LOGINSinar pagi menembus celah dinding kayu jati, menorehkan cahaya keemasan di ruangan rahasia bangsal raja. Aroma kayu basah bercampur dengan bau asap dupa tipis yang masih tersisa dari malam sebelumnya. Suara ayam jantan bersahut-sahutan, berpadu dengan langkah-langkah para abdi di kejauhan, membuat Alesha sadar ia benar-benar terbangun di dunia yang asing.
Alesha membuka mata perlahan. Rasa pegal langsung menjalari tubuhnya. Punggungnya terasa ngilu, pinggangnya kaku. Dipan kayu tempat ia tidur terlalu keras dibandingkan kasur empuk dan hangat di apartemennya dulu. Ia menggeliat, berusaha meluruskan sendi-sendi tubuhnya, lalu menghela napas panjang. “Ya ampun… ini baru semalam aja udah kayak encok begini. Gimana kalau berminggu-minggu?” gumamnya lirih, separuh kesal, separuh pasrah. Ia melirik ke sudut ruangan, ke arah tirai tebal yang memisahkan tempatnya dari bangunan utama. Sekilas ia teringat kamar Arya Wuruk—meski berlapis kasur kapuk, tetap saja terlihat keras, dingin, dan kaku di matanya. Mereka tidur kayak gini tiap hari? Gila, aku bisa sakit pinggang permanen kalau begini terus… Sebelum tidur semalam, Arya sudah menegaskan dengan bahasa tubuh dan isyarat yang sederhana—bahkan dengan melibatkan seorang melaya (pengawal istana)—agar ia tetap berada di ruangan ini, jangan keluar sembarangan. Alesha mengangguk waktu itu, meski hatinya dipenuhi rasa penasaran. Pagi ini, ia mendengar langkah yang berbeda. Lebih berat, lebih berwibawa. Pintu kayu berderit halus, dan tampaklah sosok Arya Wuruk memasuki ruangan. Wajahnya segar, rambut panjangnya terikat rapi, tubuhnya terbalut kain kebesaran sederhana tanpa perhiasan berlebihan. Ada aura berbeda dari semalam—tenang, tapi penuh energi seorang raja yang baru saja menyelesaikan ritual pagi. Di tangannya, ia membawa sesuatu. Satu tempurung kelapa muda yang sudah dipotong bagian atasnya, masih basah oleh embun. Di tangan satunya, sebuah kendi tanah liat kecil berisi cairan kecokelatan yang kental. Alesha mengerutkan kening. “Ini… sarapan?” tanyanya lirih, meski tahu Arya tak akan mengerti. Arya meletakkan kedua benda itu di atas tikar pandan, lalu menatapnya, memberi isyarat dengan tangannya agar Alesha mendekat. Alesha pun bangkit perlahan dari dipannya, meski tubuhnya masih sakit. Wajahnya meringis setiap kali ia menunduk atau menapak lantai dingin. Arya memperhatikan ekspresi itu. Pandangannya kemudian melirik ke dipan kayu yang ditinggalkan Alesha. Ada cahaya pemahaman di matanya. Ia bukan pria sembarangan—ia seorang raja yang terbiasa mengamati. Apakah gadis ini tidak terbiasa tidur di kayu keras? Apakah ia berasal dari kalangan atas? pikir Arya, dalam bahasa batin yang Alesha tentu tak mengerti. Alesha duduk di tikar. Ia memandang kelapa muda itu dengan heran. Di dunia modern, ia terbiasa dengan jus segar dari kulkas, kopi hangat, atau roti panggang. Di sini, hanya ada air kelapa langsung dari buahnya. Ia ragu sejenak, lalu mencoba menyesap dengan hati-hati. Segarnya luar biasa. Lebih manis, lebih alami, seolah menyapu habis rasa pegal yang tadi membebaninya. “Hmm… ini sih enak banget,” gumamnya dengan mata berbinar. Arya mengamati ekspresinya. Senyum tipis kembali muncul di wajahnya, sekali lagi ia tidak perlu mengerti kata-kata untuk memahami makna senyuman itu. Namun, ketika Alesha mencoba