Share

KESENGSARAAN ARWAH PENUMBALAN

Di balik otak tersimpan berbagai peristiwa yang tidak nampak. Ingatan yang memiliki kesan akan terus meninggalkan jejak.

Apa bila terus di telusuri rasa penasaran akan semakin memuncak. Yang terkadang malah menjebak, dari pikiran itulah perlahan - lahan gajal mulai terkuak. Tapi apa sebenarnya yang perlu di tebak?

*

Mata Ayu langsung menangkap sosok Ki Ageng Romo di hadapannya beserta Laras yang masih terbaring. Lelaki itu pun sempat terkejut karena kini ia sedang berada di lain tempat setelah sebelumnya berada di kediaman Ki Ageng Romo.

"Jangan terlalu lama mengulur waktu, aku akan menjaga anakmu dan menunggumu di sini," ucap Ki Ageng Romo. Namun, hanya suaranya saja yang terdengar, sebab bibir pria itu tetap terkatup rapat. Sama halnya dengan kedua matanya.

Seolah-olah Ki Ageng Romo berkomunikasi dari tempat lain. Sementara yang ada di hadapan Ayu saat ini adalah refleksi khodam Ki Ageng Romo untuk menjaga Laras di batas gerbang gaib.

"Baik, Ki." Ayu lekas berdiri kemudian ada kunang-kunang bersinar biru yang menuntunnya untuk masuk ke dalam gerbang yang gelap.

Dalam langkahnya, sesekali Ayu menoleh ke belakang, ke tempat di mana Laras dan khodam Ki Ageng Romo terdiam. Kini, Ayu siap untuk memasuki alam lain. la berjalan dengan waspada, lalu tergemap kaku di langkah-langkah pertamanya.

Tempat ini memancarkan aura yang lebih... JAHAT

Semakin dalam Ayu menjelajah, semakin kuat energi hitam yang Ayu rasakan.

"Ingat, Ayu! Jangan lengah, jangan takut terhadap apa pun." Suara Ki Ageng Romo kembali bergema. Ayu pun segera sadar dan mulai mengikuti cahaya kebiruan kunang-kunang yang melayang di depannya.

Ayu melangkah lagi dengan degup jantung yang bertalu riang. Sebisa mungkin

ia menghiraukan keberadaan para pocong yang berjajar di lorong tersebut. Mayat-mayat berbalut kafan kotor itu meringis dan meratap. Entah apa yang membuat mereka berada di tempat tersebut secara bersamaan.

Akan tetapi, Ayu tidak ingin ambil pusing. la melangkah lebih cepat bahkan bisa dikatakan dengan berlari.

Di ujung lorong, Ayu memelankan laju kakinya. Dengkus napas yang tersendat-sendat membuat dadanya sesak. Perempuan itu kemudian menyongsong suatu wilayah usai keluar dari gerbang. Kini, bukan hanya gelap yang harus dihadapinya, tetapi bias-bias cahaya kemerahan bagai cucuran darah di langit serta hawa panas yang kentara, membuat Ayu bergidik.

"Bagaimana bisa aku akan meninggalkan Sukma anakku di alam yang mengerikan seperti ini?" gumam Ayu pada Laras yang saat ini entah di mana.

Ayu terpanggil untuk mencari tahu sosok Iblis itu lebih dalam. Ada energi kegelapan yang mendesirkan darahnya. Bahaya apa pun di depan matanya, Ayu siap menyambutnya..

Bagai berjalan di kawasan hutan yang baru saja terbakar, Ayu bergerak dengan hati-hati. Ujung-ujung batu runcing dan arang kayu, bisa saja melukainya. Tempat itu benar-benar bagai neraka.

Di kegelapan yang membentang, asap-asap berbau sangit meliuk tak beraturan. Tak terdengar suara satu binatang pun bersahutan. Nyaris dominan oleh desau angin yang membuat hawa semakin panas. Kondisi yang sesungguhnya tak mampu benar-benar melepaskan sunyi.

Ayu mengernyit bingung pada apa yang dilihatnya. Sekilas, wajah-wajah asing melintas samar di depan sana dengan wujud mengerikan dan penuh riak nelangsa. Tak peduli pada hasrat keingintahuannya, Ayu berjalan melewati sebuah ceruk tanah berbentuk lingkaran. Derap langkah yang melumatkan dedaunan hitam nan kering, beradu dengan tangis dan kepedihan yang berasal dari sana.

