[Bisa kamu beri aku waktu? Lima menit saja di kamar mandi.]
Pesan itu dibaca Nila dengan hati berdebar, dari kontak yang dinamai Mala. Padahal sebenarnya dia laki-laki yang kini tengah berkumpul bersama suaminya dan beberapa kawan lain di ruang tengah. Mereka tengah asik berbincang sambil mengopi dan merokok. [Hanya sebentar, Nila. Aku sangat membutuhkanmu.] Nila hanya membacanya lagi dan mematung menatap layar ponsel. Diliriknya ruangan depan yang tampak riuh suara obrolan. Hanya suaranya yang tidak terdengar. "Mada!" Seseorang melemparinya cangkang kacang hingga lelaki yang sibuk dengan ponselnya itu sedikit tersentak dan mendongak. "Kenapa lo? Diem aja dari tadi." "Gak apa-apa." "Lo pasti nunggu kopi yang belum jadi kan, Mad? Sebentar." Ibra, suami Nila bangkit dari sofa sembari memasukkan ponselnya ke saku levis. Menuju dapur. "Nila! Cepat bikin kopi untuk Mada. Lelet amat!" "Busett si Ibra, galak bener sama istrinya. Gak liat-liat ada kita, main bentak aja." "Udah biasa dia, kayak baru denger aja. Tiap kita ke sini juga suka begitu.""Istri cantik, penurut begitu masih digalakin. Ibra ... Ibra ...." Tiga orang saling menimpali, tak terkecuali Mada. Mendengar suara Ibra yang kencang dan keras terhadap Nila, dia menahan diri untuk tidak terbawa emosi. Nila buru-buru memasukkan ponsel dalam saku baju saat Ibra mendekat. Dari tadi dia terus menggenggam benda itu. "Bukannya buatkan kopi malah main hape. Aku bilang cepat buat satu lagi untuk Mada." "Kopinya habis, Mas." Nila menjawab pelan sembari menunduk. "Ya beli. Kamu pergi ke warung terdekat bukan malah diam." "Uangnya?" Nila menadahkan tangan meminta. "Aku udah kasih kamu jatah, Nila.""Uang dari Mas udah abis." "Jangan boros-boros mangkannya. Harus pandai mengatur, dong." "Mas kasih jatah harian tiga puluh ribu. Mas pikir itu banyak? Tadi siang aku beli gas, beras, sayur, token listrik. Gak cukup uang dari Mas. Sisanya hutang di warung." "Mangkannya kamu kerja biar bisa bantu suami. Jangan cuma bisanya ngabisin uang suami aja." Nila ingin mendebat tapi lelaki itu keburu pergi. "Tunggu. Aku beli kopinya dulu!" Mulutnya yang sudah membuka untuk bicara terkatup lagi rapat. Ibra hendak ke warung. Ditinggalkan dulu teman-temannya. Mada menatap kepergiannya. Setelah punggung lelaki itu keluar melewati pintu dia beranjak bangun. "Gue ke kamar mandi dulu," pamitnya. Nila terkejut melihatnya datang. Tanpa berkata-kata Mada menarik tangannya, membawa masuk dalam kamar mandi di sudut ruangan dan mengunci pintu. "Kenapa pesanku tidak dibalas?" cecarnya."Mas Mada di sini banyak orang," jawab Nila takut-takut dan cemas. "Aku hanya minta waktu sebentar." "Jangan, Mas." Nila menghalau tangannya yang hendak menurunkan lengan baju. "Sebentar, Nila. Aku tidak bisa menahannya lagi. Sudah lama kamu tidak denganku. Aku menyusul ke sini karna kamu." Mada berhasil menurunkan semua lengan bajunya. Menatap terkesima pemandangan yang ada. "Aku tidak akan lama," bisiknya. Lalu menyerang dengan kecupan-kecupan. Dia butuh pelampiasan segera..Mada menjauh. Membasuh bekasnya dan membenarkan bawahan. Nila bersandar pada dinding, merapikan pakaian dengan gerakkan lamban. "Terimakasih." Mada menyentuh kedua pipinya menatap lembut. "Maaf kalau kamu tidak puas. Nanti aku akan membuat kamu senang dan bukan di sini." Dia lalu mengeluarkan dompet. Memberi lembaran uang merah. "Ambil." Mengepalkanya pada tangan Nila. "Kamu butuh kan? Tadi Ibra bahkan memarahimu." Lelaki itu berbalik. Membuka pengunci pintu, tidak bisa berlama-lama lagi di dalam dengannya. "Aku