Share

MELAYANI TEMAN SUAMI
MELAYANI TEMAN SUAMI
Author: Tika Pena

BAB 1

[Bisa kamu beri aku waktu? Lima menit saja di kamar mandi.]

Pesan itu dibaca Nila dengan hati berdebar, dari kontak yang dinamai Mala. Padahal sebenarnya dia laki-laki yang kini tengah berkumpul bersama suaminya dan beberapa kawan lain di ruang tengah. Mereka tengah asik berbincang sambil mengopi dan merokok. 

[Hanya sebentar, Nila. Aku sangat membutuhkanmu.] 

Nila hanya membacanya lagi dan mematung menatap layar ponsel. Diliriknya ruangan depan yang tampak riuh suara obrolan. Hanya suaranya yang tidak terdengar. 

"Mada!" Seseorang melemparinya cangkang kacang hingga lelaki yang sibuk dengan ponselnya itu sedikit tersentak dan mendongak. "Kenapa lo? Diem aja dari tadi." 

"Gak apa-apa." 

"Lo pasti nunggu kopi yang belum jadi kan, Mad? Sebentar." Ibra, suami Nila bangkit dari sofa sembari memasukkan ponselnya ke saku levis. Menuju dapur. 

"Nila! Cepat bikin kopi untuk Mada. Lelet amat!" 

"Busett si Ibra, galak bener sama istrinya. Gak liat-liat ada kita, main bentak aja." 

"Udah biasa dia, kayak baru denger aja. Tiap kita ke sini juga suka begitu."

"Istri cantik, penurut begitu masih digalakin. Ibra ... Ibra ...." 

Tiga orang saling menimpali, tak terkecuali Mada. Mendengar suara Ibra yang kencang dan keras terhadap Nila, dia menahan diri untuk tidak terbawa emosi. 

Nila buru-buru memasukkan ponsel dalam saku baju saat Ibra mendekat. Dari tadi dia terus menggenggam benda itu. 

"Bukannya buatkan kopi malah main hape. Aku bilang cepat buat satu lagi untuk Mada." 

"Kopinya habis, Mas." Nila menjawab pelan sembari menunduk. 

"Ya beli. Kamu pergi ke warung terdekat bukan malah diam." 

"Uangnya?" Nila menadahkan tangan meminta. 

"Aku udah kasih kamu jatah, Nila."

"Uang dari Mas udah abis." 

"Jangan boros-boros mangkannya. Harus pandai mengatur, dong." 

"Mas kasih jatah harian tiga puluh ribu. Mas pikir itu banyak? Tadi siang aku beli gas, beras, sayur, token listrik. Gak cukup uang dari Mas. Sisanya hutang di warung." 

"Mangkannya kamu kerja biar bisa bantu suami. Jangan cuma bisanya ngabisin uang suami aja." 

Nila ingin mendebat tapi lelaki itu keburu pergi. "Tunggu. Aku beli kopinya dulu!" Mulutnya yang sudah membuka untuk bicara terkatup lagi rapat. 

Ibra hendak ke warung. Ditinggalkan dulu teman-temannya. Mada menatap kepergiannya. Setelah punggung lelaki itu keluar melewati pintu dia beranjak bangun. 

"Gue ke kamar mandi dulu," pamitnya. 

Nila terkejut melihatnya datang. Tanpa berkata-kata Mada menarik tangannya, membawa masuk dalam kamar mandi di sudut ruangan dan mengunci pintu. 

"Kenapa pesanku tidak dibalas?" cecarnya.

"Mas Mada di sini banyak orang," jawab Nila takut-takut dan cemas. 

"Aku hanya minta waktu sebentar." 

"Jangan, Mas." Nila menghalau tangannya yang hendak menurunkan lengan baju. 

"Sebentar, Nila. Aku tidak bisa menahannya lagi. Sudah lama kamu tidak denganku. Aku menyusul ke sini karna kamu." Mada berhasil menurunkan semua lengan bajunya. Menatap terkesima pemandangan yang ada. "Aku tidak akan lama," bisiknya. Lalu menyerang dengan kecupan-kecupan. Dia butuh pelampiasan segera.

