Aku mempercepat jalanku. Bukan mau sok atau apa, tapi memang lagi malas saja meladeni mereka. Semakin cepat aku berjalan, semakin keras juga mereka memanggil namaku.
Begitu sampai di alun-alun, aku melihat beberapa turis sedang duduk santai. Lumayan, buat alihkan perhatian dari mereka.“Eh, Khalisa!!!” Suara Danny, kakak tiri Alzian, memanggil. Dia melambaikan tangan sambil membuka pintu Bar. Begitu melihat kerumunan di belakangku, dia buru-buru membuka pintu lebih lebar. “Kamu kan ada janji sama aku, inget?”Aku menoleh cepat ke belakang lalu langsung menyelonong masuk ke dalam bar. Cewek-cewek itu hampir sampai di pintu saat aku sudah bersembunyi di balik tiang kayu besar di tengah restoran. Aku menarik napas dalam-dalam.“Ya ampun. Kita tuh manggilin Khalisa, tahu!” seru Fannah.“Eh, mungkin kuping dia ikutan amnesia,” kata Danny sambil menyeringai.Salah satu cewek di belakangnya tertawa.“Danny! Garing banget sih, kSaat aku enggak lagi mendengar suara apa pun dari kamar atas, aku buka lemari itu pelan-pelan. Aku tarik napas lega waktu melihat tumpukan kotak. Aku ambil satu dan buru-buru menutup pintu kamar lalu menguncinya.Aku buka kotak pertama, isinya beberapa bingkai foto. Ada foto kita berdua waktu masih muda. Satu lagi waktu kita dinobatkan jadi pangeran dan ratu sekolah, waktu karnaval tujuh belasan. Ada juga medali sama piala-piala punyanya Alzian. Terus ada potongan artikel koran tentang betapa hebatnya si Alzian Sunya main bola, dan bagaimana kampus-kampus besar berebut ingin merekrut dia. Karena kakaknya, Alvaro, sudah lebih dulu bikin gebrakan di kampusnya.Banyak banget foto-foto keluarga Alzian, ada juga foto dia bareng Mamanya waktu masih kecil. Terus aku baru sadar, foto-foto ini bukan dari rumah kita. Ini foto dari kamar rumahnya dia.Aku ingat waktu itu, setelah karnaval berakhir terus aku bawakan foto-foto kami ke dia. Hapsari sama Sahar lagi pergi. Tentu saja kita boleh ada d
୨ৎ K H A L I S Aજ⁀➴Aku langsung kabur ke kamar utama, menutup pintu dan naik ke tempat tidur. Serius, siapa, sih yang tega mengambil mimpi orang lain?Ada ketukan pelan di pintu. "Khalisa ...." Itu suara dia, Alzian."Aku gapapa. Balik aja ke keluargamu!" balasku.Gagang pintunya memutar pelan, dan dia masuk. "Aku gak bakal ninggalin kamu." Dia menutup pintunya lagi. "Ini gak kayak yang kamu pikirin.""Aku udah halangin cita-cita kamu, kan?"Dia tertawa kecil. "Enggak, enggak gitu ceritanya.""Tapi itu yang keluargamu bilang."Dia duduk di ujung ranjang, menjaga jarak."Aku bukanya nolak tawaran itu gara-gara kamu, serius!" Dia tarik napas panjang. "Oke, mungkin sebagian iya ... Tapi itu karena aku pikir kamu bakal ikut aku juga. Lagian itu cuma tawaran dari kampus, kok. Kamu tahu sendiri, kan, seberapa dikitnya pemain bola di kampus? Dikit banget, lho, dan semua pemain, aku yakin dapat tawaran itu.""Tapi tetap aja ....""Kamu ingat sesuatu, enggak? Waktu kita umur enam belas.""P
“Aku kira kamu deketin dia cuma buat cari tahu kenapa dia ninggalin kamu?” Maya mengangkat satu alisnya.Aku pun mengangkat bahu. “Ya, sebenarnya itu juga, sih.”“Oh ... Kalau gitu, aku bisa bilang Khalisa yang sekarang sama kamu yang sekarang, udah nggak relevan. Karena kalian berdua sekarang bukan orang yang sama lagi. Bahkan kalau pun dia inget semuanya, dia tetap bukan Khalisa yang lama. Dan Alzian yang lama pun juga udah pergi waktu Khalisa ninggalin kamu. Mungkin kamu harus kenalan lagi dari awal!”“Maya!” teriak Aldani, memanggil dia.Maya tersenyum dan memegang lenganku sebentar. "Senyum dong, ya? Malam ini, kan kita harus senang-senang.”Lalu dia berjalan ke arah Aldani dan menggandeng tangannya, membawanya turun ke arah api unggun.“Itu Luno lagi bareng Althaf, ya?” Aku dengar dia bertanya ke Aldani.“Udah, santai aja, Alzian,” tegas Maya kepadaku.Aku menoleh ke dalam ruang tamu, dan menemukan Khalisa
