Share

9 – Pagi yang Asing

Author: Dualismdiary
last update Last Updated: 2025-09-04 17:16:19

Sinar pagi menembus celah dinding kayu jati, menorehkan cahaya keemasan di ruangan rahasia bangsal raja. Aroma kayu basah bercampur dengan bau asap dupa tipis yang masih tersisa dari malam sebelumnya. Suara ayam jantan bersahut-sahutan, berpadu dengan langkah-langkah para abdi di kejauhan, membuat Alesha sadar ia benar-benar terbangun di dunia yang asing.

Alesha membuka mata perlahan. Rasa pegal langsung menjalari tubuhnya. Punggungnya terasa ngilu, pinggangnya kaku. Dipan kayu tempat ia tidur terlalu keras dibandingkan kasur empuk dan hangat di apartemennya dulu. Ia menggeliat, berusaha meluruskan sendi-sendi tubuhnya, lalu menghela napas panjang.

“Ya ampun… ini baru semalam aja udah kayak encok begini. Gimana kalau berminggu-minggu?” gumamnya lirih, separuh kesal, separuh pasrah.

Ia melirik ke sudut ruangan, ke arah tirai tebal yang memisahkan tempatnya dari bangunan utama. Sekilas ia teringat kamar Arya Wuruk—meski berlapis kasur kapuk, tetap saja terlihat keras, dingin, dan kaku di matanya. Mereka tidur kayak gini tiap hari? Gila, aku bisa sakit pinggang permanen kalau begini terus…

Sebelum tidur semalam, Arya sudah menegaskan dengan bahasa tubuh dan isyarat yang sederhana—bahkan dengan melibatkan seorang melaya (pengawal istana)—agar ia tetap berada di ruangan ini, jangan keluar sembarangan. Alesha mengangguk waktu itu, meski hatinya dipenuhi rasa penasaran.

Pagi ini, ia mendengar langkah yang berbeda. Lebih berat, lebih berwibawa. Pintu kayu berderit halus, dan tampaklah sosok Arya Wuruk memasuki ruangan. Wajahnya segar, rambut panjangnya terikat rapi, tubuhnya terbalut kain kebesaran sederhana tanpa perhiasan berlebihan. Ada aura berbeda dari semalam—tenang, tapi penuh energi seorang raja yang baru saja menyelesaikan ritual pagi.

Di tangannya, ia membawa sesuatu. Satu tempurung kelapa muda yang sudah dipotong bagian atasnya, masih basah oleh embun. Di tangan satunya, sebuah kendi tanah liat kecil berisi cairan kecokelatan yang kental.

Alesha mengerutkan kening. “Ini… sarapan?” tanyanya lirih, meski tahu Arya tak akan mengerti.

Arya meletakkan kedua benda itu di atas tikar pandan, lalu menatapnya, memberi isyarat dengan tangannya agar Alesha mendekat. Alesha pun bangkit perlahan dari dipannya, meski tubuhnya masih sakit. Wajahnya meringis setiap kali ia menunduk atau menapak lantai dingin.

Arya memperhatikan ekspresi itu. Pandangannya kemudian melirik ke dipan kayu yang ditinggalkan Alesha. Ada cahaya pemahaman di matanya. Ia bukan pria sembarangan—ia seorang raja yang terbiasa mengamati. Apakah gadis ini tidak terbiasa tidur di kayu keras? Apakah ia berasal dari kalangan atas? pikir Arya, dalam bahasa batin yang Alesha tentu tak mengerti.

Alesha duduk di tikar. Ia memandang kelapa muda itu dengan heran. Di dunia modern, ia terbiasa dengan jus segar dari kulkas, kopi hangat, atau roti panggang. Di sini, hanya ada air kelapa langsung dari buahnya. Ia ragu sejenak, lalu mencoba menyesap dengan hati-hati.

Segarnya luar biasa. Lebih manis, lebih alami, seolah menyapu habis rasa pegal yang tadi membebaninya. “Hmm… ini sih enak banget,” gumamnya dengan mata berbinar.

Arya mengamati ekspresinya. Senyum tipis kembali muncul di wajahnya, sekali lagi ia tidak perlu mengerti kata-kata untuk memahami makna senyuman itu.

