Alzian masih mencerna ucapanku. Tanpa menunggu jawaban darinya, kalimat itu akhirnya meluncur juga dari bibirku, "I love you, my Alzian!"
"Khal?" gumamnya, terdengar berat. "Iya." "Ka—kamu bilang apa?" Ekspresinya masih mencari-cari jawaban lewat sorot mataku. Padahal, dia enggak bakal menemukannya di sana. Jawaban itu ada di sini, di bibirku yang mulai basah, "Kamu nggak dengar?" desahku, "Atau emang pura-pura enggak dengar?" Dia menggeleng spontan. Matanya sedikit lebih sayu daripada satu jam yang lalu, mungkin dia lelah. Oke. Mungkin ciuman satu-satunya cara agar bisa membuatnya bergairah lagi. Begitu bibir kami menyatu, matanya seperti anak kucing, "Khalisa." "Hhmm, iya," balasku. "Udah nggak ngambeg lagi sekarang?" "Iya." Bukannya membalas ciumanku, dia malah kabur ke springbed. Menaruh kedua tangannya di atas kepala, dan tonjolan di bokser itu masih tampak jelas. Jujur sebenarnya agak geli, sih. Tapi aku berusaha memberanikan diri untuk duduk di atasnya. "Nggak, apa-apa, Sayang," bisikku dengan kedua tangan bertumpu di dadanya. "Mau secepat apa pun itu, aku enggak peduli." "Maaf," balasnya. Matanya tenggelam, secepat itu pula, dia pulas? Serius? Dia meninggalkanku dalam keadaan On-Fire begini? "ALZIAANNNNN!" teriakku. Sialan. "Alziaaan, bangun!!!" Aku menepuk pipinya beberapa kali, tapi yang terdengar cuma dengkuran. Baiklah. Dia sudah tertidur nyenyak. Apa boleh buat, aku segera merapikan diriku di meja rias, lalu keluar untuk menenangkan pikiran. ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩 Di ruang tamu, keluarga besar Sunya tengah berkumpul. Aku merapat dengan senyum yang kupaksakan. Hapsari, mamanya Alzian justru meruntuhkan senyum itu. "Kok udah selesai bulan madunya? Baru juga jam segini. Puas-puasin aja malam ini, kita enggak bakal ganggu!" Bagaimana bisa puas, bahkan sebelum perang saja komandannya sudah tewas? Aku melempar tawa kecil sebagai balasan, kemudian disambut oleh nasehat dari Aldani, Anak pertama dari keluarga Sunya, kakak iparku. "Bilangin ke dia. Minum jamu sama telor dulu, sebelum main. Dia emang payah kalau urusan ranjang," katanya, "Kalau kamu mau aku bisa racikin." "Kalau kamu mau juga, aku bisa gantiin si Zi—" timpal Almorris, Anak nomor dua di keluarga Sunya, sebelum kakaknya menyumpal mulut itu dengan Nastar Keju. Almorris memang cowok paling menyebalkan yang pernah aku temui. Percakapan ini terasa seperti sindiran langsung padaku. Aku bahkan sempat teringat sama bokser Alzian tadi.Kenapa dia bisa secepat itu, ya? "Oh, iya.Di mana Alzian?" tanya Almorris. Matanya hanya terfokus ke arah dadaku. "Kok, gak ikutan kumpul?" Meski agak risih dengan tatapannya, aku memaklumi. Mengingat dia sudah resmi menjadi kakakku juga. "Masih di kamar, ngitungin amplop," balasku sopan. Tapi matanya tetap enggak bisa sopan. "Non Khalisa!" Suara ibu-ibu yang bertugas menyambut tamu tiba-tiba membuatku terkejut. "Ada tamunya yang nyariin, nih, di depan!" Akhirnya, ada yang membawaku keluar dari percakapan ini. Lega rasanya. Aku pun bergegas menuju ruang pesta yang masih ramai tamu. Yang kutemukan hanya satu pria, posturnya paling tinggi di antara kerumunan orang. Rambutnya berantakan dan kelihatan lelah. Dia pakai setelan jaket Bomber dengan motif Army warna hujau tua dan ransel di tangan kirinya. “Maaf, permisi,” ucapku spontan pada tamu-tamu undangan yang tengah asyik