Malam itu hening menyelimuti ruang rahasia di bangsal raja. Hanya suara obor yang menari di sudut ruangan, membentuk bayangan gelap yang bergoyang di dinding kayu. Lembaran lontar yang berserakan di lantai tampak seperti lautan simbol yang menunggu untuk dipecahkan. Alesha, duduk di lantai sambil menatap aksara Kawi yang asing di depannya, merasakan rasa bosan dan frustrasi sekaligus. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena takut, tapi karena rasa penasaran yang membara. Ia tahu, menguasai aksara dan bahasa kuno ini adalah satu-satunya jalan untuk memahami dunia di sekelilingnya—dan mungkin, satu-satunya cara untuk kembali ke masa depan.
Ia mencoba menarik napas panjang, menenangkan pikirannya yang riuh. Cara-cara modern yang biasa ia gunakan—buku teks, aplikasi ponsel, kursus online—tidak ada di sini. Hanya ada lontar, pena bambu, dan tinta alami. Tapi Alesha, otak auditor yang cerdas dan cepat menangkap pola, menolak menyerah. Namun pertanyaan yang menekan hatinya: bagaimana cara meminta Arya Wuruk atau Rendra mengajarinya tanpa bisa berbicara dengan bahasa mereka? Beberapa saat kemudian, pintu ruang rahasia terbuka perlahan. Arya Wuruk masuk, langkahnya tenang namun tegas, dan matanya menyorot ke arah Alesha dengan rasa ingin tahu yang lembut namun waspada. Begitu Alesha melihatnya, matanya berbinar. Tanpa kata-kata, ia meloncat dari duduknya, meraih lengan Arya, dan menariknya ke arah lantai tempat lontar-lontar itu berserakan. “Aku… aku mau belajar ini!” katanya dengan semangat yang meledak-ledak, sambil menepuk dadanya dan menunjuk ke lembaran-lembaran lontar yang tertata acak. Kedua tangannya terangkat, isyarat bahwa ia tak tahu harus memulai dari mana, namun tekadnya jelas terlihat. Arya terdiam sejenak, alisnya terangkat sedikit, mata tajam menatap Alesha dengan campuran kebingungan dan rasa ingin tahu. Gadis asing ini tampak begitu berbeda—cerdas, berani, dan penuh tekad. Tanpa sepatah kata pun, ia mulai menelusuri lontar yang ditunjuk Alesha, membaca aksara demi aksara dengan nada yang jelas dan tenang. Alesha, dengan penuh semangat, menepuk-nepuk lontar lain di hadapannya, menunjuk huruf-huruf secara acak. Arya membaca satu persatu, dan Alesha menirukan ucapannya, berulang kali. Lalu, seolah mendapat ide, ia mencelupkan ujung jarinya ke mangkuk kecil berisi air dan mulai menulis di lantai kayu jati. Setiap goresan basah meninggalkan jejak kilau samar di bawah cahaya obor, membentuk aksara yang hanya bertahan sebentar sebelum menguap. Arya menatap heran, alisnya sedikit terangkat. Baginya, cara itu aneh—tidak pernah ada orang di istana yang belajar menulis dengan air. Tapi ia tetap diam, hanya memperhatikan gadis asing itu yang tampak begitu serius. Alesha, sebaliknya, tampak sangat fokus; matanya berkilat penuh rasa penasaran, bibirnya berbisik lirih menirukan suara Arya. Meski bentuk huruf yang ia buat masih goyah, ia tampak puas setiap kali berhasil mengulanginya dengan lebih rapi sebelum jejak air itu hilang. Bagi Arya, pemandangan itu aneh sekaligus memikat: seorang gadis yang bukan berasal dari dunia ini, menemukan cara belajar sendiri dengan media sesederhana air. Bagi Alesha, setiap huruf yang ia tulis dan lenyap bersama udara malam justru memberi semangat—seolah ia sedang menaklukkan rahasia zaman sedikit demi sedikit. Setelah beberapa lama, Arya mengambil beberapa lembar lontar kosong dan dua pulpennya—atau lebih tepatnya, alat tulis primitif berbentuk seperti fountain pen kecil dengan mata pisau—yang biasa digunakan di istana untuk menulis. Dengan gerakan presisi dan sabar, ia menulis satu persatu aksara Kawi di atas lontar kosong. Alesha menirukan setiap goresan dengan cermat, bahkan mulai menambahkan terjemahan alfabet modern di samping setiap aksara yang ia tulis. Hening menyelimuti ruangan, hanya suara goresan pena di