Semilir angin menerpa kulit wajah Nila, menerbang-nerbangkan rambutnya pelan. Memberi sensasi segar dan menyingkirkan sedikitnya keraguan dan kepiluan. Entah mengapa kini hatinya merasa tenang meski bersama orang lain. Bersama Mada. Lelaki itu terus membawa pelan motor ke tempat yang ditujunya.
Mada sudah baik, ada rasa haru di tengah rasa berdosa. Andai dipertemukan sebelum mengenal Ibra. Sayangnya kini dia malah mempunyai hubungan gelap dengannya. Dan menjadi rumit setelah diketahui Ibra. Kepala Nila pusing. Juga merasa lelah. Menyandarkan tubuh pada Mada. Menempelkan pipi di punggungnya. Dan dia merasa nyaman. Mada sendiri tidak keberatan malah tersenyum senang. Menoleh sekali ke belakang pada Nila yang bersandar manja lalu fokus ke depan. Membawa Kawasaki merahnya sedikit lebih cepat. "Silahkan." Mada membuka pintu mempersilahkan Nila masuk lebih dulu. Mereka sudah sampai di apartemen. Nila sejenak terdiam ragu. "Kamu butuh istirahat. Di dalam kamu bisa santai." Ramah Mada menyuruhnya lagi untuk masuk. "Aku ngerepotin, Mas.""Tidak sama sekali. Kamu tidak usah sungkan. Ayo." Mada lalu memutuskan masuk lebih dulu, tersenyum lega Nila akhirnya mau mengikuti langkahnya. Dia menutup pintu kembali. Keduanya beriringan menuju sofa. Nila duduk dengan sungkan. Menautkan jari-jari tangan di pangkuan. Dia malu tidak membawa apa-apa selain pakaian yang melekat di badan. "Kamu pasti haus. Sebentar, aku ambilkan minum." "Gak usah, Mas. Biar nanti aku ambil sendiri." Mada tidak mendengarkan tetap pergi. Nila pun beranjak mengikutinya. Lelaki itu membuka pintu kulkas mengambil botol air mineral dingin. "Kenapa? Takut aku kasih sesuatu diminuman? Gak akan Nila." Dia membuka tutup kemasan menyerahkan padanya. "Minum." Nila pun mengambil, meneguknya pelan. Dia memang haus. Mada mengambil botol kemasan lain, membuka dan meneguk sekaligus banyak. Bagaimana mereka tidak haus? Setelah sebelumnya berkegiatan bercin-ta. Meski tidak lama itu cukup membuat dehidrasi. Ditambah konflik dengan Ibra yang menguras emosi. Berdua kembali menuju sofa. "Aku mau mandi dulu. Kamu tunggu di sini." Nila mengangguk. Sebenarnya dia pun sama ingin membersihkan diri. Tubuhnya terasa lengket dan gerah. Tetapi malu untuk mengatakan.Mada menoleh sebelum masuk kamar. "Nanti kamu bisa mandi setelah aku." Perempuan itu mengangguk. Nila terdiam bingung kembali. Tidak ada pakaian ganti setelah mandi. Selain itu, dia juga teringat ibunya Ibra, bagaimana setelah ditinggalkan? Dia bahkan langsung pergi tidak sempat menemuinya. Lantaran takut dengan amukkan Ibra. Mengingat lelaki itu tidak mengurusi ibu sendiri dengan baik, timbul lagi rasa hawatir dan kasihan. Bagaimana kalau meminta minum, meminta makan atau buang air besar? Ibra tidak mau membersihkan dan mengganti pampes. Ibra pernah beberapa kali memarahi saat ibunya ada keinginan tetapi tidak mengerti maunya apa. Ini salah itu salah, akhirnya dia membentak. Padahal Ibunya sendiri. Menghela napas, Nila mencoba menepis prasangka buruk. Berdoa semoga ibu mertua baik-baik saja di sana. "Kamu mengantuk?" Tiba-tiba Mada sudah ada di hadapannya lagi. Sudah berganti pakaian sedang menggosokkan rambut basahnya dengan handuk kecil. Nila beranjak duduk. Terus terdiam membuatnya mengantuk dan tidak terasa meringkuk di sofa. "Mau mandi atau mau tidur saja? Kalau mau tidur pindah di kamar." "Mau mandi, Mas." Dia