Namun, ketika Alesha mencoba kendi kecil berisi cairan kecokelatan itu, wajahnya langsung berubah. Rasa pahit yang pekat menghantam lidahnya, seperti racikan jamu yang sangat kuat. Ia buru-buru menutup mulut dengan tangan, matanya membesar.

“Ya ampun… ini apaan sih?! Kayak obat tradisional banget!” serunya, lalu buru-buru meneguk air kelapa untuk menghilangkan pahitnya.

Arya memperhatikan, kali ini dengan alis yang sedikit terangkat. Baginya, jamu itu adalah kekuatan. Sebuah penawar tubuh, warisan leluhur yang selalu ia konsumsi. Melihat gadis asing itu merengut lucu membuatnya menahan tawa dalam-dalam.

Alesha menatapnya, lalu menghela napas. “Oke, kalau memang harus begini tiap pagi, aku harus belajar nerima.”

Ia meraih kembali kelapa mudanya, menyesap lebih dalam, membiarkan manisnya menetralkan pahit jamu. Sekilas, ia menatap Arya. Ada sesuatu yang berbeda pagi ini. Lelaki itu, meski dingin dan penuh wibawa, tampak… lebih dekat. Tidak hanya sebagai raja yang misterius, tapi seseorang yang memperhatikannya dengan seksama, memahami bahkan hal kecil seperti raut kesakitan di wajahnya.

Dan untuk sesaat, Alesha merasa ia tidak benar-benar sendirian di dunia asing ini.

Hari terus bergulir. Matahari sudah tinggi ketika suara gong kecil dari kejauhan terdengar—tanda waktu makan siang tiba bagi keluarga istana. Dari balik tirai, Alesha mencium aroma harum yang menggoda: wangi nasi hangat, rempah pala, jahe, serta gurih daging yang dipanggang dengan daun pisang. Perutnya langsung berbunyi pelan, mengingatkan betapa ia belum benar-benar makan sejak semalam.

Tak lama, seorang dayang masuk membawa baki besar berisi aneka hidangan. Nasi putih mengepul harum, sayur lodeh dengan santan kental, ikan sungai panggang, serta buah-buahan segar seperti pisang raja dan mangga muda. Arya Wuruk memberi isyarat singkat pada dayang untuk meninggalkan makanan di depan tirai. Dayang itu menunduk, lalu mundur dengan sopan tanpa menatap langsung ke dalam ruangan rahasia.

Alesha mendekat, matanya berbinar. “Ya ampun… ini beneran kaya prasmanan tradisional. Bahkan plating-nya pakai daun pisang segala…” ujarnya sambil menelan ludah.

Arya menatapnya sekilas, lalu mulai mengambil porsi untuk dirinya sendiri. Alesha ikut meniru, meski dengan gerakan kikuk. Mereka makan dalam diam, hanya sesekali mata Alesha melirik ke arah raja yang begitu tenang saat mengunyah. Ada sesuatu yang anehnya menenangkan melihat sosok pria itu makan dengan wibawa, meski hidangannya sederhana.

Bagi Alesha, rasanya luar biasa. Setiap suapan nasi hangat berpadu dengan gurih santan, pedas cabai rawit, dan wangi rempah yang belum pernah ia temui dalam dunia modern. Ia makan dengan lahap, tanpa sadar porsinya hampir sama banyak dengan Arya.

Ketika mereka selesai, hanya tersisa tulang ikan yang rapi dan beberapa potong buah kecil. Arya menatap piring-piring kosong itu sejenak, lalu menghela napas samar, seolah baru sadar: ia sendiri yang meminta dayang menyiapkan porsi standar untuk seorang raja, bukan untuk dua orang.

Sore itu, ketika baki makanan dikembalikan ke pawon (dapur istana), bisik-bisik mulai muncul di antara para dayang.

“Lho… kok sisa hidangan Sri Baginda sedikit sekali hari ini?” bisik seorang dayang muda sambil menatap mangkuk kosong.

“Biasanya selalu tersisa, bahkan cukup banyak. Raja jarang makan sebanyak ini,” sahut yang lain, mengernyitkan kening.

