Raina sakit. Kabar itu kuterima sehari setelah Pak Haris mengatakan jika kakek meninggalkan surat wasiat.
Karena itu Pak Haris mengatur ulang jadwal pertemuan antara aku, Raina, dan orang yang menyimpan surat wasiat dari kakek.
"Kamu nggak pengen nengok Raina?" tanya Panji di sela kesibukanku mengelap gelas dan piring.
"Nggak." Aku menjawab singkat.
"Kenapa?"
Aku menatapnya sekilas sebelum kembali melanjutkan pekerjaanku. Yang jelas aku tak yakin Raina benar-benar sakit. Bisa jadi itu cuma alasan yang dia buat untuk menghindar kan?
"Belum bisa move on?"
Ku letakkan lap kotor di atas meja. Pengunjung cafe masih sepi karena ini masih terlalu pagi.
"Beneran belum bisa move on?"
Seandainya Panji bukan p
"Rara …? Kamu Rara kan?" seru Maya. Tangannya mengarah kepada Raina.Raina pun membulatkan mata. Mulutnya sedikit terbuka, seolah terkejut melihat Maya.Apakah mereka berdua saling mengenal?"Maya …," lirih suara Raina terdengar.Ada getar gugup yang coba ditutupi. Tatapannya sebentar menunduk, tapi beberapa saat kemudian dengan berani dia mengangkat dagu."Kalian saling kenal?" tanya Panji pada Maya dan Raina."Hmm … iya, Kak. Aku dan Maya pernah kerja di tempat yang sama.""Dimana?"Tak ada yang menjawab. Hanya saling menatap, seolah isyarat untuk memilih diam. Baiklah, biar nanti ku tanyakan pada Maya.Raina menatap sekeliling, dan memilih duduk di seberangku. Aku masih
Panji menggumamkan kata yang hanya didengar oleh Pak Haris. Pengacaraku pun menjawab sesaat sebelum tertawa. Panji semakin menekuk wajah.Ada apa dengan lelaki itu? Dengan cepat dia masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin.Setelah membukakan pintu mobil Pak Haris untuk Maya, aku berbalik menuju mobil Panji.Aku mengetuk jendela dan mengisyaratkan Panji untuk membuka pintu. Dia tertegun sejenak sebelum membuka pintu."Ji, tolong mampir ke toko baju ya, aku sama Maya nggak bawa baju ganti.""Siap Nyonya," jawab Panji sambil mengulas sedikit senyum.Hei, mudah sekali suasana hatinya berubah."Kamu kenapa?" Kuberanikan diri untuk bertanya."Hmm? Kenapa apanya?""Itu tadi. Ketus gitu waktu aku keluar d
Sepulang dari bukit, Maya dan Pak Haris semakin dekat. Sementara aku dan Panji seolah terpisah sekat yang ku bangun sendiri.Aku merasa salah arah bahkan sebelum aku memulai perjalanan. Bagaimana mungkin Panji bisa dengan tenang mengatakan agar tak mengharap dia melamarku?Siapa dia?Begitu percaya diri seolah aku menantikan lamaran darinya. Ingin ku cabik mulutnya yang sering menghembuskan asap rokok itu! Huh, apakah dia pikir aku semenderita itu hingga sangat mengharap lamaran darinya?Apa karena sebentar lagi aku resmi menyandang gelar janda, dan dia pikir aku akan menggodanya untuk menikahiku?Dasar!Rutukku geram. Tanpa sengaja aku meremas botol air mineral di tanganku."Kenapa, Ta?" Aku menoleh dan menemukan Panji berdiri di pintu dapur.&nb
