Aku menatap wajah Papa yang tersenyum senang, wajah tua itu begitu menyebalkan. "Kenapa ini? Kenapa aku malah semakin bergairah ketika menatap mertuaku yang terkekeh-kekeh ini, KENAPAAA?" jeritku salam hati.Aku menggeleng kecil berusaha mengembalikan kesadaran dan kewarasanku. Sulit sekali menolak gairah yang meletup-letup ini ketika tangan Papa sudah meremas lembut seluruh tubuhku.“Coba sini sebentar, Nduk!” Jarinya menjepit dan memilin jahil kismis mungilku yang mulai kemerahan. Setelah puas, Papa mengangkat kedua kakiku lebar-lebar, kemudian cacing beruratnya menekan belahan rahimku yang sudah kentang oleh ledakan syahwat.“Hhhhhhhhhhhhhhh ....” terdengar hela napas panjang ketika kepala cacing raksasa Papa mulai melesak ke dalam jepitanku. Nafas Papa memburu kencang ketika merasakan cacing beruratnya digigit oleh liang senggamaku. Aku meremas-remas cacing beruratnya dengan rahimku, semakin dalam rasanya semakin enak dan kesat.“Ohhh ... Aaahh ... Ahhhh … Sakitt! Sakitt berhen
Napas Papa semakin berat, tangan kanan yang memegangi cacing raksasa itu gemetar hebat ketika membantu untuk menjejalkan pucuknya ke dalam rahimku. Matanya melotot ketika tubuhku menggelinjang, rupanya Papa merasa geli ketika ujung pusakanya mulai membelah liang senggamaku.“AHH!! Aduhhhhh, Sakitttt!!!" Aku menjerit-jerit dahulu, mengerang-erang kemudian. Tubuh Papa bagaikan orang yang sedang demam, menggigil disertai cairan keringat yang mengucur semakin deras.“Ow!!” Aku melolong keras ketika Papa menancapkan pusakanya semakin dalam. Wajahnya tampak beringas ketika cacing raksasanya merobek-robek liang senggamaku dengan sodokan yang brutal.“Weleh- weleh, Nduk. Rasanya kayak perawan ting-ting!” Papa menatap tajam pada cairan bening yang membasuh cacing raksasanya. Si bandot tua ini tersenyum sambil menatap wajahku yang mengernyit kesakitan.Air mata mulai berlinang dan membasahi pipiku, sakitnya bertambah parah ketika Papa mulai mengayunkan pusakanya, menyodok belahan senggamaku hin
“Papa mau apa sih!!?“Aku menepis tangannya yang hendak menjamah buah dadaku di balik Daster Manohara. Mataku sontak membelalak dengan galak menatapnya. Sebenarnya aku nggak sudi kalau tubuhku disentuh oleh manusia bejat seperti Papa, meski aku sadar kalau dia sudah memegang kartu AS-ku.“Ha Ha Ha. Biasanya, sih, wanita jutek kayak kamu ini lebih panas dan hot kalo lagi di ranjang, Nduk!” pekik Papa.“JANGAN KURANG AJAR YA, PA!” caciku. Aku memberanikan diri untuk melayangkan telapak tanganku ke wajah Papa, namun dengan sigap dia memiting tanganku ke belakang."Arrgghh," keluhku ketika Papa dengan cekatan mengambil selotif di meja kerjanya lalu mengikat kedua tanganku, kemudian menarik tubuhku hingga rubuh terjengkang ke belakang.“Kamu pikir siapa yang pegang kendali di sini, Nduk? Humm!!” pekiknya sambil menarik tanganku lebih ke belakang.“Ahhhhhhhhhhh!!” Sakit banget rasanya ketika Papa mengikat kedua tanganku kuat-kuat.Aku geleng-geleng kepala berusaha menghindari mulut Papa yan
Langit masih gelap, saat suara koper Alzian beradu dengan lantai marmer. Aku terbangun dari tidur singkat di sofa, lelah setelah menyiapkan sarapan pagi buat suamiku yang ... ya, nggak tahu diri. Alzian muncul, sudah rapi dengan setelan serba hitam, tapi matanya masih setengah matang.Aku hanya menoleh sekilas dari dapur, cepat-cepat mengaduk secangkir teh tanpa gula.“Sayang, aku berangkat dulu!”"Loh, teh kamu ini, loh, Mas. Diminum dulu." Aku berjalan cepat mengejarnya. "Aku udah siapin Ayam bakar buat kamu sarapan, makan dulu.""Sejak kapan kamu bisa masak, Khal?" pekik Alzian. Dia lagi sibuk sama sepatunya. Senyumnya pagi ini nggak membuatku semangat. Justru bikin aku nge-down."Oh ... Hemm ... Bik Kinasih yang masak kemarin, Mas. Tadi dia juga yang angetin Ayam Bakarnya." Aku buang muka ke samping. Ya meski aku nggak bisa masak, tetap saja aku juga ingin menjadi istri yang selalu ada saat suaminya sarapan. Tapi kalau reaksi dia kayak begini. Aku jadi enggan."Terus kamu bela-be
Aku senang, Alzian pulang lebih awal hari ini. Dia kelihatan capek banget. Dan aku masih saja memikirkan bagaimana caranya aku harus mengatakan itu. Tiga hal yang dari tadi siang mengusik kepalaku."Aku mau cerai, Mas? Aku mau kamu lanjutin proyek ekspansi di kampungku? Aku mau ijin ke kamu buat kasih tubuhku ke Papamu, boleh nggak, Mas?”Ya ampun. Masa iya aku harus mengatakan salah satu dari ketiga opsi itu. Gila."Sayang, aku tidur duluan ya?" Suara Alzian membuyarkan lamunanku. Dia lepas dasi dengan gerakan malas, lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur.Aku menoleh sedikit, berusaha tersenyum. “Oh. Kamu capek, ya?”“Banget.” Dia memijat pelipisnya. “Besok pagi-pagi buta harus ke bandara. Tiga hari aku bakal di luar kota, Sayang.”Hatiku seperti diremas. “Ke mana?”“Kalimantan. Urus lahan tambang baru ... permintaan Papa.”Oh, jadi dugaanku benar. Papa memang sudah merencanakan semua ini. Dia sengaja menjauhkanku dari Alzian biar dia bisa leluasa kalau-kalau aku memilih tawaranny
