Meski reflekku secepat kilat mengayunkan tangan kami ke samping. Tapi tetap saja, peluru itu masih menembus bahu kanannya.
"Heksa!!" Air mata pun jatuh entah ke mana. Aku berlutut menatap tubuhnya yang terbaring lemah, tapi ekspresinya masih saja santai. "Kamu gila, Heksa!" "Jadi, kenapa aku masih di sini, Khal?" desisnya, berusaha meraih kembali pistol yang terpental. "Harusnya tempatku bukan di sini." Tanpa berpikir panjang, aku pun meraih pipinya dengan kedua tanganku. Segera kucium dia tepat di bibirnya, agar dia enggak melakukan hal-hal sembrono lagi. "Khal." Dia tepuk pundakku. Bibir kami pun berpisah. "Iya?" "Kamu percaya, kalau perasaanku bakal selalu kayak gini?" Aku cuma mengangguk, pura-pura setuju. Padahal perasaanku sudah benar-benar berubah. Kosong. "Kita gak mungkin bisa sama-sama lagi, kamu telat!" "Gak ada kata terlambat," balasnya, senyum kecil mulai terukir di bibirnya. "Kita bisa lakuin apa pun yang kita mau, kayak yang barusan kamu lakuin." "Maksudnya?" "Gak akan ada batasan buat kita." "Aku masih gak ngerti maksud kamu." "Cukup kita berdua aja yang tahu. Dan itu alasannya aku ada di sini." "Apa? Aku masih bingung." "Kamu gak perlu bilang apa-apa, Khalisa. Karena kamu udah ngakuin perasaanmu lewat ciuman barusan ... Dan aku di sini, untuk malam pertamamu." "Apa? Kamu gila!" "Aku tunggu di mobil. Atau aku bisa aja masuk dan bikin ribut di pesta pernikahanmu. Aku bakal bebeberin semua tentang kita, semua yang kita udah lakuin di Bandung dan semua rekaman pribadi kita. Aku yakin ini bakal seru. Dan sebelum aku mati, aku mau bikin semuanya ini jadi menyenangkan." CUIIIIT CUIIITTT!!!! Suara alarm Rubicon yang terparkir enggak jauh dari kami pun tiba-tiba meraung. Aku menarik napas dalam-dalam. Sementara itu, sambil memegangi bahunya yang terluka, Heksa perlahan berdiri. "Argh ... Sekarang terserah kamu, keputusan ada di tanganmu, Khalisa." Jadi dia ke mari cuma buat ini? Buat mengancamku? Atau … lebih tepatnya menghancurkan pernikahanku. "Terserah, aku nggak peduli!!" teriakku. Aku tepuk tangan ke pinggang, dan jalan menuju rumah dengan banyak pertanyaan di kepalaku. Kenapa aku harus peduli dengannya? Tapi, kalau dia berbuat nekat seperti tadi lagi bagaimana? Bagaimana kalau Alzian sampai tahu hubungan kami sebenarnya? Aku enggak mau ambil resiko. Lagi pula aku juga sudah lama mengenalnya. Ya …sebenarnya, sih dia itu cowok baik dan bucin banget. Meski... Dua tahun terakhir dia benar-benar menghancurkanku. Coba saja kalau dia enggak kabur dari hidupku. Mungkin malam ini, dialah yang menjadi mempelai priaku. Tibalah aku di depan pintu mobil yang memang sengaja di buka oleh pemiliknya. Heksa ada di dalam, duduk menyilangkan tangan di atas kemudi. Lampu di langit mobilnya remang, jadi kilauan darah di bahunya terlihat jelas. Ekspresi wajahnya masih saja datar, tenang, seperti enggak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Tanpa berpikir panjang aku pun duduk di kursi depan, dan menutup pintu di sampingku. Dia pun bersiap memulai perjalanan. "Kita mau ke mana?" tanyaku. Kutatap dia lebih lama. "Heksa? Aku gak bis—" "Kamu yang nentuin, mau ke mana." "Semua orang bakal curiga kalau aku tiba-tiba pergi." "Oke." Dia lempar jaket