Share

Bab 2 Tidak Punya Hati Nurani

"Kamu pikir aku di sana membuat keributan?" Zia bertanya dengan jari jemari tangan kanan menyentuh lehernya. "Apa di matamu aku terlihat seperti orang yang suka membuat keributan?"

Amran membulatkan kedua matanya dengan penuh emosi, lalu mendekat ke arah Zia dan mengangkat tangannya. Namun ketika dia hendak melakukan suatu, dia pun tersadar kalau apa yang akan dilakukannya salah.

"Kenapa? Kalau mau tampar, tampar saja. Sama seperti yang dilakukan Mama sama Papa. Kamu juga mau mengikuti jejak mereka? Lakukan!" teriak Zia bener-bener emosi karena sikap suami dan juga kedua orang tuanya sama.

Padahal, selama ini dia tidak pernah membantah perkataan ketiga orang itu dan bahkan dia sendiri menyampingkan keinginannya hanya untuk membuat mereka senang.

"Aku sungguh tidak habis pikir ternyata Di matamu aku terlihat seperti orang yang suka membuat masalah? Padahal, selama ini aku selalu melakukan yang kalian katakan! Sungguh tidak habis pikir dengan jalan pikiran kalian," teriak Zia lagi lalu berlari ke arah kamarnya dan membanting pintu begitu saja hingga membuat Amran yang ada di bawah ikut terkejut.

"Sebenarnya apa yang sudah aku lakukan? Kenapa aku begitu tidak mempercayainya?" gumam Amran tak percaya dengan apa yang ia lakukan sendiri.

Ketika sampai di kamarnya, Zia menangis hebat. Meraung sambil menepuk dadanya.

"Ini semua terlalu menyakitkan, kenapa harus aku yang mengalaminya? Aku pikir selama ini tidak ada masalah karena aku selalu mengikuti perintah keluargaku dan aku juga selalu bersikap biasa saja ketika mereka lebih memperhatikan Rania. Namun kalau selalu seperti ini, aku juga tidak sanggup lagi," teriaknya sambil menarik-narik rambutnya.

Zia benar-benar merasa seperti dipermainkan karena diperlakukan dengan tidak adil oleh orang tuanya sendiri, bahkan Amran juga bersikap demikian. Namun pria yang ada di bawah itu pun akhirnya menyesali apa yang sudah dilakukannya dan hendak meminta maaf kepada Zia, tetapi sebelum melakukan itu ponselnya lebih dulu berdering.

"Apa Zia datang dengan menangis?" tanya seseorang dari arah seberang.

"Iya, dia marah-marah." Amran menjawab jujur padahal Zia hanya meluapkan emosinya.

"Dia memang selalu seperti itu, jadi kamu harus sabar. Dari dulu dia memang terlalu dimanja, jadi suka seenaknya sendiri."

"Iya, kamu sendiri sebagai kakaknya sangat sabar menghadapi Zia. Bagaimana mungkin aku akan menyerah? Kamu orang yang sangat baik, semoga nanti Zia juga bisa mengikuti sikap dewasamu. Setidaknya seperlimanya." Amran malah semakin membelanya tanpa tahu apa pun yang terjadi.

”Aku adalah kakaknya, jadi aku harus lebih tahu tentang dirinya daripada siapa pun agar ketika terjadi sesuatu yang diinginkan, setidaknya aku bisa tanggung jawab," ujar Rania santai sekolah dirinya adalah seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya.

Mereka pun tertawa sambil terus bercengkrama.

"Apa kamu sudah mencintainya?" tanya Rania dengan suara yang lembut secara tiba-tiba seperti tiga tahun yang lalu membuat jantung Amran berbaju lebih cepat dan membuat dirinya terdiam.

"Kenapa? Apa ternyata kamu sudah sangat mencintainya?" ulang Rania dengan penuh penekanan, seolah menunjukkan kekhawatiran akan terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.

"Apa? Kenapa?" tanya Amran tidak nyambung.

"Ah, sudahlah ... lupakan saja kalau kamu memang sudah sangat mencintainya," lirih Rania membuat Amran kecewa.

"Enggak!" sahut Amran cepat membuat Rania yang akan segera berbicara mengurungkan niatnya. "Aku minta maaf. Untuk sekarang ini aku memang belum mencintainya, tetapi nanti aku akan menjadi pria yang sangat mencintainya."

"Tidak perlu minta maaf, bukankah perasaan cinta memang tidak bisa dipaksakan?" tanya Rania dengan suara yang terdengar lebih ceria, sayangnya Amran tidak menyadari hal itu.

"Ah, ya. Kamu benar. Aku jadi semakin takjub dengan sikapmu yang dewasa."