Sudah, cukup. Aku nggak boleh menunggu sampai besok. Jadi, aku buka pintu kamar dan langsung melangkah keluar menemui Papa.Dia lagi duduk di kursi sambil baca koran. Klasik banget. Selalu kelihatan tenang kayak nggak terjadi ada apa-apa, padahal dia baru saja menaruh bom di kamar menantunya sendiri.Aku berdiri beberapa langkah darinya, “Pa?”Dia menurunkan korannya perlahan. Matanya naik ke arahku, sedikit terkejut, tapi langsung tersenyum kecil, “Cepat juga kamu turun,” dia lipat koran dengan rapi. “Papa kira kamu butuh waktu semalaman.”Aku tarik napas panjang, “Khalisa mau tahu ... pilihan ketiga itu apa?”Papa bangkit. Dia jalan pelan ke arah minibar dan menuangkan teh ke dalam cangkir. “Kenapa kamu tiba-tiba tertarik?” tanyanya sambil menyerahkan satu cangkir kepadaku.Aku nggak ambil cangkir itu. Tatapanku tajam, “Karena dua pilihan sebelumnya nggak adil. Dan Khalisa tahu, Papa bukan orang yang cuma main sama dua kartu.”Papa mengangguk, “Kamu memang anak pintar, Nduk. Makanya
Aku buang senyum palsu ke Mama, mencoba menutupi getaran di ujung mata. "Aku nggak apa-apa, Ma," suaraku nyaris nggak terdengar.Mama nggak langsung membalas, dia justru memindahkan tumisan ke piring saji. Sepertinya dia tahu kalau ada sesuatu yang sedang kutahan di dalam dada. Tapi dia memilih diam. Dan mungkin itu bentuk pengertiannya.Kami berdua makan siang dalam hening. Suara sendok garpu menjadi satu-satunya suara yang menemani pikiranku.Setelah selesai, aku mau naik ke kamar. Tapi sebelum berhasil keluar dari ruang makan, Mama menahan tanganku pelan sambil bilang, "Kalau kamu butuh apa-apa, cari Mama, ya, Nduk!”"Iya, Ma," balasku. Aku tersenyum sambil genggam tangannya yang lembut. "Khalisa naik dulu, ya?"Begitu pintu kamar kututup, aku lunglai. Bersandar di balik pintu sambil memperhatikan lagi HP yang menampilkan wajah Heksa dan perempuan itu.Cincin itu ....Apa itu pertunangan?Atau ... pernikahan?Dadaku ngilu.Aku hampir mengetik balasan untuk Daniar, tapi kuhentikan s
Khalisa─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──જ⁀➴Sudah satu bulan sejak aku resmi menjadi istri Alzian. Tapi kalau orang lain melihat, mungkin akan menyangka kami hanya dua orang asing yang kebetulan tinggal serumah.Pagi ini aku duduk di tepi ranjang, menatap pintu kamar yang sudah tertutup kembali. Suara sepatu Alzian di lantai bawah mengisyaratkan dia akan berangkat kerja lagi. Tanpa sempat menegurku, apalagi mencium kening seperti malam itu, saat sebelum Heksa tiba-tiba muncul di taman belakang.Alzian terlalu sibuk. Dan yang kudapat malah punggungnya. Dia pulang saat aku sudah tertidur dan pergi sebelum aku sempat membuka mata. Jadi jangan pernah tanya bagaimana malam pertama kami.TING TONG!!!Tiba-tiba HPku berbunyi, Nama Daniar muncul di layar.📩Daniar: Pengantin baru, galau terus, sih story-nya. Kamu nggak apa-apa, kan?Satu balasan untuk kupu-kupu cantik yang hinggap di Anyelir balkon dengan caption "Aku ingin bebas seperti dulu 😭" yang kuposting sore kemarin. Aku nggak berniat buat cari perhatia
Alzian dan anak buahnya pergi setelah mendapatkan apa yang dia mau. Entah apa pentingnya setetes air maniku bagi mereka, tapi aku lega. Dia masih membiarkankanku hidup setelah mengetahui kalau aku yang sudah bikin onar di pesta pernikahannya.Malam itu, aku hancurkan sumber listrik sebelum menyusup ke dalam rumahnya. Saat aku menemukan pintu kamar yang dihias paling glamour, aku yakin itu adalah kamar pengantin. Benar saja, di sana aku menemukannya hanya memakai bokser mini. Dari situlah semua drama ini dimulai."Heksaaaa!" jerit seseorang dari luar gerbang. Perempuan yang rambutnya yang nggak pernah lebih panjang dari bahu itu berlari ke arahku.Alzian tampak sedang memasuki mobil yang pintunya digenggam oleh anak buahnya. Pak Prawito, papanya Fenya juga ada di sana dengan napas yang berasap.Aku masih terjuntai miring di lantai, menatap mereka semua sambil merasakan nyeri di setiap sendi, hidung, dan yang lebih parah lagi, di sekitar alat vitalku."Kamu nggak apa-apa?" pekik Fenya.