“Aku kira kamu deketin dia cuma buat cari tahu kenapa dia ninggalin kamu?” Maya mengangkat satu alisnya.
Aku pun mengangkat bahu. “Ya, sebenarnya itu juga, sih.”“Oh ... Kalau gitu, aku bisa bilang Khalisa yang sekarang sama kamu yang sekarang, udah nggak relevan. Karena kalian berdua sekarang bukan orang yang sama lagi. Bahkan kalau pun dia inget semuanya, dia tetap bukan Khalisa yang lama. Dan Alzian yang lama pun juga udah pergi waktu Khalisa ninggalin kamu. Mungkin kamu harus kenalan lagi dari awal!”“Maya!” teriak Aldani, memanggil dia.Maya tersenyum dan memegang lenganku sebentar. "Senyum dong, ya? Malam ini, kan kita harus senang-senang.”Lalu dia berjalan ke arah Aldani dan menggandeng tangannya, membawanya turun ke arah api unggun.“Itu Luno lagi bareng Althaf, ya?” Aku dengar dia bertanya ke Aldani.“Udah, santai aja, Alzian,” tegas Maya kepadaku.Aku menoleh ke dalam ruang tamu, dan menemukan KhalisaEsok paginya, untuk memastikan kalau hubunganku dengan Khalisa baik-baik saja, aku memberanikan diri mampir ke rumah Khalisa, dengan alasan ingin mengembalikan buku yang pernah kupinjam. Aku mengetuk pintu rumahnya, lalu tak lama kemudian ia pun membuka pintu. Selama beberapa detik, kami bertatapan tanpa suara. Wajah manisnya tampak begitu alami karena ia enggak mengenakan make up. Ia memakai kaos putih polos dan celana legging warna hitam. Sepertinya ia sedang bermalas-malasan di kamar. “Eh, Alzian? Kok nggak bilang mau kesini?” tanyanya sambil tersenyum. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat. “Iya, aku kebetulan lewat sini dan ingat mau ngembaliin buku,” ucapku canggung. “Oh iya, yuk masuk dulu. Sori agak berantakan,” ucapnya sambil mempersilakan aku masuk ke dalam ruang tamu. Aku mengeluarkan buku dari dalam tas dan masuk ke dalam rumahnya. Meskipun ia bilang berantakan, tapi bagiku rumahnya tampak rapi.
୨ৎ A L Z I A Nજ⁀➴ Sepuluh tahun yang lalu .... Khalisa lah satu-satunya cewek yang kupacari sejak lama, ia adalah teman sekelasku. Orangnya ramah, sangat enerjik, dan bisa dibilang tomboy. Ya, dia adalah salah satu di antara empat orang teman dekatku di sekolah, yang lain adalah Luno, si anak paling kaya di Bangora, Tedy si paling menyebalkan, dan Daniar, teman akrab Khalisa yang ke mana-mana selalu bersama. Malam ini, kami berempat janjian bertemu di Twice Caffe untuk merayakan selesainya masa ujian semester dan tibanya masa liburan. Aku datang ke kafe bersama dengan Luno, menumpang di mobilnya. Tiba di kafe, Tedy sudah memesan tempat. Ia duduk di salah satu sofa di pojok ruangan yang memang sudah disetting untuk empat orang. Mata Tedy tak henti menatap monitor laptop di hadapannya, sehingga ia tak sadar kalau kami sudah ada di belakangnya. “Hey!” Luno menepuk pundak Tedy, membuat pria cungkring itu terhenyak kaget.