yang berlumuran darah itu ke kursi belakang, lalu menyusul dengan kaos Army yang dipakainya. Setelah itu, dia mematikan lampu mobil dan berkata, "Kita bakal selesaiin ini di sini." Kenapa jadi begini? Seharusnya aku berada di ranjang bersama suamiku, bukannya malah ditindih tubuh kekar sang mantan yang bikin aku susah bernapas. Aku bisa merasakan gairah Heksa, jelas terasa dari cara dia menyentuhku. Tapi ekspresinya tetap tenang, dingin, tanpa banyak bicara sampai dia benar-benar berani menurunkan celananya di depanku. Dan … wow. Benda aneh muncul dari balik celana dalam itu. Heksa enggak bergerak, cuma menatapku lama, tatapan yang bikin jantungku berdebar enggak karuan. Lalu dengan pelan dia bilang, "Khalisa, kamu tahu, kan harus gimana sekarang?" "Kamu serius mau ngelakuin ini?" bisikku, sambil menoleh ke setiap sudut jendela mobil. Masih sepi. Aman, jadi aku lanjutkan, "Di sini!!?" Dia mengangguk, kemudian mendaratkan bibirnya di leherku, menjalar lembut ke telinga dan berhenti di sana sebelum berbisik, "Iya. Kamu mau kita mulai dari mana?" "Terserah." Bibirku mengambil alih, menyapu habis bibirnya yang tipis. "Asal kamu janji enggak akan pernah datang lagi ke tempat ini." Gerakan bibirnya kaku tapi penuh perasaan. Ada tatapan ragu di matanya, "Oke. Jadi aku orang pertama yang nge-unboxing kamu setelah kamu menikah, kan?" "Enggak, juga," jawabku. Karena sebelum ini Alzian juga sempat mencium dan merabaku, tapi enggak se-intim ini. Heksa menjauh sedikit, lalu menarik napas panjang. Celana dalamnya pun ikut parkir ke kursi belakang. Dan di hadapanku, dia benar-benar seperti raksasa. Garis V-Line tegas di perutnya, membuat napasku tercekat. Tapi yang paling bikin aku gemetar adalah ... Benda aneh yang mengacung di tengah-tengah pahanya. Tanpa aba-aba Heksa langsung menekuk kedua kakiku dan memasukan kepalanya ke dalam gaunku. Ada sesuatu yang aneh di bawah sana. Sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Bulu-bulu romaku mulai berontak. Apa yang sedang dia lakukan? "Khal. Kenapa susah banget, sih?" gumamnya dari dasar gaun. Aku enggak bisa melihat apa yang tengah dia lakukan dari sini, gaun ini terlalu ribet. Kalau pun aku melepas semuanya, bakal susah dipakai lagi tanpa bantuan penata rias. Tapi Heksa kayaknya paham soal itu, karena dia sama sekali enggak menyentuh tatanan gaunku. Yang dia rusak … cuma celana dalamku. Sial. Dia benar-benar menggigitnya? "Heksa, kamu ngapain, sih?" tanyaku penasaran. "Udah, kamu diam aja," timpalnya. Janggut tipisnya menggores kulitku. Aku semakin enggak terkendali. Bibirnya bertarung dengan sesuatu yang aku sendiri belum cukup nyaman untuk berbagi dengan orang lain, tapi dengan Heksa? Hari ini justru menjadi sebuah pengecualian. Entah kenapa, dulu aku bisa merasa aman saat berada di sebelahnya, di bahunya, maupun di pelukannya. Tapi sekarang? Enggak. Aku cuma sayang sama satu orang. Alzian. "Heksa, geli! Ih, udah! Kamu bisa berhenti, gak, sih?" bentakku, tapi dia belum juga mundur. Dia malah berhasil menggigit putus celana dalamku. Entah bagaimana cara dia melakukannya, yang jelas celana dalam putihku, sekarang ikut melayang juga ke kursi belakang, dan kini kita sama-sama tanpa pelindung. "Kamu