"Mama!"Amran berteriak dengan suara yang melengking hingga membuat Via ataupun Zia berhasil menutup telinganya dan sama-sama menatap kaget ke arah Amran.
"Kenapa kamu membentak Mama seperti itu, Mas? Apa kamu sudah lupa dari mana kamu dilahirkan dan tumbuh menjadi pria yang durhaka?" Zia berdiri di tengah-tengah antara Via dan Amran, menurutnya suaminya itu sudah sangat keterlaluan."Tapi Mama sudah melakukan kesalahan. Bukannya introspeksi diri, Mama malah berniat untuk membuat semuanya semakin kacau," terang Amran memberikan penjelasan, namun Via tidak terima."Kesalahan mana yang sudah Ibu lakukan?" hardik Via tak terima sambil berjalan mendekat ke arahnya. "Apa kamu pikir Ibu akan diam saja ketika ada wania yang disakiti psikisnya seperti itu?""Tidak ada yang aku sakiti! Mama berpikir terlalu berlebihan lagi dan aku tidak suka itu," sentak Amran berusaha mendorong mamanya untuk keluar, namun lagi-lagi Zia menahannya."Apa yang kamu lakukan ini, Mas? Kenapa kamu selalu mendorong Mama menjauh? Apa jangan-jangan Mama mengetahui salah satu kelemahanmu?" tebak Zia benar seketika membuat Amran salah tingkah. "Kalau pun iya, kamu juga tidak berhak melakukan hal seperti ini, Mas. Ini bukan hal pantas dan boleh dilakukan seorang anak kepada ibu kandungnya sendiri."Amran terdiam setelah mencerna perkataan Zia. Pada dasarkan dia membentak Via bukan karena dia sudah melakukan kesalahan, namun karena dia tidak ingin Zia mengetahui semuanya. Bagi Amran, Zia lebih baik tidak mengetahui beberapa hal. Karena jika mengetahuinya, mungkin saja dia akan mundur dan pergi dari kehidupan pernikahan yang sudah membelenggunya ini.Amran pun mendekat ke arah Via dengan penuh harap. "Aku mohon, Ma. Aku minta maaf atas apa yang kulakukan barusan, tapi aku tidak tidak ingin Mama merusak apa yang sudah aku bangun. Ditambah sekarang dia memang sedang sensitif, jadi aku harap Mama memberikanku waktu lagi agar bisa menjelaskan semuanya kepada Zia," pinta Amran membuat emosi Via perlahan meredup.Zia juga sudah tidak emosi lagi meski tadi dia sangat membenci Amran."Untuk ke depannya kalau kamu bentak Mama, maka aku tidak akan tinggal diam," ancam Zia namun tangan Via lebih dulu menyentuh lengan menantunya."Apa kalian sangat membenci Ibu?" tanya Via tiba-tiba membuat keduanya seketika menatap Via."Apa? Enggak. Kenapa Mama bertanya seperti itu?" tanya Zia lirih."Soalnya kalian panggil Mama sejak tadi, bukankah Ibu sudah bilang enggak suka panggilan itu?" Via menatap sayu ke depan.Zia seketika memeluk tubuh ibu mertuanya itu."Aku minta maaf, Bu. Aku benar-benar tidak sengaja melakukannya. Ditambah aku baru pulang dari rumah Mama, jadi panggilannya terbawa ke sini," ucapnya lembut.Via menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan."Untuk kali ini Ibu tidak akan pernah memperhatikan apa pun yang dilakukan Amran, jadi Ibu minta maaf kalau dia belum bisa menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab, ya. Cuman Ibu janji tidak akan pernah membiarkan kamu bersikap seenaknya terhadap menantu Ibu," terangnya penuh penekanan membuat Amran serba salah."Aku akan berusaha untuk menjadi suami yang baik bagi Zia. Jadi, aku mohon Ibu jangan mengganggu pernikahan kita yang sudah bahagia ini," lirih Amran keberatan terhadap Via yang suka ikut campur.Sementara Zia ... dia hanya bisa menyunggingkan senyum sambil menahan hatinya yang tengah berdarah, karena mereka tidak mungkin menunjukkan ketidak bahagiaan keluarga mereka kepada Ibu mertuanya. Jadi hanya bisa tersenyum seperti boneka yang tidak merasakan perasaan apa pun dan dituntut untuk menunjukkan yang baik-baik saja. Terlebih, dia sendiri yang sudah menyetujui hal aneh ini ketika Amran mengajukannya.Via memang lebih perasa daripada perempuan pada umumnya, karena sebelumnya dia juga