Ayu membeku, mengedarkan pandangan dengan gusar. Lantas, ia menyadari jika orang-orang yang sedang berkumpul dalam ceruk lingkaran itu merupakan manusia-manusia yang semasa hidupnya bergelimang harta karena bersekutu dengan iblis. Kini, mereka menjadi budak di alam ini.

Samar, Perempuan itu mendengar tawa. Embusan angin membuat suaranya seolah jauh, tetapi sumbernya terasa begitu dekat. Ayu kembali melangkah. Akan tetapi, tubuhnya langsung membeku saat menemukan sesosok makhluk tua kurus di ujung sana. Dia merangkak, membawa badan serupa tulang terbalut kulit tipis yang rusak, merangkak dengan gerakan kaku dan perlahan.

Ayu menahan laju napas, panik. Mewaspadai agar makhluk botak dan bertaring itu tak menoleh ke arahnya.

Dengan gerakan pelan, Ayu menghadapkan tubuhnya ke sisi lain. Dalam hati ia merapalkan mantra, agar makhluk menyeramkan itu lenyap pergi.

Tampak di kejauhan sana, seorang gadis belia bergaun merah tengah berdiri memeluk boneka yang sangat kotor. "Ibu ...," isaknya pelan.

"Larass?" Ayu berusaha menggapai tempat gadis itu berada. Namun, melihat pergerakan yang mendekat ke arahnya, gadis Belia itu terkesiap, lantas berusaha lari dengan langkah tertatih.

"Larass! Mau ke mana? Ini ibu, Sayang. Ibu rindu sama kamu Larass!" panggil Ayu, mengejar. Jalan terjal penuh bebatuan dilaluinya dengan mudah. Perempuan itu tetap mendekat ke arah gadis yang kini berdiri membelakanginya di ujung tinggi sana. la terisak lagi.

Terdengar kembali pekikan penuh ketakutan dari segala penjuru. Namun, Ayu berusaha tak peduli dan masih berusaha menggapai anak kecil tersebut. Kali ini, Ayu sedikit kesusahan saat mendaki bebatuan yang seolah sengaja ditumpuk untuk dibakar.

"Larass ." Ayu menggapai bahu gadis itu lembut. Akan tetapi, saat ia menoleh dengan raut ketakutan, barulah Ayu sadar itu bukan anaknya.

"Anak siapa ini, di sini?"

Gadis kecil itu hanya meringis, mengeratkan pelukan pada bonekanya.

"Apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu juga tersesat?" tanya Ayu, sedikit tak yakin ia menanyakan hal yang sama dengan kondisinya sendiri. Ia pun sebenarnya tidak tahu arah.

Gadis Belia itu menunjuk ke arah kegelapan. Ayu memicing, berusaha melihat apa yang tak tampak sedikit pun oleh matanya. Tak lama kemudian, bagai pementasan drama, ada sebuah pemandangan di mana seorang gadis belia tengah diikat dalam goa. Gadis Belia bergaun merah itu meraung memanggil-manggil ibunya. Sementara tak jauh darinya, ada sepasang suami istri yang tengah duduk bersimpuh seraya mengatupkan kedua tangan di atas dahi mereka.

"Terimalah sesembahan kami, Tuan Agung Yang Mulia."

Ayu terperangah ketika tangis gadis itu lenyap setelah lehernya terpenggal oleh kibasan angin. la menoleh ke samping dengan cepat. Lagi, perempuan itu harus dikejutkan oleh pandangannya sendiri. Gadis Belia bergaun merah yang berdiri di sisinya kini tak memiliki kepala.

Karena kaget, Ayu terjengkang dan meluncur melindas bebatuan tajam yang membentuk piramida tersebut.

"Ayuu, pergi dari sana! Kau tidak seharusnya turut ikut campur pada kesengsaraan arwah penumbalan!" Suara Ki Ageng Romo menggema.

Masih dalam posisi terbaring di tanah, perempuan itu pun merangkak untuk menjauh. Sekali lagi ia menoleh, lantas matanya terbeliak mendapati gadis itu telah hilang dari tempatnya.

Malam ini adalah malam jumat Kliwon dalam kombinasi kalender masehi dan kalender jawa. Peristiwa di mana hawa dunia gaib sedang dalam kondisi puncak-puncaknya.

Ayu sedikit kesusahan karena benar-benar kehilangan tujuan. Namun, kerlip cahaya kebiruan kembali muncul dan menarik perhatiannya. Ayu pun gegas berlari, tak peduli pada apa yang tertangkap indra pendengarannya. Suara-suara ketakutan yang meminta tolong mengerubungi kepalanya saat ini.

TO BE CONTINUED...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status