Setelah malam yang canggung di restoran, Ali tidak bisa memejamkan mata. Senyum Dahlia yang biasanya hangat kini hanya sekilas, dan matanya… terlalu sering melamun. Fitnah itu sangat mengganggunya.
Pagi itu, tanpa memberi tahu siapa pun, Ali masuk lebih awal ke kantor. Bukan untuk bekerja, tapi untuk menyelidiki.Ia meminta tim IT menarik kembali rekaman CCTV kantor selama beberapa minggu terakhir. Satu per satu rekaman ruang pantry, lorong belakang, bahkan area parkir ditelaahnya. Ia juga menghubungi bagian HRD secara pribadi, meminta mereka mencatat siapa saja yang sering menggosip, terutama soal Dahlia.Ali bekerja seperti detektif. Diam, tajam, dan rapi.Butuh waktu setengah hari hingga ia mendapat simpul benang: Bu Bani. Pegawai senior bagian administrasi, yang tampaknya merasa paling tahu masa lalu semua orang. Dari mulutnyalah racun gosip itu menyebar, memutarbalikkan masa lalu Dahlia, menyebarkannya seperti jamur di musPagi itu, aroma teh manis dan gorengan dari dapur mulai menyebar ke seluruh penjuru rumah. Rumah masih ramai, tamu dari luar kota belum pulang, dan suasana masih penuh cerita tentang pesta semalam. Para Bapak duduk sambil menyeruput kopi dan camilan di kolam belakang bersama Akung. Dan beberapa perempuan keluarga Ali—saudara jauh dari pihak nenek—berkumpul di meja makan, masih mengenakan daster batik dan mukena yang belum dilepas sejak shalat subuh. Obrolan mereka ringan, kadang diiringi tawa cekikikan pelan. Tapi arah obrolan mulai berubah saat melihat Dahlia. Dahlia keluar dari kamar pelan-pelan, mengenakan baju santai berwarna pastel. Rambutnya masih basah, digerai seadanya, dengan mata yang tampak lelah. Wajahnya sedikit pucat, bukan karena malu, bukan juga karena ‘efek malam pertama’ seperti yang banyak dibicarakan. Ia hanya belum tidur nyenyak, pikirannya semalam terus berputa
Udara malam terasa dingin saat mereka memasuki kamar untuk pertama kalinya sebagai suami istri. Dahlia menunduk, menatap ujung jarinya sendiri, sementara Ali menutup pintu dan menggantung jasnya dengan santai."Capek banget ya hari ini," kata Ali sambil melemaskan lehernya, "Tapi lega juga akhirnya... kamu resmi jadi istriku."Dahlia mengangguk kecil, duduk di tepi ranjang, diam. Tangannya meremas-remas kebaya yang belum sempat ia ganti.Ali memperhatikannya dari kejauhan, dengan dahi mengerut samar. Ada yang aneh. Dahlia tampak... gugup. Bahkan sejak mereka masuk kamar, Ali menyadari langkahnya kaku, matanya gelisah, dan wajahnya merah padam.Ali tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana, "Kenapa? Kamu kok kelihatan tegang banget. Padahal..." Ia berhenti sejenak, lalu duduk di sisi ranjang, "Kamu kan bukan baru pertama kali ngalamin malam kayak gini, kan?"Dahlia menoleh cepat, tapi langsung menunduk lagi. Tida
Tepuk tangan pelan menyusul. Suasana syahdu. Mata Dahlia sudah tidak bisa lagi menahan haru yang luar biasa. Ia menyandarkan kepalanya yang tertunduk di bahu Ali.“Terima kasih, Akung…” sebutnya dengan lirih dan haru. Ia benar-benar bahagia saat ini.Tidak lama setelah Akung turun dari panggung mini, MC kali ini memanggil sang pengantin pria untuk menyampaikan satu dua patah kata untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan saat ini.Tapi Ali tidak berpindah tempat. Ia masih berdiri di samping pengantinnya tanpa melepaskan genggaman tangannya. MC datang dan menyerahkan mic untuk Ali bicara.“Terima kasih, semuanya karena sudah datang untuk mendoakan dan bersedia merayakan kebahagiaan kami.”Ia menoleh sebentar pada Dahlia.“Pernikahan kami mungkin tidak megah. Tapi izinkan saya berdiri di sini untuk membuktikan satu hal, bahw
Kantor Urusan Agama (KUA) setempat, pagi hari.Langit pagi itu cerah, tapi tidak terlalu terik. Angin lembut menyapu halaman kecil KUA yang sudah dirapikan oleh petugas. Tidak ada dekorasi berlebihan, hanya beberapa bunga segar di meja akad, dipilih langsung oleh Ali, sesuai permintaan Dahlia yang ingin pernikahan mereka low-key dan penuh kesederhanaan.Beberapa kursi disusun rapi di ruangan kecil KUA. Hanya keluarga inti yang hadir—Pak Endang dan Bu Juli dari pihak Dahlia. Dan dari pihak Ali, ada Akung dan juga Rudi sebagai salah satu saksi nikah.Tidak ada gaun pengantin berkilauan, tidak ada pelaminan, tidak ada kamera besar, tapi justru disitu letak keindahannya.
Setelah malam yang canggung di restoran, Ali tidak bisa memejamkan mata. Senyum Dahlia yang biasanya hangat kini hanya sekilas, dan matanya… terlalu sering melamun. Fitnah itu sangat mengganggunya.Pagi itu, tanpa memberi tahu siapa pun, Ali masuk lebih awal ke kantor. Bukan untuk bekerja, tapi untuk menyelidiki.Ia meminta tim IT menarik kembali rekaman CCTV kantor selama beberapa minggu terakhir. Satu per satu rekaman ruang pantry, lorong belakang, bahkan area parkir ditelaahnya. Ia juga menghubungi bagian HRD secara pribadi, meminta mereka mencatat siapa saja yang sering menggosip, terutama soal Dahlia.Ali bekerja seperti detektif. Diam, tajam, dan rapi.Butuh waktu setengah hari hingga ia mendapat simpul benang: Bu Bani. Pegawai senior bagian administrasi, yang tampaknya merasa paling tahu masa lalu semua orang. Dari mulutnyalah racun gosip itu menyebar, memutarbalikkan masa lalu Dahlia, menyebarkannya seperti jamur di mus
"Anak saya ini sebenarnya laki-laki baik. Tapi ya, namanya juga manusia, pasti pernah salah. Masalahnya, mantan istrinya itu… Ya Allah…. Kok ya tega banget, ya.”Ia berhenti di dekat pantry, pura-pura membereskan rantang sambil melirik-lirik penuh maksud.“Apa nggak kasihan, ya, sama anak saya? Digugat cerai, ditinggal, terus sekarang mantan istrinya malah… ya ampun, mau nikah sama bosnya sendiri.”Seorang staf perempuan yang duduk sambil menyeduh kopi menoleh, tampak mulai penasaran.Bu Bani melanjutkan, kali ini nadanya lebih seperti bisikan yang sengaja dikeraskan.“Padahal ya, Mbak… Dahlia itu, secara fisik tuh gak ideal loh. Maaf ya, saya bukan mau jelek-jelekin atau body shaming, tapi dia itu... penyakitan. Cuma punya satu ginjal. Terus kata dokter, dia juga nggak bisa punya anak,”“Tapi habis cerai, malah anak saya yang disalahin. Padahal, siapa yang nggak mau punya istri sehat yang bisa ngasi