mempunyai suami yang katanya akan mencintainya. Namun ketika Arman, anak pertama dan satu-satunya beranjak remaja, suaminya itu masih belum mencintainya.Zia mengantar Via sampai mobil yang sudah ia pesan sebelumnya. Zia sudah mengajukan diri untuk mengantar, namun Via menolaknya."Jaga diri kamu baik-baik, ya." Via menggenggam tangan sang menantu. "Ingat, Ibu akan selalu ada untuk kamu. Pokoknya apa pun yang kamu pilih, Ibu akan mendukungnya. Bagi Ibu, kebahagiaan kamu adalah yang terpenting, Sayang."Via kembali memeluk Zia, sang menantu yang menurutnya sangat kuat daripada dirinya. Namun ternyata setelah dirinya pergi, Zia juga masuk ke dalam rumah dengan air mata yang terus mengalir di pipinya. Lalu, duduk di hadapan Amran yang hanya diam sambil memeluk bantal."Aku tahu apa yang terjadi barusan meski tidak ada yang memberitahu," lirih Zia membuat Amran menatapnya gusar."Apa yang kamu tahu? Sungguh tidak ada yang aku lakukan, Mama hanya berpikir berlebihan.""Cukup! Dia ibumu, Mas. Bukan Mama. Bukankah Ibu juga pernah bilang kalau Mama yang kamu sebut itu sudah menghancurkan kehidupan Ibu dan kamu?" sentak Zia tidak terima. "Sama seperti Rania yang ikut menghancurkan kehidupanku. Sayangnya kelak, aku tidak akan kalah. Dia berhasil ataupun tidak dalam perebutan dirimu, namun aku tetap tidak akan pernah memberikan dia hidup dalam kebahagiaan. Catat itu!"Setelah mengeluarkan emosinya, Zia kembali masuk ke kamarnya dan menghubungi Gea."Ge...."Zia menangis hebat setelah panggilan tersambung. Sebagai sahabat yang selalu ada di sisi Zia, Gea hanya diam sambil menunggu emosi Zia mereda. Dia bahkan lebih tahu sikap Zia dan bagaimana sahabatnya ini menyelesaikan masalah daripada dirinya sendiri.Beberapa saat kemudian, Gea dan Zia sama-sama terdiam."Ge, apa yang harus aku lakukan?""Apa pun yang kamu inginkan, Zi." Gea menjawab dengan lembut dan penuh sayang. Dia benar-benar ikut terluka dengan apa yang terjadi dengan Zia.Di tengah krisisnya sahabat yang bisa mengerti di segala sisi, juga baik di depan belakang, namun sosok Gea tidak pernah berubah. Gea dan Zia selalu saling melengkapi atas banyak hal yang terjadi di setiap keadaan.Zia pun menceritakan apa yang terjadi di rumahnya tadi kepada Gea yang juga langsung ikut emosi."Sialan! Mereka benar-benar tidak tahu diri dan berani-beraninya merebut posisi keturunan langsung ibumu. Padahal, semua kekayaan yang mereka miliki dari kakekmu!""Aku sungguh enggak sanggup, Ra. Aku ingin berpisah dan pergi jauh dari semua orang. Rasanya aku bisa mati jika terus ada di rumah ini dan melihat semua orang yang sudah menghunuskan pedangnya padaku. Apalagi mereka tidak sadar dengan apa yang sudah mereka lakukan," rintih Zia sambil memukul-mukul dadanya.Amran yang berada di depan pintu Zia mendengar semuanya. Dia pun merasa menyesal karena sudah menerima Rania kembali ke dalam hidupnya. Akan tetapi, Amran juga tidak bisa membohongi dirinya kalau dia masih sangat mencintai Rania.“Anehnya aku juga tidak mau melepaskan dirimu dan tidak akan pernah melakukannya. Apa yang sudah menjadi milikku, maka tidak akan pernah kulepaskan," lirih Amran kemudian sambil tersenyum menyeringai."Aku akan menempatkan beberapa orang untuk selalu mengikuti dirimu. Jadi mereka bisa langsung membawamu kembali ketika kamu mencoba kabur dariku," lanjutnya dengan wajah menyeramkan seperti bukan Amran yang sesungguhnya."Enak?" tanya Amran kepada Zia yang sedang makan sayuran buatannya.Ini pertama kalinya dia memasak dan khusus untuk Zia. Bahkan dia tidak pernah memasak untuk Rania ketika mereka menjalani hubungan selama beberapa tahun.Zia hanya mengangguk, hal itu itu membuat Amran marah."Kamu bisa nggak sedikit saja menghargai aku? Kenapa selalu ingin membuatku marah?" ucap Amran tak terima."Lalu aku harus bagaimana? Aku