah basah. Embun masih menggantung di ujung dedaunan, sementara sinar matahari pagi menembus celah-celah rimbunan pohon, membentuk garis cahaya yang berkilau. Suara burung dan gemerisik ranting patah menjadi irama yang tak pernah berhenti.Arya Wuruk, dengan pakaian sederhana seorang raja dalam balutan busana berburu, menunggang kudanya yang gagah. Di belakangnya, para pengawal dan bangsawan mengatur jarak, menjaga formalitas namun memberi ruang pada sang raja untuk bebas bergerak.Di sisi lain, Gaja Mada—yang sesungguhnya adalah Alesha—tampak menunduk penuh hormat sebelum menaiki kudanya. Jubah samar, penutup wajah, serta ikat kepala menutupi hampir seluruh identitasnya, hanya menyisakan sepasang mata dan kening yang sesekali terlihat saat angin menyingkap.Arya memalingkan wajah sekilas, menahan napas saat melihat kuda yang ditunggangi pemuda itu. “Kuda itu…” hatinya bergetar. Tak salah lagi—itu adalah kuda yang pernah ia hadiahkan p

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   77 – Papaosan Panggalih

    Sore itu, Bangsal Raja dipenuhi aroma dupa yang masih mengepul dari sesaji siang tadi. Cahaya mentari yang merambat masuk melalui celah dinding kayu jati membuat ruangan berkilau temaram, membias di ukiran-ukiran naga dan kala pada pilar penyangga.Arya Wuruk duduk tegak di singgasana rendah berlapis kain beludru merah. Di hadapannya, beberapa abdi masih sibuk merapikan naskah lontar yang baru saja dibacakan. Namun sang raja tak beranjak—matanya tajam menatap Rendra yang berlutut, memegang gulungan papaosan panggalih yang berisi hasil penelusuran tentang seorang pamong muda: Gaja Mada.“Sudah genap sepekan sejak aku titahkan,” ujar Arya, suaranya berat namun terkontrol. “Apa yang kau dapati?”Rendra mengangguk dalam-dalam, lalu membuka lontar itu, suaranya mengalun jelas agar semua yang hadir dapat mendengar.“Daulat, Paduka. Hamba telah menelusuri asal-usul pamong muda bernama Gaja Mada itu. Menurut catatan desa dan keterangan para tetua, ia adalah anak campuran: ibunya seorang pribu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status