Dia masih diam, seolah tengah mencoba memahami ucapanku. Tanpa menunggu jawaban darinya, kalimat itu akhirnya meluncur juga dari bibirku, "I love you, my Alzian!"
"Khal?" gumamnya terdengar berat, seperti tertahan di tenggorokan. "Iya." "Ka—kamu bilang apa?" Ekspresinya tampak masih mencari-cari jawaban lewat sorot mataku. Padahal, dia enggak bakal menemukannya di sana. Jawaban itu ada di sini, di bibirku yang mulai basah, "Mas, gak dengar?" desahku, "Atau emang pura-pura enggak dengar?" Dia menggeleng pelan. Sorot matanya sedikit lebih sayu daripada satu jam yang lalu, mungkin dia lelah. Oke. Mungkin ini satu-satunya cara agar bisa membuatnya bergairah lagi. CPAAKKKKK!!!! MMMUAAAAH!!! Begitu bibir kami menyatu, matanya seperti anak rusa, "Khalisa." "Hhmm, iya," balasku. "Kamu udah percaya sekarang?" "Iya." Aku yakin akulah perempuan pertama yang disentuh oleh Alzian. Rasanya ... menyenangkan. Bukannya membalas ciumanku, dia malah kabur ke springbed. Menaruh kedua tangannya di atas kepala, dan tonjolan di bokser itu masih tampak jelas. Jujur sebenarnya agak geli, sih. Tapi aku berusaha memberanikan diri untuk duduk di atasnya. "Nggak, apa-apa, Mas." bisikku dengan kedua tangan bertumpu di dadanya yang gemoy. "Mau secepat apa pun itu, aku enggak peduli." "Maaf, Sayang," balasnya. Matanya tenggelam .... Dan secepat itu pula, dia pulas? Serius? Dia meninggalkanku dalam keadaan On-Fire begini? "ALZIAANNNNN!" teriakku dalam hati. Sialan. "Mas!!! Mas Alziaaan, bangun!!!" Aku menepuk pipinya beberapa kali, tapi yang terdengar cuma dengkuran. Baiklah. Dia sudah tertidur nyenyak. Aku segera merapikan diriku di meja rias, lalu keluar untuk menenangkan pikiran. ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩 Di ruang tamu, tampak mertuaku sedang berkumpul bersama keluarga besar. Aku mendekat dengan senyum yang dipaksakan, tapi Mamanya Alzian justru meruntuhkan senyum itu dengan berkata, "Udah selesai bulan madunya, Nduk? Baru jam segini, loh. Puas-puasin aja malam ini, kita enggak bakal ganggu, kok!" Bagaimana bisa puas, bahkan sebelum perang dimulai saja komandannya sudah tewas? Aku melemparkan tawa kecil yang kupaksakan sebagai balasannya, kemudian disambut tawa palsu dari keluarga besar yang lain. Sepertinya mereka mulai keram, akibat duduk bersila berjam-jam di atas karpet mewah ini. "Bilangin suamimu, Nduk. Minum jamu sama telor dulu, sebelum main," kata salah satu Tante, "Biar kuat sampai hari kiamat!" "Kalau itu, sih bukan pakai telur, Tante. Tapi pakai air Zam-zam," timpal Pandu, salah satu keponakan Alzian yang paling tua sekaligus yang paling bandel. Percakapan ini terasa seperti sindiran langsung padaku. Aku bahkan sempat teringat kembali bokser Alzian tadi. Kenapa bisa secepat itu, ya? "Oh, iya. Kak, Khal, di mana Kak Alzian?" tanya Pandu. Matanya hanya terfokus pada renda kebayaku yang berada di tengah dada. "Kok, gak ikutan kumpul?" Meski agak risih dengan tatapan nakalnya, aku memaklumi. Mengingat usianya yang baru remaja, mungkin dia memang sedang di masa pubertas. "Masih di kamar, ngitungin amplop," balasku sopan. Tapi matanya tetap enggak bisa sopan. "Mbak Khal!" Suara ibu-ibu yang bertugas menyambut tamu tiba-tiba membuatku terkejut. "Ada tamunya yang nyariin, di depan!" Aku menuju ruang pesta yang masih ramai tamu. Tamu? Saudaraku? Atau teman-temanku? Aku enggak yakin mereka bakal datang ke pestaku. Soalnya dari kota tempat aku tinggal, butuh delapan jam perjalanan. Jadi, kalau ada tamu yang mencariku, pasti bukan teman atau saudaraku. Yang kutemukan cuma satu