beranjak berdiri. Lelaki itu lalu pergi mengambilkan handuk dan menyerahkan padanya. Tidak berapa lama, Nila sudah berada dalam kamar kecil. Mandi air hangat sesuai arahan Mada. Untuk mencegah badannya meriang. Sampai selesai. Lelaki itu tertegun setelah melihatnya ke luar kamar memakai kemejanya. Tangannya yang mengotak-atik ponsel terhenti. Memperhatikan tubuh bagian atas itu tenggelam mencapai paha. "Maaf, Mas, aku pinjam bajunya." Dia merasa tidak enak meski sebelumnya lelaki itu sudah mengijinkan untuk memakai bajunya. Memilih kemeja putih lengan panjang dalam lemari. Baju yang biasa Mada pakai untuk bekerja. Tidak mau memakai kaus lengan pendek karna dingin. "Tidak apa-apa. Pakai saja." Mada tersenyum tidak mempermasalahkan. Nila perlahan menghampiri, duduk di sebelahnya. Volume TV dikecilkan Mada lalu melirik Nila. Memperhatikan lagi dirinya yang jadi tampak lucu dengan kemeja kebesarannya. Dan melihat rambutnya yang tergerai basah. "Aku minta maaf, Mas. Sudah merepotkan." "Tadi kamu sudah mengatakan itu saat baru tiba di sini. Kamu gak perlu merasa gimana-gimana, bagaimanapun salahku juga. Aku harus bertanggung jawab setelahnya. Melindungimu membuatmu nyaman." Nila terharu mendengarnya. Setelah dekat seperti ini dia semakin tahu ketulusannya. Selama ini interaksi mereka terbatas. Tidak ada obrolan mendalam. Selain hanya seputar hasrat bagi Mada dan uang untuknya. Itu pun waktunya tidak leluasa. Terkadang dilakukan di luar, terkadang dalam rumah Ibra saat Mada menginap. Lalu setelah sekitar tiga minggu mereka tidak jumpa dan akhirnya dipertemukan lagi tadi, ternyata itu menjadi kesempatan terakhir. "Terimakasih, Mas." Tulus dia ucapkan sudah baik hati mau memberi tumpangan. Tidak tahu kalau Mada lelaki tidak bertanggungjawab, dia mungkin akan terlunta-lunta karna tidak dipedulikan. Luka pukulan Ibra di pelipis dan di sudut bibirnya diperhatikan. Luka itu tidak mengurangi kadar ketampanannya, tetap terlihat mempesona ditambah sikap ramah dan manis. Juga tatapannya yang teduh. Mada menurunkan tangannya yang baru menyentuh luka tersebut dan sudah menatap hawatir. Menggenggamnya. "Kamu tidak usah hawatir. Aku baik-baik saja. Luka ini tidak ada apa-apanya dibanding penderitaan kamu selama ini." Penderitaan kekurangan bersama Ibra, dikasari dan capek mengurus semua hal sendirian di rumahnya. Perempuan itu masih muda meski telah menjadi ibu rumah tangga. Menikah pada usia 21 tahun dan kini baru memasuki usia 24. Cukup berbeda jauh dengan Ibra yang sudah berkepala tiga. Juga masih lebih tua Mada. Lelaki itu berbeda satu tahun lebih muda dari suaminya. Dua puluh empat tahun, usia yang seharusnya baru menikmati karir dan bergaul bebas. Atau melanjutkan pendidikkan ke jenjang strata dua. Tapi Nila tidak seberuntung itu, dia bahkan tidak kuliah. Lulus sekolah pindah-pindah bekerja, hingga bertemu Ibra di kantornya sebagai Office Girl. Lelaki itu menyukainya yang cantik dan pendiam. Mendekati dan meminta ijin pemilik panti tempat tinggalnya untuk melamar. Tidak menyangka setelah menikah justru dia tidak bisa kemana-mana, tidak bebas bekerja di luar lagi karna ada ibu mertua tengah sakit mesti diurusi. Sikap Ibra pun berubah tidak sebaik saat berkenalan. Dan paling parah dia menjatah nafkah sedikit, tidak terbuka soal gaji. Setiap Nila protes Ibra akan marah. Mengatakan dia hanya anak panti untuk jangan