keluar dulu." Menghadap Nila kembali, menyempatkan mengecup bibirnya sekali lagi lalu pergi. Di luar tidak ada siapa-siapa. Mada menghela napas dan kembali ke ruang depan. Nila terdiam. Matanya berembun dan bibir bergetar menatap uang di tangan. Setiap kali Mada dengannya selalu memberi. Dia tahu ini salah. Menjalin hubungan diam-diam di belakang Ibra.Dia seperti itu hanya terhadap Mada saja. Uang darinya dipakai untuk menambal bekal yang kurang dan sebagian disimpan. Dia akan dimarahi jika meminta pada Ibra seperti tadi."Nila?" Terdengar suara Ibra memanggil. Dia buru-buru memasukkan uang dalam saku dress. Lalu membuka pintu kamar mandi. "Ya, Mas." Ada perasaan takut terhadapnya, terlebih belum lama sudah terjadi sesuatu. Bohong jika tidak merasakan itu. "Buatkan kopi untuk Mada jangan lama-lama." Ibra menaruh tentengan plastik berisi kopi sachet di meja. "Dan bawakan ke depan setelahnya." "Iya, Mas." Nila mendekat. Membuka kantong belanjaan itu. Ibra baru akan berbalik pergi tidak jadi saat melihat tanda merah di leher istrinya. "Apa ini?" tanyanya menatap penuh selidik sembari menunjuk. Nila menjauh menutupi dengan tangan. "Bukan apa-apa, Mas. Hanya digigit nyamuk." Berusaha tenang walau hati bergemuruh. Ibra tersenyum kecut tidak percaya. "Itu bukan bekas hewan. Masih baru. Tadi belum ada." Dia maju memperhatikan lagi area leher Nila meski ditutupi. Menatap tajam juga dingin. "Diantara ke empat temanku siapa orangnya?" tekannya menahan geram. Mencurigai tamu di rumah ini. "Bukan mereka, Mas." Nila berkerlit dan melengos. Perlahan mundur semakin takut dan mulai kalut. Salahnya sudah ceroboh. "Jawab jujur, siapa?!" Ibra membentak mengguncang kencang bahunya. Juga melepaskan tangan yang masih menutupi leher. "Lepas, Mas. Aku mau buat kopi." Gugup suara Nila, tapi Ibra tidak peduli itu lagi. Dia benci melihat tanda merah itu. "Masih tidak mau mengaku? Apa perlu aku memanggil mereka, menanyakan satu-satu?" Nila menggeleng panik sementara Ibra tersenyum sinis. Semakin kuat rasa curiganya. "Kamu bermain api di belakangku?" Didorongnya Nila hingga tersungkur. Ponselnya terjatuh dari saku berikut uang ratusan ribu ikut keluar. Ibra melebarkan mata melihatnya. "Kamu bilang tadi tidak ada. Dapat uang dari mana, hah?" Ditarik rambutnya hingga wajah Nila menengadah menatapnya. "Jawab!" Namun, bibir Nila tetap bungkam. Hanya pancaran matanya yang menyiratkan ketakutan amat dalam. Juga menahan rasa sakit di kulit kepalanya. Mata itu dipejam erat saat Ibra mengangkat satu tangan."Hentikan!" Berhenti di udara saat seseorang melarang. Nila membuka mata kembali dan menoleh. Membelalak melihat siapa dia."Lo pelakunya?" Ibra melepas Nila, menghampiri Mada menarik kerah bajunya. Mencurigai dia. "Sudah menyentuh istri gue?!" sentaknya. Lelaki itu melihat Nila yang menggelengkan kepala. Pertanda jangan mengaku. Tetapi dia malah berkebalikannya mengatakan 'ya' membuat sepasang mata Nila membola. "Ya, gue sentuh Nila," tegasnya. Seketika Ibra tidak dapat menahan diri melayangkan pukulan, tapi Mada mampu menangkisnya. Serangan kedua dan ketiga juga tetap meleset. Yang ada tubuhnya terhuyung dihempas Mada."Brengsekk. Berani-beraninya." Tatapan Ibra semakin murka dan tajam terhadapnya. Tapi Mada tidak takut. Membayangkan Nila akan babak belur jika dia tidak kemari. Ibra tidak hanya akan menampar bisa lebih dari itu. Mada tidak tega melihatnya disiksa. "Katakan, sudah berapa lama kalian berhubungan?!" Suami Nila tidak bisa merendahkan suara lagi. Terlebih setelah perselingkuhan istrinya terbongkar dan pasangannya ada di sini merupakan teman sendiri. Dan mereka belum lama berbuat mesra. Me
