Refleksku secepat kilat, mengayunkan tangan kami ke samping. Tapi tetap saja, peluru itu menembus tubuh Heksa tepat di bahu kanannya.
"Heksa!!" Air mataku jatuh entah ke mana. Aku berlutut. Senyum tenang perlahan menghilang dari wajah datarnya. Dia terbaring, lemah, tapi tatapan dinginnya masih saja mengunci mataku. "Kamu gila, Heksa!" "Jadi, kenapa aku masih di sini, Khal?" desis Heksa, sambil berusaha meraih kembali revolver yang terpental dari tangannya. "Harusnya tempatku bukan di sini." Tanpa berpikir panjang, aku meraih pipinya dengan kedua tanganku. Segera kudaratkan bibirku di bibirnya, mencoba menenangkan agar dia enggak melakukan hal sembrono lagi. Iya, rasanya masih sama seperti dulu, tipis, basah, lembut, dan tenang tanpa ada perlawanan. Apa dia selalu begitu? "Khal," panggilnya sambil menepuk pundakku. Bibir kami berpisah. "Iya?" "Kamu percaya, kalau perasaanku bakal selalu kayak gini?" Aku mengangguk pelan. Pura-pura setuju. Padahal perasaanku sudah benar-benar berubah. "Kita gak mungkin bisa sama-sama lagi, kamu telat!" bibirku kembali mengerucut. Heksa hanya mengangkat alis. "Gak ada kata terlambat, Khal," balasnya, senyum kecil mulai terukir di bibirnya. "Kita bisa lakuin apa pun yang kita mau, kayak yang barusan kamu lakuin." "Maksudnya?" "Gak ada batasan buat kita." "Aku masih gak ngerti maksud kamu." "Cukup kita berdua aja yang tahu. Dan itu alasannya aku ada di sini." "Apa? Aku masih bingung." "Kamu gak perlu bilang apa-apa, Khal. Kamu udah ngakuin perasaanmu lewat ciuman barusan. Dan aku di sini, untuk malam pertamamu." "Hah? Kamu gila!" "Aku tunggu di mobil. Atau aku bisa saja masuk dan bikin ribut di pesta pernikahanmu." CUIIIIT CUIIITTT!!!! Suara alarm dari Jeep Rubicon yang terparkir enggak jauh dari kami pun tiba-tiba meraung. Aku menarik napas dalam-dalam. Sementara itu, Heksa masih memegangi bahunya yang terluka sambil perlahan berdiri. "Argh ... Sekarang keputusan ada di tanganmu, Khal." Jadi dia ke mari hanya untuk memberiku sebuah pilihan, lagi? "Terserah, aku nggak peduli!!" ketusku sambil memperhatikannya menjauh. Aku merapikan diri, kemudian berjalan menuju rumah dengan banyak pertanyaan di kepalaku. Kenapa aku harus peduli dengannya? Tapi, kalau dia berbuat nekat seperti tadi lagi bagaimana? Bagaimana kalau Alzian sampai tahu hubungan kami sebenarnya? Dan di langkah ke tiga, kaki justru menggiringku kepada Heksa. Dan tibalah aku di depan pintu mobil yang memang sengaja dibuka. Heksa ada di dalam, duduk menyilangkan tangan di atas kemudi. Lampu di langit mobilnya remang, jadi kilauan darah di bahunya terlihat jelas. Ekspresi wajahnya masih saja datar, tenang, seperti enggak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Tanpa berpikir panjang aku pun duduk di kursi depan, dan menutup pintu di sampingku. Dia bersiap memulai perjalanan. "Kita mau ke mana?" tanyaku sambil menatapnya lebih lama. "Heksa? Aku gak bis—" "Kamu yang nentuin, mau ke mana." "Semua orang bakal curiga kalau aku tiba-tiba pergi." "Oke," gumam Heksa pelan sambil melempar jaket yang berlumuran darah ke kursi belakang, lalu menyusul dengan kaos Army yang dipakainya. Setelah itu, dia mematikan lampu mobil dan berkata, "Kita bakal selesaiin ini di sini." Kenapa bisa begini? Seharusnya aku ada di ranjang Alzian, suamiku. Bukan malah ditindih tubuh