Entah apa yang telah kami lakukan, sampai membuat kami berdua berkeringat. Tubuh Heksa pun terasa licin, dan aroma Casablanca-nya begitu kuat. Kepalaku bersandar di kaca pintu, sementara kedua lututku terangkat. Jari-jari kami masih saling menggenggam satu sama lain, menari pelan di kabin mobil ini.
"Khal?" desah Heksa dari dalam bibirku, "Jadi, kamu serius sama dia atau nggak?" "Iya." Jawabanku membuat hentakan Heksa semakin kuat dan cepat. Ketika aku hampir enggak bisa menahan rasa sakitnya, dia semakin beringas, dan ekspresi wajahnya mulai berubah. Seperti ada emosi yang terpendam di matanya. "Bagus! Jadi aku nggak perlu pusing lagi mikirin itu." "Mikirin apa?" "Aku nggak mungkin, kan, nitipin anakku ke Ibu yang mencintai orang lain." "Jadi?" "Ya udah. Anggap aja kita have-fun malam ini!" Have-fun? Sialan. "Egois!" jeritku dalam hati. Tega sekali dia, setelah aku merelakan malam pertamaku untuknya. Kepalaku ingin meledak. Tapi semua itu terdistraksi sama hentakannya yang semakin lama semakin brutal, membuatku mengejang hebat cuma untuk menahan desah. Enggak tahan lagi, akhirnya aku mengerang, "Heksaa!!" Dengan lihai, tanganku meraih lehernya. Ibu jariku menyusuri kedua pipinya, dan di saat yang sama, bibirku menempel pada mulutnya, lalu kucubit kecil dengan gigiku, "Oh, kamu bilang, Have-fun? Iya? Aahhh ...." Dia terus menghentak semakin dalam dan semakin kuat. Lalu dia menarik tanganku dengan lembut dan merebahkanku. Sekarang, dia ada di sisi pintu, menahan lututku dengan bahunya. "Bukanya kamu lagi nikmatin ini, Khalisa?" Bibirnya kembali menjalin kasih dengan bibirku. Lipstik merah hati yang tadinya mencolok, aku yakin sekarang sudah pudar ke mana-mana. "Huum? Aku nggak bakal ijinin calon anakku ada di dalam perutmu, kalau kamu cinta sama cowok lain … tapi aku, sih masih nggak yakin." Lamunanku buyar ketika Heksa bergerak makin enggak terkendali. Tubuhku bergetar hebat. Gaunku mulai basah, aku bahkan enggak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. "Khalisa! Kamu suka, enggak?" tanya Heksa dengan mata terpejam. Suaranya berat, entah apa yang dia lakukan, tapi dari ekspresinya dia seperti sedang menahan sakit. "I—iya," balasku terbata-bata. Tiba-tiba saja tubuhku lemas, lelah dan mengantuk. Tapi Heksa masih belum menyerah. Janggut tipisnya kembali menyentuh leherku, menyapu setiap lekuknya dengan lembut. Dia terus menghujamku dengan brutal. Enggak ada lagi kenikmatan yang kurasakan sekarang, berbeda dengan beberapa menit yang lalu. Yang tersisa cuma sakit dan penyesalan. Air mataku pun jatuh tanpa kuasa. Bagaimana bisa aku melakukan hal sekeji ini dengan pria lain? "Heksa ... Stop ... Please!" gumamku, menahan sakit dan sesak yang menjadi satu. "Kita, nggak seharusnya ngelakuin—" TOKKK!!! TOKKK!!! TOOOKK!!!! Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari belakang bahu Heksa. Dari kaca yang berembun, terlihat seseorang sedang mengintip. Hening. Panik. Sial. "Sssttt!" desis Heksa. Dia langsung memelukku erat dan membawaku jatuh ke bawah dashboard. Pelukannya makin kuat, dan bibirnya menyumpal kasar mulutku. Tubuhnya bergetar. Saat itulah aku merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam rahimku, panas dan berkedut-kedut. Ada apa dengannya? Aku ingin bilang kalau dia berengsek karena telah mengeluarkannya di dalam, tapi suaraku malah tertahan di bibirnya dan hanya menghasilkan suara, "Mmmmhhh." Hening. Napas kita saling bersahutan, terengah-engah. Di luar sana, pengintip yang penasaran tadi tampaknya sudah pergi. Bibir kami pun berpisah, dan pikiranku pun melayang kemana-mana. "Heksa, gila, sih!" "Aku, nggak sengaja, sumpah … habis orang itu ngagetin!" balas Heksa. Dia bangkit kemudian mengulurkan tangannya untukku, "Ayo. Mendingan, kamu buruan masuk!" "Heksa? Ini gimana, kotor, kan