Share

2. Rindu

Sienna dan Belva berjalan menuju kantor. Keduanya keluar kelas secara bersamaan. Waktu istirahat baru saja dimulai. Keduanya tersenyum saat siswa memanggil keduanya.

"Bu Belva itu sotonya sudah datang," kata salah satu guru berumur di sekolah itu. Bu Septi namanya.

"Oh iya Bu, terima kasih ya Bu."

Sienna dan Belva duduk di meja mereka. Kedua guru itu mendaftar secara bersama-sama sehingga kepala sekolah memberikan mereka meja yang berdekatan.

Sienna memberikan uang berwarna hijau kepada Belva. Belva yang mulanya ingin menolak segera ditahan oleh Sienna. Gadis itu tidak suka saat Belva membelikan sesuatu kepadanya. Karena dia tahu sahabatnya itu lebih membutuhkan uang daripadanya.

Menjadi tulang punggung bagi keluarganya membuat Belva bekerja dengan sangat rajin. Gadis itu akan melakukan pekerjaan apapun asalkan halal. Sejak kuliah Belva akan menerima tawaran mengajar privat atau mengerjakan makalah-makalah bagi mahasiswa yang malas mengerjakan tugas mereka, demi mendapatkan uang yang banyak untuk mengirim ibu dan kedua adiknya di desa.

Sienna tidak pernah melihat Belva mengeluh. Wanita cantik khas gadis desa itu merupakan pekerja keras. Dia tidak suka seseorang melihatnya sebagai seorang gadis yang lemah. Oleh karena itu dia sering menolak saat Sienna membantunya.

"Gak usah nolak. Males gue makan sama lo kalau gak mau dibayar kaya gini."

Gadis dengan wajah cantik itu menghembuskan nafasnya. Menerima uang dari Sienna dengan terpaksa.

"Kamu tahu Ara, anak yang tadi kamu tolong?" tanya Belva menatap Sienna yang sedang fokus dengan sotonya.

"Enggak, dia anak baru 'kan?"

"Iya. Lo tahu mamanya?" tanya Belva lagi.

"Of course no, today is the first day I saw her."

Belva menelan daging ayam yang berada di dalam kuah soto. "Mamahnya itu artis, penyanyi yang baru aja cerai dengan suaminya."

Sienna menghentikan kunyahannya. Dia tidak menyangka kalau Adhara adalah putri dari artis yang sedang banyak dibicarakan itu. Adhara yang malang harus merasakan kehancuran keluarganya.

"Kasihan banget anak itu," lirihnya. Sienna kembali mengingat saat Adhara meminjam ponselnya untuk menghubungi papanya.

Anak cantik itu dengan takut meminjam ponselnya saat dia berhasil menghentikan tangisnya. Gadis itu rindu dengan papanya sehingga dia memberanikan diri meminjam ponsel Sienna.

Sienna tidak bertanya kenapa Adhara tidak meminjam ponsel mamanya. Tapi gadis itu bercerita dengan kemauannya sendiri kalau mamanya tidak mengizinkannya meminjam ponselnya untuk menghubungi papanya. Karena takut menganggu papanya.

"Tega-teganya wanita itu selingkuh, dia lupa kalau akan ada anak yang menjadi pihak yang paling tersakiti dengan perceraian kedua orangtuanya," cerocos Belva.

"She needs money. Dan mungkin suaminya tidak bisa memberikan itu," sahut Sienna acuh tak acuh.

Membaca sedikit permasalahan artis cantik itu yang berselingkuh dengan pengusaha kaya raya membuat Sienna yakin kalau wanita itu butuh uang. Menjadi artis dengan kehidupan mewah membuat wanita itu membutuhkan seseorang yang dapat memberikannya hidup mewah.

Meskipun mama Adhara seorang artis, mungkin penghasilannya kurang untuk menutupi kehidupannya, sehingga dia membutuhkan orang kaya yang bisa menjadi bank berjalannya.

"Exactly! Suaminya katanya hanya seorang karyawan biasa dan jarang terekspos. Si artis selama ini tidak pernah mengupload foto suaminya dengan alasan privasi. Mungkin itu alasan dia saja agar semua orang tidak tahu dengan status pekerjaan suaminya."

Sienna mengangguk setuju. "She looks nice person, tapi ternyata enggak."

Getaran dari ponsel Sienna membuat keduanya saling pandang. Bleva menahan tawanya saat melihat top-up pesan masuk dengan nama 'Papa Adhara'.

"Sepertinya gue ketinggalan berita," celetuk Belva. Gadis itu kembali memakan sotonya.

"Adhara meminjam ponsel gue kalau lo mau tahu." Sienna mendengus melihat ekspresi Belva yang menahan tawanya. Dia tahu sahabatnya itu menahan untuk mengejeknya.

"Lo cocok untuk jadi ibu sambungnya."

***

Lendra menatap berkas di atas meja kemudian menatap layar laptop, mengetikkan setiap angka seperti yang terdapat di berkas-berkas itu. Satu jam yang lalu Lendra ditugaskan oleh kepala divisi untuk menginput pemasukan dan pengeluaran tiga bulan terakhir.

Setelah membalas pesan dari putrinya, pria itu datang ke ruangan kepala divisi. Pria dengan kepala botak itu memberikan tugas kepada Lendra untuk menginput pengeluaran dan pemasukan dari divisi mereka.