"Siapa kamu?"Tiba-tiba dia menarik amplop dari tanganku. Seketika pandangan kami bertemu.Dan …Ya Tuhan, kenapa Maya tidak bilang kalau bos butik ini masih sangat muda? Mungkin masih berusia dua puluhan.Tunggu, atau jangan-jangan aku salah orang? Bisa saja kan dia--"Siapa kamu?" Dia mengulang pertanyaan yang sama."Ehm, maaf. Saya ingin bertemu pemilik butik."Pemuda itu memandangku sekilas sebelum tersenyum mengejek."Maksud kamu Bosnya butik ini?""Iya," jawabku tegas."Mau apa?""Mau melamar pekerjaan di sini.""Oh. Masuk …!"Pemuda ini, kenapa gayanya arog
Ketukan pintu membuatku terbangun. Semalam aku tertidur dengan posisi duduk bersandar di ranjang.Ketukan kembali terdengar. "Ya, sebentar!" seruku. Aku mengikat rambut sebelum melangkah ke kamar mandi, cuci muka dan menggosok gigi.Tok … tok … tok …Siapa sih? Kenapa tidak mau sedikit bersabar.Ku buka pintu, dan menemukan Panji bersandar di tembok. Kedua tangannya terlipat, sorot matanya menatapku tajam.Kuberanikan diri menentang mata itu. Mata yang kadang redup, menawarkan rasa nyaman dalam ketidak pastian."Ayo ikut," ajaknya seraya melangkah mendahuluiku.Tak ada pilihan selain mengikutinya.
Pagi yang melelahkan. Entah aku yang terlalu sembrono atau dia yang terlalu arogan. Kenapa tidak sejak awal saja dia memperkenalkan diri sebagai Bos disini? Jika seperti ini tentu saja aku yang merasa dirugikan.Aku tak akan berani memanggilnya adik manis jika dari awal tahu Bos nya berwajah imut seperti oppa korea.Maya juga sepertinya lupa memberitahuku jika Bosku semuda itu. Maya hanya bilang jika Bos butik ini adalah seorang laki-laki galak. Tanpa ada imbuhan berwajah bayi.Ternyata butik baru buka pukul sepuluh, dan para pegawai baru mulai berdatangan pukul sembilan. Ah, kenapa Bos sombong itu memintaku datang pukul tujuh! Benar-benar keterlaluan.Sebelum membuka butik, kulihat mereka merapikan beberapa pajangan, mengganti baju lama dengan yang baru. Dan ada seorang bapak paruh baya yang bertugas membersihkan ruangan dan juga menyediakan minum un
Pak Arka menatapku, dan seringaian muncul di bibirnya."Dia kekasihku." Pak Arka menunjuk ke arahku.Hah? Apa dia bilang? Kekasih?Perempuan itu menatapku tajam sementara Bos ku masih menyeringai.Aku seperti berhadapan dengan dua monster!"Jangan bercanda kamu beb," suara perempuan itu kembali terdengar."Kapan kamu lihat aku bercanda? Kamu sendiri kan yang bilang jika aku orang paling serius yang pernah kamu temui." Suara Pak Arka terdengar ketus."Nggak mungkinlah kamu suka sama perempuan model begitu," ucap si rambut cokelat. Jari telunjuknya mengarah kepadaku.Model begitu? Maksudnya apa coba! Seketika wajahku memerah. Jangan salah, aku dulu pernah jadi primadona kampus."Hei rambut jagung! Mak
Aku segera berjalan ke arah pintu sambil menggenggam ponsel yang masih terhubung dengannya."Kejutan …!"Aku hanya bisa melongo saat membuka pintu. Laki-laki itu … huh!Aku menutup kembali pintu depan dengan kasar. Suara tawa Panji terdengar keras dari ujung sana."Dasar!" Aku mengumpat saat sadar dipermainkan oleh Panji."Segitu kangennya, sampai berharap aku datang?" Ujarnya di sela tawa.Aku memberengut kesal. Ku kira dia ada di depan pintu, atau paling tidak dia dan mobilnya ada di seberang jalan. Nyatanya tidak ada siapapun di depan kontrakan."Kamu pikir ini lucu!" Aku segera mematikan video call. Sed