udah jujur kalau makananmu enak bukan dan memakannya lahap. Lalu kenapa kamu marah-marah?" Begitulah jawaban yang biasanya Zia katakan ketika Amran setengah memintanya jawaban.Namun kali ini Zia hanya diam sambil terus memakan makanannya tanpa mengatakan satu kata pun. Hal itu membuat Amran semakin marah dan membanting makanannya yang ada di atas meja, namun Zia sama sekali tidak menggubrisnya.Zia makan dengan sangat tenang, lalu kembali masuk ke kamarnya seolah tidak ada yang terjadi. Sedangkan Amran segera ikut masuk ke sana dan memeluknya erat lalu menciumi tengkuknya deng
"Aku minta maaf atas apa yang sudah dilakukan istriku," lirih Amran sambil memberikan sebuah dress kepada Rania.Awalnya dress itu hadiah yang akan ia berikan kepada Zia, karena warnanya juga adalah warna kesukaan Zia. Namun Amran malah memberikannya kepada Rania."Makasih, ya. Aku ganti dulu." Rania masuk ke kamar mandi yang ada di kamar Amran, padahal dari dulu Zia selalu berpesan jangan pernah ada wanita lain yang masuk ke kamarnya, namun lagi-lagi Amran melanggar.Rania membuka paper bag yang diberikan Amran. Dia pun tersenyum lebar ketika melihat warna dress yang ada di dalamnya."Sama seperti yang aku katakan dulu, Zia. Semua yang menjadi milikmu akan menjadi milikku," ujarnya sambil menatap pantulan diri di cermin, lalu tersenyum menyeringai, "sejak awal kamu memang sudah kalah telak."Rania hanya terkena jus yang ada di lantai, namun Amran langsung memberikan baju ganti. Sedangkan Zia yang tersiram hanya memberikannya seorang diri. Ditambah mendapatkan tatapan tajam dan tuduha
Zia kembali masuk ke kamarnya dan mengurung diri, sedangkan Amran juga berusaha untuk mengejarnya, namun pintunya sudah terlanjur dikunci dari dalam. Amran menggedor-gedor pintu itu, namun Zia tidak kunjung membukanya.“Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikan dirimu, Zia. Asal kamu tahu kalau Rania itu hanya masa lalu. Mau sebesar apa pun cintaku padanya, kenyataan itu tetap tidak akan pernah berubah.” Amran berteriak dari luar pintu, namun Zia menutup kedua telinganya.Zia merasa dipermainkan dengan kenyataan bahwa dirinya tidak pernah ada di hati Amran.“Aku mohon, keluarlah dulu. Kita bicarakan semuanya dengan kepala dingin. Jangan seperti ini.” Amran berusaha untuk membujuk, namun Zia masih tidak ingin mendengarnya. Zia bahkan menarik beberapa benda berat seperti lemari dan sofa agar Amran tidak bisa mendobrak kamrnya.“Pergilah! Saat ini aku sedang tidak ingin berbicara denganmu!” teriak Zia membuat Amran frustasi dan tidak punya pilihan selain pergi.Amran menuruni an
Farid tidak lagi bicara, dia langsung menarik Amran menuju mobilnya, dan membawanya ke suatu tempat."Ngapain Lu bawa gua ke sini?""Sengaja. Gua bawa Lu ke sini biar Lu ingat, sedalam apa luka yang Lu dapat waktu itu ketika Rania pergi," ujar Farid dingin lalu turun dari mobil begitu saja meninggalkan Arman.Farid berjalan ke pesisir, sedangkan Amran hanya bisa mengikutinya dari belakang. Sadar Amran ada di belakang, Farid tersenyum."Lu harus selalu ingat kalau tempat ini selamanya akan tetap menjadi saksi yang paling menyakitkan," lirihnya, namun Amran masih bungkam."Di sinilah Lu terkapar, tidak bernapas, dan keadaan Lu juga berantakan. Namun saat itu Rania yang bersama pria bule itu bahkan tidak melihat ke belakang." Farid terus berbicara agar Amran mengingat kekejian apa yang sudah dilakukan Rania padanya."Semuanya hanya masa lalu," ujar Amran berusaha menutupi lukanya, namun Farid yang dingin langsung tertawa."Dengan entengnya Lu bilang masa lalu? Heh. Padahal setelah kejadi
