Share

Bab. 4

Aku pun memutuskan untuk segera duduk. Kini, semua murid murid naik ke atas panggung menyanyikan lagu " Guruku Tersayang" sebagai lagu persembahan untuk para guru. Lalu dilanjutkan penampilan murid yang maju ke depan, ada yang menyanyi, menari, dan beberapa dari mereka membaca puisi.

Aku dapat melihat Aiswa beberapa kali ikut tampil bersama teman temannya. Sayang sekali HP ku mati, hingga tak bisa mengabadikan momen itu seperti wali lainnya.

Aku berniat untuk segera pulang. Yang terpenting, aku sudah melihat penampilan Aiswa meski ia belum sempat melihatku.

"Selanjutnya adalah persembahan dari murid kami yang sangat berbakat. Aiswa! Akan membawakan tari piring dari daerah Sumatra Barat!" Pembawa acara menyebut nama putriku.

Aku reflek membalik badan, urung untuk pulang. Penasaran seperti apa penampilan putriku nanti.

"Prok prok prok!" Tepuk tangan meriah menyambut penampilan Aiswa begitu naik ke atas panggung.

Aiswa begitu cantik berbalut busana khas Minang. Senyum manis selalu tersungging di bibirnya. Sedang gerakannya begitu lincah seiring musik yang mengiringi tariannya. Mataku terpaku menatapnya.

Ooh..., begitu bodohnya sebagai orang tua. Aku yang sama sekali tak pernah tahu betapa luar biasa bakat gadis kecilku.

Semua mata penonton hampir tak berkedip. Mereka semua begitu terpesona melihat penampilan putriku. Aiswa layaknya bintang di atas panggung yang begitu memukau.

Terdengar musik mulai berhenti seiring dengan berakhirnya gerakan Aiswa menari. Aiswa menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada sembari membungkukkan sedikit badannya. Tanda bahwa ia telah selesai dengan penampilannya, sekaligus sebagai simbol penghormatan kepada para penonton.

Setelah Aiswa kembali menegakkan badan, terlihat ia maju beberapa langkah ke depan dan berhenti tepat di muka mikrofon. Namun tak sepatah katapun terucap dari bibirnya, hanya sepasang mata beningnya nampak bergerak menyisir setiap sudut ruangan. Seperti ia sedang mencari sesuatu.

Semua penonton menjadi terheran menatap Aiswa yang hanya diam terpaku di atas panggung. Begitupun diriku yang masih melihatnya dari kejauhan, di ambang pintu aula.

Haaap! Aku seketika berlari sembunyi di balik dinding aula tatkala pandangannya hampir tertuju ke arahku.

"Ya Tuhan, benarkah dia tengah mencariku?" lirih batinku.

"Mama!" sebuah suara menggema. Suara itu? Suara Aiswa!

Aku terkesiap! "Apakah Aiswa telah melihatku?" batinku bertanya tanya.

Suasana kembali hening! Membuatku kian penasaran. Sedang apa Aiswa kini?

Kembali kucoba memberanikan diri ini mengintip ke dalam ruangan aula dari celah pintu. Mencari jawaban dari penasaranku.

Hatiku berdesir! Disana nampak Aiswa masih berdiri terpaku dengan mata yang mulai berkaca kaca.

"Mama!" kembali suaranya memecah kesunyian. "Ais tidak tahu apakah kali ini Mama melihatku atau tidak. Ais hanya ingin mengatakan sesuatu untuk Mama."

Aiswa menghela napas berat. Sepertinya apa yang akan dikatakannya adalah sesuatu yang sangat sulit.

"Mama, Ais minta maaf! Karna mungkin selama ini Ais udah bikin Mama susah. Ais tahu, hidup Mama begitu letih karena Ais. Demi Ais, Mama harus..." Ucapan putriku kembali terjeda, dengan tatapannya yang terus memandang lurus kedepan.

Aiswa mengusap wajahnya dengan punggung tangannya. Menyeka cairan bening yang sedari tadi ia tahan, dan mulai jatuh membulir di pipinya kini.

"Demi Ais, Mama seringkali harus kerja dari pagi hingga larut malam setiap hari. Hampir tak ada waktu untuk kita bisa bersama. Tapi Mama, hik - hik - hik!" Isakan tangis mulai terdengar disela kalimat yang meluncur dari bibir mungilnya.

Semua diam! Semua bungkam! Hanya tatapan iba dari ratusan pasang mata kini tertuju satu arah di atas panggung. Demi mendengar sedihnya curahan hati seorang gadis kecil di depan mereka.

"Mama, Tuhan telah meletakkan surga dibawah telapak kakimu. Ijinkan Ais..., ijinkan Ais meraihnya Ma! Ais ingin bisa berbakti pada Mama."

"Mama, ridhoi hidup Ais. Hik hik hik,"

Aiswa kian terisak, membuat semua yang hadir tak kuasa menahan haru. Gadis kecil itu telah menyentuh jiwa sentimentil semua orang.

Semua tubuh kini mematung. Semua wajah kini berusaha membendung jatuhnya cairan yang seakan siap luruh begitu saja dari setiap mata.

"Te - terimakasih Mama. Aiswa sayang Mama!" lirih Aiswa.

"Aiswaaaaaa!" Seorang wanita paruh baya tiba tiba berjalan cepat dan langsung naik ke atas panggung. Tubuhnya kemudian menghambur memeluk cucu kesayangannya dengan berurai air mata. Di hujaninya pipi lembut bocah itu dengan ciuman yang bertubi tubi. Serasa ingin menumpahkan segala rasa sayang yang ia miliki untuk Aiswa.

Aku merasa seperti tertampar ribuan kali kala melihatnya. Sakiiit! Hatiku teramat sakit karna menyadari kebodohanku selama ini. Putriku Aiswa, ternyata dia begitu menyayangiku. Tak sedikitpun mendendam padaku meski perlakuanku yang seolah menganggapnya tak pernah ada. Hatiku teriris perih. Netraku pun mulai membasah karenanya.

Seorang Guru wanita melangkah menghampiri Aiswa dan Ibu yang kini saling berpeluk. Guru itupun turut merangkul keduanya dengan linangan air mata di pipinya.

Semua seperti terhipnotis melihat pemandangan tersebut. Mereka pun reflek saling menggenggam tangan dan memeluk anggota keluarga masing masing. Isak tangis tak terbendung lagi dari tiap mata yang hadir.

Kututup rapat mulutku dengan jemari tangan menahan isakku. Tak terelakkan sudah, air mata pun menganak sungai membanjiri wajahku.

Ingin rasanya aku berlari kesana, menghambur memeluk gadis kecilku. Namun, tubuhku terasa kaku tanpa daya untuk bergerak.

Rasa sesak begitu memenuhi rongga dadaku meski tlah berulangkali ku hela napas panjang untuk mengisi ruang paru paruku. Membuat tenggorokanku kian tercekat. Padahal ingin sekali aku berteriak memanggilnya, "Aiswa, Mama disini Nak!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status