Beranda / Rumah Tangga / MANTAN WITH BENEFIT / Malam Pertama yang Salah Tempat

Share

Malam Pertama yang Salah Tempat

Penulis: DityaR
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-18 18:15:56

Untung saja refleks-ku secepat kilat, segera mengayunkan tangan kami ke samping. Tapi tetap saja, peluru itu menembus tubuh Heksa tepat di bahu kanannya. Bahu yang dulu sering basah oleh air mataku, kini justru berlumuran darah.

"Heksa!!" Air mataku jatuh entah ke mana. Aku berlutut. Senyum tenang perlahan menghilang dari wajah datarnya. Dia terbaring, tangannya enggak lagi menggenggam revolver itu, terlepas dan tergeletak begitu saja. Lemah, tapi tatapan dinginnya masih saja mengunci mataku. "Kamu gila, Heksa!"

"Jadi, kenapa aku masih di sini, Khal?" desis Heksa, sambil berusaha meraih kembali revolvernya. "Harusnya tempatku bukan di sini."

Tanpa berpikir panjang, aku meraih pipinya dengan kedua tanganku. Bibirku segera mendarat di bibirnya, rasanya masih sama seperti dulu, tipis, basah, lembut, dan tenang tanpa ada perlawanan.

Apa dia selalu begitu?

"Emmmmmhhhhaaaalll," panggilnya sambil menepuk pundakku.

Bibir kami berpisah sebelum aku mengatakan, "Iya?"

"Kamu percaya, kalau perasaanku bakal selalu kayak gini?"

Aku mengangguk pelan.

Kurasa, perasaanku enggak pernah benar-benar berubah, bahkan setelah aku menjadi istri Alzian.

"Cinta, pada akhirnya, bukan soal memiliki atau dimiliki, Khalisa. Tapi soal berjalan bersama, meski enggak selalu dalam arah yang sama."

"Kita gak mungkin bisa sama-sama lagi, kamu telat!" bibirku kembali mengerucut. Heksa hanya mengangkat alis. "Kenapa kamu baru datang sekarang, sih, waktu aku udah benar-benar jadi istri orang."

"Gak ada kata terlambat, Khal! Satu-satunya batas waktu kita cuma kematian." balasnya, senyum kecil mulai terukir di bibirnya. "Kita bisa lakuin apa pun yang kita mau, kayak yang barusan kamu lakuin."

"Maksud kamu?"

"Gak ada batasan buat kita, pernikahan cuma sekedar simbol."

"Terus? Aku sama suamiku cuma sekedar formalitas, gitu? Aku masih gak ngerti maksud kamu."

"Kita nggak perlu validasi dari orang lain. Cukup kita berdua aja yang tahu. Dan itu alasannya aku ada di sini."

"Apa? Aku masih bingung."

"Kamu gak perlu bilang apa-apa, Khalisa. Karena kamu udah mengakuinya lewat ciumanmu barusan. Dan aku di sini, untuk malam pertamamu."

"Hah? Kamu gila!"

"Aku tunggu di mobil."

CUIIIIT CUIIITTT!!!!

Suara alarm dari Jeep Rubicon yang terparkir enggak jauh dari kami tiba-tiba meraung.

Aku menarik napas dalam-dalam. Sementara itu, Heksa masih memegangi bahunya yang terluka sambil perlahan berdiri. "Argggh ... Sekarang keputusan ada di tanganmu, Khal."

Jadi dia ke mari hanya untuk memberiku sebuah pilihan, lagi?

"Terserah, aku nggak peduli!!" ketusku sambil memperhatikannya menjauh.

Aku merapikan diri, kemudian berjalan menuju rumah dengan banyak pertanyaan di kepalaku. Tapi di langkah ke tiga, kaki justru menggiringku kepada Heksa. Dan tibalah aku di depan pintu mobil yang memang sengaja dibuka.

Heksa ada di dalam, duduk menyilangkan tangan di atas kemudi. Lampu di langit mobilnya remang, jadi kilauan darah di bahunya terlihat jelas. Ekspresi wajahnya masih saja datar, tenang, seperti enggak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

Seharusnya dia menahan sakit, kan?

Tanpa berpikir panjang aku pun duduk di kursi depan, dan menutup pintu di sampingku. Dia bersiap memulai perjalanan.

"Kita mau ke mana?" tanyaku sambil menatapnya lebih lama. "Heksa? Aku gak bis—"

"Kamu yang nentuin, mau ke mana."

"Semua orang bakal curiga kalau aku tiba-tiba pergi."

"Oke," gumam Heksa pelan sambil melempar jas berlumuran darah ke kursi belakang, lalu menyusul dengan kemeja biru tua dan kaos putih yang tadi dipakainya. Setelah itu, dia matikan lampu mobil dan berkata, "Kita bakal selesaiin ini di sini, Khalisa."