“Bahkan ikan panggangnya sampai habis tulangnya. Apa nafsu makan beliau sedang bagus?” tanya seorang abdi dalem yang lebih tua, nada suaranya penuh keheranan.

Mereka tidak berani berkata lebih jauh. Namun satu hal jelas: kecurigaan sudah mulai tumbuh, bagai api kecil yang bisa menyulut badai besar kapan saja.

Di balik tirai rahasia, Alesha yang tengah menyandarkan kepalanya di dinding tidak tahu apa-apa. Ia hanya mengusap perutnya yang kenyang, berbisik lirih pada dirinya sendiri, “Setidaknya… aku nggak kelaparan di sini.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   64 – Papan Tanah dan Bayangan Perang

    Siang itu, di balairung istana Wilwatikta, suasana masih dipenuhi para abdi yang mondar-mandir menyiapkan laporan. Raja Arya Wuruk duduk di singgasananya, matanya tajam namun menyimpan kelelahan yang tidak pernah ia tunjukkan pada rakyat.Rendra, pengawal pribadinya, maju dengan langkah cepat lalu berlutut. “Paduka… hari ini adalah ujian terakhir pemilihan Pamong Muda di alun-alun Kotaraja. Apakah Paduka hendak menyaksikannya?”Arya terdiam sejenak, jemarinya mengetuk sandaran singgasana. Sorot matanya tajam, menyimpan bara yang kian hari makin menyala sejak kepergian Alesha. “Ya,” jawabnya lirih tapi tegas. “Aku ingin menyaksikannya sendiri. Ujian terakhir ini akan menentukan siapa yang pantas mengurus tanah dan rakyatku.”Dengan pengawalan terbatas, Arya pun bersiap menuju alun-alun.Alun-alun Kotaraja – Tahap 3 Ujian StrategiSuara gong tiga kali menggema. Para peserta berbaris rapi, jumlahnya kini hanya empat puluh orang. Panitia mengumumkan aturan tahap akhir:“Ujian strategi i

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   63 – Bara di Balairung

    Balairung istana Wilwatikta pagi itu dipenuhi cahaya matahari yang menembus jendela-jendela kayu berukir. Namun di dalam ruangan megah itu, udara terasa dingin, berat oleh aura murka yang tertahan.Rendra melangkah masuk, diikuti dua orang bayaran yang wajahnya kusut penuh debu perjalanan. Dengan langkah cepat Rendra mendekat, menunduk hormat, lalu berbisik lirih, “Paduka… sudah lebih dari sepekan kami mencari. Pasar-pasar, pelabuhan, pos pajak, rumah singgah, hingga ke desa-desa terdekat… tidak ada tanda-tanda Nimas Alesha. Seakan ia lenyap begitu saja.”Arya yang mendengarnya langsung menghentikan pembicaraan dewan. Tangannya mengepal erat di atas lengan kursi singgasana. Senyum tipis yang tadi ia pertahankan hilang, berganti garis wajah kaku menahan amarah.“Tidak ada… tanda… sama sekali?” suaranya rendah, tapi bergetar menahan bara.Salah satu orang bayaran menunduk makin dalam. “Ampun, Paduka. Kami bahkan menanyakan dengan membawa sketsa wajah yang dibuat jurukambar. Tidak seoran

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   62 – Tahap Kedua: Ketahanan Fisik

    Gong besar ditabuh sekali lagi, nadanya menggetarkan dada para peserta. Di alun-alun Kotaraja, kerumunan rakyat sudah semakin padat. Mereka ingin menyaksikan bagaimana para calon pamong muda ditempa dalam ujian ketahanan fisik.Seorang panitia berseragam prajurit maju, suaranya lantang, “Tahap kedua akan menguji tiga hal: ketepatan memanah, kekuatan mengangkat beban, dan keperkasaan dalam duel tanpa senjata. Nilai akhir akan diambil dari akumulasi ketiganya. Dari seratus peserta yang tersisa, sepuluh akan digugurkan di tahap ini.”Sorak-sorai terdengar dari para penonton, sebagian bahkan berseru menyebut nama-nama calon pamong dari desa mereka.Ujian MemanahBarisan peserta ditarik maju satu per satu. Sasaran berupa lingkaran dari anyaman rotan dipasang pada jarak tertentu.Ketika giliran Gundra, pemuda tinggi besar dengan dada bidang dan tangan kekar, panitia memberikan busur padanya. Dengan penuh percaya diri ia menarik tali busur. Anak panah melesat, menancap cukup dekat dengan lin

