୨ৎ A L Z I A N જ⁀➴“Halo, Babby.” Aku angkat telepon sambil menjauh dari Khalisa.“Kenapa kamu manggil aku Babby?” tanya Derrin, adiknya Danny, saudara tiriku.Aku naik ke mobil, mencolokkan kunci ke lubangnya, berusaha enggak melirik ke arah Khalisa, tapi gagal. Aku masih sempat menoleh. Dia masih berdiri di tengah parkiran, bajunya penuh lumpur, matanya menunduk menatap kakinya sendiri.“Memangnya kenapa?” tanyaku.“Jangan pura-pura bego. Kamu kira aku Kelly atau gimana?”“Enggak, kok.”Derrin enggak akan pernah tahu kalau aku manggil dia 'Baby' cuma karena aku kesal sama Khalisa.Kenapa?Ya, karena dia lupa pernah menghancurkan hatiku.“Terserah deh,” jawab Derrin. “Aku nelpon cuma mau kasih tahu, besok pagi aku bakal bahas soal Khalisa di acaraku.”Aku mengembuskan napas berat sambil menyetir keluar parkiran. Begitu yakin Khalisa enggak bisa dengar, aku sambungkan telepon ke Blueto
"Gila, pantes aja kalau orang bilang kamu cuma ngandelin otot doang," Daniar memutar matanya. "Aslinya itu juga nyeritain negara, Tedy. Negara Konoha, sama ribetnya kayak negaramu ini!""Terima kasih banget buat info yang nggak penting," sahut Tedy dengan nada menyebalkan."Kamu seharusnya baca buku, jangan cuma bola mulu," balas Daniar.Alzian merangkul pinggangku dan menarikku makin dekat.Aku senang karena dia enggak malu menunjukkan perasaannya di depan umum. Meskipun orang-orang di keluarga kami mengira hubungan ini cuma cinta-cintaan anak SMA, buatku, perasaanku ke Alzian benar-benar nyata."Apa sih yang mereka omongin?" bisiknya sambil mencium pelan di dekat telingaku."Hiih, kalau kamu terusin, kita bisa dihukum karena ketahuan pacaran di sini," ujarku sambil menyeringai, meski dalam hati agak waswas juga.Dia malah tertawa. "Mereka nggak bakal menghukum pemain inti."Sialnya, dia benar."Aku p
Tahun pertama di SMA .... "Eh, kalian gimana?" tanya Daniar saat kami meletakkan kotak makan di meja dan duduk. Aku melirik ke arah Alzian, yang sedang mengobrol serius dengan Tedy tentang perlombaan hari jadi kota kami, mereka fokus ke pertandingan Sepak Bola. Pikirannya hanya fokus mengalahkan rival abadi kami, SMA Bangora. "Tadi malam aku cek semua heroes," kata Daniar sambil membuka soda dan menyesapnya sedikit. "Terus kamu pilih yang mana?" Dia mengangkat bahu. "Aku pengin banget bawain PRISON SCHOOL, tapi kalau sampai dikeluarkan dari sekolah, gagal juga rencanaku buat kabur dari kota ini." Daniar memang sudah lama ingin pergi dari Pecang, sejak pertama kali aku mengenalnya. Nilainya bagus, dia ketua OSIS, dan juga anggota tim sepak bola putri. Masa depannya sudah tergambar cerah. Tapi kalau membayangkan dia pergi, rasanya sedih. Soalnya aku justru cinta banget sama kota kecil ini dan sem
Mama mengelus dada. “Terus kamu mau ke mana, Khalisa? Kamu nggak punya kerjaan, nggak punya uang.” “Khalisa mau tetap di sini.” Mataku mulai basah. “Kamu harus sama orang yang bisa kamu percaya.” Dia nyosor sambil mengulurkan tangan. Aku mundur. “Kamu jangan mau dibodohin. Dia cuma mau kamu balik biar bisa nyakitin kamu lagi. Kamu aja nggak tahu kenapa ninggalin dia, kan? Bisa aja kamu mergokin sesuatu. Rahasia dia, misalnya. Semua keluarga mereka punya rahasia.” “Berhenti!” teriak Connie, berdiri di antara aku dan Mama. “Cukup ngomongin keluargaku. Kamu ngerti?” Mataku membesar. Tapi Mama makin emosi. “Ingat, ya. Krisan itu yang ngehancurin pernikahannya sendiri.” Sebelum Sahar muncul, Connie sudah bicara duluan. Dia noleh, “Aku minta maaf, Donna.” Donna mengangguk pelan. “Dia tuh nggak pernah suka sama Hapsari, dan nggak pernah serius sama pernikahan mereka,” kat
୨ৎ K H A L I S A જ⁀➴ Aku baru saja tiba di penginapan, dan melihat Mama berjalan menjauh dari mobil milik Alzian, membuat emosiku kembali memuncak. Padahal tadi pagi sempat reda saat sarapan bersama Connie dan Shaenette. Aku membanting pintu mobil, dan Mama langsung menoleh. “Harusnya kamu udah beresin koper,” katanya sinis. “Kamu kenapa sih?” Dia mendekat, tapi segera kutahan dengan tangan. “Dia kepleset di bukit,” jawab Shaenette sambil menyentuh lenganku, sok akrab, seolah kami sudah bersahabat sejak lama. Padahal aku masih belum ingat siapa dia, meskipun tadi pagi dia sudah banyak bicara saat sarapan. “Kapan? Di mana?” Mata Mama menyapu tubuhku dari atas sampai bawah. “Khalisa enggak apa-apa,” jawabku sambil melangkah mundur. Tiba-tiba pintu penginapan terbuka. Donna keluar, rambut merahnya dikuncir tinggi. Ia berjalan menuju Alzian dan Sahar, yang ternyata sudah ada di sana.
Marwa enggak menjawab, hanya memutar bola matanya. “Kebetulan sekali, ya, kamu udah punya pacar baru.”Aku berdiri. Niatnya, sih mau pergi supaya enggak terbawa emosi. Tapi saat sampai di ujung meja, aku enggak tahan lagi.“Kelly itu ... dia nggak serius. Dua tahun ini hidupku berantakan. Aku sebenarnya nggak mau cerita ini ke Ibu, tapi aku terpaksa. Biar Ibu berhenti sok tahu.”Aku benar-benar lelah terus-menerus disalahkan. Padahal dia yang meninggalkanku. Bukan aku yang selingkuh, bukan aku yang kasar, apalagi bohong. Enggak ada alasan yang masuk akal buat dia pergi, tapi dia tetap pergi begitu saja. Lalu sekarang dia kembali ke Pecang, seolah lupa alasan dia meninggalkan pernikahan kami.Marwa bersandar ke belakang, melirik ke arah Papaku, menyuruh beliau menegurku habis-habisan.“Kamu serius ragu sama niatku buat bikin Khalisa sembuh?” tanyanya.Aku mendengus. “Yang aku raguin itu niat ibu buat bantu dia ingat sama semua bag