୨ৎ K H A L I S A જ⁀➴
“Dua bulan, Khalisa! Enggak boleh lebih ... dan Mama mau kamu tahu kalau Mama sebenarnya enggak setuju sama keputusan ini.” Mama berdiri di samping Grab-Car nya di parkiran R-Land Inn, Penginapan milik Donna. Kopernya sudah di bagasi. “Donna enggak mau nerima cash dari Mama. Jadi beresin semua sendiri, ya! Jangan nyusahin orang lain, oke.” “Tenang aja, enggak bakal, kok.” Mama geleng-geleng kepala, masih kelihatan kesal. Aku enggak tega biarkan dia naik pesawat sendiri. “Mah,” panggilku, menahan dia sebelum masuk ke kursi belakang. “Khalisa bukan mau bikin Mama kesal.” Dia mengeluarkan napas panjang. “Mama sebenarnya pengen ngejaga kamu dari semua ini, tapi sekarang, Mama sadar kalau Mama enggak bisa. Hidupmu ya milik kamu. Kamu udah bilang itu ke Mama dari dulu, kan?” Aku langsung peluk dia erat, berharap ketegangan di antara kita bisa hilangAku kira kami bakal langsung tinggal bareng. Tapi, ya ... dia benar juga.Donna datang membawa Sufle dan meletakkannya di depan dia. "Jalapeno bikinin spesial buat kamu,” katanya, lalu berjalan pergi.“Sampaiin makasih ke Jalapeno ya,” jawab Alzian.Rambut poni Donna bergoyang-goyang saat ia berjalan. Ia berhenti di meja lain dan bertanya ke orang-orang apakah mereka menikmati sarapan.“Kamu emang hobi banget, ya, bikin dia kesal,” celetukku.Dia menyuap makanannya dan hanya mengangguk.Kami makan sambil diam, menatap ke arah teluk. Untungnya, Alzian makannya secepat kilat.Donna enggak menagihkan apa pun, dan Alzian langsung mengambil tasku begitu kami keluar. Ia meletakkannya di bagasi belakang.Begitu mobil melaju keluar dari parkiran, perutku tersenyum. Aku berharap, saat benar-benar sampai di rumah tempat kami dulu pernah menjadi suami istri, akan ada sesuatu yang muncul dari kepalaku.Aku sempat menebak kalau rumah kami ada di dekat tempat kerjanya, tapi begitu dia mengambil jal
୨ৎ K H A L I S A જ⁀➴ Sabtu pagi .... Aku baru saja selesai membereskan koper dan langsung membawanya turun ke resepsionis. Di balik meja ada Donna. Dia menyeringai saat melihatku. “Udah siap pulang?” Aku mengangguk. “Iya sih, tapi jangan sampai Alzian dengar.” Dia mengernyit. “Dia telat. Barusan dapat telepon mendadak, harus balik ke kerjaannya. Kamu mau sarapan dulu?” Ia langsung berjalan meninggalkan meja resepsionis. Donna masih dengan rambut merah dan tubuh berisinya seperti yang kuingat. Senyumnya yang usil belum muncul, tapi feeling-ku sih, dia masih sama saja seperti dulu. “Oh. Dia nggak ngubungin aku.” Donna memiringkan kepala. “Serius? Kan, dia punya nomor kamu?” “Punya, kok.” Dia menepuk punggungku. “Kamu tahu sendiri Alzian gimana. Mungkin dia cuma mau mastiin aku yang ngurusin kamu." “Yah, iya juga sih .…” Tapi jujur saja, kita berdua tahu itu cuma alasan doang. Dua hari lalu, waktu dia mengajakku ke tempat dia melamar, aku merasa itu amat menyakitinya. Dia bahk
"Kayaknya emang nggak pernah berubah," gumamku."Serius? Emangnya dulu aku juga kelihatan kayak gurita pas manjat gini?" Aku tertawa. Dia menoleh ke belakang. "Ayo, coba lagi!""Waktu aku ngelamar kamu di sini, aku sempat gigit pantatmu," kataku, lebih ke diri sendiri sebenarnya."Aku, sih nggak nolak kalau kamu mau ngulang itu sekarang."Aku memakai dua tangan untuk mendorongnya sampai benar-benar naik ke atas. "Lain kali aja, kali, ya."Dia mengulurkan tangan untuk membantuku naik, tapi aku malah memilih pakai ranting untuk memanjat sendiri."Itu tinggal lewatin pohon-pohon doang," kataku sambil menunjuk jalan dan menyuruh dia jalan lebih dulu. Aku ingin penyiksaan ini cepat selesai.Dia berjalan pelan melewati pepohonan. Matanya berkeliling ke sana kemari, seperti belum pernah ke sini sebelumnya, padahal kami sudah sering ke tempat ini.Tiba-tiba dia menarik napas panjang. "Ya ampun ...."Aku belum keluar dari balik pohon, tapi aku sudah bisa membayangkan danau biru yang dikeliling
