Share

10 - Aksara Rahasia

Author: Dualismdiary
last update Huling Na-update: 2025-09-04 21:59:41

Malam itu hening menyelimuti ruang rahasia di bangsal raja. Hanya suara obor yang menari di sudut ruangan, membentuk bayangan gelap yang bergoyang di dinding kayu. Lembaran lontar yang berserakan di lantai tampak seperti lautan simbol yang menunggu untuk dipecahkan. Alesha, duduk di lantai sambil menatap aksara Kawi yang asing di depannya, merasakan rasa bosan dan frustrasi sekaligus. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena takut, tapi karena rasa penasaran yang membara. Ia tahu, menguasai aksara dan bahasa kuno ini adalah satu-satunya jalan untuk memahami dunia di sekelilingnya—dan mungkin, satu-satunya cara untuk kembali ke masa depan.

Ia mencoba menarik napas panjang, menenangkan pikirannya yang riuh. Cara-cara modern yang biasa ia gunakan—buku teks, aplikasi ponsel, kursus online—tidak ada di sini. Hanya ada lontar, pena bambu, dan tinta alami. Tapi Alesha, otak auditor yang cerdas dan cepat menangkap pola, menolak menyerah.

Namun pertanyaan yang menekan hatinya: bagaimana cara meminta Arya Wuruk atau Rendra mengajarinya tanpa bisa berbicara dengan bahasa mereka?

Beberapa saat kemudian, pintu ruang rahasia terbuka perlahan. Arya Wuruk masuk, langkahnya tenang namun tegas, dan matanya menyorot ke arah Alesha dengan rasa ingin tahu yang lembut namun waspada. Begitu Alesha melihatnya, matanya berbinar. Tanpa kata-kata, ia meloncat dari duduknya, meraih lengan Arya, dan menariknya ke arah lantai tempat lontar-lontar itu berserakan.

“Aku… aku mau belajar ini!” katanya dengan semangat yang meledak-ledak, sambil menepuk dadanya dan menunjuk ke lembaran-lembaran lontar yang tertata acak. Kedua tangannya terangkat, isyarat bahwa ia tak tahu harus memulai dari mana, namun tekadnya jelas terlihat.

Arya terdiam sejenak, alisnya terangkat sedikit, mata tajam menatap Alesha dengan campuran kebingungan dan rasa ingin tahu. Gadis asing ini tampak begitu berbeda—cerdas, berani, dan penuh tekad. Tanpa sepatah kata pun, ia mulai menelusuri lontar yang ditunjuk Alesha, membaca aksara demi aksara dengan nada yang jelas dan tenang.

Alesha, dengan penuh semangat, menepuk-nepuk lontar lain di hadapannya, menunjuk huruf-huruf secara acak. Arya membaca satu persatu, dan Alesha menirukan ucapannya, berulang kali. Lalu, seolah mendapat ide, ia mencelupkan ujung jarinya ke mangkuk kecil berisi air dan mulai menulis di lantai kayu jati. Setiap goresan basah meninggalkan jejak kilau samar di bawah cahaya obor, membentuk aksara yang hanya bertahan sebentar sebelum menguap.

Arya menatap heran, alisnya sedikit terangkat. Baginya, cara itu aneh—tidak pernah ada orang di istana yang belajar menulis dengan air. Tapi ia tetap diam, hanya memperhatikan gadis asing itu yang tampak begitu serius. Alesha, sebaliknya, tampak sangat fokus; matanya berkilat penuh rasa penasaran, bibirnya berbisik lirih menirukan suara Arya. Meski bentuk huruf yang ia buat masih goyah, ia tampak puas setiap kali berhasil mengulanginya dengan lebih rapi sebelum jejak air itu hilang.

Bagi Arya, pemandangan itu aneh sekaligus memikat: seorang gadis yang bukan berasal dari dunia ini, menemukan cara belajar sendiri dengan media sesederhana air. Bagi Alesha, setiap huruf yang ia tulis dan lenyap bersama udara malam justru memberi semangat—seolah ia sedang menaklukkan rahasia zaman sedikit demi sedikit.

Setelah beberapa lama, Arya mengambil beberapa lembar lontar kosong dan dua pulpennya—atau lebih tepatnya, alat tulis primitif berbentuk seperti fountain pen kecil dengan mata pisau—yang biasa digunakan di istana untuk menulis. Dengan gerakan presisi dan sabar, ia menulis satu persatu aksara Kawi di atas lontar kosong. Alesha menirukan setiap goresan dengan cermat, bahkan mulai menambahkan terjemahan alfabet modern di samping setiap aksara yang ia tulis.

Hening menyelimuti ruangan, hanya suara goresan pena di lontar yang terdengar. Matanya berkilau, bibirnya sesekali menggumam mengikuti ucapan Arya. Ia tidak peduli waktu yang terus berjalan; pikirannya hanya fokus pada huruf-huruf yang kini terasa seperti kunci dunia lain.