pria, posturnya paling tinggi di antara kerumunan orang. Rambutnya berantakan, bukan karena sengaja diacak, tapi kelihatan karena lelah. Dia pakai setelan jas abu-abu, dengan tas di tangan kirinya. “Maaf, permisi,” ucapku sopan pada tamu-tamu yang tengah asyik mengobrol saat aku melintas di depan mereka. “Permisi, nggih, Pak ... Bu ....” Jarak kami makin dekat—tinggal beberapa langkah lagi. Postur tubuhnya langsung mengingatkanku pada seseorang yang selama ini hanya hidup di pikiranku. Tapi itu mustahil. Dia nggak mungkin datang ke sini, apalagi menemuiku dan suamiku. Sayangnya, di dunia ini memang enggak ada yang benar-benar mustahil. Enam tahun setelah tiba-tiba menghilang, orang itu kini berdiri tepat di hadapanku. "Heksa Antara?" Begitu namanya keluar dari mulutku, dia langsung membalikkan badan. Menatapku. Aku masih ingat tatapan itu, tatapan yang sama seperti saat terakhir kali kami bertemu, sebelum akhirnya kami jadi mantan. "Oh, Ehm. Selamat, ya, Khal!" Senyumnya masih sama seperti dulu. Tenang, dingin, manis, dan dibalut ekspresi datar. Enggak banyak yang berubah darinya, kecuali bulu-bulu tipis yang kini mulai tumbuh di sekitar bibir dan dagu. "Iya, makasih," balasku sambil memasang senyum palsu. Sebenarnya dalam hati? Berengsek. "Sini, kita perlu bicara!" Aku menggandengnya keluar dari pesta, menuju halaman parkir di depan rumah, yang kini hanya tersisa beberapa kendaraan. "Khal—" "Apa? Apa maksudmu ngilang gitu aja?" bentakku, tapi nyaris berbisik. "Dan sekarang kamu dengan mudahnya muncul gitu aja di pernikahanku? Mau kamu apa, sih, Heksa?" "Khal, kam—" "Bajingan!" potongku. "Anjing kamu itu, tahu, nggak?" "Iya, ak—" "Enam tahun, Heksa. Enam tahuuuun!!!" Kantong mataku penuh dengan air, tinggal menunggu waktu untuk tumpah. "Harusnya kamu putusin aku sebelum kamu pergi! Kenapa enggak kamu lakuin?" "Ma—" "Kamu block Inst4gram aku, semua sosial mediaku terus kamu private semua akunmu! Dasar psikopat!" Aku memutar badan, menyembunyikan tetesan air mata yang jelas mulai jatuh. "Sampai aku harus pinjem HPnya Daniar buat cari tahu semuanya, cuma buat ngelihat foto-foto mesra kamu sama cewek itu, iyaa!!!??" Aku mulai sesenggukan. Entah apa yang sebenarnya kutahan, tapi rasanya sesak sekali. Napasku kacau, enggak beraturan. "Maaf," balasnya. Satu kata yang membuat kepalaku meledak. "Maaf katamu? Setelah semua yang kamu lakuin ini? Emang 4njing, kamu, ya!!!" "Aku belum punya apa-apa waktu itu, Khal. Aku nggak PD dan kamu tahu itu." "Terus, kamu punya hak buat menghilang gitu aja?" "Enggak, aku cuma mau benarin hidupku dulu." "Kenapa cuma hidupmu sendiri yang kamu pikirin? Haah?" pekikku sambil menusuk bahu kanannya dengan jari telunjuk. "Egois, tahu, nggak!" "Khal, kamu harus tenang!" Tangan kiri Heksa menggenggam lembut telunjukku. "Kamu bisa bunuh aku sekarang, kalau kamu mau." Aku mengangkat alis, tak sadar tangan kanannya sudah menggenggam Revolver G2 dengan terbalik, diarahkan ke dadanya. "He—Heksa? Apa-apaan?" kejutku, melihat ekspresinya yang masih datar. "Kenapa kamu bisa punya benda seperti itu?" "Selama enam tahun, enggak ada yang berubah sama perasaanku, Khal. Dia bukan siapa-siapa, dia seniorku di angkatan, sekaligus yang kasih benda ini." Kedua tangannya kini berubah menjadi senjata yang siap meledak ketika kutekan. "Sekarang, kamu punya hak buat ngilangin aku dari kehidupan ini. Kehidupan yang aku benar-benar enggak tahu harus ngapain lagi." "Heksa! Kamu ap—" "Ssssttttt!" Heksa memotong kata-kataku, kedua tangannya mengepal erat jemariku yang mulai gemetar. Ibu jarinya