kendi kecil berisi cairan kecokelatan itu, wajahnya langsung berubah. Rasa pahit yang pekat menghantam lidahnya, seperti racikan jamu yang sangat kuat. Ia buru-buru menutup mulut dengan tangan, matanya membesar. “Ya ampun… ini apaan sih?! Kayak obat tradisional banget!” serunya, lalu buru-buru meneguk air kelapa untuk menghilangkan pahitnya. Arya memperhatikan, kali ini dengan alis yang sedikit terangkat. Baginya, jamu itu adalah kekuatan. Sebuah penawar tubuh, warisan leluhur yang selalu ia konsumsi. Melihat gadis asing itu merengut lucu membuatnya menahan tawa dalam-dalam. Alesha menatapnya, lalu menghela napas. “Oke, kalau memang harus begini tiap pagi, aku harus belajar nerima.” Ia meraih kembali kelapa mudanya, menyesap lebih dalam, membiarkan manisnya menetralkan pahit jamu. Sekilas, ia menatap Arya. Ada sesuatu yang berbeda pagi ini. Lelaki itu, meski dingin dan penuh wibawa, tampak… lebih dekat. Tidak hanya sebagai raja yang misterius, tapi seseorang yang memperhatikannya dengan seksama, memahami bahkan hal kecil seperti raut kesakitan di wajahnya. Dan untuk sesaat, Alesha merasa ia tidak benar-benar sendirian di dunia asing ini. Hari terus bergulir. Matahari sudah tinggi ketika suara gong kecil dari kejauhan terdengar—tanda waktu makan siang tiba bagi keluarga istana. Dari balik tirai, Alesha mencium aroma harum yang menggoda: wangi nasi hangat, rempah pala, jahe, serta gurih daging yang dipanggang dengan daun pisang. Perutnya langsung berbunyi pelan, mengingatkan betapa ia belum benar-benar makan sejak semalam. Tak lama, seorang dayang masuk membawa baki besar berisi aneka hidangan. Nasi putih mengepul harum, sayur lodeh dengan santan kental, ikan sungai panggang, serta buah-buahan segar seperti pisang raja dan mangga muda. Arya Wuruk memberi isyarat singkat pada dayang untuk meninggalkan makanan di depan tirai. Dayang itu menunduk, lalu mundur dengan sopan tanpa menatap langsung ke dalam ruangan rahasia. Alesha mendekat, matanya berbinar. “Ya ampun… ini beneran kaya prasmanan tradisional. Bahkan plating-nya pakai daun pisang segala…” ujarnya sambil menelan ludah. Arya menatapnya sekilas, lalu mulai mengambil porsi untuk dirinya sendiri. Alesha ikut meniru, meski dengan gerakan kikuk. Mereka makan dalam diam, hanya sesekali mata Alesha melirik ke arah raja yang begitu tenang saat mengunyah. Ada sesuatu yang anehnya menenangkan melihat sosok pria itu makan dengan wibawa, meski hidangannya sederhana. Bagi Alesha, rasanya luar biasa. Setiap suapan nasi hangat berpadu dengan gurih santan, pedas cabai rawit, dan wangi rempah yang belum pernah ia temui dalam dunia modern. Ia makan dengan lahap, tanpa sadar porsinya hampir sama banyak dengan Arya. Ketika mereka selesai, hanya tersisa tulang ikan yang rapi dan beberapa potong buah kecil. Arya menatap piring-piring kosong itu sejenak, lalu menghela napas samar, seolah baru sadar: ia sendiri yang meminta dayang menyiapkan porsi standar untuk seorang raja, bukan untuk dua orang. Sore itu, ketika baki makanan dikembalikan ke pawon (dapur istana), bisik-bisik mulai muncul di antara para dayang. “Lho… kok sisa hidangan Sri Baginda sedikit sekali hari ini?” bisik seorang dayang muda sambil menatap mangkuk kosong. “Biasanya selalu tersisa, bahkan cukup banyak. Raja jarang makan sebanyak ini,” sahut