Arya Wuruk duduk diam beberapa langkah darinya, memperhatikan dengan penuh kekaguman. Gadis ini, dengan kesabaran dan ketekunan luar biasa, menyerap setiap detail yang ia tunjukkan. Tangannya berhenti sejenak saat melihat apa yang ditulis Alesha di samping setiap aksara Kawi. Matanya melebar, alisnya terangkat, dan bibirnya sedikit terbuka dalam keheranan.

“Huruf… ini… dari kerajaan mana?” gumam Arya pada dirinya sendiri, suara rendah yang nyaris tidak terdengar. Ia merasa tercengang—bukan hanya karena ketelitian Alesha, tapi juga karena simbol yang ditulisnya, alfabet tambahan yang menyertai aksara kuno itu, tampak sama sekali asing bagi siapa pun di istana.

Alesha menatap Arya dengan mata berbinar, penuh harap. Ia belum menyadari bahwa setiap huruf yang ia tulis dengan terjemahan sendiri, di satu sisi, mulai membuka pemahaman baru bagi Arya Wuruk sendiri.

Ruang rahasia itu dipenuhi cahaya hangat obor, aroma kayu, dan suara goresan pena—tapi di antara semua itu, ada ketegangan halus, rasa kagum, dan rahasia yang baru saja mulai terbentuk. Arya, seorang raja dengan pengalaman puluhan tahun, kini terdiam, tidak mampu mengalihkan pandangannya dari lontar di tangan gadis asing itu.

Di luar, malam Majapahit terus mengalir, hening tapi penuh misteri. Dan di ruang rahasia itu, antara seorang raja dan seorang gadis dari masa depan, sebuah rahasia baru mulai terukir di atas lontar—satu rahasia yang bahkan Arya sendiri belum sepenuhnya mengerti.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   149 — Kesalahan Rendra dan Dilema 'Lestari'

    Rendra, dengan napas terengah-engah dan jantung berdebar kencang, berlari secepat mungkin melewati koridor Istana. Langkahnya terhenti di depan pintu kamar pribadi Raja Arya Wuruk, di mana ia tahu Rajanya sedang bersama Mahapatih. Ia mengetuk pintu dengan tergesa-gesa, mengabaikan etika dan jam istirahat malam.Pintu terbuka. Arya Wuruk berdiri di sana, hanya mengenakan kain sarung yang diikatkan di pinggang, rambutnya sedikit acak-acakan. Di belakangnya, Alesha (masih dalam pakaian tidurnya) mengintip."Ada apa kau Rendra? Wajahmu pucat sekali, seperti melihat mayat bangkit dari kematian," tanya Arya, nada suaranya tajam karena terganggu.Rendra membungkuk, berusaha mengatur napas, suaranya tercekat karena panik."Ampun Paduka Raja! Ampun Mahapatih!" Rendra segera berlutut di ambang pintu. "Hamba... hamba baru saja berpapasan dengan Kebo Iwa."Alesha dan Arya langsung bertukar pandang yang dipenuhi ketakutan. Ketenangan mereka setelah insiden di pelabuhan seketika hancur."Apa?! Baga

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   148 — Rendra: Kunci yang Terjatuh

    Sore hari di Istana Wilwatikta memancarkan keindahan yang tenang. Bayangan dari arsitektur bata merah membentang panjang di halaman. Kebo Iwa, setelah beristirahat sejenak, memutuskan untuk mengikuti tawaran Raja Arya. Ia keluar dari kompleks tamu dan berjalan santai menyusuri taman-taman Istana yang asri, dan kemudian memberanikan diri melangkah keluar dari gerbang utama.Di luar tembok Istana, kehidupan di ibu kota Trowulan berdenyut. Kebo Iwa berjalan di antara kedai dan pasar kecil. Ia mendengarkan pembicaraan warga, ingin memahami bagaimana sesungguhnya Majapahit di mata rakyatnya. Hampir di setiap pembicaraan yang ia dengar, ada nada pujian yang tulus untuk Raja Arya Wuruk."Panen tahun ini berlimpah berkat saluran air Raja!""Raja kita sungguh bijaksana, dia memastikan tidak ada yang kelaparan.""Bahkan Mahapatih Gaja Mada kita pun hebat, meski wajahnya tertutup, otaknya tak tertandingi."Kebo Iwa menyimak semuanya. Ia mencari Lestari, tetapi ia hanya menemukan kesejahteraan da

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   147 — Jebakan di Istana dan Ciuman Terlarang

