Share

Bab 3 Egois

"Mama!"Amran berteriak dengan suara yang melengking hingga membuat Via ataupun Zia berhasil menutup telinganya dan sama-sama menatap kaget ke arah Amran.

"Kenapa kamu membentak Mama seperti itu, Mas? Apa kamu sudah lupa dari mana kamu dilahirkan dan tumbuh menjadi pria yang durhaka?" Zia berdiri di tengah-tengah antara Via dan Amran, menurutnya suaminya itu sudah sangat keterlaluan.

"Tapi Mama sudah melakukan kesalahan. Bukannya introspeksi diri, Mama malah berniat untuk membuat semuanya semakin kacau," terang Amran memberikan penjelasan, namun Via tidak terima.

"Kesalahan mana yang sudah Ibu lakukan?" hardik Via tak terima sambil berjalan mendekat ke arahnya. "Apa kamu pikir Ibu akan diam saja ketika ada wania yang disakiti psikisnya seperti itu?"

"Tidak ada yang aku sakiti! Mama berpikir terlalu berlebihan lagi dan aku tidak suka itu," sentak Amran berusaha mendorong mamanya untuk keluar, namun lagi-lagi Zia menahannya.

"Apa yang kamu lakukan ini, Mas? Kenapa kamu selalu mendorong Mama menjauh? Apa jangan-jangan Mama mengetahui salah satu kelemahanmu?" tebak Zia benar seketika membuat Amran salah tingkah. "Kalau pun iya, kamu juga tidak berhak melakukan hal seperti ini, Mas. Ini bukan hal pantas dan boleh dilakukan seorang anak kepada ibu kandungnya sendiri."

Amran terdiam setelah mencerna perkataan Zia. Pada dasarkan dia membentak Via bukan karena dia sudah melakukan kesalahan, namun karena dia tidak ingin Zia mengetahui semuanya. Bagi Amran, Zia lebih baik tidak mengetahui beberapa hal. Karena jika mengetahuinya, mungkin saja dia akan mundur dan pergi dari kehidupan pernikahan yang sudah membelenggunya ini.

Amran pun mendekat ke arah Via dengan penuh harap. "Aku mohon, Ma. Aku minta maaf atas apa yang kulakukan barusan, tapi aku tidak tidak ingin Mama merusak apa yang sudah aku bangun. Ditambah sekarang dia memang sedang sensitif, jadi aku harap Mama memberikanku waktu lagi agar bisa menjelaskan semuanya kepada Zia," pinta Amran membuat emosi Via perlahan meredup.

Zia juga sudah tidak emosi lagi meski tadi dia sangat membenci Amran.

"Untuk ke depannya kalau kamu bentak Mama, maka aku tidak akan tinggal diam," ancam Zia namun tangan Via lebih dulu menyentuh lengan menantunya.

"Apa kalian sangat membenci Ibu?" tanya Via tiba-tiba membuat keduanya seketika menatap Via.

"Apa? Enggak. Kenapa Mama bertanya seperti itu?" tanya Zia lirih.

"Soalnya kalian panggil Mama sejak tadi, bukankah Ibu sudah bilang enggak suka panggilan itu?" Via menatap sayu ke depan.

Zia seketika memeluk tubuh ibu mertuanya itu.

"Aku minta maaf, Bu. Aku benar-benar tidak sengaja melakukannya. Ditambah aku baru pulang dari rumah Mama, jadi panggilannya terbawa ke sini," ucapnya lembut.

Via menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.

"Untuk kali ini Ibu tidak akan pernah memperhatikan apa pun yang dilakukan Amran, jadi Ibu minta maaf kalau dia belum bisa menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab, ya. Cuman Ibu janji tidak akan pernah membiarkan kamu bersikap seenaknya terhadap menantu Ibu," terangnya penuh penekanan membuat Amran serba salah.

"Aku akan berusaha untuk menjadi suami yang baik bagi Zia. Jadi, aku mohon Ibu jangan mengganggu pernikahan kita yang sudah bahagia ini," lirih Amran keberatan terhadap Via yang suka ikut campur.

Sementara Zia ... dia hanya bisa menyunggingkan senyum sambil menahan hatinya yang tengah berdarah, karena mereka tidak mungkin menunjukkan ketidak bahagiaan keluarga mereka kepada Ibu mertuanya. Jadi hanya bisa tersenyum seperti boneka yang tidak merasakan perasaan apa pun dan dituntut untuk menunjukkan yang baik-baik saja. Terlebih, dia sendiri yang sudah menyetujui hal aneh ini ketika Amran mengajukannya.