yang lain, mengernyitkan kening. “Bahkan ikan panggangnya sampai habis tulangnya. Apa nafsu makan beliau sedang bagus?” tanya seorang abdi dalem yang lebih tua, nada suaranya penuh keheranan. Mereka tidak berani berkata lebih jauh. Namun satu hal jelas: kecurigaan sudah mulai tumbuh, bagai api kecil yang bisa menyulut badai besar kapan saja. Di balik tirai rahasia, Alesha yang tengah menyandarkan kepalanya di dinding tidak tahu apa-apa. Ia hanya mengusap perutnya yang kenyang, berbisik lirih pada dirinya sendiri, “Setidaknya… aku nggak kelaparan di sini.”Rendra, dengan napas terengah-engah dan jantung berdebar kencang, berlari secepat mungkin melewati koridor Istana. Langkahnya terhenti di depan pintu kamar pribadi Raja Arya Wuruk, di mana ia tahu Rajanya sedang bersama Mahapatih. Ia mengetuk pintu dengan tergesa-gesa, mengabaikan etika dan jam istirahat malam.Pintu terbuka. Arya Wuruk berdiri di sana, hanya mengenakan kain sarung yang diikatkan di pinggang, rambutnya sedikit acak-acakan. Di belakangnya, Alesha (masih dalam pakaian tidurnya) mengintip."Ada apa kau Rendra? Wajahmu pucat sekali, seperti melihat mayat bangkit dari kematian," tanya Arya, nada suaranya tajam karena terganggu.Rendra membungkuk, berusaha mengatur napas, suaranya tercekat karena panik."Ampun Paduka Raja! Ampun Mahapatih!" Rendra segera berlutut di ambang pintu. "Hamba... hamba baru saja berpapasan dengan Kebo Iwa."Alesha dan Arya langsung bertukar pandang yang dipenuhi ketakutan. Ketenangan mereka setelah insiden di pelabuhan seketika hancur."Apa?! Baga
Sore hari di Istana Wilwatikta memancarkan keindahan yang tenang. Bayangan dari arsitektur bata merah membentang panjang di halaman. Kebo Iwa, setelah beristirahat sejenak, memutuskan untuk mengikuti tawaran Raja Arya. Ia keluar dari kompleks tamu dan berjalan santai menyusuri taman-taman Istana yang asri, dan kemudian memberanikan diri melangkah keluar dari gerbang utama.Di luar tembok Istana, kehidupan di ibu kota Trowulan berdenyut. Kebo Iwa berjalan di antara kedai dan pasar kecil. Ia mendengarkan pembicaraan warga, ingin memahami bagaimana sesungguhnya Majapahit di mata rakyatnya. Hampir di setiap pembicaraan yang ia dengar, ada nada pujian yang tulus untuk Raja Arya Wuruk."Panen tahun ini berlimpah berkat saluran air Raja!""Raja kita sungguh bijaksana, dia memastikan tidak ada yang kelaparan.""Bahkan Mahapatih Gaja Mada kita pun hebat, meski wajahnya tertutup, otaknya tak tertandingi."Kebo Iwa menyimak semuanya. Ia mencari Lestari, tetapi ia hanya menemukan kesejahteraan da
Perjalanan dari pelabuhan ke Istana Wilwatikta terasa mencekam. Kebo Iwa menunggangi kuda di belakang Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada, matanya terus mengamati setiap detail ibu kota Majapahit—dari arsitektur bata merah yang megah hingga keteraturan prajurit yang berbaris di jalanan. Pikirannya dipenuhi kekacauan. Ia datang mencari Lestari, tetapi yang ia temukan adalah Raja dan Mahapatihnya, dan ia masih belum bisa melepaskan perasaan aneh bahwa mata Mahapatih itu terasa sangat familiar.Setibanya di Istana, Kebo Iwa segera dibawa ke kompleks khusus tamu kerajaan. Itu adalah bilik mewah, dilengkapi perabotan kayu jati ukir, yang membuat penginapan terbaik di Bali terlihat sederhana.Kebo Iwa meletakkan buntalan kain lusuh yang berisi beberapa pakaian dan perbekalannya di lantai kamar tamu itu. Ia merasakan kehangatan keramahan Majapahit, tetapi di saat yang sama, ia merasakan udara tipis di lehernya. Ia tahu, ia sedang berada di sarang musuh."Tuan Patih," ujar Arya Wuruk dengan se