Saat aku enggak lagi mendengar suara apa pun dari kamar atas, aku buka lemari itu pelan-pelan. Aku tarik napas lega waktu melihat tumpukan kotak. Aku ambil satu dan buru-buru menutup pintu kamar lalu menguncinya.Aku buka kotak pertama, isinya beberapa bingkai foto. Ada foto kita berdua waktu masih muda. Satu lagi waktu kita dinobatkan jadi pangeran dan ratu sekolah, waktu karnaval tujuh belasan. Ada juga medali sama piala-piala punyanya Alzian. Terus ada potongan artikel koran tentang betapa hebatnya si Alzian Sunya main bola, dan bagaimana kampus-kampus besar berebut ingin merekrut dia. Karena kakaknya, Alvaro, sudah lebih dulu bikin gebrakan di kampusnya.Banyak banget foto-foto keluarga Alzian, ada juga foto dia bareng Mamanya waktu masih kecil. Terus aku baru sadar, foto-foto ini bukan dari rumah kita. Ini foto dari kamar rumahnya dia.Aku ingat waktu itu, setelah karnaval berakhir terus aku bawakan foto-foto kami ke dia. Hapsari sama Sahar lagi pergi. Tentu saja kita boleh ada d
୨ৎ K H A L I S Aજ⁀➴Aku langsung kabur ke kamar utama, menutup pintu dan naik ke tempat tidur. Serius, siapa, sih yang tega mengambil mimpi orang lain?Ada ketukan pelan di pintu. "Khalisa ...." Itu suara dia, Alzian."Aku gapapa. Balik aja ke keluargamu!" balasku.Gagang pintunya memutar pelan, dan dia masuk. "Aku gak bakal ninggalin kamu." Dia menutup pintunya lagi. "Ini gak kayak yang kamu pikirin.""Aku udah halangin cita-cita kamu, kan?"Dia tertawa kecil. "Enggak, enggak gitu ceritanya.""Tapi itu yang keluargamu bilang."Dia duduk di ujung ranjang, menjaga jarak."Aku bukanya nolak tawaran itu gara-gara kamu, serius!" Dia tarik napas panjang. "Oke, mungkin sebagian iya ... Tapi itu karena aku pikir kamu bakal ikut aku juga. Lagian itu cuma tawaran dari kampus, kok. Kamu tahu sendiri, kan, seberapa dikitnya pemain bola di kampus? Dikit banget, lho, dan semua pemain, aku yakin dapat tawaran itu.""Tapi tetap aja ....""Kamu ingat sesuatu, enggak? Waktu kita umur enam belas.""P
“Aku kira kamu deketin dia cuma buat cari tahu kenapa dia ninggalin kamu?” Maya mengangkat satu alisnya.Aku pun mengangkat bahu. “Ya, sebenarnya itu juga, sih.”“Oh ... Kalau gitu, aku bisa bilang Khalisa yang sekarang sama kamu yang sekarang, udah nggak relevan. Karena kalian berdua sekarang bukan orang yang sama lagi. Bahkan kalau pun dia inget semuanya, dia tetap bukan Khalisa yang lama. Dan Alzian yang lama pun juga udah pergi waktu Khalisa ninggalin kamu. Mungkin kamu harus kenalan lagi dari awal!”“Maya!” teriak Aldani, memanggil dia.Maya tersenyum dan memegang lenganku sebentar. "Senyum dong, ya? Malam ini, kan kita harus senang-senang.”Lalu dia berjalan ke arah Aldani dan menggandeng tangannya, membawanya turun ke arah api unggun.“Itu Luno lagi bareng Althaf, ya?” Aku dengar dia bertanya ke Aldani.“Udah, santai aja, Alzian,” tegas Maya kepadaku.Aku menoleh ke dalam ruang tamu, dan menemukan Khalisa
୨ৎ A L Z I A Nજ⁀➴Aku sedang memperhatikan dari sisi lain balkon saat Khalisa asyik makan Kebab daging sambil minum Wine di dalam rumah. Dia sedang mengobrol dengan Danny, dan Danny berhasil membuatnya tertawa.Memang begitulah Danny, dia gampang banget bikin orang ketawa. Sikapnya selalu bawa aura nyaman yang bikin semua orang betah di sekitarnya. Dan perasaan cemburu mulai muncul dalam diriku.Dulu aku enggak pernah merasa minder soal Khalisa. Tapi itu dulu, sebelum dia meninggalkanku.Terus ... Bagaimana mungkin aku bisa melupakan soal lemari itu?Jelas dia bakal menyukai buku harian yang dulu pernah ia tulis, meskipun aku enggak yakin dia masih ingat sama isinya.Tapi kalau pun ternyata dia mengingat semuanya … toh apa artinya juga buat kami?“Udahlah, nikmatin aja pestanya!” Luno merangkul leherku sambil menggoyangkan tubuhku maju mundur.“Jangan ganggu dia!” kata Althaf sambil menyeruput dari gelas wine-nya, lalu berjalan ke arah api unggun. Semua orang mulai turun ke bawah.Lun