Share

BAB 2

"Lo pelakunya?" Ibra melepas Nila, menghampiri Mada menarik kerah bajunya. Mencurigai dia. "Sudah menyentuh istri gue?!" sentaknya. 

Lelaki itu melihat Nila yang menggelengkan kepala. Pertanda jangan mengaku. Tetapi dia malah berkebalikannya mengatakan 'ya' membuat sepasang mata Nila membola. "Ya, gue sentuh Nila," tegasnya. 

Seketika Ibra tidak dapat menahan diri melayangkan pukulan, tapi Mada mampu menangkisnya. Serangan kedua dan ketiga juga tetap meleset. Yang ada tubuhnya terhuyung dihempas Mada.

"Brengsekk. Berani-beraninya." Tatapan Ibra semakin murka dan tajam terhadapnya. Tapi Mada tidak takut. Membayangkan Nila akan babak belur jika dia tidak kemari. Ibra tidak hanya akan menampar bisa lebih dari itu. Mada tidak tega melihatnya disiksa. 

"Katakan, sudah berapa lama kalian berhubungan?!" Suami Nila tidak bisa merendahkan suara lagi. Terlebih setelah perselingkuhan istrinya terbongkar dan pasangannya ada di sini merupakan teman sendiri. Dan mereka belum lama berbuat mesra. 

Mendengar ribut-ribut, tiga teman yang lain datang menghampiri. Melihat Ibra dan Mada bersitegang berhadapan. Sementara Nila duduk di pojokkan. Gemetar dan takut. 

"Ada apa ini, wey?" Satu orang berambut gondrong mempertanyakan.

"Selain Mada, apa di antara kalian ada yang menyentuh istri gue? Bayar istri gue seperti yang dilakukan pengecut ini," tunjuk Ibra tepat di depan hidung Mada. "Katakan!" 

Mereka seketika paham inti permasalahan. Saling melirik satu sama lain. Masing-masing menggeleng. 

"Gila lo, Mad," ujar salah satunya. Menatap Mada tidak menyangka. "Gue gak tau apa-apa. Gue cabut." Dia berbalik pergi. 

"Gue juga cabut." 

"Gue juga!" Dua yang lainnya menyusul pergi. Mereka tidak mau terlibat. Membiarkan keduanya menyelesaikan urusan. Meski mereka tahu bagaimana sikap Ibra terhadap Nila dan mencela di belakang, tapi mereka tidak senekat Mada mendekatinya. 

"Berapa lama kalian berhubungan? Jawab?!" Kembali Ibra membentak menuntut jawaban. Menatap bergantian istri dan teman yang kini dibencinya. Mada masih bungkam. Kemudian membelalak saat Ibra menyentak tubuh Nila sekaligus hingga berdiri. 

"Li-lima bulan, Mas," jawab Nila terbata. 

"Sudah bosan kamu denganku?" Nila diam ditanya itu. Tiga tahun berumah tangga bersama Ibra dengan sikap pelit dan kasar, dirinya lelah. Selama ini dia bermain aman dengan Mada. Tapi tadi mereka sama-sama ceroboh dan tergesa. Hingga Ibra mengetahuinya. Dia salah, Ibra salah, Mada juga salah. Tidak ada yang benar salah satunya. 

"Sudah bosan? Katakan!" Nila mengaduh kupingnya ditarik. Mencoba melepaskan malah mendapat senyuman sinis Ibra. "Sakit, Mas." 

Mada tidak bisa diam lagi menjauhkan tangan Ibra darinya. Memelototinya karna geram. Tubuh Nila dia sembunyikan di belakang. "Jangan sakiti, Nila." 

"Selingkuhan yang mau menjadi pahlawan kesiangan rupanya." Sinis Ibra membalas. 

"Menyingkir. Nila harus diberi pelajaran. Lo juga. Kalian sudah salah besar!"

"Lo pikir lebih baik dari gue?" Mada tetap berdiri kukuh menjadi tameng pelindung Nila. "Lo harusnya introsfeksi diri bukan hanya menghakimi." 

"Kalian berdua jauh lebih salah dari gue. Terutama Nila. Dia masih istri gue tapi berhianat. Menyingkir!" 

"Gue gak akan ngebiarin lo menyakiti orang yang gue sayangi." Serius Mada katakan. Terucap begitu saja di bibir. 

Cih. Ibra mendecih lalu tertawa mengejek dan menggelengkan kepala. "Jadi, lo naksir Nila?" Lelaki itu tidak menjawab, melirik Nila di belakang yang sama tertuju padanya. Perempuan itu tertegun mendengar pengakuannya. Dia kira selama ini Mada hanya butuh tubuhnya saja dan dia membutuhkan uangnya. 

"Dasar bajing4n!" Mada tertuju lagi pada Ibra yang memaki. 

"Pergi kalian dari sini. Kamu Nila, tinggalkan rumah ini sekarang juga. Jangan membawa apapun!" 