Kenapa bisa begini?

Harusnya aku ada di bawah Alzian, suamiku. Bukan malah ditindih tubuh kekar Heksa yang bikin aku susah napas.

Aku bisa merasakan gairahnya, jelas terasa dari cara dia menyentuhku. Tapi ekspresinya tetap tenang, dingin, tanpa banyak bicara. Bahkan waktu dia mulai menurunkan celananya … cuma ada satu lapis kain yang tersisa, dan … wow.

Ujung tombaknya menonjol dari balik karet celana dalam itu. Dia nggak bergerak, cuma menatapku lama, pandangan yang bikin jantungku berdebar enggak karuan.

Lalu dengan suara rendah, dia bilang, "Khalisa, aku harus gimana?"

"Kamu serius mau ngelakuin ini?" bisikku, sambil menoleh ke setiap sudut jendela mobil. Masih sepi. Aman, jadi aku lanjutkan, "Di sini!!?"

Heksa mengangguk, kemudian mendaratkan bibirnya di leherku, menjalar lembut ke telinga dan berhenti di sana sebelum berbisik, "Kasih aku perintah, Khal! Aku nggak mau bikin keputusan di saat kayak gini."

"Terserah." Bibirku mengambil alih, menyapu habis bibirnya yang tipis.

Gerakan bibirnya kaku, lembut, dan penuh perasaan. Tapi ada tatapan ragu di matanya, "Jadi aku orang pertama yang unboxing kamu setelah kamu menikah?"

"Enggak, juga," jawabku jujur. Karena sebelum ini Alzian sudah sempat menciumku, tapi belum se-intim ini. "Tapi kayaknya, kamu orang pertama yang bakalan bikin aku berdarah-darah."

Heksa menjauh sedikit, lalu menarik napas panjang.

Celananya dalamnya melayang ke kursi belakang. Dan di hadapanku, dia benar-benar terlihat seperti raksasa. Garis V-Line tegas di perutnya membuat napasku tercekat. Tapi yang paling bikin aku gemetar adalah ... belalainya. Ukurannya yang sekarang, jujur saja, membuatku takut, daripada enam tahun yang lalu yang masih terlihat imut.

Tanpa aba-aba Heksa langsung menekuk kedua kakiku dan memasukan kepalanya ke dalam gaun. Ada sesuatu yang aneh di bawah sana. Sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Bulu-bulu romaku mulai berontak.

Apa yang dia lakukan?

"Khal, emmmphhhh. Kenapa susah banget, sih?" gumamnya dari dasar gaun.

Aku enggak bisa lihat apa yang dia lakukan dari sini, gaun ini terlalu ribet.

Kalau aku lepas, bakal susah dipakai lagi tanpa bantuan penata rias. Tapi Heksa kayaknya paham soal itu, karena dia sama sekali enggak menyentuh tatanan gaunku.

Yang dia rusak … cuma celana dalamku.

Dia benaran menggigitnya?

"Heksa, kamu ngapain, sih?" tanyaku penasaran.

"Udah, kamu diammuuaaammpphh ajaahhhh," timpalnya. Janggut tipisnya menggores kulitku.

Aku semakin enggak terkendali. Bibirnya bertarung dengan sesuatu yang aku sendiri belum cukup nyaman untuk berbagi dengan orang lain, tapi dengan Heksa?

Itu menjadi sebuah pengecualian. Entah kenapa, aku merasa aman saat berada di sebelahnya, di bahunya, di pelukannya. Dan kalau semua ini harus dibayar … aku rela. Berapa pun harganya, dengan apa pun, bahkan kalau itu artinya aku harus menyerahkan tubuhku sepenuhnya.

Aku sayang dia.

"Heksa, geli! Ih, udah! Kamu bisa berhenti, gak, sih?" bentakku, tapi dia belum juga mundur.

Heksa malah berhasil menggigit putus celana dalamku. Entah bagaimana dia melakukannya, yang jelas celana dalam putihku sudah melayang juga ke kursi belakang, dan kini kita sama-sama tanpa pelindung.

"Khal, kamu tahu, nggak, apa yang aku takutin sekarang?" desahnya sambil mendekatiku.

"Apa?"

"Kamu nikah sama orang yang kamu sendiri gak tahu, kamu cinta sungguhan apa enggak sama orang itu."

"Kalau aku cinta sungguhan?"

"Its oke. Aku lega."

"Kalau aku gak cinta?"

"Aku juga tenang."

Kedua lutut Heksa menapak di setiap sisi pinggangku. Aku hanya mengerutkan alis, "Terus kenapa kamu takut?"