mengobrol satu sama lain saat aku melintas di depan mereka. “Permisi, Om ... Tante ....” Jarak kami makin dekat, tinggal beberapa langkah lagi. Postur tubuhnya langsung mengingatkanku pada seseorang yang pernah hidup di dalam pikiranku. Tapi itu mustahil. Dia nggak mungkin datang ke sini, apalagi berani menemuiku dan Alzian. Sayangnya, di dunia ini memang enggak ada yang benar-benar mustahil. Enam tahun, cowok itu lagi-lagi ingin mencari masalah denganku. "Heksa Antara?" Begitu namanya keluar dari mulutku, dia langsung membalikkan badan, menatapku. Aku masih ingat tatapan itu, tatapan yang sama seperti saat terakhir kali kami bertemu enam tahun lalu, sebelum akhirnya hubungan kami enggak ada kejelasan lagi. "Oh, Ehm. Selamat, ya, Khal!" Senyumnya masih sama seperti dulu. Tenang, dingin, manis, dan dibalut ekspresi datar. Enggak banyak yang berubah darinya, kecuali bulu-bulu tipis yang kini mulai tumbuh di sekitar bibir dan dagu. "Iya, makasih," balasku sambil memekarkan senyum palsu. Sebenarnya dalam hati? Berengsek. "Sini, kita perlu bicara!" Aku menggandengnya keluar dari pesta, menuju halaman parkir di depan rumah, yang kini hanya tersisa beberapa kendaraan. "Khal—" "Apa? Apa maksudmu ngilang gitu aja?" bentakku. "Dan sekarang kamu dengan mudahnya muncul gitu aja di pernikahanku? Mau kamu apa, sih, Heksa?" "Khal, kam—" "Bajingan!" potongku. "Anjing kamu itu, tahu, nggak?" "Iya, ak—" "Enam tahun, Heksa. Enam tahuuuun!!!" Kantong mataku penuh dengan air, tinggal menunggu waktu untuk tumpah. "Kalau emang kamu mau putus, harusnya kamu bilang, jangan kabur ... nggak usah jadi pengecut, dasar sampah!" "Ma—" "Kamu block semua akun sosial mediaku terus kamu private semua akunmu! Dasar Anjing!" Aku memutar badan, menyembunyikan tetesan air mata yang jelas mulai jatuh. "Sampai aku harus pinjem akunnya Daniar buat cari tahu semuanya, cuma buat ngelihat foto-foto mesra kamu sama cewek barumu, iyaa!!!??" Aku mulai sesenggukan. Entah apa yang sebenarnya kutahan, tapi rasanya sesak sekali. Napasku kacau, enggak beraturan. "Maaf," balasnya. Satu kata yang membuat kepalaku meledak. "Maaf katamu? Setelah semua yang kamu lakuin ini? Emang anjing, kamu, ya!!!" "Aku belum punya apa-apa waktu itu, Khal. Aku nggak pede dan kamu tahu itu." "Terus, kamu punya hak buat menghilang gitu aja?" "Enggak, aku cuma mau benerin hidupku dulu." "Kenapa cuma hidupmu sendiri yang kamu pikirin? Haah?" pekikku sambil menusuk bahu kanannya dengan jari telunjuk. "Egois, tahu, nggak!" "Khal, tenang!" Tangan kiri Heksa menggenggam lembut telunjukku. "Kamu bisa bunuh aku sekarang, kalau kamu mau." Aku mengangkat alis, tak sadar kalau tangan kanannya sudah menggenggam Revolver G2 dengan terbalik, diarahkan ke dadanya. "He—Heksa? Apa-apaan?" jeritku ketika melihat ekspresinya yang masih datar. "Kenapa kamu bisa punya benda kayak gitu?" "Enggak ada yang berubah, Khal. Dia bukan siapa-siapa." Kedua tangannya kini berubah menjadi senjata yang siap meledak ketika kutekan. "Sekarang, kamu punya hak buat ngilangin, selamanya. Toh aku juga enggak tahu harus ngapain lagi." "Heksa! Kamu ap—" "Ssssttttt!" Heksa memotong kata-kataku, kedua tangannya mengepal erat jari-jariku yang mulai gemetar. Ibu jarinya membimbing halus telunjukku menemui pelatuk, sedangkan mulut revolver itu tepat mengarah di dadanya. "Kamu punya sepuluh detik. Cium aku ... Atau ... Kita