kekar Heksa yang bikin aku susah bernapas. Aku bisa merasakan gairahnya, jelas terasa dari cara dia menyentuhku. Tapi ekspresinya tetap tenang, dingin, tanpa banyak bicara. Bahkan waktu dia mulai menurunkan celananya, dan cuma tinggal satu lapis kain yang tersisa, dan … wow. Pisangnya menonjol dari balik karet celana dalam itu. Dia nggak bergerak, cuma menatapku lama, pandangan yang bikin jantungku berdebar enggak karuan. Lalu dengan suara rendah, dia bilang, "Khalisa, aku harus gimana?" "Kamu serius mau ngelakuin ini?" bisikku, sambil menoleh ke setiap sudut jendela mobil. Masih sepi. Aman, jadi aku lanjutkan, "Di sini!!?" Heksa mengangguk, kemudian mendaratkan bibirnya di leherku, menjalar lembut ke telinga dan berhenti di sana sebelum berbisik, "Kasih aku perintah, Khal! Aku nggak mau bikin keputusan di saat kayak gini." "Terserah." Bibirku mengambil alih, menyapu habis bibirnya yang tipis. Gerakan bibirnya kaku tapi penuh perasaan. Ada tatapan ragu di matanya, "Jadi aku orang pertama yang nge-unboxing kamu setelah kamu menikah?" "Enggak, juga," jawabku jujur. Karena sebelum ini Alzian juga sempat mencium dan merabaku, tapi enggak se-intim ini. "Tapi kayaknya, kamu orang pertama yang bikin aku teriak-teriak malam ini." Heksa menjauh sedikit, lalu menarik napas panjang. Celananya dalamnya melayang ke kursi belakang. Dan di hadapanku, dia benar-benar terlihat seperti raksasa. Garis V-Line tegas di perutnya, membuat napasku tercekat. Tapi yang paling bikin aku gemetar adalah ... pisangnya. Ukurannya yang sekarang, jujur saja, membuatku takut, daripada enam tahun yang lalu yang masih terlihat polos, lugu dan imut. Tanpa aba-aba Heksa langsung menekuk kedua kakiku dan memasukan kepalanya ke dalam gaun. Ada sesuatu yang aneh di bawah sana. Sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Bulu-bulu romaku mulai berontak. Apa yang sedang dia lakukan? "Khal. Kenapa susah banget, sih?" gumamnya dari dasar gaun. Aku enggak bisa melihat apa yang tengah dia lakukan dari sini, gaun ini terlalu ribet. Kalau aku lepas semua, bakal susah dipakai lagi tanpa bantuan penata rias. Tapi Heksa kayaknya paham soal itu, karena dia sama sekali enggak menyentuh tatanan gaunku. Yang dia rusak … cuma celana dalamku. Dia benar-benar menggigitnya? "Heksa, kamu ngapain, sih?" tanyaku penasaran. "Udah, kamu diam aja," timpalnya. Janggut tipisnya menggores kulitku. Aku semakin enggak terkendali. Bibirnya bertarung dengan sesuatu yang aku sendiri belum cukup nyaman untuk berbagi dengan orang lain, tapi dengan Heksa? Itu menjadi sebuah pengecualian. Entah kenapa, aku merasa aman saat berada di sebelahnya, di bahunya, di pelukannya. Tapi itu dulu. Sekarang? Aku cuma sayang sama satu orang. Alzian. Tapi di sisi lain aku terpaksa melakukan ini. "Heksa, geli! Ih, udah! Kamu bisa berhenti, gak, sih?" bentakku, tapi dia belum juga mundur. Heksa malah berhasil menggigit putus celana dalamku. Entah bagaimana dia melakukannya, yang jelas celana dalam putihku sudah melayang juga ke kursi belakang, dan kini kita sama-sama tanpa pelindung. "Khal, kamu tahu, nggak, apa yang aku takutin sekarang?" desahnya sambil mendekatiku. "Apa?" "Kamu nikah sama orang yang kamu sendiri gak yakin." "Kalau aku yakin?" "Its oke. Aku lega." "Kalau aku gak yakin?" "Nah itu yang masalahnya." Kedua lutut Heksa