Share

Bab 5 Aku Mau Cerai

"Aku minta maaf atas apa yang sudah dilakukan istriku," lirih Amran sambil memberikan sebuah dress kepada Rania.

Awalnya dress itu hadiah yang akan ia berikan kepada Zia, karena warnanya juga adalah warna kesukaan Zia. Namun Amran malah memberikannya kepada Rania.

"Makasih, ya. Aku ganti dulu." Rania masuk ke kamar mandi yang ada di kamar Amran, padahal dari dulu Zia selalu berpesan jangan pernah ada wanita lain yang masuk ke kamarnya, namun lagi-lagi Amran melanggar.

Rania membuka paper bag yang diberikan Amran. Dia pun tersenyum lebar ketika melihat warna dress yang ada di dalamnya.

"Sama seperti yang aku katakan dulu, Zia. Semua yang menjadi milikmu akan menjadi milikku," ujarnya sambil menatap pantulan diri di cermin, lalu tersenyum menyeringai, "sejak awal kamu memang sudah kalah telak."

Rania hanya terkena jus yang ada di lantai, namun Amran langsung memberikan baju ganti. Sedangkan Zia yang tersiram hanya memberikannya seorang diri. Ditambah mendapatkan tatapan tajam dan tuduhan menyakitkan dari suaminya sendiri.

"Apa yang sudah kamu lakukan sama Rania?" Amran yang berdiri di depan pintu menatap Zia lekat.

"Aku tidak melakukan apa pun." Zia menjawab dengan malas, lalu berjalan kembali ke arah meja kompor.

"Aku sedang bicara, harusnya kau mendengarkan!"

Amran berteriak hingga suaranya terdengar sampai ke kamar atas dan hal itu membuat Rania semakin bahagia.

"Mulai sekarang aku tidak akan pernah membiarkanmu mengambil sampah yang aku buang, Zia. Tidak akan pernah."

"Aku juga sudah mengatakan yang sebenarnya, Mas. Apalagi yang kamu inginkan?" tanya Zia dengan napas yang terasa sesak.

Dadanya seperti sedang dihimpit batu yang sangat besar hingga membuatnya sangar kesakitan.

Amran kembali mendekat ke arah Zia.

"Sebenarnya apa yang sedang kamu pikirkan, kenapa melakukan itu?" Lagi, Amran mengeluarkan kata-kata yang membuat Zia semakin sesak.

"Susah aku bilang aku tidak melakukannya, Mas. Tidak pernah! Kalau kamu tidak percaya, silakan cek CCTV!" Zia ikut berteriak karena geram Amran sudah menyalahkannya.

Mendengar kata CCTV, Rania langsung masuk kamar Amran dan Zia lagi dan melakukan sesuatu dengan layar monitor.

"Kamu sudah kalah sepenuhnya, Zi. Kamu kalah," ujar Rania dengan senyamannya yang lebar.

"Baik. Aku akan lihat CCTV. Kalau nanti kamu terbukti bersalah, maka aku—"

"Aku apa, Mas?" potong Zia yang tersenyum getir. "Aku tak menyangka kalau kepercayaan kamu padaku hanya selembar tisu yang basah jika tersiram air sedikit saja, Mas."

Amran terdiam, lalu beberapa saat kemudian dia pun pergi menaiki anak-anak tangga ke arah kamarnya untuk melihat bukti yang ada. Akan tetapi, dia langsung terkejut ketika melihat Rabia berdiri di depan cermin.

"Kenapa?" Amran bertanya dengan lembut.

"Ini kan warna kesukaan Zia, Mas. Gapapa kalau aku pake? Gimana kalau dia marah?" tanya Rania sambil memasang wajah polosnya.

"Gapapa, nanti aku yang bilang sama dia. Itu baju buat kamu aja." Amran berucap santai membuat Rania berpikir kalau pria yang ada di hadapannya pasti masih mencintainya. Makanya setelah tiga tahun pernikahan, pernikahannya dan Zia belum dikarunia anak.

"Terima kasih banyak, Mas."

"Sama-sama."

Amran pun duduk di depan layar komputer dan mengecek kejadian di dapur barusan. Namun rekaman itu sudah hilang.

"Cari apa, Mas?" Rania mendekat dengan wajah tenang seolah dia tidak melakukan kesalahan apa pun.

"Enggak cari apa pun." Amran berbohong.

"Ya sudah, ayo kita ke bawah lagi."

Rania dan Amran berjalan beriringan sambil membahas hal-hal kecil, lalu keduanya tertawa seolah tidak menyakiti siapa pun.