tahu, nggak, apa yang aku takutin sekarang?" desahnya sambil mendekatiku. "Apa?" "Kamu terpaksa nikah sama orang yang kamu sendiri gak yakin." "Kalau aku yakin?" "Its oke. Aku lega." "Kalau aku gak yakin?" "Nah itu yang jadi masalahnya." Kedua lutut Heksa menapak di setiap sisi pinggangku. Aku hanya mengerutkan alis, "Terus kenapa kamu takut?" "Jelas, lah. Takut kamu enggak bahagia … terpaksa," gumamnya sambil menyatukan dada kita. "Karena di saat itu, aku juga yang bakal ngerasain sakitnya." "Ma—maksudnya?" Heksa enggak menjawab, dia hanya merebut ujung gaunku lalu menyibaknya ke atas perut, sampai dia benar-benar memasukan pusakanya yang sedari tadi tengah mengacung keras. "Oh, sakit!" jeritku yang sengaja kubendung dengan kedua tangan. Perih. Panas. Sakit. Nyerinya sampai ke rahim. Heksa enggak peduli. Dia tega mempercepat gerakannya di dalam. Gerakan pinggulnya selaras dengan detak jantungku. Aku jadi enggak karuan, ingin menangis. Tapi … ekspresi Heksa tetap tenang, datar dan dingin.୨ৎ A L Z I A Nજ⁀➴ Setahun kemudian... Aku sama Khalisa masuk ke Brine & Barrel malam sebelum musim turis dimulai di Pecang. Tempatnya ramai banget, seperti biasa. Khalisa tertawa waktu lihat banyak minuman Khalisa Takes Flight mejeng di meja-meja. “Kenapa, Marlin?” tanyaku saat dia menyodorkan minuman favoritnya Khalisa, Melting Heart, terus geser ke arah dia. Habis itu, dia tuangkan juga punyaku, No Stout for You. “Enggak apa-apa, aku baru aja balik dari Bandung, naik penerbangan pagi buta. Capek banget.” “Oh iya, liburan cewek-cewek, ya? Kedengaran seru,” kata Khalisa. Aku lingkarkan tangan ke bahu Khalisa dan menarik dia makin dekat. “Enggak lebih seru dari liburan sama aku plus minuman warna-warni pakai payung kecil, kan?” Kita baru saja balik dari Bali. Bisa dibilang, kita lebih sering di kamar daripada di pantai. Itu bulan madu kedua kita, dan ya ... worth it banget. Kita memutuskan buat bikin pesta pernikahan sebelum musim turis. Melihat tempat ini penuh beg
✎ᝰ. ──୨ৎ────୨ৎ── Aku lakuin itu. Dan rasanya lebih nyakitin dari apa pun yang pernah aku rasain. Aku ninggalin Alzian pagi ini, dengan alasan yang enggak masuk akal banget. “Aku sudah enggak bahagia” Aku pengecut. Tapi aku tahu, kalau aku enggak bisa kasih dia anak, kita pasti bakal hancur suatu hari nanti. Aku pernah lihat, gimana program Fertilitas ngehacurin pernikahan Papa sama Mama. Dan hatiku enggak bakal sanggup melihat itu terjadi di antara aku dan Alzian. Waktu aku pergi, aku yakinin ke diri aku sendiri kalau aku kuat buat ngelepasin dia. Bahkan saat aku sudah sampai bawah gunung dan mulai ragu. Aku butuh kekuatan penuh buat enggak balik ke rumah itu lagi, ke pelukannya. Alzian udah cukup sering kehilangan orang dalam hidupnya, apalagi setelah Mamanya meninggal. Da