.

Mada menjauh. Membasuh bekasnya dan membenarkan bawahan. Nila bersandar pada dinding, merapikan pakaian dengan gerakkan lamban. 

"Terimakasih." Mada menyentuh kedua pipinya menatap lembut. "Maaf kalau kamu tidak puas. Nanti aku akan membuat kamu senang dan bukan di sini." Dia lalu mengeluarkan dompet. Memberi lembaran uang merah. "Ambil." Mengepalkanya pada tangan Nila. "Kamu butuh kan? Tadi Ibra bahkan memarahimu." 

Lelaki itu berbalik. Membuka pengunci pintu, tidak bisa berlama-lama lagi di dalam dengannya. "Aku keluar dulu." Menghadap Nila kembali, menyempatkan mengecup bibirnya sekali lagi lalu pergi. Di luar tidak ada siapa-siapa. Mada menghela napas dan kembali ke ruang depan. 

Nila terdiam. Matanya berembun dan bibir bergetar menatap uang di tangan. Setiap kali Mada dengannya selalu memberi. Dia tahu ini salah. Menjalin hubungan diam-diam di belakang Ibra.

Dia seperti itu hanya terhadap Mada saja. Uang darinya dipakai untuk menambal bekal yang kurang dan sebagian disimpan. Dia akan dimarahi jika meminta pada Ibra seperti tadi.

"Nila?" Terdengar suara Ibra memanggil. Dia buru-buru memasukkan uang dalam saku dress. Lalu membuka pintu kamar mandi. 

"Ya, Mas." Ada perasaan takut terhadapnya, terlebih belum lama sudah terjadi sesuatu. Bohong jika tidak merasakan itu. 

"Buatkan kopi untuk Mada jangan lama-lama." Ibra menaruh tentengan plastik berisi kopi sachet di meja. "Dan bawakan ke depan setelahnya." 

"Iya, Mas." Nila mendekat. Membuka kantong belanjaan itu. Ibra baru akan berbalik pergi tidak jadi saat melihat tanda merah di leher istrinya. 

"Apa ini?" tanyanya menatap penuh selidik sembari menunjuk. Nila menjauh menutupi dengan tangan. 

"Bukan apa-apa, Mas. Hanya digigit nyamuk." Berusaha tenang walau hati bergemuruh. Ibra tersenyum kecut tidak percaya.  

"Itu bukan bekas hewan. Masih baru. Tadi belum ada." Dia maju memperhatikan lagi area leher Nila meski ditutupi. Menatap tajam juga dingin. 

"Diantara ke empat temanku siapa orangnya?" tekannya menahan geram. Mencurigai tamu di rumah ini. 

"Bukan mereka, Mas." Nila berkerlit dan melengos. Perlahan mundur semakin takut dan mulai kalut. Salahnya sudah ceroboh. 

"Jawab jujur, siapa?!" Ibra membentak mengguncang kencang bahunya. Juga melepaskan tangan yang masih menutupi leher. 

"Lepas, Mas. Aku mau buat kopi." Gugup suara Nila, tapi Ibra tidak peduli itu lagi. Dia benci melihat tanda merah itu. "Masih tidak mau mengaku? Apa perlu aku memanggil mereka, menanyakan satu-satu?" Nila menggeleng panik sementara Ibra tersenyum sinis. Semakin kuat rasa curiganya. 

"Kamu bermain api di belakangku?" Didorongnya Nila hingga tersungkur. Ponselnya terjatuh dari saku berikut uang ratusan ribu ikut keluar. Ibra melebarkan mata melihatnya. "Kamu bilang tadi tidak ada. Dapat uang dari mana, hah?" Ditarik rambutnya hingga wajah Nila menengadah menatapnya. 

"Jawab!" Namun, bibir Nila tetap bungkam. Hanya pancaran matanya yang menyiratkan ketakutan amat dalam. Juga menahan rasa sakit di kulit kepalanya. Mata itu dipejam erat saat Ibra mengangkat satu tangan.

"Hentikan!" Berhenti di udara saat seseorang melarang. Nila membuka mata kembali dan menoleh. Membelalak melihat siapa dia. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status