    Perjalanan dari pelabuhan ke Istana Wilwatikta terasa mencekam. Kebo Iwa menunggangi kuda di belakang Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada, matanya terus mengamati setiap detail ibu kota Majapahit—dari arsitektur bata merah yang megah hingga keteraturan prajurit yang berbaris di jalanan. Pikirannya dipenuhi kekacauan. Ia datang mencari Lestari, tetapi yang ia temukan adalah Raja dan Mahapatihnya, dan ia masih belum bisa melepaskan perasaan aneh bahwa mata Mahapatih itu terasa sangat familiar.Setibanya di Istana, Kebo Iwa segera dibawa ke kompleks khusus tamu kerajaan. Itu adalah bilik mewah, dilengkapi perabotan kayu jati ukir, yang membuat penginapan terbaik di Bali terlihat sederhana.Kebo Iwa meletakkan buntalan kain lusuh yang berisi beberapa pakaian dan perbekalannya di lantai kamar tamu itu. Ia merasakan kehangatan keramahan Majapahit, tetapi di saat yang sama, ia merasakan udara tipis di lehernya. Ia tahu, ia sedang berada di sarang musuh."Tuan Patih," ujar Arya Wuruk dengan se

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   146 — Duel Pandangan

    "ASTAGA, ARYA! Ada Kebo Iwa! Lihatlah di arah sana, di kerumunan dekat tiang bendera! Dia ada di Wilwatikta!" bisik Alesha, suaranya tercekat di balik penutup kain Mahapatih Gaja Mada.Rahang Arya Wuruk sempat mengeras hebat. Ini bukan hanya kejutan; ini adalah tindakan yang setara dengan invasi rahasia. Kebo Iwa datang tanpa diundang, tanpa utusan, dan tanpa jaminan keselamatan. Arya merasakan darahnya mendidih, tetapi ia segera mengendalikan diri. Sebagai seorang Raja, ia harus bertindak dengan perhitungan, bukan emosi."Maka kita harus menyambutnya," ucap Arya, suaranya tenang namun mengandung ancaman tersembunyi. "Kita harus menyambutnya sebagai Raja dan Mahapatih dengan baik."Arya menoleh kepada Laksamana Nala. "Laksamana Nala, uji coba kapal kita lakukan di lain waktu. Sekarang aku ada urusan mendadak dan harus menyambut seorang tamu yang sangat penting," ujar Arya, menunjuk sekilas ke arah kerumunan. "Kita harus menyambut Patih Bali, Kebo Iwa."Laksamana Nala agak terkejut. Ia

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   145 — Pertemuan Dua Panglima di Jantung Majapahit

    Kebo Iwa berjalan menyusuri pelabuhan, kakinya yang besar menginjak tanah Jawa, merasakan atmosfer Majapahit yang sangat berbeda dari Bali. Matanya terus waspada, mengamati kapal-kapal dagang yang padat dan prajurit berseragam di mana-mana. Ia mencari penginapan, namun langkahnya terhenti oleh desas-desus yang menyebar cepat di antara para buruh pelabuhan."Lihat! Di sana! Kapal Jung Jawa! Kabarnya Raja Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada sendiri yang datang melihatnya!""Mahapatih Gaja Mada? Yang terkenal sakti itu?""Iya! Mereka sedang berada di atas kapal besar yang baru selesai itu!"Mendengar nama Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada, rasa ingin tahu Kebo Iwa, yang memang seorang Panglima Perang, langsung memuncak. Ia penasaran ingin melihat secara langsung wajah Raja yang kebijaksanaannya dipuji-puji oleh Lestari, dan ingin tahu seperti apa sosok Mahapatih yang memimpin Majapahit menuju kejayaan.Kebo Iwa bergegas mengikuti arah desas-desus. Ia harus menembus kerumunan warga dan pr

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   144 — Lahirnya Jung Jawa, Penakluk Samudra

    Beberapa bulan telah berlalu sejak kepulangan Alesha dari Bali dan ledakan kecemburuan yang hampir membakar kamar Raja. Hubungan mereka kembali harmonis, diwarnai strategi politik yang kini difokuskan pada pemanfaatan kelemahan Kebo Iwa dan negosiasi diplomatik yang hati-hati dengan Pajajaran (yang kini ditangani langsung oleh Alesha, tentu saja).Pagi yang cerah itu, saat Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada (Alesha) sedang membahas logistik pangan untuk ekspedisi berikutnya, Laksamana Nala tiba-tiba menghadap. Wajahnya yang biasanya tenang, kini dipenuhi senyum puas dan bangga."Paduka Raja, Mahapatih," lapor Laksamana Nala, membungkuk dalam. "Hamba datang membawa kabar sukacita. Kapal agung itu... Kapal yang Paduka perintahkan dengan desain khusus dari Mahapatih, telah selesai dibuat."Mendengar berita itu, Arya dan Alesha sontak bangkit dari duduk mereka. Rasa lelah, ketegangan politik, dan drama pribadi seketika sirna, digantikan oleh antusiasme murni."Sudah selesai?" tanya Arya,

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status