୨ৎ K H A L I S A જ⁀➴Aku mengeluh pelan waktu dengar ada yang mengetok pintu. Hal terakhir yang harus aku hadapi hari ini ya dua orang itu. Aku sayang banget sama Connie dan Shaenette, tapi semoga saja bukan mereka.Aku matikan TV dan buka pintu. Betapa shock-nya aku saat lihat siapa yang berdiri di sana.Mama.Dia ulurkan tangan dengan ekspresi pahit. "Boleh masuk?" tanya dia.Aku buka jalan dan minggir. Dia sudah jauh-jauh dari Jogja."Ya udah, masuk aja."Aku balik ke sofa dan duduk, menunggu dia ikut duduk juga.Dia malah duduk di kursi depanku, terus taruh satu buku di tengah meja.Aku menatapnya, dan dia mengangguk. Ya, itu jurnal yang sudah lama aku cari."Gimana bisa Mama—"Dia angkat tangan. "Maaf, Khalisa. Mama pikir Mama bisa ngelindungin kamu dengan nyimpan itu. Setelah kamu kecelakaan, Mama masuk kamar kamu buat ambil baju yang mau Mama cuci. Ketemu buku ini ... dan ya, Ma
Enggak ada rencana, sih. Jadi memang agak sedikit berantakan, tapi semoga saat momennya tiba, aku tahu harus berbuat apa. Aku enggak mau melibatkan saudara-saudara cewekku buat persiapan ini.Tapi aku mau Khalisa tahu, walaupun banyak hal yang lagi dipertaruhkan, aku tetap memilih dia. Dan dia juga memilih aku.“Kok semuanya lagi di rumah, sih?” gumamku, saat melihat mobil-mobil di garasi.Mobil semua keluarga.Aku keluar dan dengar ada suara ramai-ramai di halaman belakang, jadi aku ikuti sumber suaranya dan menemukan Danny, Almorris, sama Luno lagi main di belakang bareng sekumpulan anak anjing di kandang kecil.“Kalian mau bisnis anjing, nih?” tanyaku.Luno menengok ke arahku. “Enggak lah, itu anaknya Popol. Dia baru punya anak,” jawab dia sambil senyum.Aku lupa kalau anjing Labrador kuningnya sempat menghamili anjing tetangga. Pemilik si anjing betina enggak mau mengurusi anak-anaknya dan bilang begitu anak-anaknya
୨ৎ A L Z I A N જ⁀➴Aku pelan-pelan geser dari Khalisa, meninggalkan dia di kasur. Terus aku pakai celana training. Setelah itu, jalan ke dapur, ambil Bir.Sudah malam banget, hampir tengah malam. Aku turun ke tempat api unggun. Setelah menyalakan apinya, aku duduk di kursi, menikmati Bir sambil bengong.Jujur saja, aku enggak pernah merasa seputus asa ini dalam hidupku. Rasanya mirip banget waktu aku melihat Papa mencoba menyelamatkan Mama dari ganasnya ombak teluk. Dan ekspresi panik di wajahnya saat sadar dia enggak bisa berbuat apa-apa.Sekarang, wanita yang aku cinta lagi berduka karena peluang dia buat punya anak.Aku mengerti maksud dia. Teman kerjaku, Nick, pernah cerita soal itu. Mahal, makan waktu, dan bikin emosi naik turun. Tapi aku percaya kita bisa jalani ini berdua.Dan setidaknya sekarang aku tahu kenapa dia meninggalkan aku. Itu bikin semuanya lebih mudah diterima ketimbang kalau dia pergi gara-gara cowok lain.
Aku mengangguk pelan. " Yakin.""Emang enggak bisa cari cara lain, ya?"Aku tatap dia lurus. "Dokter tadi itu cara lainnya. Dia lihat hasil yang sama kayak Dr. Agnes. Dan itu alasan aku ninggalin kamu, Alzian. Karena aku ngerasa enggak bisa kasih kamu keturunan. Aku terima kalau sekarang kamu mau ninggalin aku. Aku enggak bisa kasih hal yang kamu pinginin."Dia diam."Jadi sekarang ... kamu mau ninggalin aku lagi?""Aku cuma pingin kamu punya kehidupan yang kamu mimpiin. Kehidupan yang pantas kamu dapetin.""Hidup yang aku mau tuh kamu, Khalisa. Cuma kamu."Aku mengeluh, terus menutup muka pakai bantal. Aku ingin banget teriak, tapi aku tahan."Tapi aku tahu kamu pingin punya keluarga besar. Kamu udah sering bilang gitu dari dulu.""Kamu tadi bilang masih ada opsi pakai fertilitas, kan? Masih ada harapan.""Kamu tahu enggak, itu mahalnya kayak gimana? Dan kemungkinan berhasilnya kecil banget. B