membimbing telunjukku untuk menekan pelatuk, tepat di dadanya. "Kamu punya sepuluh detik ... Cium aku ... Atau ... Kita sama-sama tekan pelatuknya." Hening. Hanya suara angin yang bersiul di telingaku. Satu .... Kenapa dia tega? Menghilang begitu saja, lalu muncul dengan cara seperti ini. Dua .... Jadi selama ini, Heksa menungguku? Enam tahun? Tiga .... Saat dia hilang, apa mungkin dia masuk sekolah militer? Empat .... Aku bukan orang bodoh, aku enggak bakal tertipu lagi. Apalagi menunggunya. Enggak boleh. Lima .... Lagipula, aku sudah punya Alzian. Suamiku. Enam .... Kenapa Heksa begitu setia menungguku? Dan aku malah terima sama perjodohan ini. Tujuh .... Heksa tak mungkin berani melakukan hal seperti ini. Delapan .... Cinta? Apakah itu benar? Atau cuma ancaman? Aku sudah enggak peduli soal cinta. Semua cuma omong kosong. Sembilan .... Alzian? Sebenarnya aku enggak sepenuh hati mencintainya. Dia orang baru. Tapi Heksa? Sepuluh .... Jelas aku masih sayang sama dia. "JA—JANGAAAN!!!" Jeritanku pecah saat ibu jari Heksa benar-benar mendorong telunjukku, dan Revolver G2 yang diarahkan tepat ke jantungnya pun meledak. DOOOOOAAAAARRR!!!Tujuh hari kemudian …ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩"… Ku tak tahu namanya patah hati. Perasaan ini tak terbukti. Sampai aku bertemu kamu. Dan kita saling memanggil kamu … Bohong, aku tahu kamu berbohong. Cinta dan setia hanyalah kata. Aku tidak baik-baik saja. Ku terluka di tempat yang sama …”Lagu Aruma/Raim Laode – Ekspektasi mengalun pelan dari sudut kamar. Ruangan ini memang tak pernah ramai. Hanya lampu meja yang selalu menyala temaram, menunggu pemiliknya menyalakan lampu utama. Ya, suamiku ... Aku selalu menyambutnya saat pulang. Tapi sekarang sudah pukul sebelas malam dan dia belum membuka pintu itu.Seperti biasa, angin malam berdesir lembut, mengetuk kaca balkon dengan pelan. Aku duduk di depan meja rias, menatap bayanganku di cermin."Benarkah ini aku?"Aku menarik napas perlahan. Tubuhku terasa asing. Tanganku meraba perut, sementara detak jantungku berpacu dengan cepat.Bagaimana kalau aku nanti benar-benar mengandung anak yang bukan darah daging suamiku?Papa sering menyetubuhiku se
Papa beranjak, melepaskan cacingnya yang sejak tadi bersarang di rahimku. Ia lalu mendekatkannya ke mulutku, tepat saat aku menguap karena masih mengantuk. Sebuah senyum mengembang di bibir mertuaku ketika ia merasakan sentuhan lembap dari ujung lidahku yang terulur, mengulas ujung cacingnya. Jujur saja, aku merasa jijik. Bau amis dan anyirnya sama sekali tak mencerminkan pria yang katanya berdarah bangsawan itu. Papa tampak menikmati sensasinya. Senyumnya melebar saat aku tersedak oleh cacingnya yang sempat menyentuh tenggorokan. “Hummmm ... Emmm-emmm ... Mmm-mmm.“ Kedua tangan Papa mencengkram kepalaku kemudian mendorongnya maju mundur. Mata Papa tampak sayu menatap ke bawah ketika kerongkonganku berkontraksi meremas-remas kepala cacingnya. Aku berontak, menarik kepala cacing Papa, dan tiba-tiba cairan aneh keluar dari mulutku. Ya ampun, sebanyak ini cairannya, sampai meledak di dalam mulutku? Tanganku terangkat, melindungi wajah dari semburan benih yang sesekali masih m
