Share

Bab. 3

"Selamat pagi. Maaf, bisa kami lihat surat surat kelengkapan kendaraannya?" Seorang Polisi yang sedang bertugas menghentikan laju kendaraanku.

"Oh tentu," jawabku.

Kuraih tas slempang yang tergeletak di samping jok kemudi.

"A - apa?" Alangkah terkejutnya aku begitu resleting tas terbuka. Tidak ada dompetku didalamnya, sedangkan SIM dan beberapa kartu identitas lainnya berada disana.

"Aaah, betapa cerobohnya aku!" Kutepuk jidat sendiri. Baru teringat bila aku mengganti tas kerja hari ini. Sial, aku lupa memindahkan dompet dari tas yang kemarin kupakai.

"Maaf Pak, surat suratnya semua tertinggal di rumah," jelasku pada akhirnya.

"Kalo begitu dengan terpaksa Ibu kami tilang. Silakan Ibu keluar dan meninggalkan mobil Ibu disini. Dan Ibu bisa mengambilnya kembali setelah sidang dan menunjukkan surat suratnya!"

"Pak, Pak! Apa nggak bisa dengan jalan damai saja Pak?"

"Maksud Ibu?" Pria berseragam itu mengernyitkan keningnya.

"Emm, maksud saya, saya kasih Bapak uang dan ijinkan saya melanjutkan perjalanan saya Pak!" tanyaku sedikit ragu.

"Maaf, saya tidak butuh uang Ibu. Dan silakan Ibu ikuti prosedur yang berlaku!" Polisi itu dengan gaya arogan tetap memintaku untuk turun.

Aku terpaksa mengikuti perintahnya untuk turun dan keluar dari mobil. Huuuf.., sekarang aku harus segera memesan ojek online agar bisa secepatnya sampai ke sekolah.

Segera kuraih ponsel dari dalam tas. Tapi baru saja menatap layar di ponselku, aku kembali terkejut. Astaga! Layar HP ku hanya menampilkan warna hitam. Ternyata batreinya habis dan aku lupa mengechasnya kembali.

"Pak, Pak! Saya mohon Pak, saya mohon bantu saya. Saya harus segera pergi ke sekolah putri saya sekarang." Aku mulai frustasi kali ini.

Aku melepas jam mewah yang melingkar di tanganku. Ku jadikan satu dengan ponsel yang masih ku genggam di tangan. Menyodorkan kedua benda itu, berharap Polisi itu mau mempertimbangkannya.

"Tolong Pak, Bapak bisa bawa kedua barang ini sebagai jaminan. Saya akan kembali untuk menebusnya dan membawa surat suratnya setelah saya selesai menghadiri acara putri saya!"

Hasilnya?

Menyakitkan!

Polisi arogan itu bahkan tak sedikitpun melirik ke arahku dan terus sibuk mengisi surat tilang.

"Nama?"

"Aina Fattiyah," Jawabku sedikit kesal.

"Oke, serahkan kunci mobil Ibu pada kami!" Polisi yang kutahu bernama Fattan dari tulisan di seragamnya itu menengadahkan tangannya.

Aku menarik napas panjang sebelum dengan berat hati menyerahkan kunci ke tangannya.

Seketika kembali wajah Aiswa yang memohon muncul di benakku. Dadaku kembali sesak. Usahaku kali ini untuk bisa memenuhi permintaan Aiswa rasanya pupus sudah. Sudut mataku terasa kian berair. Aku hanya bisa menunduk lesu.

"Di mana alamat sekolah anak Ibu?"

Aku mendongak. Menatap malas Polisi yang sedari tadi mengintrogasiku itu.

"TK Mutiara, Jalan Pemuda Nomor 60."

Kulihat Fattan kemudian membisikkan sesuatu pada rekannya. Polisi disampingnya itu hanya beberapa kali mengangguk mendengar ucapan Fattan. Sebelum akhirnya berlari meninggalkan kami.

Tak lama berselang Polisi tadi kembali dengan mengendarai sebuah motor.

"Lapor Komandan! Perintah sudah siap dilaksanakan!" Begitu turun dari motor, Polisi itu langsung memberi hormat kepada Fattan yang tengah berdiri di depanku.

"Lanjutkan tugas!"

"Siaaap, laksanakan!"

Jujur, aku sempat merasa terpana melihat mereka yang tampak sangat gagah dan berwibawa dengan seragam dinasnya. Apalagi Fattan! Ternyata dibalik garis wajahnya yang tegas, dia sangat tampan. Hidung mancung dan mata elangnya, benar benar perpaduan sempurna yang tak membosankan untuk dilihat.

"Berhenti memandangi saya seperti itu, atau anda saya tilang dobel nanti?"

"Haah?" Aku terperangah. Jadi dia sadar dari tadi ku liatin?

"Kebetulan saya ada urusan dan harus kembali ke kantor. Kebetulan kita searah."

"Mak - maksudnya?" Aku tergagap, masih belum sempurna mencerna kata katanya barusan. Linglung !

Huuff, Polisi arogan itu tak lagi menjawab pertanyaanku. Ia hanya menyodorkan sebuah helm ke arahku.

"Dia mengantarku!?" teriak hatiku terkejut. Tapi sudahlah, aku tak mau lagi banyak bertanya. Membuang waktu.

Segera aku berjalan menghampiri dan meraih helm dari tangannya.

Kami melaju membelah kemacetan jalan. Tapi kurasa jauh lebih cepat memang bila menggunakan roda dua. Kami bisa menyalip diantara padatnya kendaraan.

Aku menarik napas lega, akhirnya bisa juga sampai di sekolah Aiswa sebelum acara selesai.

Dalam hati aku berucap, "Terima kasih Pak Polisi arogan!"

Aku berlari cepat ke arah aula sekolah. Napasku menjadi ngos ngosan saat tiba di depan pintu. Ruangan yang mampu menampung hingga 300 orang itu terlihat penuh.

Aku masih saja berdiri mematung di ambang pintu. Rasa ragu untuk masuk ke dalam kembali menyergap pikiranku. Terlebih, sepertinya memang tak ada yang menyadari kehadiranku. Karena semua mata tengah serius menatap ke depan panggung! 

"Di mana Aiswa dan Ibu," gumamku mencari keberadaan keduanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status