menapak di setiap sisi pinggangku. Aku hanya mengerutkan alis, "Terus kenapa kamu takut?" "Jelas, lah. Takut kalau kamu terpaksa jalani pernikahanmu," gumamnya sambil menyatukan dada kita. "Karena di saat itu, aku juga bakal ngerasain sakit." "Ma—maksud kamu?" Heksa enggak menjawab, dia hanya merogoh ujung gaunku, menariknya sampai dia benar-benar memasukan pisang perkasanya yang sedari tadi mengacung keras. "Oh, sakit!" jeritku yang sengaja kubendung dengan kedua tangan. Perih. Panas. Sakit. Nyerinya sampai ke rahim. Heksa enggak peduli. Dia tega mempercepat gerakannya di dalam. Gerakan pinggulnya selaras dengan detak jantungku. Aku jadi enggak karuan, ingin menangis. Tapi ekspresi Heksa tetap tenang, datar dan dingin. Dia kenapa, sih?୨ৎ A L Z I A N જ⁀➴Kupikir rumah ini bakal kosong waktu aku parkir mobilku. Tapi ternyata, jalan masuknya penuh dengan mobil Pick-upSial.Sempat terpikir buat mutar balik dan kabur, tapi Papa sudah berdiri di sana, melambai, sepertinya dia sudah menunggu.Aku parkir di posisi strategis, biar gampang kabur kalau sewaktu-waktu ingin pergi.“Alzian, gimana kabarnya?” tanya Papa, menunduk sedikit dari atas balkon.“Ngapain sih, kalian di sini?”“Mama bilang rumah kamu jorok banget. Jadi dia mutusin hari ini buat bersih-bersih.”Aku langsung ingin balik ke mobil. Terakhir kali ‘bersih-bersih’ kayak gini, bikin aku jadi lebih depresi. Mama memang nggak bakal berhenti sebelum semua debu dan sarang laba-laba hilang. Entah kenapa dia sebegitu ambisiusnya. Toh, kami semua di sini, jomblo. Siapa juga yang peduli?Tiba-tiba Harry, adik tiriku yang baru sebelas tahun muncul sambil memainkan bolanya.“Eh, Ry!” seruku sambil nyolong bolanya.“Apa, Alzian?”“Hari ini ada latihan bola nggak?”“Besok
Aku kira kami bakal langsung tinggal bareng. Tapi, ya ... dia benar juga.Donna datang membawa Sufle dan meletakkannya di depan dia. "Jalapeno bikinin spesial buat kamu,” katanya, lalu berjalan pergi.“Sampaiin makasih ke Jalapeno ya,” jawab Alzian.Rambut poni Donna bergoyang-goyang saat ia berjalan. Ia berhenti di meja lain dan bertanya ke orang-orang apakah mereka menikmati sarapan.“Kamu emang hobi banget, ya, bikin dia kesal,” celetukku.Dia menyuap makanannya dan hanya mengangguk.Kami makan sambil diam, menatap ke arah teluk. Untungnya, Alzian makannya secepat kilat.Donna enggak menagihkan apa pun, dan Alzian langsung mengambil tasku begitu kami keluar. Ia meletakkannya di bagasi belakang.Begitu mobil melaju keluar dari parkiran, perutku tersenyum. Aku berharap, saat benar-benar sampai di rumah tempat kami dulu pernah menjadi suami istri, akan ada sesuatu yang muncul dari kepalaku.Aku sempat menebak kalau rumah kami ada di dekat tempat kerjanya, tapi begitu dia mengambil jal
୨ৎ K H A L I S A જ⁀➴ Sabtu pagi .... Aku baru saja selesai membereskan koper dan langsung membawanya turun ke resepsionis. Di balik meja ada Donna. Dia menyeringai saat melihatku. “Udah siap pulang?” Aku mengangguk. “Iya sih, tapi jangan sampai Alzian dengar.” Dia mengernyit. “Dia telat. Barusan dapat telepon mendadak, harus balik ke kerjaannya. Kamu mau sarapan dulu?” Ia langsung berjalan meninggalkan meja resepsionis. Donna masih dengan rambut merah dan tubuh berisinya seperti yang kuingat. Senyumnya yang usil belum muncul, tapi feeling-ku sih, dia masih sama saja seperti dulu. “Oh. Dia nggak ngubungin aku.” Donna memiringkan kepala. “Serius? Kan, dia punya nomor kamu?” “Punya, kok.” Dia menepuk punggungku. “Kamu tahu sendiri Alzian gimana. Mungkin dia cuma mau mastiin aku yang ngurusin kamu." “Yah, iya juga sih .…” Tapi jujur saja, kita berdua tahu itu cuma alasan doang. Dua hari lalu, waktu dia mengajakku ke tempat dia melamar, aku merasa itu amat menyakitinya. Dia bahk