sama-sama tekan pelatuknya." Hening. Hanya suara angin yang bersiul di telingaku. Satu .... Kenapa dia tega. Setelah hilang kemudian muncul dengan cara yang seperti ini. Dua .... Jadi selama ini, Heksa berjuang demi aku? Tiga .... Enggak. Meninggalkan tanpa mengatakan sesuatu itu bukan pengorbanan. Empat .... Aku bukan orang bodoh, Heksa. Aku enggak bakal tertipu lagi. Enggak boleh. Lima .... Aku punya Alzian. Suamiku. Enam .... Heksa cuma si berengsek. Tujuh .... Dia nggak mungkin berani melakukan hal seperti ini. Delapan .... Aku nggak takut sama ancamanmu Heksa. Sembilan .... Kalau kamu mau mati, ya, sudah ... mati saja sekarang! Sepuluh .... Aku nggak peduli. "JA—JANGAAAN!!!" Jeritanku pecah saat ibu jari Heksa benar-benar mendorong telunjukku, dan Revolver G2 yang diarahkan tepat ke jantungnya pun meledak. DOOOOOAAAAARRR!!!୨ৎ A L Z I A N જ⁀➴Kupikir rumah ini bakal kosong waktu aku parkir mobilku. Tapi ternyata, jalan masuknya penuh dengan mobil Pick-upSial.Sempat terpikir buat mutar balik dan kabur, tapi Papa sudah berdiri di sana, melambai, sepertinya dia sudah menunggu.Aku parkir di posisi strategis, biar gampang kabur kalau sewaktu-waktu ingin pergi.“Alzian, gimana kabarnya?” tanya Papa, menunduk sedikit dari atas balkon.“Ngapain sih, kalian di sini?”“Mama bilang rumah kamu jorok banget. Jadi dia mutusin hari ini buat bersih-bersih.”Aku langsung ingin balik ke mobil. Terakhir kali ‘bersih-bersih’ kayak gini, bikin aku jadi lebih depresi. Mama memang nggak bakal berhenti sebelum semua debu dan sarang laba-laba hilang. Entah kenapa dia sebegitu ambisiusnya. Toh, kami semua di sini, jomblo. Siapa juga yang peduli?Tiba-tiba Harry, adik tiriku yang baru sebelas tahun muncul sambil memainkan bolanya.“Eh, Ry!” seruku sambil nyolong bolanya.“Apa, Alzian?”“Hari ini ada latihan bola nggak?”“Besok
Aku kira kami bakal langsung tinggal bareng. Tapi, ya ... dia benar juga.Donna datang membawa Sufle dan meletakkannya di depan dia. "Jalapeno bikinin spesial buat kamu,” katanya, lalu berjalan pergi.“Sampaiin makasih ke Jalapeno ya,” jawab Alzian.Rambut poni Donna bergoyang-goyang saat ia berjalan. Ia berhenti di meja lain dan bertanya ke orang-orang apakah mereka menikmati sarapan.“Kamu emang hobi banget, ya, bikin dia kesal,” celetukku.Dia menyuap makanannya dan hanya mengangguk.Kami makan sambil diam, menatap ke arah teluk. Untungnya, Alzian makannya secepat kilat.Donna enggak menagihkan apa pun, dan Alzian langsung mengambil tasku begitu kami keluar. Ia meletakkannya di bagasi belakang.Begitu mobil melaju keluar dari parkiran, perutku tersenyum. Aku berharap, saat benar-benar sampai di rumah tempat kami dulu pernah menjadi suami istri, akan ada sesuatu yang muncul dari kepalaku.Aku sempat menebak kalau rumah kami ada di dekat tempat kerjanya, tapi begitu dia mengambil jal
୨ৎ K H A L I S A જ⁀➴ Sabtu pagi .... Aku baru saja selesai membereskan koper dan langsung membawanya turun ke resepsionis. Di balik meja ada Donna. Dia menyeringai saat melihatku. “Udah siap pulang?” Aku mengangguk. “Iya sih, tapi jangan sampai Alzian dengar.” Dia mengernyit. “Dia telat. Barusan dapat telepon mendadak, harus balik ke kerjaannya. Kamu mau sarapan dulu?” Ia langsung berjalan meninggalkan meja resepsionis. Donna masih dengan rambut merah dan tubuh berisinya seperti yang kuingat. Senyumnya yang usil belum muncul, tapi feeling-ku sih, dia masih sama saja seperti dulu. “Oh. Dia nggak ngubungin aku.” Donna memiringkan kepala. “Serius? Kan, dia punya nomor kamu?” “Punya, kok.” Dia menepuk punggungku. “Kamu tahu sendiri Alzian gimana. Mungkin dia cuma mau mastiin aku yang ngurusin kamu." “Yah, iya juga sih .…” Tapi jujur saja, kita berdua tahu itu cuma alasan doang. Dua hari lalu, waktu dia mengajakku ke tempat dia melamar, aku merasa itu amat menyakitinya. Dia bahk