Via memang lebih perasa daripada perempuan pada umumnya, karena sebelumnya dia juga mempunyai suami yang katanya akan mencintainya. Namun ketika Arman, anak pertama dan satu-satunya beranjak remaja, suaminya itu masih belum mencintainya.

Zia mengantar Via sampai mobil yang sudah ia pesan sebelumnya. Zia sudah mengajukan diri untuk mengantar, namun Via menolaknya.

"Jaga diri kamu baik-baik, ya." Via menggenggam tangan sang menantu. "Ingat, Ibu akan selalu ada untuk kamu. Pokoknya apa pun yang kamu pilih, Ibu akan mendukungnya. Bagi Ibu, kebahagiaan kamu adalah yang terpenting, Sayang."

Via kembali memeluk Zia, sang menantu yang menurutnya sangat kuat daripada dirinya. Namun ternyata setelah dirinya pergi, Zia juga masuk ke dalam rumah dengan air mata yang terus mengalir di pipinya. Lalu, duduk di hadapan Amran yang hanya diam sambil memeluk bantal.

"Aku tahu apa yang terjadi barusan meski tidak ada yang memberitahu," lirih Zia membuat Amran menatapnya gusar.

"Apa yang kamu tahu? Sungguh tidak ada yang aku lakukan, Mama hanya berpikir berlebihan."

"Cukup! Dia ibumu, Mas. Bukan Mama. Bukankah Ibu juga pernah bilang kalau Mama yang kamu sebut itu sudah menghancurkan kehidupan Ibu dan kamu?" sentak Zia tidak terima. "Sama seperti Rania yang ikut menghancurkan kehidupanku. Sayangnya kelak, aku tidak akan kalah. Dia berhasil ataupun tidak dalam perebutan dirimu, namun aku tetap tidak akan pernah memberikan dia hidup dalam kebahagiaan. Catat itu!"

Setelah mengeluarkan emosinya, Zia kembali masuk ke kamarnya dan menghubungi Gea.

"Ge...."

Zia menangis hebat setelah panggilan tersambung. Sebagai sahabat yang selalu ada di sisi Zia, Gea hanya diam sambil menunggu emosi Zia mereda. Dia bahkan lebih tahu sikap Zia dan bagaimana sahabatnya ini menyelesaikan masalah daripada dirinya sendiri.

Beberapa saat kemudian, Gea dan Zia sama-sama terdiam.

"Ge, apa yang harus aku lakukan?"

"Apa pun yang kamu inginkan, Zi." Gea menjawab dengan lembut dan penuh sayang. Dia benar-benar ikut terluka dengan apa yang terjadi dengan Zia.

Di tengah krisisnya sahabat yang bisa mengerti di segala sisi, juga baik di depan belakang, namun sosok Gea tidak pernah berubah. Gea dan Zia selalu saling melengkapi atas banyak hal yang terjadi di setiap keadaan.

Zia pun menceritakan apa yang terjadi di rumahnya tadi kepada Gea yang juga langsung ikut emosi.

"Sialan! Mereka benar-benar tidak tahu diri dan berani-beraninya merebut posisi keturunan langsung ibumu. Padahal, semua kekayaan yang mereka miliki dari kakekmu!"

"Aku sungguh enggak sanggup, Ra. Aku ingin berpisah dan pergi jauh dari semua orang. Rasanya aku bisa mati jika terus ada di rumah ini dan melihat semua orang yang sudah menghunuskan pedangnya padaku. Apalagi mereka tidak sadar dengan apa yang sudah mereka lakukan," rintih Zia sambil memukul-mukul dadanya.

Amran yang berada di depan pintu Zia mendengar semuanya. Dia pun merasa menyesal karena sudah menerima Rania kembali ke dalam hidupnya. Akan tetapi, Amran juga tidak bisa membohongi dirinya kalau dia masih sangat mencintai Rania.

“Anehnya aku juga tidak mau melepaskan dirimu dan tidak akan pernah melakukannya. Apa yang sudah menjadi milikku, maka tidak akan pernah kulepaskan," lirih Amran kemudian sambil tersenyum menyeringai.

"Aku akan menempatkan beberapa orang untuk selalu mengikuti dirimu. Jadi mereka bisa langsung membawamu kembali ketika kamu mencoba kabur dariku," lanjutnya dengan wajah menyeramkan seperti bukan Amran yang sesungguhnya.

Komen (6)
goodnovel comment avatar
sulikah
Betul bangettttt itu
goodnovel comment avatar
Ma E
Emang laki laki kebanyakan egois
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mampuslah kau zia njing. g layak kau disebut manusia berakal
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status