"ASTAGA, ARYA! Ada Kebo Iwa! Lihatlah di arah sana, di kerumunan dekat tiang bendera! Dia ada di Wilwatikta!" bisik Alesha, suaranya tercekat di balik penutup kain Mahapatih Gaja Mada.Rahang Arya Wuruk sempat mengeras hebat. Ini bukan hanya kejutan; ini adalah tindakan yang setara dengan invasi rahasia. Kebo Iwa datang tanpa diundang, tanpa utusan, dan tanpa jaminan keselamatan. Arya merasakan darahnya mendidih, tetapi ia segera mengendalikan diri. Sebagai seorang Raja, ia harus bertindak dengan perhitungan, bukan emosi."Maka kita harus menyambutnya," ucap Arya, suaranya tenang namun mengandung ancaman tersembunyi. "Kita harus menyambutnya sebagai Raja dan Mahapatih dengan baik."Arya menoleh kepada Laksamana Nala. "Laksamana Nala, uji coba kapal kita lakukan di lain waktu. Sekarang aku ada urusan mendadak dan harus menyambut seorang tamu yang sangat penting," ujar Arya, menunjuk sekilas ke arah kerumunan. "Kita harus menyambut Patih Bali, Kebo Iwa."Laksamana Nala agak terkejut. Ia
Kebo Iwa berjalan menyusuri pelabuhan, kakinya yang besar menginjak tanah Jawa, merasakan atmosfer Majapahit yang sangat berbeda dari Bali. Matanya terus waspada, mengamati kapal-kapal dagang yang padat dan prajurit berseragam di mana-mana. Ia mencari penginapan, namun langkahnya terhenti oleh desas-desus yang menyebar cepat di antara para buruh pelabuhan."Lihat! Di sana! Kapal Jung Jawa! Kabarnya Raja Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada sendiri yang datang melihatnya!""Mahapatih Gaja Mada? Yang terkenal sakti itu?""Iya! Mereka sedang berada di atas kapal besar yang baru selesai itu!"Mendengar nama Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada, rasa ingin tahu Kebo Iwa, yang memang seorang Panglima Perang, langsung memuncak. Ia penasaran ingin melihat secara langsung wajah Raja yang kebijaksanaannya dipuji-puji oleh Lestari, dan ingin tahu seperti apa sosok Mahapatih yang memimpin Majapahit menuju kejayaan.Kebo Iwa bergegas mengikuti arah desas-desus. Ia harus menembus kerumunan warga dan pr
Beberapa bulan telah berlalu sejak kepulangan Alesha dari Bali dan ledakan kecemburuan yang hampir membakar kamar Raja. Hubungan mereka kembali harmonis, diwarnai strategi politik yang kini difokuskan pada pemanfaatan kelemahan Kebo Iwa dan negosiasi diplomatik yang hati-hati dengan Pajajaran (yang kini ditangani langsung oleh Alesha, tentu saja).Pagi yang cerah itu, saat Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada (Alesha) sedang membahas logistik pangan untuk ekspedisi berikutnya, Laksamana Nala tiba-tiba menghadap. Wajahnya yang biasanya tenang, kini dipenuhi senyum puas dan bangga."Paduka Raja, Mahapatih," lapor Laksamana Nala, membungkuk dalam. "Hamba datang membawa kabar sukacita. Kapal agung itu... Kapal yang Paduka perintahkan dengan desain khusus dari Mahapatih, telah selesai dibuat."Mendengar berita itu, Arya dan Alesha sontak bangkit dari duduk mereka. Rasa lelah, ketegangan politik, dan drama pribadi seketika sirna, digantikan oleh antusiasme murni."Sudah selesai?" tanya Arya,