"Aku mau tinggal di mana, Mas?" Nila maju menghiba karna bingung. 

"Terserah. Mau tinggal di kolong jembatan. Mau balik ke panti asuhan tempatmu dulu, sillahkan!" Ibra tidak ragu-ragu mengusirnya. 

"Pergi dari sini perempuan murahan!" Kali ini dia berhasil menamparnya. Melayangkan begitu saja. 

Mada langsung meraih bahu Nila, membangunkan dia yang sampai terjatuh duduk saking kerasnya serangan tangan Ibra. Menyesal tidak bisa mencegah perbuatan orang yang seharusnya mengasihinya itu. "Ceraikan Nila. Aku akan membawanya bersamaku."  

Sejenak Ibra tersenyum kecut dan melengos, lalu berbalik cepat menarik kerah kaus menghajarnya. Dua tinju mengenai pelipis dan sudut bibir Mada karna belum sempat mengelak. Saat Ibra mau menyerang kembali dia baru bisa melawan balik menghajarnya. 

"Sudah. Sudah!" Pipi Nila sudah basah air mata dan pias, takut diketahui warga. "Cukup. Jangan ribut." Dua lelaki dewasa itu sama-sama meringis dengan napas tak teratur. Bergemuruh dalam dada masing-masing. 

"Mas." Nila mencoba mendekati Ibra, lelaki itu menepis tangannya yang hendak menyentuh wajah. Jijik kepadanya. "Pergi, jala-ng!" Didorong keras sampai punggungnya terbentur dinding. Nila memekik kesakitan. Mada segera mendekatinya. Merangkul membawa ke luar rumah. 

Tidak dipedulikan teriakan Ibra. Cepat menghidupkan mesin motor di halaman. "Cepat naik! Kamu bisa mati kalau masih bersama Ibra." Tapi Nila masih ragu diajak pergi dan malah semakin tampak ketakutan. 

"Nila!" 

Terdengar suara keras Ibra memanggil lagi. Mada turun sejenak demi membantu menaikkan Nila dengan mengangkat tubuhnya ke atas. Setelahnya kembali ke depan menjalankan motor. 

"Mada! Awas kalian!" Dua orang itu telah pergi. 

Ibra kembali ke dalam dengan rasa sakit hati semakin menggebu di jiwanya. Mengusap wajah kasar dan mengacak rambut geram seluruh emosinya belum terlampiaskan. Sepasang matanya tertuju pada gelas-gelas bekas kopi di meja yang masih belum habis bersama camilan yang berserak, meraih satu melemparkan kencang ke dinding. Hingga pecah. 

Nila, istri penurut, pemalu, pendiam, istri lugu dan polos yang dia kira tidak akan berani macam-macam ternyata berbuat hal hina di belakangnya. Hanya karna merasa jatah darinya kurang. "Dasar istri tidak bersyukur!" Memakinya yang sudah tidak ada. 

Lelaki itu berjalan ke ruangan lain. Samar-samar mendengar suara isak tangis dari kamar tengah. Segera dia membuka pintu. Membelalak melihat ibunya yang lumpuh karna stroke terjatuh dari ranjang. 

"Ibu?!" Cepat menghampiri. Seketika menutup hidung menghirup aroma menyengat tidak sedap. Rupanya ibunya sudah buang air besar. 

"Nila! Cepat kemari! Bersihkan kotoran Ibu!" Berteriak memanggil Nila, lupa dirinya telah pergi. Kemudian lelaki itu menunduk pilu menyadarinya. Biasa dia yang mengurusi ibunya. Mengelapi, menggantikan baju, menyuapi, membersihkan kotoran, semua Nila yang mengerjakan. 

Tidak didengar ibunya yang memanggil sambil terisak-isak dengan suara tak jelas karna bibirnya pun sumbing sulit digerakkan. Ibra terus menunduk, memejam mata meringis, merasakan hidup sehancur-hancurnya. 

Sementara itu di jalan, Mada melambatkan laju kendaraan. Merasa aman setelah menoleh ke belakang Ibra tidak mengejar. Diam-diam dia mendengarkan Nila yang terisak di balik punggungnya. 

"Tubuh kamu ada yang sakit? Kita ke dokter." Nila menggeleng meski Mada tidak melihatnya. 

"Kasihan Ibu Mas Ibra." Rupanya dia menghawatirkan mertuanya yang ditinggal. 

"Gaji Ibra di kantor harusnya bisa mencukupi kamu, tapi dia pelit. Biar dia mencari orang lain untuk merawat Ibunya." 

Ya. Seharusnya. Tapi dia tidak menyerahkan utuh gaji hanya memberi uang 30 ribu perhari.

"Aku tidak tau mau tinggal di mana." 

"Kamu tinggal bersamaku." Tangan Nila yang melilit di perutnya disentuh, mengusap-usap pelan. Dengan lembut dia berujar.

"Aku tidak akan membiarkanmu terlantar." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status