Aku memutuskan bertemu Akmal lebih dulu sebelum aku menemui ibu. Karena aku ingin memperjelas statusku.
Aku ingin saat bertemu ibu ataupun Raina, statusku sudah jelas. Agar aku bisa menempatkan diri sebagai mantan menantu, bukan menantu bodoh yang statusnya digantung begitu saja.
Hampir dua minggu aku mingg*t, seperti kata Panji, pasti terlihat menyedihkan kalau akhirnya aku dan Akmal menunda perceraian kami. Entah kapan panggilan sidang dari pengadilan. Yang jelas Akmal harus segera mengucap ikrar talak terhadapku.
Janda. Ya, aku berharap segera mendapatkan status itu.
Tidak ada perempuan yang bercita-cita menjadi janda. Namun keadaan yang memaksa perempuan ingin bergegas menyandang gelar itu. Bukan untuk sebuah kebanggaan, namun lebih sebagai awal hidup baru yang pastinya lebih baik.
Panji kembali mengantarku. Kali ini
Aku meninggalkan Akmal sendiri di taman. Gerimis bertambah deras. Angin pun seolah ingin turut meramaikan suasana, membaur melimpahkan deru.Senja melambung, seperti anganku yang entah kemana. Jiwaku seolah tak menjejak bumi.Status baru telah ku sandang, tapi entah kenapa sakit ini masih terasa. Mungkinkah karena aku belum terbiasa? Terlalu bergantung pada sosok Akmal membuatku limbung saat pengkhianatan nampak di depan mata.Menyesal, kenapa dulu aku tidak bekerja.Panji menyusulku memasuki mobil. Entah bagaimana wajahku, sekuat tenaga aku menahan, nyatanya air mata tetap mengalir deras. Dadaku seolah dipukul godam tak kasat mata.Entahlah, yang pasti aku berjanji ini terakhir kali aku menangis untuk seorang Akmal. Banyak kisah manis yang telah terukir, nyatanya berujung pahit yang menggerogoti hati.
Aku sangat terkejut. Berulang kali ku baca ulang pesan itu. Dan benar, tak ada yang berubah di dalam kalimatnya.Mataku beralih dan menatap tajam kearah ibu Akmal. Aku ingat sesuatu."Bu, dimana surat tanah milikku?"Ibu melebarkan mata. Mulutnya bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu."Dimana, Bu?""Apa maksudmu?" Ibu mencoba berkilah."Ibu sembunyikan dimana? Katakan sekarang atau …,""Atau apa Ta? Jangan mengancam Ibu, kesehatannya terganggu karena kemarin tiba-tiba pengacaramu datang." Suara Raina memotong ucapanku."Kamu cukup diam, ini urusanku dengan Ibu. Kam
"Kenapa diam? Kamu harus minta maaf pada ibu. Kamu harus …." Ucapannya terhenti saat aku memberanikan diri untuk menatap matanya.Rasa takut kembali datang. Ingatan tentang kejadian malam itu membuat tubuhku sedikit gemetar.Ya Tuhan …, jangan terjadi lagi ….Tangannya mengepal dan memukul sandaran sofa di sebelahku. Matanya menyorot merah penuh amarah dan kecewa.Posisiku sangat tidak menguntungkan. Aku berada di bawah kungkungannya."Ternyata kamu benar-benar lupa bagaimana aku selama ini." Aku berucap lirih.Akmal tersentak mendengar ucapanku.Perlahan dia menjauhkan diri dan pandangan matanya mulai mered
Aku hamil, dan ini semua menjadi awal dosaku. Dosa yang tak pernah bisa terampuni.Aku mempunyai tunangan dan dia tinggal jauh dariku. Dia Panji, pria berusia tiga puluh tahun, sikapnya dingin bahkan terhadapku.Aku yang memintanya untuk menjadikanku tunangannya. Sekedar untuk menyenangkan hati kakek. Aku mengenal Panji karena dia pernah beberapa kali mengisi acara di kampusku.Panji seorang pengusaha muda, dan menikah berada di deretan entah keberapa dalam target hidupnya. Saat ku tanya, apakah dia akan segera menikahiku?Dia bilang, dia menungguku melamarnya. Unik bukan?Aku sendiri senang menjalani hubungan ini. Tak ada kekangan, tak ada tunangan posesif, dan tak ada beban. Aku terikat namun bebas.Sampai suatu hari aku menemukan tatapan Panji terlihat berbeda saat dia menatap Marta, sep