Padahal, Zia tengah menatap ke arah mereka dengan perasaan yang sesak dan dadamya terbakar. Rania seolah menjadi bumerang di dalam kehidupannya tepat ketika kembali setelah tiga tahun menghilang.

“Harusnya tiga tahun lalu kamu enggak pergi, jadi sekaran istrinya Mas Amran adalah kamu, bukan aku.” Zia berucap lirih, namun berhasil membuat Amran menatap tajam ke arahnya.

“Apa yang kamu katakan? Yang lalu biarlah berlalu.”

“Aku hanya mengatakan yang sebnarnya. Mas kalau kamu keberatan, kamu bisa marahi aku. Bahkan kamu boleh menampar aku kalau mau.”

Usai mengatakan itu, Zia kembali pergi dari hadapan keduanya. Dia masuk ke kamarnya dan menangis sejadi-jadinya.

“Kalau memang kamu hanya mau memberikan aku luka, kenapa meimilih untuk mmenikahi aku? Kenapa enggak tunggu dia saja?” teriak Zia sambil menarik-narik rambutnya.

Amran dan Rania tidak tahu menahu tentang hal itu, mereka terus saling bercerita sambil tertawa. Amran bahkan sampai melupakan masakan Zia yang sudah dingin, padahal sebelumnya dia tidak pernah seperti ini. Ketika Rania pergi, Amran selalu melakukan apa pun yang Zia minta, kecuali nafkah batin. Katanya Amran masih belum siap untuk melakukannya karena masih butuh waktu untuk melupakan masa lalunya, yaitu Rania.

“Aku pikir kamu marah sama aku dan gak bakal mau ketemu aku lagi setelah kepergianku,” lirih Rania sambil memasang wajah kasihan.

“Enggaklah, mana mungkin aku benci sama kamu. Justru selma ini aku selalu ingat kamu terus.” Amran mengatakan semuanya dengan sangat jujur hinggga membuat Zia yang tidak sengaja mendengarnya semakin terluka.

Padahal, Zia memutuskan kembali turun hanya untuk mengambil makanannya, namun ternyata dia malah mendengar kata-kata yang tidak seharusnya dia dengar.

Zia kembali melanjutkan langkahnya dan berpura-pura tidak mendengar apa yang mereka bicarakan.

“Wah, aku sungguh bahagia kalau kamu masih mengingatku,” ucap Rania sambil menaikan nada bicaranya agar sengaja terdengar oleh Zia yang masih berada di dapur, “ternyata aku tidak sendirian.”

“Maksudnya?” Amran bertanya dengan wajah polos hingga membuat Zia muak.

“Sejak aku pergi, kamu selalu hadir di mimpiku. Bahkan ketika akan melakukan operasi besar saja aku baru bisa tenang setelah mengingat dirimu.

“Kalian berarti berjodoh, menikah saja,” sahut Zia membuat Amran syok karena dia tidak tahu kalau Zia sudah turun lagi.

“Benarkah boleh? Memangnya kamu mau dimadu?” tanya Rania dengan tatapan penuh harap, namun di satu sisi dia juga sedang berusaha untuk menjatyhkan Zia. Ditambah dirinya tahu betul kalau Zia adalah orang yang pemarah dalam segala hal, apalagi jika ada orang lain yang mau merebut miliknya.

Zia tidak bicara, sedangkan Amran hanya menundukkan kepalanya.

“Maaf, aku hanya bercanda. Jadi tidak perlu memasukannya ke dalam hati.” Rania meralat ucapannya, sengaja untuk membuat Zia marah.

“Tapi aku serius,” lirih Zia tiba-tiba membuat Amran menatap tak percaya, “kalian bisa menikah dengan atau tanpa izinku.”

Amran menatap tajam ke arah Zia dengan

harapan sang istri mau meralat perkataannya, namun ternyata Zia malah kembali menaiki anak-anak tangga.

Amran pun mengejarnya, lalu mencekal pergelangan tangannya. “Apa yang kamu katakan barusan?”

Melihat Amran menatapnya dengan tajam, Zia gtersenyum lebar. “Aku mau cerai,” ucapnya tegas tanpa kesediha, lalu menghempaskan tangan Amran begitu saja.

Komen (12)
goodnovel comment avatar
Sarah Tuling
Setuju Zia minta cerai
goodnovel comment avatar
Sarah Tuling
Sebaiknya memang Zia minta cerai
goodnovel comment avatar
betricia
ceweknya klemar klemer
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status