"Jelas, lah. Takut kalau kamu belum menentukan keputusan ... bimbang," gumamnya sambil menyatukan dada kita. "Karena di saat itu, aku juga nggak bakal bisa bikin keputusan."

"Ma—maksud kamu?" Heksa enggak menjawab, dia hanya merogoh ujung gaunku, menariknya sampai dia benar-benar memasukan belalai perkasanya yang sedari tadi mengacung keras.

"Ohhhh, sakiiiit!" jeritku yang sengaja kubendung dengan kedua tangan.

Perih.

Panas.

Sakit.

Nyerinya sampai ke rahim.

Heksa enggak peduli. Dia bahkan mempercepat gerakannya di dalam. Gerakan pinggulnya selaras dengan detak jantungku. Aku jadi enggak karuan, ingin menangis.

Tapi ekspresi Heksa tetap tenang, datar dan dingin.

Dia kenapa, sih?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Maisarah
ko ga tkut kepergok, knp ga nyewa kamar aja si
goodnovel comment avatar
Emon
bego bt si lu Khal, kan mending sama suami
goodnovel comment avatar
Diana
ya Allah, kok kamu kasi perawan km ke mantan si Khalisa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • MANTAN WITH BENEFIT   Pelukku Bukan Rumah Bagimu

    Tujuh hari kemudian …ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩"… Ku tak tahu namanya patah hati. Perasaan ini tak terbukti. Sampai aku bertemu kamu. Dan kita saling memanggil kamu … Bohong, aku tahu kamu berbohong. Cinta dan setia hanyalah kata. Aku tidak baik-baik saja. Ku terluka di tempat yang sama …”Lagu Aruma/Raim Laode – Ekspektasi mengalun pelan dari sudut kamar. Ruangan ini memang tak pernah ramai. Hanya lampu meja yang selalu menyala temaram, menunggu pemiliknya menyalakan lampu utama. Ya, suamiku ... Aku selalu menyambutnya saat pulang. Tapi sekarang sudah pukul sebelas malam dan dia belum membuka pintu itu.Seperti biasa, angin malam berdesir lembut, mengetuk kaca balkon dengan pelan. Aku duduk di depan meja rias, menatap bayanganku di cermin."Benarkah ini aku?"Aku menarik napas perlahan. Tubuhku terasa asing. Tanganku meraba perut, sementara detak jantungku berpacu dengan cepat.Bagaimana kalau aku nanti benar-benar mengandung anak yang bukan darah daging suamiku?Papa sering menyetubuhiku se

  • MANTAN WITH BENEFIT   Mertua Durjana VII 🥀

    Papa beranjak, melepaskan cacingnya yang sejak tadi bersarang di rahimku. Ia lalu mendekatkannya ke mulutku, tepat saat aku menguap karena masih mengantuk. Sebuah senyum mengembang di bibir mertuaku ketika ia merasakan sentuhan lembap dari ujung lidahku yang terulur, mengulas ujung cacingnya. Jujur saja, aku merasa jijik. Bau amis dan anyirnya sama sekali tak mencerminkan pria yang katanya berdarah bangsawan itu. Papa tampak menikmati sensasinya. Senyumnya melebar saat aku tersedak oleh cacingnya yang sempat menyentuh tenggorokan. “Hummmm ... Emmm-emmm ... Mmm-mmm.“ Kedua tangan Papa mencengkram kepalaku kemudian mendorongnya maju mundur. Mata Papa tampak sayu menatap ke bawah ketika kerongkonganku berkontraksi meremas-remas kepala cacingnya. Aku berontak, menarik kepala cacing Papa, dan tiba-tiba cairan aneh keluar dari mulutku. Ya ampun, sebanyak ini cairannya, sampai meledak di dalam mulutku? Tanganku terangkat, melindungi wajah dari semburan benih yang sesekali masih m

  • MANTAN WITH BENEFIT   Mertua Durjana VI 🥀

    15 menit kemudian … “Ah??! Pa … Lepasin!!!" "Mmmmhhhh … Mmmhhhhh," balas Papa sambil menyumpal bibirku yang tengah berteriak-teriak antara takut dan marah. Semakin keras aku berteriak, semakin rakus Papa melumat bibirku hingga aku terengah, kehabisan napas, dan berhenti berteriak. Ciuman pagi ini, kenapa aku malah mendapatkannya dari orang yang salah. Papa menarik kedua cup bra-ku ke bawah. Sepasang bukit kembar yang putih dan padat pun tersembul. Dihiasi kismis berwarna cokelat kemerahan yang mulai mengeras. “Pa ... Udah cukup!" desisku. Papa sibuk meremasi dadaku dan aku hanya menggeliat menerima sentuhan dari mertua yang tersenyum mesum sambil terus memainkannya. “Oh-Ohhhhhh ... Nduk. Mmmmhhh.“ Tubuhku tiba-tiba tersentak ketika kepala Papa mendarat dan mencaplok kismis imutku yang sebelah kanan. Belum sempat aku mengendalikan diri, tiba-tiba lidah Papa yang kasar itu bergerak-gerak di atas kismisku. “Pa ... Ahhh ... Dosa besar Pa, Istighfar!” Suara rintihan kecil m