lontar yang terdengar. Matanya berkilau, bibirnya sesekali menggumam mengikuti ucapan Arya. Ia tidak peduli waktu yang terus berjalan; pikirannya hanya fokus pada huruf-huruf yang kini terasa seperti kunci dunia lain. Arya Wuruk duduk diam beberapa langkah darinya, memperhatikan dengan penuh kekaguman. Gadis ini, dengan kesabaran dan ketekunan luar biasa, menyerap setiap detail yang ia tunjukkan. Tangannya berhenti sejenak saat melihat apa yang ditulis Alesha di samping setiap aksara Kawi. Matanya melebar, alisnya terangkat, dan bibirnya sedikit terbuka dalam keheranan. “Huruf… ini… dari kerajaan mana?” gumam Arya pada dirinya sendiri, suara rendah yang nyaris tidak terdengar. Ia merasa tercengang—bukan hanya karena ketelitian Alesha, tapi juga karena simbol yang ditulisnya, alfabet tambahan yang menyertai aksara kuno itu, tampak sama sekali asing bagi siapa pun di istana. Alesha menatap Arya dengan mata berbinar, penuh harap. Ia belum menyadari bahwa setiap huruf yang ia tulis dengan terjemahan sendiri, di satu sisi, mulai membuka pemahaman baru bagi Arya Wuruk sendiri. Ruang rahasia itu dipenuhi cahaya hangat obor, aroma kayu, dan suara goresan pena—tapi di antara semua itu, ada ketegangan halus, rasa kagum, dan rahasia yang baru saja mulai terbentuk. Arya, seorang raja dengan pengalaman puluhan tahun, kini terdiam, tidak mampu mengalihkan pandangannya dari lontar di tangan gadis asing itu. Di luar, malam Majapahit terus mengalir, hening tapi penuh misteri. Dan di ruang rahasia itu, antara seorang raja dan seorang gadis dari masa depan, sebuah rahasia baru mulai terukir di atas lontar—satu rahasia yang bahkan Arya sendiri belum sepenuhnya mengerti.Siang itu, di balairung istana Wilwatikta, suasana masih dipenuhi para abdi yang mondar-mandir menyiapkan laporan. Raja Arya Wuruk duduk di singgasananya, matanya tajam namun menyimpan kelelahan yang tidak pernah ia tunjukkan pada rakyat.Rendra, pengawal pribadinya, maju dengan langkah cepat lalu berlutut. “Paduka… hari ini adalah ujian terakhir pemilihan Pamong Muda di alun-alun Kotaraja. Apakah Paduka hendak menyaksikannya?”Arya terdiam sejenak, jemarinya mengetuk sandaran singgasana. Sorot matanya tajam, menyimpan bara yang kian hari makin menyala sejak kepergian Alesha. “Ya,” jawabnya lirih tapi tegas. “Aku ingin menyaksikannya sendiri. Ujian terakhir ini akan menentukan siapa yang pantas mengurus tanah dan rakyatku.”Dengan pengawalan terbatas, Arya pun bersiap menuju alun-alun.Alun-alun Kotaraja – Tahap 3 Ujian StrategiSuara gong tiga kali menggema. Para peserta berbaris rapi, jumlahnya kini hanya empat puluh orang. Panitia mengumumkan aturan tahap akhir:“Ujian strategi i
Balairung istana Wilwatikta pagi itu dipenuhi cahaya matahari yang menembus jendela-jendela kayu berukir. Namun di dalam ruangan megah itu, udara terasa dingin, berat oleh aura murka yang tertahan.Rendra melangkah masuk, diikuti dua orang bayaran yang wajahnya kusut penuh debu perjalanan. Dengan langkah cepat Rendra mendekat, menunduk hormat, lalu berbisik lirih, “Paduka… sudah lebih dari sepekan kami mencari. Pasar-pasar, pelabuhan, pos pajak, rumah singgah, hingga ke desa-desa terdekat… tidak ada tanda-tanda Nimas Alesha. Seakan ia lenyap begitu saja.”Arya yang mendengarnya langsung menghentikan pembicaraan dewan. Tangannya mengepal erat di atas lengan kursi singgasana. Senyum tipis yang tadi ia pertahankan hilang, berganti garis wajah kaku menahan amarah.“Tidak ada… tanda… sama sekali?” suaranya rendah, tapi bergetar menahan bara.Salah satu orang bayaran menunduk makin dalam. “Ampun, Paduka. Kami bahkan menanyakan dengan membawa sketsa wajah yang dibuat jurukambar. Tidak seoran