jadinya aku?" Cepat-cepat aku tarik gaunku hingga ke dada, berusaha menghindari cairan Heksa yang menjijikkan. "Banyak banget, sih, duuhh! Ini kalau aku hamil gimana, Heksa?" "Maaf." Dia tarik tisu dari dashboard dan mencoba membersihkan benihnya yang tumpah di tubuhku. Tapi sebelum sempat menyentuhku, aku buru-buru merebut tisu itu dari tangannya, "Gak, usah! Aku bisa sendiri!" Dia pindah ke kursi belakang, sementara aku sibuk membersihkan cairan putih yang tercecer hingga ke ujung kaki. Rasanya benar-benar enggak masuk akal. Dengan ukurannya yang sebesar itu, bagaimana mungkin semuanya dia tebar di dalam rahimku? Dan sekarang … aku benar-benar takut. Bagaimana kalau aku hamil anaknya? Gila. Aku merapikan gaunku seperti semula, lalu menoleh ke sekeliling, memastikan enggak ada siapa pun di luar. Namun, saat aku hendak membuka pintu, tiba-tiba selembar kain menampar pipiku. Celana dalam? "HEKSA!!!" teriakku sambil menyeka celana dalam putih yang ternyata sudah sobek. "Kamu apain, sih, ini?" "Kugigit," katanya. Ekspresinya masih datar. "Habisnya susah bukanya tadi." "Kalau gini sama aja aku ga pake celana dalam, dong?" Senyum tumpul mulai terlihat di bibirnya. Serius dia bisa ketawa? "Kamu bisa pakai punyaku." Dia buru-buru melepas celana dalamnya dan menyodorkannya kepadaku, "Ini, semoga pas di kamu." "Heksa, kamu ini stress atau—" "Ssstttt!" potong Heksa, dia melompat ke kursi depan. Sekarang dia sudah ada di sebelahku. Tatapannya seperti ingin membunuhku, dan dia bilang, "Kamu mau pakai ini, atau kita lanjut ronde ke dua?" Otakku mulai meloading kata-kata itu dan mataku tiba-tiba saja turun ke bawah. Benar saja, Pisang berukuran jumbo itu sudah mengacung kembali seperti tadi. Sungguh benar-benar menakutkan. Aku jilat bibirku dan bilang, "Nggak! Oke aku pakai!" Setelah kami mengenakan pakaian dan menyembunyikan hasrat masing-masing, aku turun dari mobil, disusul olehnya di belakangku. Dia hanya berdiri di samping pintu, mengawasi langkahku sepanjang jalan menuju rumah Alzian, tempat di mana suamiku sedang menunggu untuk malam pertama kami. Sayangnya, malam pertamaku sudah lebih dulu direnggut oleh si berengsek ini.୨ৎ A L Z I A Nજ⁀➴ Setahun kemudian... Aku sama Khalisa masuk ke Brine & Barrel malam sebelum musim turis dimulai di Pecang. Tempatnya ramai banget, seperti biasa. Khalisa tertawa waktu lihat banyak minuman Khalisa Takes Flight mejeng di meja-meja. “Kenapa, Marlin?” tanyaku saat dia menyodorkan minuman favoritnya Khalisa, Melting Heart, terus geser ke arah dia. Habis itu, dia tuangkan juga punyaku, No Stout for You. “Enggak apa-apa, aku baru aja balik dari Bandung, naik penerbangan pagi buta. Capek banget.” “Oh iya, liburan cewek-cewek, ya? Kedengaran seru,” kata Khalisa. Aku lingkarkan tangan ke bahu Khalisa dan menarik dia makin dekat. “Enggak lebih seru dari liburan sama aku plus minuman warna-warni pakai payung kecil, kan?” Kita baru saja balik dari Bali. Bisa dibilang, kita lebih sering di kamar daripada di pantai. Itu bulan madu kedua kita, dan ya ... worth it banget. Kita memutuskan buat bikin pesta pernikahan sebelum musim turis. Melihat tempat ini penuh beg
✎ᝰ. ──୨ৎ────୨ৎ── Aku lakuin itu. Dan rasanya lebih nyakitin dari apa pun yang pernah aku rasain. Aku ninggalin Alzian pagi ini, dengan alasan yang enggak masuk akal banget. “Aku sudah enggak bahagia” Aku pengecut. Tapi aku tahu, kalau aku enggak bisa kasih dia anak, kita pasti bakal hancur suatu hari nanti. Aku pernah lihat, gimana program Fertilitas ngehacurin pernikahan Papa sama Mama. Dan hatiku enggak bakal sanggup melihat itu terjadi di antara aku dan Alzian. Waktu aku pergi, aku yakinin ke diri aku sendiri kalau aku kuat buat ngelepasin dia. Bahkan saat aku sudah sampai bawah gunung dan mulai ragu. Aku butuh kekuatan penuh buat enggak balik ke rumah itu lagi, ke pelukannya. Alzian udah cukup sering kehilangan orang dalam hidupnya, apalagi setelah Mamanya meninggal. Da