15 menit kemudian … “Ah??! Pa … Lepasin!!!" "Mmmmhhhh … Mmmhhhhh," balas Papa sambil menyumpal bibirku yang tengah berteriak-teriak antara takut dan marah. Semakin keras aku berteriak, semakin rakus Papa melumat bibirku hingga aku terengah, kehabisan napas, dan berhenti berteriak. Ciuman pagi ini, kenapa aku malah mendapatkannya dari orang yang salah. Papa menarik kedua cup bra-ku ke bawah. Sepasang bukit kembar yang putih dan padat pun tersembul. Dihiasi kismis berwarna cokelat kemerahan yang mulai mengeras. “Pa ... Udah cukup!" desisku. Papa sibuk meremasi dadaku dan aku hanya menggeliat menerima sentuhan dari mertua yang tersenyum mesum sambil terus memainkannya. “Oh-Ohhhhhh ... Nduk. Mmmmhhh.“ Tubuhku tiba-tiba tersentak ketika kepala Papa mendarat dan mencaplok kismis imutku yang sebelah kanan. Belum sempat aku mengendalikan diri, tiba-tiba lidah Papa yang kasar itu bergerak-gerak di atas kismisku. “Pa ... Ahhh ... Dosa besar Pa, Istighfar!” Suara rintihan kecil m
Khalisa ────୨ৎ────જ⁀➴ 📞 "Serius, ini Heksa?" jeritku di depan cermin. Daniar hanya mendesah di seberang telepon. "Gila ...." "Kamu dulu nggak kayak gitu juga, kan?" "Enggak, lah! Emang aku sepolos itu, ya?" "Terus, kenapa kamu kaget?" "Enggak tuh, biasa aja." "Yakin?" Aku terdiam, lalu melangkah ke balkon. Biasanya, jam segini aku memperhatikan punggung Alzian yang sedang masuk ke mobil. Tapi kali ini sudah hari kedua sejak dia pamit ke Kalimantan. "Daniar, kamu bilang dia unggah foto lagi. Coba screenshoot, kirim ke aku sekarang!" "Tapi janji dulu, jangan lompat dari balkon, ya!" pekiknya. Aku menengok ke bawah. Ya, cukup tinggi kalau mau lompat dari lantai tiga. "Iya ...." Satu pesan masuk. Aku langsung melempar ponsel ke ranjang. Napasku sesak, antara ingin menangis, marah, dan malu sendiri karena bereaksi berlebihan. Langkahku ragu saat kembali mengambil ponsel itu. Layarnya masih menyala, menampilkan tangkapan layar dari Daniar. Foto itu jelas menu
"Aku nggak bisa biarin nama Akademi kamu tercoreng gara-gara aku, Fenya!" seruku, menatap punggungnya yang hanya berjarak beberapa langkah. Dia diam, bahunya sedikit naik turun menahan napas. Jadi aku lanjutkan, "Kata Papamu, resikonya bakal nggak bisa dicegah kalau kita nggak nikah."Dia berhenti. "Terus apa gunanya, Heksa? Kalau kamu nggak punya perasaan apa-apa? Pernikahan kita cuma kamu anggap pelarian, gitu?""Enggak gitu. Aku cuma … cuma belum siap aja untuk hal yang itu." Aku maju selangkah, ragu-ragu menyentuh lengannya. "Fenya, nggak usah lakuin ini lagi, ya? Aku nggak mau kamu celaka."Dia berbalik dengan sorot mata yang menyala. Dia enggak pandai menangis, cuma menekuk alisnya, sambil bilang, "Aku bakal lakuin apa pun yang aku mau. Dan kamu nggak berhak ngelarang!""Aku berhak!" bantahku, suaraku pecah. "Aku nggak mau calon istriku kenapa-kenapa!""Dan aku nggak mau punya suami yang nggak punya perasaan apa-apa!" balasnya, tak kalah keras."Dan aku juga nggak mau istriku cu
Aku melangkah menembus pintu aluminium yang dibiarkan terbuka. Bau karat dan oli menyambutku. Di lorong, terdengar suara logam jatuh. Instingku menyala. Perlahan, kurogoh pisau dari balik jaket.“Fenya?” bisikku.Tak ada jawaban. Tapi di ujung sana, aku melihatnya, terbaring enggak sadarkan diri, kedua tangan terikat pada pipa besi. Wajahnya bengkak, bibir pecah, darah menodai pipi dan kausnya.“Fenya!” Aku berlutut, mencoba menyadarkannya. Napasnya masih ada, lemah, tapi cukup memberiku harapan.Lalu suara itu terdengar, “Lama banget, sih!”Aku menoleh cepat.Biron muncul dari kegelapan, menggenggam linggis. Matanya merah, wajahnya gelap, seperti dirasuki setan.“Ha ha ha. Aku tahu kamu bakal datang, Bre,” gumamnya. “Kamu, kan, emang suka jadi pahlawan kesiangan?”Aku berdiri. Tubuhku tegak, meski pikiranku meledak. “Nggak harus kayak gini, Biron. Kita bisa obrolin baik-baik, kan. Kamu bisa—”“Aku udah bilang!” teriaknya sambil melangkah mendekatiku. “Bertahun-tahun, Bre! Tapi kamu m