Gong besar ditabuh sekali lagi, nadanya menggetarkan dada para peserta. Di alun-alun Kotaraja, kerumunan rakyat sudah semakin padat. Mereka ingin menyaksikan bagaimana para calon pamong muda ditempa dalam ujian ketahanan fisik.Seorang panitia berseragam prajurit maju, suaranya lantang, “Tahap kedua akan menguji tiga hal: ketepatan memanah, kekuatan mengangkat beban, dan keperkasaan dalam duel tanpa senjata. Nilai akhir akan diambil dari akumulasi ketiganya. Dari seratus peserta yang tersisa, sepuluh akan digugurkan di tahap ini.”Sorak-sorai terdengar dari para penonton, sebagian bahkan berseru menyebut nama-nama calon pamong dari desa mereka.Ujian MemanahBarisan peserta ditarik maju satu per satu. Sasaran berupa lingkaran dari anyaman rotan dipasang pada jarak tertentu.Ketika giliran Gundra, pemuda tinggi besar dengan dada bidang dan tangan kekar, panitia memberikan busur padanya. Dengan penuh percaya diri ia menarik tali busur. Anak panah melesat, menancap cukup dekat dengan lin
Balairung sudah sepi. Para rakryan satu per satu pamit setelah rapat panjang mengenai tanah pembagian untuk rakyat miskin. Lampu minyak masih menyala redup di sudut ruangan, bayang-bayang api menari di dinding batu. Hanya tinggal Raja Arya Wuruk yang duduk di singgasana, tegak, seakan tubuhnya terbuat dari baja.Namun genggamannya pada gulungan lontar itu bergetar.Ia membuka sekali lagi—meski ia sudah membaca berulang kali sejak siang. Tulisan Alesha, rapi, tegas, penuh perasaan. Kata-kata itu menghantam dadanya, seakan setiap kalimat adalah pisau yang ditancapkan perlahan."Aku sangat berterimakasih dipertemukan denganmu… jangan khawatir, jangan mencariku… aku akan baik-baik saja…"Arya menutup mata rapat-rapat. Rahangnya mengeras. Dari luar, ia tampak tenang, bahkan dingin, tapi di dalam kepalanya ribuan suara berteriak.'Kau bilang jangan kucari? Bagaimana bisa aku diam, Lesha?Kau pikir aku mampu duduk tenang di istana ini, sementara entah di mana kau berada, sendirian, tanpa per
Langkah Dharmadyaksa terhenti tepat di hadapan Alesha. Suasana alun-alun yang semula riuh oleh peserta yang sibuk menulis kini serasa terhenti hanya pada satu titik: di hadapan sosok berjubah panjang dengan wajah tertutup kain hitam.Tatapan mata tua itu menusuk, dalam dan penuh selidik. Suaranya tenang, namun membawa wibawa yang membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.“Anak muda…” ucapnya perlahan, “Mengapa engkau menutup wajahmu seperti itu? Dan mengapa engkau memakai jubah panjang di bawah terik matahari? Tidakkah engkau merasa gerah?”Seketika, napas Alesha tercekat. Dalam hati ia berteriak:Gerah sekali! Rasanya aku bisa meleleh di balik kain ini. Di negeri tropis seperti ini, siapa yang tahan memakai jubah panjang?Namun ia tahu, kata-kata itu tak boleh keluar dari mulutnya. Wajahnya tetap menunduk, dadanya naik-turun menahan gugup. Ia berusaha mengatur suara, menurunkannya agar lebih berat dan maskulin, seperti suara seorang lelaki dewasa.“Wajah dan badan saya penuh bekas luka y
Alun-alun Kotaraja pagi itu berubah menjadi lautan manusia. Langit cerah, matahari baru setengah meninggi, tapi panasnya sudah terasa menusuk kulit. Ratusan orang dari berbagai daerah tumpah ruah: calon Pamong Muda, prajurit pengawal, para pejabat, pedagang kecil yang membuka lapak darurat di pinggiran, hingga rakyat jelata yang datang sekadar menonton. Alesha berdiri di antara kerumunan, mengenakan pakaian samarannya: kain sederhana yang lusuh, wajah penuh bekas luka-luka palsu yang dibuat Samudra, lengan yang dibalut kain seolah habis bertempur. Samudra dan Mahadeva berada tak jauh di sisinya, seolah hanya pengawal atau kawan seperjalanan. Hanya mereka bertiga yang tahu siapa sebenarnya “lelaki asing” bernama Jaya itu. Dentuman gong menggetarkan dada, disusul genderang besar yang dipukul bertalu-talu. Semua suara pasar mendadak senyap, berganti tatapan serius ribuan pasang mata ke arah panggung utama. Dari sisi kanan, barisan pejabat tinggi kerajaan memasuki alun-alun. Paling dep