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   61 – Bara Dalam Sunyi

    Balairung sudah sepi. Para rakryan satu per satu pamit setelah rapat panjang mengenai tanah pembagian untuk rakyat miskin. Lampu minyak masih menyala redup di sudut ruangan, bayang-bayang api menari di dinding batu. Hanya tinggal Raja Arya Wuruk yang duduk di singgasana, tegak, seakan tubuhnya terbuat dari baja.Namun genggamannya pada gulungan lontar itu bergetar.Ia membuka sekali lagi—meski ia sudah membaca berulang kali sejak siang. Tulisan Alesha, rapi, tegas, penuh perasaan. Kata-kata itu menghantam dadanya, seakan setiap kalimat adalah pisau yang ditancapkan perlahan."Aku sangat berterimakasih dipertemukan denganmu… jangan khawatir, jangan mencariku… aku akan baik-baik saja…"Arya menutup mata rapat-rapat. Rahangnya mengeras. Dari luar, ia tampak tenang, bahkan dingin, tapi di dalam kepalanya ribuan suara berteriak.'Kau bilang jangan kucari? Bagaimana bisa aku diam, Lesha?Kau pikir aku mampu duduk tenang di istana ini, sementara entah di mana kau berada, sendirian, tanpa per

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   60 – Luka yang Disembunyikan

    Langkah Dharmadyaksa terhenti tepat di hadapan Alesha. Suasana alun-alun yang semula riuh oleh peserta yang sibuk menulis kini serasa terhenti hanya pada satu titik: di hadapan sosok berjubah panjang dengan wajah tertutup kain hitam.Tatapan mata tua itu menusuk, dalam dan penuh selidik. Suaranya tenang, namun membawa wibawa yang membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.“Anak muda…” ucapnya perlahan, “Mengapa engkau menutup wajahmu seperti itu? Dan mengapa engkau memakai jubah panjang di bawah terik matahari? Tidakkah engkau merasa gerah?”Seketika, napas Alesha tercekat. Dalam hati ia berteriak:Gerah sekali! Rasanya aku bisa meleleh di balik kain ini. Di negeri tropis seperti ini, siapa yang tahan memakai jubah panjang?Namun ia tahu, kata-kata itu tak boleh keluar dari mulutnya. Wajahnya tetap menunduk, dadanya naik-turun menahan gugup. Ia berusaha mengatur suara, menurunkannya agar lebih berat dan maskulin, seperti suara seorang lelaki dewasa.“Wajah dan badan saya penuh bekas luka y

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   59 – Dentang Gong di Kotaraja

    Alun-alun Kotaraja pagi itu berubah menjadi lautan manusia. Langit cerah, matahari baru setengah meninggi, tapi panasnya sudah terasa menusuk kulit. Ratusan orang dari berbagai daerah tumpah ruah: calon Pamong Muda, prajurit pengawal, para pejabat, pedagang kecil yang membuka lapak darurat di pinggiran, hingga rakyat jelata yang datang sekadar menonton. Alesha berdiri di antara kerumunan, mengenakan pakaian samarannya: kain sederhana yang lusuh, wajah penuh bekas luka-luka palsu yang dibuat Samudra, lengan yang dibalut kain seolah habis bertempur. Samudra dan Mahadeva berada tak jauh di sisinya, seolah hanya pengawal atau kawan seperjalanan. Hanya mereka bertiga yang tahu siapa sebenarnya “lelaki asing” bernama Jaya itu. Dentuman gong menggetarkan dada, disusul genderang besar yang dipukul bertalu-talu. Semua suara pasar mendadak senyap, berganti tatapan serius ribuan pasang mata ke arah panggung utama. Dari sisi kanan, barisan pejabat tinggi kerajaan memasuki alun-alun. Paling dep

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status