"Kayaknya emang nggak pernah berubah," gumamku."Serius? Emangnya dulu aku juga kelihatan kayak gurita pas manjat gini?" Aku tertawa. Dia menoleh ke belakang. "Ayo, coba lagi!""Waktu aku ngelamar kamu di sini, aku sempat gigit pantatmu," kataku, lebih ke diri sendiri sebenarnya."Aku, sih nggak nolak kalau kamu mau ngulang itu sekarang."Aku memakai dua tangan untuk mendorongnya sampai benar-benar naik ke atas. "Lain kali aja, kali, ya."Dia mengulurkan tangan untuk membantuku naik, tapi aku malah memilih pakai ranting untuk memanjat sendiri."Itu tinggal lewatin pohon-pohon doang," kataku sambil menunjuk jalan dan menyuruh dia jalan lebih dulu. Aku ingin penyiksaan ini cepat selesai.Dia berjalan pelan melewati pepohonan. Matanya berkeliling ke sana kemari, seperti belum pernah ke sini sebelumnya, padahal kami sudah sering ke tempat ini.Tiba-tiba dia menarik napas panjang. "Ya ampun ...."Aku belum keluar dari balik pohon, tapi aku sudah bisa membayangkan danau biru yang dikeliling
୨ৎ A L Z I A N જ⁀➴"Jadi sekarang kamu udah mau ngomong sama aku?" tanya Khalisa saat kami berdiri di samping mobilku.Melihat dia nongkrong bareng Danny di Bar tadi bikin darahku naik. Mungkin dia lupa kalau Danny itu saudara tiriku. Atau ... ah, apa sih yang aku pikirkan?Kemungkinan besar dia ingat. Tapi bagaimana kalau ... sial, aku enggak mau mikir dia sama cowok lain, apalagi orang dari keluargaku sendiri.“Minum gak bakal nyelesaiin apa-apa!”Matanya merah, jelas banget habis nangis di depan Danny. Dan itu bikin aku makin kesal.“Itu ide dia. Dan yang terakhir kali aku ingat, kamu baru aja minta aku tanda tanganin surat cerai.”Aku mendongak, kesal, tapi dia tetap menatapku. “Ayo deh. Kamu ingin ingat sesuatu, kan? Aku bakal ajak kamu ke suatu tempat.”“Ke mana?”Dia enggak langsung naik ke mobil, jadi aku jalan memutar dan membukakan pintu untuknya, sambil menunjuk dengan tangan agar dia masuk.“Nanti juga kamu tahu.”“Gimana aku bisa percaya kalau kamu gak bakal buang aku dar
Aku mempercepat jalanku. Bukan mau sok atau apa, tapi memang lagi malas saja meladeni mereka. Semakin cepat aku berjalan, semakin keras juga mereka memanggil namaku.Begitu sampai di alun-alun, aku melihat beberapa turis sedang duduk santai. Lumayan, buat alihkan perhatian dari mereka.“Eh, Khalisa!!!” Suara Danny, kakak tiri Alzian, memanggil. Dia melambaikan tangan sambil membuka pintu Bar. Begitu melihat kerumunan di belakangku, dia buru-buru membuka pintu lebih lebar. “Kamu kan ada janji sama aku, inget?”Aku menoleh cepat ke belakang lalu langsung menyelonong masuk ke dalam bar. Cewek-cewek itu hampir sampai di pintu saat aku sudah bersembunyi di balik tiang kayu besar di tengah restoran. Aku menarik napas dalam-dalam.“Ya ampun. Kita tuh manggilin Khalisa, tahu!” seru Fannah.“Eh, mungkin kuping dia ikutan amnesia,” kata Danny sambil menyeringai.Salah satu cewek di belakangnya tertawa.“Danny! Garing banget sih, k