Share

The Bad Boy Next Door

Tak lagi mengantuk, Shirley mencoba menghilangkan kegundahan dengan beraktifitas fisik. Tumpukan pakaian langsung menjadi prioritas dengan langsung ia cuci. Dan seolah penderitaannya belum cukup mesin cuci itu  ternyata fungsi pengeringnya tidak bekerja. Mau tak mau pakaian hanya bisa dicuci dan dibilas sebelum dijemur dalam keadaan basah kuyup. Ada satu ember penuh pakaian yang kini perlu dijemur.

Bagian belakang rumah yang ia tempati menyisakan ruang kosong berlantai semen yang hanya digunakan untuk menjemur. Padahal di kompleks perumahan dimana ia tinggal, mayoritas mengubah tanah kosong dengan peningkatan berupa penambahan bangunan hingga dua lantai. Saat Shirley menjemur, bayangan kegagalan hubungan intim sejam lalu masih membekas kuat di benaknya. Kesedihannya masih belum berlalu terlihat dari pekerjaannya yang tidak optimal terlihat dari tetesan-tetesan air dari pakaian banyak mengenai tubuh. Ketika hal  ini membuat beberapa bagian tubuhnya yang berbalut daster dan tak berpakaian dalam jadi tercetak jelas, ia tak peduli. Ia hanya ingin menyelesaikan tugas untuk melanjutkan tugas lain.

Ia sudah menjemur setengah pakaian ketika terdengar sebuah siulan nakal dan panjang dari belakang punggungnya. Ia kaget dan menoleh ke sumber suara. Di sana, di balik tembok pembatas dengan unit rumah lain yang sudah ditingkatkan, ia melihat seseorang. Antara rumahnya dengan rumah di sana bertolakbelakang alias bertemu bagian belakang. Bagian atas atau lantai dua rumah itu didesain memiliki dak beton yang mungkin berfungsi sebagai pijakan untuk kepentingan renovasi. Di situlah pria itu berada. Otomatis ini membuat orang di sana bisa dengan bebas melihat apa yang terjadi di bagian belakang rumah Shirley yang terbuka. Di bawah posisinya, dimana hanya ada tiang jemuran dan sebuah pohon mangga berukuran lumayan besar.

“Selamat pagi tante cantiiiik.”

Mulanya pandangan Shirley terhalang lebatnya dedaunan dari pohon mangga. Ia menggeser badan sebelum melihat siapa yang pagi itu menanyainya. Dan di sanalah ia menemukannya. Seorang pemuda yang mungkin masih mahasiswa, tampan, berkumis tipis, berambut ikal, tegap. Ia katakan tegap karena di pagi menjelang siang dimana udara mulai panas, pemuda itu topless seolah memamerkan ke-sixpack-annya yang memang layak dikagumi.

“Sibuk banget jemur pakaian, tante. Perlu dibantuin gak?”

Mendadak, sesuatu berdesir dalam dirinya. Seketika Shirley teringat ada hasrat yang belum dituntaskan sejak pagi tadi. Sebuah hasrat membara yang detik itu menyala kembali sesaat setelah ia bertemu muka dengan si pemuda usil. Tak ayal, kewanitaannya yang sempat mengering seketika membasah kembali.

“Duh dikacangin gue. Padahal gue tulus mau bantuin tante yang cantik dan sexy ini.”

Pemuda itu jelas hanya sekedar iseng dengan rayuan recehannya. Ia sedang mempelajari sebuah buku dari mata kuliah pilihannya ketika muncul pemandangan tak terduga. Pemandangan indah seorang wanita dewasa, matang, cantik, yang kecerobohannya dalam bekerja membuat bagian-bagian tubuhnya tercetak akibat cipratan air bekas cucian. Ini mengakibatkan si wanita tak lagi sekedar cantik tapi sangat sexy mengingat potongan daster yang digunakan tergolong mini hanya sampai ke sejengkal dari  atas lutut.  Potongan daster itu juga sexy karena memiliki belahan U-neck rendah. Dari ketinggian ia berada, dua gunung kembar yang menyeruak seolah minta kebebasan jadi pemandangan sangat indah dan merangsang.

“Mau bantu gimana?”

Ia tentu saja tak berharap akan ada jawaban. Tadi ia berpikir keusilannya akan berakhir dengan ia diabaikan atau diketusi. Tapi ketika jawaban itu ada, jelas itu membuka peluang agar ia masuk lebih jauh.

Shirley tertawa kecil sambil melanjutkan kerjaan. “Mau bantu apa sih? Pakaian cuma tinggal dikit. Nggak usahlah.”

Wow, pemuda itu mendegut ludah. Jawaban agak panjang dan terdengar kenes, adalah hal yang melebihi harapan. Hatinya berdetak lebih keras. Mengantisipasi jika itu adalah sebuah kesempatan untuk sesuatu yang jamak dialami pemuda lajang sepertinya. Hormon testosteron sedang diproduksi masal dan menuntut adanya pelampiasan.

Si pemuda melancarkan trik serangan lain yang lebih berani. “Tapi kan akibatnya badan tante jadi pegel.”

Shirley tidak bodoh. Ia mengerti semua. Sangat mengerti. Tubuh lelah karena mencuci dan menjemur satu ember pakain berisi belasan potong pakaian? Halowww? Jelas ia tidak lelah.

“Gue bantuin ya. Kasian tante.”

Melihat ia bergerak turun, mulut Shirley kaku. Ia langsung sadar resiko yang dihadapi. Kejadian ini sangat cepat dan di luar dugaan. Ia adalah seorang wanita setia dari suaminya. Biduk rumah tangganya perlu dijaga. Namun percakapan yang terjadi antara dirinya dengan pemuda itu, tidakkah itu berlebihan? Tidakkah itu bisa berujung pada sebuah potensi perselingkuhan?

“Jangan takut, tante. Gue nggak ngegigit.”

Dan sekarang potensi itu membesar ketika si pemuda, tanpa menunggu persetujuan, meniti turun melewati cabang pohon mangga yang melintang di dekatnya. Pertempuran antara logika dan hasrat emosi terjadi. Shirley tahu ia harus berbuat apa. Namun seiring dengan makin mendekatnya pemuda itu ia tahu bahwa peluang logikanya untuk memenangi pertempuran jadi makin menipis.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status