Di telepon, Amran tidak henti-hentinya memuji kelebihan Rania tanpa memikirkan seberapa hancur perasaan Zia sekarang. Apalagi kalau dia tahu Amran dan kakaknya tengah berbicara di telepon genggam, bahkan Amran membandingkan keduanya.

Namun perbuatan Amran berhasil menarik amarah seorang wanita yang baru saja masuk dari pintu rumahnya. Wanita itu menjatuhkan tas yang dibawanya dan mendekat ke arah Amran dengan penuh kemarahan.

"Apa yang sedang kau lakukan? Apa kau berniat secara terang-terangan untuk melukai hati menantuku?" tanya Via, ibunya Amran.

"Bu, kenapa bisa datang ke sini tanpa bilang dulu padaku?" tanya Amran gerogi.

Saat ini tubuhnya langsung tidak bisa bergerak, seolah baru terpergok selingkuh oleh istrinya. Walau demikian, dia tidak lupa menyentuh tombol merah hingga panggilan antara dirinya dengan Rania mati. Amran tidak ingin ibunya marah-marah dan melampiaskan emosinya kepada Rania, terlebih ibunya masih dendam dengan apa yang dilakukan Rania tiga tahun lalu.

Lari dari pernikahan bukanlah masalah sepele, hal itu juga yang membuat beberapa orang keluarga Amran langsung membenci Rania. Ditambah kepergiannya waktu itu membuat keluarga besar Amran menjadi perbincangan banyak orang, padahal mereka tidak tahu apa pun.

Akan tetapi, semua kekesalan dan amarah itu langsung terbayarkan ketika wanita yang dinikahi Amran ganti. Bukan lagi Rania yang sudah mencoreng nama baik mereka, namun Zia yang menurut mereka jauh lebih baik daripada Rania.

"Jadi menurutmu Ibu harus minta izin ketika datang ke rumah anak sendiri, begitu?" tanya ibunya Amran dengan kedua mata yang memerah. "Apa kamu mau jadi pengecut, sama seperti orang itu yang melarikan diri karena terpergok melakukan kesalahan?"

"Apa yang Ibu maksud? Bukan tentang Rania, kan?" tanya Amran tidak suka.

Apa pun yang terjadi dan bagaimanapun keadaannya, Rania tetaplah orang yang paling penting di hati Amran. Apalagi sekarang dia belum bisa mencintai Zia, jadi menurut Amran ibunya tidak pantas berbicara seperti itu.

"Bu, apa pun yang sudah Rania lakukan, itu tidak ada hubungannya dengan kita, dengan apa yang terjadi dengan kita. Kenapa Ini kalah menyeret nama Rania yang tidak tahu apa-apa dengan hal ini?" tanya Amran lagi meminta penjelasan, namun kali ini dia malah mendapatkan tamparan yang sangat keras hingga membuat wajahnya bengkak.

Kekuatan ibunya Amran tiba-tiba meningkat ketika mendengar beberapa kata keluar dari anaknya yang menurut Via keterlaluan dan menjijikkan.

"Hanya orang yang tidak tahu malu yang bisa berkata seperti itu dengan tatapan sempurna meski sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang sudah dia lakukan hingga membuatmu terus membela dirinya setelah apa yang dia lakukan tiga tahun lalu?" teriak ibunya Amran tidak terima dengan perasaan yang kacau.

Via sama sekali tidak tahu apa yang ada di pikiran Amran. Padahal jelas-jelas Rania sudah melakukan kesalahan yang tidak bisa ditolerir, namun Amran malah terang-terangan membelanjakan.

Mendengar suara gaduh di bawah, Zia menarik kakinya dengan malas dan berdiri di ujung tangga.

"Mas, apa yang terjadi?" tanyanya membuat Amran dan Via seketika menatap ke arahnya, namun beberapa detik kemudian Amran menatap Via dan berbisik agar ibunya tidak menceritakan apa yang terjadi barusan.

"Enggak! Zia tetap harus tahu karena dia adalah istrimu," teriak Via.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
Zia lebih baik kmu pergi jauh dr Amran dn kmu jangan minta cerai dr Amran .biar dia g bisa nikah lagi dgn s perempuan iblis itu juga biar g bisa bersama kagi klo dia nikah diem2 tinggal kmu cari bukti diem2 kmu laporin duem2 k polisi atas perzinahan dn nikah diem2 tanpa ujin ...
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
pantas aja kau disepelekan dan g dianggap zia. krn kau lebih bodoh dari binatang. kau punya otak tapi g punya akal. hanya orang g wsras layak kamu yg pasrah dan menerima nadib
goodnovel comment avatar
Puput Assyfa
jgn jd laki2 b0d0h yg tak bisa membedakan mana wanita yg baik dan bruk antara zia dan rania Amran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status