୨ৎ A L Z I A N જ⁀➴"Jadi sekarang kamu udah mau ngomong sama aku?" tanya Khalisa saat kami berdiri di samping mobilku.Melihat dia nongkrong bareng Danny di Bar tadi bikin darahku naik. Mungkin dia lupa kalau Danny itu saudara tiriku. Atau ... ah, apa sih yang aku pikirkan?Kemungkinan besar dia ingat. Tapi bagaimana kalau ... sial, aku enggak mau mikir dia sama cowok lain, apalagi orang dari keluargaku sendiri.“Minum gak bakal nyelesaiin apa-apa!”Matanya merah, jelas banget habis nangis di depan Danny. Dan itu bikin aku makin kesal.“Itu ide dia. Dan yang terakhir kali aku ingat, kamu baru aja minta aku tanda tanganin surat cerai.”Aku mendongak, kesal, tapi dia tetap menatapku. “Ayo deh. Kamu ingin ingat sesuatu, kan? Aku bakal ajak kamu ke suatu tempat.”“Ke mana?”Dia enggak langsung naik ke mobil, jadi aku jalan memutar dan membukakan pintu untuknya, sambil menunjuk dengan tangan agar dia masuk.“Nanti juga kamu tahu.”“Gimana aku bisa percaya kalau kamu gak bakal buang aku dar
Aku mempercepat jalanku. Bukan mau sok atau apa, tapi memang lagi malas saja meladeni mereka. Semakin cepat aku berjalan, semakin keras juga mereka memanggil namaku.Begitu sampai di alun-alun, aku melihat beberapa turis sedang duduk santai. Lumayan, buat alihkan perhatian dari mereka.“Eh, Khalisa!!!” Suara Danny, kakak tiri Alzian, memanggil. Dia melambaikan tangan sambil membuka pintu Bar. Begitu melihat kerumunan di belakangku, dia buru-buru membuka pintu lebih lebar. “Kamu kan ada janji sama aku, inget?”Aku menoleh cepat ke belakang lalu langsung menyelonong masuk ke dalam bar. Cewek-cewek itu hampir sampai di pintu saat aku sudah bersembunyi di balik tiang kayu besar di tengah restoran. Aku menarik napas dalam-dalam.“Ya ampun. Kita tuh manggilin Khalisa, tahu!” seru Fannah.“Eh, mungkin kuping dia ikutan amnesia,” kata Danny sambil menyeringai.Salah satu cewek di belakangnya tertawa.“Danny! Garing banget sih, k
୨ৎ K H A L I S A જ⁀➴ Aku baru melangkah sebentar dari Twice Caffe, baru juga beberapa meter, tiba-tiba dicegat oleh para veteran yang di kota ini dikenal sebagai “Kepo-ers.” Kalian kira orang-orang tua ini sudah pensiun mengurusi hidup orang lain? Tentu saja belum. Gosip tetap jalan setiap ada kesempatan. “Khalisa, kamu ingat nggak pas parade Hari Kemerdekaan, kelas kamu bagi-bagiin bendera kecil?” celetuk salah satu dari mereka. “Atau waktu kamu main di taman bareng cucu aku, Oky?” “Pasti kamu nggak lupa waktu aku disuruh masuk ke kelasmu buat cerita soal penjajah, kan?” Aku cuma senyum sopan sambil menahan malas. “Makasih ya semua udah bantu-bantu ngingatin, tapi Khalisa harus cabut nih. Kita ketemu lagi nanti.” Aku tepuk pelan lengan kakek itu, terus lanjut jalan ke arah pelabuhan. Aku menghela napas berat, waktu lihat jalanan lumayan sepi. Kapal-kapal nelayan sudah berlayar siang-siang begini, tinggal gunung-gunung yang berdiri megah di balik air laut. Sambil jal