"Apa gapapa? Saya malah takut nanti Pak Amran marah besar." Zein mulai ragu."Gapapa, Zein. Bukankah kamu pernah dengar nasihat kalau bersembunyi di tempat musuh adalah yang paling tepat?" bujuk Zia."Pepatah dari mana? Saya gak pernah dengar, yang ada malah membuat kita juga dimusuhi sama Pak Amran." Zein mulai ketakutan karena sepertinya Zia serius dengan perkataannya."Enggak akan. Kalau pun dia menjadikan aku musuh, tapi tidak akan pernah aku biarkan dia mengancam pekerjaan kamu. Pokoknya di sini tugasmu hanya perlu memberikan aku informasi tentang perusahaan Pak Barata itu. Setelahnya, serahkan saja padaku," ucap Zia mantap dengan penuh keyakinan."Tapi saya juga takut Anda kenapa-kenapa." Zein kembali mengatakan kekhawatirannya."Ya ampun, Zein. Apa kamu pernah lihat Mas Amran main tangan? Enggak pernah, kan." Zia mulai lelah. "Selama ini dia adalah orang yang suka menyiksa seseorang lewat batin, bukan fisik."Suara Zia mulai melemah, namun hal itu membuat Zein yakin kalau perka
Amran membulatkan kedua matanya tak percaya dengan apa any dikatakan sang istri. Dia pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan harapan melihat pria yang mengajak kencan Zia, namun dia tidak menemukan siapa pun.Amran segera mencekal pergelangan tangan Zia dan membawanya ke tempat sepi.“Jangan berbohong dan cepat katakan yang sebenarnya,” perintahnya dingin membuat Zia semakin enggan untuk menjawab.Zia mengeluarkan kecepatan penuh dan segera melepaskan tangannya dari Amran. “Kalau kamu memang percaya padaku, sepertinya kamu tidak akan pernah membutuhkan penjelasan dariku, Mas.”Amran diam. Dia tertampar dengan kata-kata Zia, namun dia tidak mau mengakuinya.“Percaya atau tidak, bukankah lebih baik bagi hubungan kita untuk menceritakan semuanya?" Amran melayangkan tatapan kejam.“Kita? Kamu kali, Mas. Orang selama ini kamu gak pernah percaya sama aku. Jadi rasanya percuma saja aku bicara banyak, karena semuanya tidak akan berpengaruh padamu.”Semakin emosi Amran, Zia malah sem
Rania tersenyum lebar ketika melihat mobil yang dinaiki Zia dan Gea menjauh. Gea memang sengaja memakai mobil kakaknya agar tidak dikenali Amran, namun siapa yang akan sangka jika hal itu malah membuat sifat asli Amran semakin terkuak. “Loh, kok mobil itu pergi? Bukannya itu mobil kamu, ya?” tanya Amran heran ketika melihat mobil Gea menjauh, sedangkan Rania tersenyum tipis.“Itu bukan mobilku, Mas, hanya mirip. Kebetulan tadi aku lihat Zia naik ke mobil itu, mungkin Gea ganti mobil,” jawabnya enteng membuat Amran langsung berlari mengejar mobil itu, namun tidak terkejar.“Kamu pesan online aja, aku ada perlu,” teriak Amran pada Rania, lalu segera naik ke mobilnya untuk mengejar Zia. Sedangkan Rania hanya bisa menggertakan giginya karena lagi-lagi Amran lebih memilih untuk memprioritaskan Zia daripada dirinya. Padahal hari ini dia sudah tampil cantik daripada biasanya. Amran menambah kecepatan sambil berharap Gea menjalankan mobilnya dengan pelan. Namun setelah menjalankan mobil den
Rahang Amran mengeras ketika menerima pesan dari seseorang yang dikenalnya. Dia tahu betul kalau wanita yang ada di foto ini adalah Zia, istri yang tadi pagi izin pergi dengan Gea. Istri yang juga mendengar percakapannya dengan Rania.“Apa yang dia lakukan di tempat itu dan apa yang dia gunakan?” teriaknya tak terima.Teriakan Amran bahkan terdengar oleh Zein dan beberapa karyawan lain yang berada agak jauh dari ruangannya.“Ada apa, Pak?” Zein mendekat ke arah Amran dengan sedikit takut karena dialah yang sudah merekomendasikan perusahaan itu pada Zia.“Lihatlah!” Amran memberikan ponselnya pada Zein. “Dia benar-benar istri yang enggak berkeprimanusiaan!”“Maaf, mungkin karena Bu Zia mau ketenangan, Pak. Biarkan saja, anggap saja menyalurkan hobi.” Zein berusaha memberikan masukan yang masuk akal.“Mana ada hobi bekerja! Ditambah dia mau kerja apa kalau selama ini belum pernah punya pengalaman? Kalau kerja rendahan, dia hanya akan mempermalukan aku,” sentak Amran memberikan membuat Z