Semilir angin menerpa kulit wajah Nila, menerbang-nerbangkan rambutnya pelan. Memberi sensasi segar dan menyingkirkan sedikitnya keraguan dan kepiluan. Entah mengapa kini hatinya merasa tenang meski bersama orang lain. Bersama Mada. Lelaki itu terus membawa pelan motor ke tempat yang ditujunya. Mada sudah baik, ada rasa haru di tengah rasa berdosa. Andai dipertemukan sebelum mengenal Ibra. Sayangnya kini dia malah mempunyai hubungan gelap dengannya. Dan menjadi rumit setelah diketahui Ibra. Kepala Nila pusing. Juga merasa lelah. Menyandarkan tubuh pada Mada. Menempelkan pipi di punggungnya. Dan dia merasa nyaman. Mada sendiri tidak keberatan malah tersenyum senang. Menoleh sekali ke belakang pada Nila yang bersandar manja lalu fokus ke depan. Membawa Kawasaki merahnya sedikit lebih cepat. "Silahkan." Mada membuka pintu mempersilahkan Nila masuk lebih dulu. Mereka sudah sampai di apartemen. Nila sejenak terdiam ragu. "Kamu butuh istirahat. Di dalam kamu bisa santai." Ramah Mada men
Tengah malam Nila terbangun karna rasa haus juga lapar. Menyingkirkan selimut beranjak turun dari ranjang. Membuka pintu pelan dan ke luar kamar. Mematung merasa sungkan melanjutkan langkah saat tatapan Mada ke arahnya. Ternyata lelaki itu belum tidur. Mada tengah menonton bola. Berpaling sejenak melihatnya. "Aku haus, Mas. Ngg ... aku juga lapar. Tapi aku tidak punya uang untuk membeli makanan. Uang dari Mas Mada sebelum ke sini, ada di rumah Mas Ibra." Ragu-ragu dia katakan kenapa terbangun dari tidur. Mengenyampingkan rasa malu sudah lapar tapi tidak punya apa-apa. Saat ribut-ribut di rumah Ibra dia tidak memikirkan lagi uangnya yang tergeletak di lantai. Boro-boro, yang ada rasa kalut dan Mada cepat membawa pergi. Karna Ibra terus menyakiti tubuhnya. "Ini." Mada meraih sesuatu dari samping tubuhnya. "Aku udah beli makanan." Dia lalu menaruhnya di meja. "Sengaja takut kamu lapar. Jadi aku sediakan. Makanlah." Terenyuh sekali Nila dengan perlakuannya, sampai mata tak terasa berka
"Kamu gak usah takut." Mada menyentuh tangan Nila sebelum ke luar dari mobil. Menenangkannya yang cemas. "Ibra pasti sedang bekerja, tidak akan ada di dalam rumahnya." Mereka sengaja mendatangi kediamannya siang-siang. Untuk mengambil buku nikah, kartu keluarga, KTP, untuk melengkapi berkas gugatan cerai. Dan mengambil keperluan Nila yang lain seperti baju. Mada rela cuti sehari dari kantor untuk mengurusinya. "Turun?" Nila mengangguk. Mada membuka pintu lebih dulu. Dengan dada berdebar Nila menyusul turun. Berjalan lambat mengikuti langkahnya. Hampir satu minggu dia meninggalkan rumah ini. Ibra juga tidak ada menemuinya. Entah apa lelaki itu sangat benci terhadapnya sehingga tidak mau melihat lagi. Kalau begitu Nila akan mempercepat proses perceraian. Ada rasa sedih, takut, saat menginjakkan lagi kaki di teras. Banyak kenangan di sini. Kenangan yang membuat ia seperti terpasung. Bagaimana kabar ibu mertua? Siapa yang merawat? Terselip setitik rasa bersalah sudah meninggalkan tanpa