Aku terbangun karena merasakan gerakan di sebelahku. Mungkin Akmal terbangun.Terdengar beberapa kali dia menyebut nama Tuhan. Aku ingin mengacuhkannya, tapi telingaku benar-benar terganggu.Terlalu lama tidur dengan posisi miring membuat badanku terasa pegal. Aku menggeliat dan sedikit meringis saat sadar selimutku tersibak."Na, ba--bagaimana bisa kita ada di sini?"Panik, ya … Akmal terlihat panik dan bingung di saat bersamaan.Aku mengedikkan bahu, berusaha meraih selimut untuk menutup tubuhku."Kita … kita, maksudku semalam tidak terjadi apa-apa kan?" Akmal menatapku, dia sudah berpakaian lengkap walau terkesan asal pakai saja."Menurutmu?" Aku membalikkan pertanyaan.Akmal mengusap kasar wajahnya. Dia berdiri
Pak Haris mengantarku ke arah luar kota, berjarak dua jam perjalanan dengan mobil. Aku yakin tak akan ada penolakan di sana. Dan mungkin saja aku bisa mendapatkan pekerjaan sekaligus.Perjalanan panjang dengan perut kosong sebenarnya cukup menyiksa. Pak Haris bukan Panji, yang selalu saja memikirkan perut. Pak Haris mengemudi dengan tenang, hanya sesekali menoleh ke arahku. Seperti memastikan jika aku baik-baik saja.Mataku terpejam, namun aku sama sekali tidak tidur. Hanya merasa lelah yang teramat sangat. Lelah menghadapi semua ini sendiri.Terdengar Pak Haris berbicara dengan seseorang di telpon. Sayangnya aku tak bisa mendengarnya dengan rinci, karena Pak Haris menggunakan earphone."Mbak Marta, anda tidur?" tanya Pak Haris.Aku membuka mata, "tidak, Pak.""Maaf Mbak, di belakang
Apa-apaan ini? Siapa yang sedang membohongi siapa?Aku termenung menatap langit-langit bergambar awan. Surat ini Pak Haris temukan di ruang kerja Akmal, jadi tidak mungkin mantan suamiku tak tahu tentang ini kan?Jadi selama ini Akmal membohongiku? Berperan seolah-olah tak pernah periksa. Dan menyembunyikan ini semua dariku? Brengs*k!Lalu Raina? Jelas sekali dia sedang hamil. Waktu itu aku dengar dengan telingaku sendiri, jika kondisi janinnya baik-baik saja. Meskipun tubuh Raina sangat lemah.Raina hamil dengan siapa? Mungkinkah Panji?Akmal mandul. Dia sendiri tahu tentang itu. Tapi kenapa dia mengaku jika Raina hamil karenanya?Kepalaku berdenyut. Siapa yang dibodohi di sini? Aku, Akmal, atau Raina?Hah …! Kenapa hidupku kacau begini. Apakah karena
Raina sakit. Kabar itu kuterima sehari setelah Pak Haris mengatakan jika kakek meninggalkan surat wasiat.Karena itu Pak Haris mengatur ulang jadwal pertemuan antara aku, Raina, dan orang yang menyimpan surat wasiat dari kakek."Kamu nggak pengen nengok Raina?" tanya Panji di sela kesibukanku mengelap gelas dan piring."Nggak." Aku menjawab singkat."Kenapa?"Aku menatapnya sekilas sebelum kembali melanjutkan pekerjaanku. Yang jelas aku tak yakin Raina benar-benar sakit. Bisa jadi itu cuma alasan yang dia buat untuk menghindar kan?"Belum bisa move on?"Ku letakkan lap kotor di atas meja. Pengunjung cafe masih sepi karena ini masih terlalu pagi."Beneran belum bisa move on?"Seandainya Panji bukan p