"Kayaknya emang nggak pernah berubah," gumamku."Serius? Emangnya dulu aku juga kelihatan kayak gurita pas manjat gini?" Aku tertawa. Dia menoleh ke belakang. "Ayo, coba lagi!""Waktu aku ngelamar kamu di sini, aku sempat gigit pantatmu," kataku, lebih ke diri sendiri sebenarnya."Aku, sih nggak nolak kalau kamu mau ngulang itu sekarang."Aku memakai dua tangan untuk mendorongnya sampai benar-benar naik ke atas. "Lain kali aja, kali, ya."Dia mengulurkan tangan untuk membantuku naik, tapi aku malah memilih pakai ranting untuk memanjat sendiri."Itu tinggal lewatin pohon-pohon doang," kataku sambil menunjuk jalan dan menyuruh dia jalan lebih dulu. Aku ingin penyiksaan ini cepat selesai.Dia berjalan pelan melewati pepohonan. Matanya berkeliling ke sana kemari, seperti belum pernah ke sini sebelumnya, padahal kami sudah sering ke tempat ini.Tiba-tiba dia menarik napas panjang. "Ya ampun ...."Aku belum keluar dari balik pohon, tapi aku sudah bisa membayangkan danau biru yang dikeliling
୨ৎ A L Z I A N જ⁀➴"Jadi sekarang kamu udah mau ngomong sama aku?" tanya Khalisa saat kami berdiri di samping mobilku.Melihat dia nongkrong bareng Danny di Bar tadi bikin darahku naik. Mungkin dia lupa kalau Danny itu saudara tiriku. Atau ... ah, apa sih yang aku pikirkan?Kemungkinan besar dia ingat. Tapi bagaimana kalau ... sial, aku enggak mau mikir dia sama cowok lain, apalagi orang dari keluargaku sendiri.“Minum gak bakal nyelesaiin apa-apa!”Matanya merah, jelas banget habis nangis di depan Danny. Dan itu bikin aku makin kesal.“Itu ide dia. Dan yang terakhir kali aku ingat, kamu baru aja minta aku tanda tanganin surat cerai.”Aku mendongak, kesal, tapi dia tetap menatapku. “Ayo deh. Kamu ingin ingat sesuatu, kan? Aku bakal ajak kamu ke suatu tempat.”“Ke mana?”Dia enggak langsung naik ke mobil, jadi aku jalan memutar dan membukakan pintu untuknya, sambil menunjuk dengan tangan agar dia masuk.“Nanti juga kamu tahu.”“Gimana aku bisa percaya kalau kamu gak bakal buang aku dar
Aku mempercepat jalanku. Bukan mau sok atau apa, tapi memang lagi malas saja meladeni mereka. Semakin cepat aku berjalan, semakin keras juga mereka memanggil namaku.Begitu sampai di alun-alun, aku melihat beberapa turis sedang duduk santai. Lumayan, buat alihkan perhatian dari mereka.“Eh, Khalisa!!!” Suara Danny, kakak tiri Alzian, memanggil. Dia melambaikan tangan sambil membuka pintu Bar. Begitu melihat kerumunan di belakangku, dia buru-buru membuka pintu lebih lebar. “Kamu kan ada janji sama aku, inget?”Aku menoleh cepat ke belakang lalu langsung menyelonong masuk ke dalam bar. Cewek-cewek itu hampir sampai di pintu saat aku sudah bersembunyi di balik tiang kayu besar di tengah restoran. Aku menarik napas dalam-dalam.“Ya ampun. Kita tuh manggilin Khalisa, tahu!” seru Fannah.“Eh, mungkin kuping dia ikutan amnesia,” kata Danny sambil menyeringai.Salah satu cewek di belakangnya tertawa.“Danny! Garing banget sih, k