  • MANTAN WITH BENEFIT   Mertua Durjana V 🥀

    Khalisa ────୨ৎ────જ⁀➴ 📞 "Serius, ini Heksa?" jeritku di depan cermin. Daniar hanya mendesah di seberang telepon. "Gila ...." "Kamu dulu nggak kayak gitu juga, kan?" "Enggak, lah! Emang aku sepolos itu, ya?" "Terus, kenapa kamu kaget?" "Enggak tuh, biasa aja." "Yakin?" Aku terdiam, lalu melangkah ke balkon. Biasanya, jam segini aku memperhatikan punggung Alzian yang sedang masuk ke mobil. Tapi kali ini sudah hari kedua sejak dia pamit ke Kalimantan. "Daniar, kamu bilang dia unggah foto lagi. Coba screenshoot, kirim ke aku sekarang!" "Tapi janji dulu, jangan lompat dari balkon, ya!" pekiknya. Aku menengok ke bawah. Ya, cukup tinggi kalau mau lompat dari lantai tiga. "Iya ...." Satu pesan masuk. Aku langsung melempar ponsel ke ranjang. Napasku sesak, antara ingin menangis, marah, dan malu sendiri karena bereaksi berlebihan. Langkahku ragu saat kembali mengambil ponsel itu. Layarnya masih menyala, menampilkan tangkapan layar dari Daniar. Foto itu jelas menu

  • MANTAN WITH BENEFIT   Nama Baik Akademi

    "Aku nggak bisa biarin nama Akademi kamu tercoreng gara-gara aku, Fenya!" seruku, menatap punggungnya yang hanya berjarak beberapa langkah. Dia diam, bahunya sedikit naik turun menahan napas. Jadi aku lanjutkan, "Kata Papamu, resikonya bakal nggak bisa dicegah kalau kita nggak nikah."Dia berhenti. "Terus apa gunanya, Heksa? Kalau kamu nggak punya perasaan apa-apa? Pernikahan kita cuma kamu anggap pelarian, gitu?""Enggak gitu. Aku cuma … cuma belum siap aja untuk hal yang itu." Aku maju selangkah, ragu-ragu menyentuh lengannya. "Fenya, nggak usah lakuin ini lagi, ya? Aku nggak mau kamu celaka."Dia berbalik dengan sorot mata yang menyala. Dia enggak pandai menangis, cuma menekuk alisnya, sambil bilang, "Aku bakal lakuin apa pun yang aku mau. Dan kamu nggak berhak ngelarang!""Aku berhak!" bantahku, suaraku pecah. "Aku nggak mau calon istriku kenapa-kenapa!""Dan aku nggak mau punya suami yang nggak punya perasaan apa-apa!" balasnya, tak kalah keras."Dan aku juga nggak mau istriku cu

  • MANTAN WITH BENEFIT   Kita Sama-Sama Salah

    Aku melangkah menembus pintu aluminium yang dibiarkan terbuka. Bau karat dan oli menyambutku. Di lorong, terdengar suara logam jatuh. Instingku menyala. Perlahan, kurogoh pisau dari balik jaket.“Fenya?” bisikku.Tak ada jawaban. Tapi di ujung sana, aku melihatnya, terbaring enggak sadarkan diri, kedua tangan terikat pada pipa besi. Wajahnya bengkak, bibir pecah, darah menodai pipi dan kausnya.“Fenya!” Aku berlutut, mencoba menyadarkannya. Napasnya masih ada, lemah, tapi cukup memberiku harapan.Lalu suara itu terdengar, “Lama banget, sih!”Aku menoleh cepat.Biron muncul dari kegelapan, menggenggam linggis. Matanya merah, wajahnya gelap, seperti dirasuki setan.“Ha ha ha. Aku tahu kamu bakal datang, Bre,” gumamnya. “Kamu, kan, emang suka jadi pahlawan kesiangan?”Aku berdiri. Tubuhku tegak, meski pikiranku meledak. “Nggak harus kayak gini, Biron. Kita bisa obrolin baik-baik, kan. Kamu bisa—”“Aku udah bilang!” teriaknya sambil melangkah mendekatiku. “Bertahun-tahun, Bre! Tapi kamu m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status