Nila didudukkan paksa di tempat tidur. Wajahnya terus menghindar enggan melihat Ibra. Lelaki itu tersenyum puas telah berhasil membawa pulang istri yang kabur dengan laki-laki lain. Dia menekuk kaki berjongkok di hadapannya, agar wajah yang terus menunduk itu dapat melihatnya. Sebelah tangan ditumpu di paha Nila sambil terus mendongak ke arahnya. "Kamu pikir aku akan diam saja? Tidak, Nila. Kamu, Mada ... kalian harus mendapat balasan. Sudah menyakitiku," ucapnya pelan dengan ancaman dan menekan. Ibra tidak membiarkan begitu saja. Sejak Nila pergi besoknya langsung membuat laporan ke kantor polisi, mengadukan perbuatan Mada. Mengumpulkan bukti-bukti untuk kemudian di proses. Sehingga puncaknya hari ini. Penyidik datang menjemput paksa Mada di kediamannya setelah adanya bukti kuat dan Nila ditemukan tengah bersamanya. "Bi Darmi bilang kamu ke sini bersama kawanku yang brengs*k itu mencari buku nikah. Untuk apa Nila? Ooh, untuk menggugat cerai aku? Agar kalian bisa menikah nantinya,
Ibra datang membawa mobil baru. Tersenyum begitu turun menginjakkan kaki di halaman. Melihat Nila yang mematung di teras tengah memegang sapu dan menghampirinya. "Bagaimana, bagus?" tanyanya sembari menatap kendaraan roda empat itu. Nila tidak menjawab. Menunduk sedih teringat Mada yang sudah menyerahkan uang demi menyelamatkan harga diri darinya. "Ternyata ada gunanya juga perselingkuhanmu itu." Ibra beralih menatapnya dengan pandangan mengolok. Dia sempat ingin menghabisi istri sendiri saat hubungan gelapnya dengan Mada diketahui. Ibra hancur dan kelimpungan harus mengurusi ibunya sendiri karna Nila yang dibawa pergi. Di tengah perasaan hampir putus asa, terlintas sebuan ide dan kini sudah ada hasilnya. Cukup membuatnya terhibur. "Mau mencobanya jalan-jalan denganku?" "Tidak!" Nila meninggalkannya ke dalam. Ibra mengekeh senang melihatnya yang penuh rasa bersalah terhadap Mada. Mengurung diri dalam kamar. "Mas Mada ... Maafkan aku, Mas." Sungguh dia telah merepotkannya. Mada me
Untuk pertama kali Nila singgah lagi di apartemen Mada. Lelaki itu tidak takut membawanya ke sana. Meski sebelumnya terjadi insiden tidak mengenakan. "Aku merindukan kehadiran kamu di sini." Dengan jujur mengungkapkan apa yang tengah dirasakan. Nila meliriknya dan berhadapan. "Mas." Mada meraih tangannya menggenggam hangat. "Harusnya kamu tidak menuruti Mas Ibra." Dia hanya tersenyum kecil diingatkan itu. "Uang 150 juta bukan sedikit." Mada menuntunnya untuk duduk bersama. Nila terus memperhatikan tampangnya yang tenang. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Mada sekarang lebih bisa menguasai diri. Setelah kemarin-kemarin dibuat kalut Ibra. "Kamu pinjam, Mas?" Nila tidak mau lelaki itu sampai terlilit hutang karenanya dan menjadi beban. "Tidak," jawabnya enteng. "Aku minta maaf banget, Mas. Karnaku kamu rugi." "Konsekuensi untukku sudah salah mendekatimu.""Tapi tidak harus begitu." "Tidak apa-apa, Nila. Hitung-hitung buang sial. Malam itu Ibra sangat menekanku. Aku ingin hari
Nila langsung menutup pintu kembali saat melihat siapa yang datang. "Nila, biarkan aku masuk!" Mada menahan pintu itu tak mengerti. Tidak biasanya kedatangannya ditolak. Tenaga Nila kalah dan pintu tetap terbuka akhirnya. Lelaki itu menerobos masuk dan menutupnya kembali. Nila mundur. Mada semakin tidak mengerti melihat reaksinya. "Kamu kenapa?" tanyanya seraya mendekat. Terus menatap heran. "Tidak seharusnya kamu ke sini, Mas.""Kenapa? Aku tahu Ibra tidak ada. Kamu tidak usah takut." Bukan itu maksud Nila. Mada tidak mengerti. "Mau apa kamu ke sini, Mas?"Lelaki itu tersenyum pada akhirnya dia mau menanyakan. "Tentu karna aku kangen." Lebih mendekat memeluk begitu saja. "Kamu tidak membalas pesanku, tidak menerima panggilan teleponku, kamu membuatku tersiksa, Nila." "Cukup, Mas." Alih-alih membalas, Nila malah melepaskan diri dan menjauh. "Kamu jangan seenaknya menyentuhku. Aku masih istri orang, Mas." Pelan mencoba mengingatkan. "Kenapa baru sekarang? Apa Ibra mengancam? Kata