Lendra yang hanya seorang bawahan hanya menurut. Dia ingin sekali menolak karena itu bukan tugasnya tapi kepala divisi itu segera mengusir Lendra untuk segera menyelesaikan tugasnya.

"Gue duluan ya," pamit temannya.

Lendra mengangguk, menatap jam tangan yang berada di pergelangan tangannya. Waktunya untuk pulang telah tiba, tapi dia belum bisa karena kepala divisi menyuruhnya untuk menyelesaikan tugasnya hari ini juga.

"Kamu belum pulang?" tanya seorang wanita, teman satu divisinya.

"Belum. Sebentar lagi."

"Aku tungguin ya?" tanyanya.

"Eh ... Kamu duluan aja, setelah ini saya harus bertemu dengan kepala divisi."

Marsha, gadis berusia dua puluh sembilan itu menggigit bibirnya. Dia ingin pulang bersama Lendra, pria yang selama ini dia sukai. Marsha  menyukai Lendra sejak dua tahun yang lalu, saat pertama kali dia menginjakkan kaki di perusahaan ini.

Dua tahun yang lalu Marsha hanya menyukai Lendra dari kejauhan. Dia tidak berani mendekat karena pria itu memiliki seorang istri. Tapi sekarang pria itu akan menjadi pria tanpa istri. Jadi Marsha akan mendekati pria itu bagaimanapun caranya.

"Baiklah, saya duluan Mas."

Lendra terkejut saat mendengar panggilan Marsha. Ini pertama kalinya gadis itu memanggil dirinya dengan panggilan 'Mas', karena biasanya gadis itu memanggilnya dengan panggilan 'Pak'.

"Ya, hati-hati."

Lendra kembali melanjutkan pekerjaannya. Tidak mau ambil pusing dengan panggilan Marsha kepadanya. Dia ingin menyelesaikan pekerjaannya kemudian pulang ke kontrakan sederhana yang tak jauh dari kantor.

***

Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman untuk kembali setelah lelah dengan kesibukan diluar nyatanya tidak. Pria berusia limabelas tahun itu menatap dengan malas wanita yang telah melahirkannya.

Wanita itu masuk ke dalam kamar utama bersama seorang pria dengan saling merangkul. Angga, pria limabelas tahun itu mengepalkan tangannya. Dia ingin sekali menghajar pria yang bersama mamanya tapi tenaganya jauh berbeda.

"Abang!"

Angga menoleh saat mendengar panggilan dari adiknya. Tubuhnya menegang saat melihat adiknya berdiri di belakangnya. Apakah adiknya melihat apa yang barusan terjadi?

"Ara ingin menelpon Papa."

Angga berjalan mendekati adiknya. Telpon rumah di rumah ini dilepas oleh mamanya karena rusak. Angga tidak punya ponsel bagaimana dia mau menghubungi papanya?

"Kita pinjam hape mama ya?"

Angga menggandeng tangan Adhara menuju kamar mamanya. Pria itu mengetuk pintu kamar mamanya dengan pelan.

"Ma, Ara mau pinjam hape. Ara mau telpon papa!"

Tidak ada sahutan. Keduanya hanya mendengar suara-suara yang tidak mereka mengerti. Suara itu seperti suara seseorang yang sedang meringis.

"Mama sakit Bang?"

"Gak tahu, besok aja kita pinjam hapenya."

Angga mengajak Adhara pergi ke kamar mereka. Adhara mengusap matanya, gadis kecil itu sangat merindukan papanya. Dia ingin bertemu dengan papanya.

"Abang gak kangen sama papa?" tanya Adhara. Keduanya sudah berada di kamar Adhara.

"Kangen banget, tapi kata mama papa lagi sibuk jadi kita disuruh sabar. Bentar lagi papa pulang."

Angga memberi isyarat kepada Adhara untuk tidur. Dalam hati kecilnya dia berdoa semoga papanya cepat kembali. Dia sangat merindukan papanya. Pria yang sangat menyayangi mereka.

"Ayok tidur. Besok kita sekolah."

"Abang tunggu sampai Ara tidur ya. Kalau udah Abang boleh tinggalin Ara."

Angga mengangguk, mengusap kepala Adhara dengan sayang, mencoba mengantarkan adiknya ke alam mimpi.

Sepuluh menit waktu yang dibutuhkan oleh Adhara untuk masuk ke alam mimpinya. Angga keluar dari kamar Adhara dengan perlahan takut membangunkan adiknya. Langkah kaki itu menuju pintu rumah.

"Den mau kemana?" tanya satpam penjaga rumah saat melihat Angga keluar dari rumah.

"Beli sesuatu di minimarket depan Pak," jawabnya.

"Bapak anter ya. Udah malem Den."

"Gak usah Pak. Saya bentar doang kok."

Satpam itu mengangguk, tapi dari depan rumah dia memperhatikan Angga yang berjalan menjauh menuju minimarket. Dia khawatir terjadi sesuatu dengan putra majikannya.

Setiap malam setelah kejadian papanya memintanya menjaga Adhara. Angga selalu pergi ke minimarket, berharap bertemu papanya di minimarket. Dan meminta papanya membawa mereka pergi bersamanya.

Angga tidak masalah hidup susah bersama papanya, dia lebih bahagia hidup bersama papanya daripada harus tinggal bersama mamanya dan pria yang tidak Angga kenal.

"Papa dimana?"

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status