୨ৎ K H A L I S A જ⁀➴Aku mengeluh pelan waktu dengar ada yang mengetok pintu. Hal terakhir yang harus aku hadapi hari ini ya dua orang itu. Aku sayang banget sama Connie dan Shaenette, tapi semoga saja bukan mereka.Aku matikan TV dan buka pintu. Betapa shock-nya aku saat lihat siapa yang berdiri di sana.Mama.Dia ulurkan tangan dengan ekspresi pahit. "Boleh masuk?" tanya dia.Aku buka jalan dan minggir. Dia sudah jauh-jauh dari Jogja."Ya udah, masuk aja."Aku balik ke sofa dan duduk, menunggu dia ikut duduk juga.Dia malah duduk di kursi depanku, terus taruh satu buku di tengah meja.Aku menatapnya, dan dia mengangguk. Ya, itu jurnal yang sudah lama aku cari."Gimana bisa Mama—"Dia angkat tangan. "Maaf, Khalisa. Mama pikir Mama bisa ngelindungin kamu dengan nyimpan itu. Setelah kamu kecelakaan, Mama masuk kamar kamu buat ambil baju yang mau Mama cuci. Ketemu buku ini ... dan ya, Ma
Enggak ada rencana, sih. Jadi memang agak sedikit berantakan, tapi semoga saat momennya tiba, aku tahu harus berbuat apa. Aku enggak mau melibatkan saudara-saudara cewekku buat persiapan ini.Tapi aku mau Khalisa tahu, walaupun banyak hal yang lagi dipertaruhkan, aku tetap memilih dia. Dan dia juga memilih aku.“Kok semuanya lagi di rumah, sih?” gumamku, saat melihat mobil-mobil di garasi.Mobil semua keluarga.Aku keluar dan dengar ada suara ramai-ramai di halaman belakang, jadi aku ikuti sumber suaranya dan menemukan Danny, Almorris, sama Luno lagi main di belakang bareng sekumpulan anak anjing di kandang kecil.“Kalian mau bisnis anjing, nih?” tanyaku.Luno menengok ke arahku. “Enggak lah, itu anaknya Popol. Dia baru punya anak,” jawab dia sambil senyum.Aku lupa kalau anjing Labrador kuningnya sempat menghamili anjing tetangga. Pemilik si anjing betina enggak mau mengurusi anak-anaknya dan bilang begitu anak-anaknya
୨ৎ A L Z I A N જ⁀➴Aku pelan-pelan geser dari Khalisa, meninggalkan dia di kasur. Terus aku pakai celana training. Setelah itu, jalan ke dapur, ambil Bir.Sudah malam banget, hampir tengah malam. Aku turun ke tempat api unggun. Setelah menyalakan apinya, aku duduk di kursi, menikmati Bir sambil bengong.Jujur saja, aku enggak pernah merasa seputus asa ini dalam hidupku. Rasanya mirip banget waktu aku melihat Papa mencoba menyelamatkan Mama dari ganasnya ombak teluk. Dan ekspresi panik di wajahnya saat sadar dia enggak bisa berbuat apa-apa.Sekarang, wanita yang aku cinta lagi berduka karena peluang dia buat punya anak.Aku mengerti maksud dia. Teman kerjaku, Nick, pernah cerita soal itu. Mahal, makan waktu, dan bikin emosi naik turun. Tapi aku percaya kita bisa jalani ini berdua.Dan setidaknya sekarang aku tahu kenapa dia meninggalkan aku. Itu bikin semuanya lebih mudah diterima ketimbang kalau dia pergi gara-gara cowok lain.
Aku mengangguk pelan. " Yakin.""Emang enggak bisa cari cara lain, ya?"Aku tatap dia lurus. "Dokter tadi itu cara lainnya. Dia lihat hasil yang sama kayak Dr. Agnes. Dan itu alasan aku ninggalin kamu, Alzian. Karena aku ngerasa enggak bisa kasih kamu keturunan. Aku terima kalau sekarang kamu mau ninggalin aku. Aku enggak bisa kasih hal yang kamu pinginin."Dia diam."Jadi sekarang ... kamu mau ninggalin aku lagi?""Aku cuma pingin kamu punya kehidupan yang kamu mimpiin. Kehidupan yang pantas kamu dapetin.""Hidup yang aku mau tuh kamu, Khalisa. Cuma kamu."Aku mengeluh, terus menutup muka pakai bantal. Aku ingin banget teriak, tapi aku tahan."Tapi aku tahu kamu pingin punya keluarga besar. Kamu udah sering bilang gitu dari dulu.""Kamu tadi bilang masih ada opsi pakai fertilitas, kan? Masih ada harapan.""Kamu tahu enggak, itu mahalnya kayak gimana? Dan kemungkinan berhasilnya kecil banget. B