୨ৎ A L Z I A Nજ⁀➴Aku sedang memperhatikan dari sisi lain balkon saat Khalisa asyik makan Kebab daging sambil minum Wine di dalam rumah. Dia sedang mengobrol dengan Danny, dan Danny berhasil membuatnya tertawa.Memang begitulah Danny, dia gampang banget bikin orang ketawa. Sikapnya selalu bawa aura nyaman yang bikin semua orang betah di sekitarnya. Dan perasaan cemburu mulai muncul dalam diriku.Dulu aku enggak pernah merasa minder soal Khalisa. Tapi itu dulu, sebelum dia meninggalkanku.Terus ... Bagaimana mungkin aku bisa melupakan soal lemari itu?Jelas dia bakal menyukai buku harian yang dulu pernah ia tulis, meskipun aku enggak yakin dia masih ingat sama isinya.Tapi kalau pun ternyata dia mengingat semuanya … toh apa artinya juga buat kami?“Udahlah, nikmatin aja pestanya!” Luno merangkul leherku sambil menggoyangkan tubuhku maju mundur.“Jangan ganggu dia!” kata Althaf sambil menyeruput dari gelas wine-nya, lalu berjalan ke arah api unggun. Semua orang mulai turun ke bawah.Lun
Derrin bengong.“Nggak ada. Nggak penting. Lupain aja!”“Serius? Kamu mau gantung aku gitu aja?”Wajahnya sontak berubah. “Nggak bisa. Orang aku udah janji buat nggak ngomong.”“Please? Semua orang tahu gimana keadaan aku yang dulu. Aku juga pengen tahu, aku dulu tuh orang kayak gimana, sih?”“Oke deh. Aku nyalain apinya dulu, ya? Tenang ... Tapi kalau cewek-cewek di atas sampai tahu aku bocorin ini, bisa-bisa aku didepak dari geng.” Derrin mulai mengambil kayu.“Wah, serem juga tuh,” kataku sambil membantunya membawa kayu ke arah api unggun. “Oke. Aku janji nggak bakal ngomong. Kamu segitu bencinya, ya, sama aku, humm?” Aku meletakkan kayu dekat api unggun, sementara Derrin mulai menyusunnya dengan rapi.“Nggak lah! Sumpah! Mana bisa aku benci sama ipar.” Dia berhenti sejenak. “Cuma … kadang dulu kamu tuh .…”Aku berdiri, tangan di pinggang, menunggu dia menyelesaikan kalimatnya. “Derrin?”“Sombong ... Sama ... Sok banget jadi orang!” Dia menghela napas. “Aduh, aku jahat banget ya u
୨ৎ K H A L I S A જ⁀➴Setelah aku berkeliling di setiap ruangan, mencari kunci lemari, berharap ada sesuatu yang bisa memicu ingatanku, akhirnya aku menyerah dan menuju dapur. Soalnya, perutku sudah minta diisi. Aku buka kulkas, kupikir isinya kosong. Aku bahkan sudah siap-siap memesan Grab atau apalah buat pergi ke pusat kota. Eh, ternyata kulkasnya justru penuh.Aku mengambil beberapa bahan untuk membuat sandwich. Baru saja aku mulai makan, aku mendengar suara aneh dari luar. Seketika aku diam, menahan napas. Tapi enggak ada apa-apa. Aku lanjut makan sambil berusaha menenangkan pikiran. Padahal biasanya aku nyaman sendiri, tapi sejak kecelakaan, kesendirian justru bikin aku gelisah. Semakin lama sendiri, pikiranku makin liar, aku takut enggak akan pernah jadi diriku yang dulu.Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu, membuatku terlonjak. Aku melirik ke meja kecil tempat Alzian bilang dia menaruh pistol."Ini kita, santai!" Daniar berteriak dari luar, dia tahu kalau aku pasti panik.Aku