belagu. Mengatakan masih untung Ibra mau menikahinya memboyong ke rumahnya. Juga mengungkit status pendidikkan yang tak sama. Menganggap Nila rendah karna bukan sarjana seperti dirinya. Dan hanya seorang OB bukan pegawai kantor. Merasa diri lebih terhormat lebih berjasa. Dan dia harus nurut semua apa katanya. "Kenapa melamun?" Mada membuyarkan diamnya dengan menyentuh lembut pipi. "Enggak apa-apa, Mas." Mada tahu kekasihnya itu tengah memikirkan sesuatu. "Kamu masih mau bersama Ibra?""Aku mau pisah." Mada merasa lega mendengar jawabannya. Akan sia-sia kejujurannya di hadapan Ibra tentang hubungan gelap mereka dan sia-sia sikap peduli terhadapnya, jika Nila masih mau dengan lelaki itu. Dengan kondisi Ibra yang tempramental dan sudah tahu dia berhianat, bisa melayang nyawanya jika kembali. Sekarang jalan pikiran Nila sudah terbuka. Tidak takut lagi setelah Mada begitu peduli terhadapnya. Untuk lepas dari belenggu Ibra. "Kalau begitu kamu harus menggugat cerai." "Bagaimana prosesnya?" "Aku akan membantumu."Ketika membuka mata Nila sudah berada dalam kamar. Mengerjap melihat suami di dekatnya. "Kamu gak apa-apa?" Mada hawatir menggenggam tangan. "Pusing?" Nila mengangguk kecil. "Mual juga?" tanya mama mertua yang juga ada di sebelahnya. Dan mengangguk lagi. Rahayu tersenyum. "Sepertinya kamu hamil." "Hah?" Nila sedikit terkejut dan hendak bangun. Mada membantunya duduk. Menatap tersenyum berharap ucapan mamanya benar. "Coba ingat-ingat terakhir datang bulan." Nila terdiam termenung. Memang dia telat datang menstruasi. "Nanti kamu tes pek ya, biar jelas. Mada, nanti kamu beli alatnya.""Iya, Ma." Rahayu kemudian pamit membiarkan keduanya istirahat. Tidak lupa mengingatkan Nila untuk meminum air hangat yang dibawakan Mada di meja kecil samping ranjang. Dia lalu meminumnya. Mada memeluk dari samping. "Akhirnya aku bisa jadi ayah," ucapnya senang tak henti mengukir senyum. Setelah berbulan-bulan menikah dengan ihtiar sesering mungkin bisa membuahkan hasil. "Iya, kan, Sayang?" Nila ikut
"Jadi, Mas Ibra jatuh ke jurang saat dikejar polisi dan sekarang terbaring koma?" "Ya. Seperti yang kamu lihat." Nila memperhatikan lagi mantan suaminya yang terbaring lemah dengan sisa luka di wajah. Baru tahu dan baru melihatnya. Dia enggan mengingat lagi sosok itu dan benci. Mada mengajak ke sini setelah selesai membesuk teman kantor yang sakit. Nila bertahan di tempat saat Mada mengajak mendekat. Menggenggam tangannya erat serta menggeleng kuat. "Cukup, Mas. Kita pergi dari sini." Dia takut dan trauma dengan apa yang telah diperbuatnya. Mada memaklumi. Dia pun tidak memaksa. "Ayo." Berbalik mengajak ke luar ruangan. Menyusuri lorong bersama orang-orang yang berkepentingan sama di jam besuk. "Apa setelah sembuh Mas Ibra ditahan?""Ya. Setelah sembuh dibawa ke sel tahanan. Proses hukum terus berlanjut." "Syukurlah. Orang jahat seperti dia memang pantas membusuk di penjara." Nila berkata geram. Menyadari seemosi itu, Mada meraih tangannya. "Maaf, ya, harusnya aku gak usah ngaj
Irwan sangat berduka cita atas kepergian istrinya. Widya tidak bisa diselamatkan dari kecelakaan, mengembuskan napas terakhir di ruang ICU. Kini jenazahnya sudah dikebumikan. "Ma ...," Putra mereka mengusap nisan bertuliskan namanya. Anak lelaki itu sangat terpukul atas kepergian mamanya. Anggota keluarga menghibur mengelusi bahu. "Sabar ... biarkan Mamamu tenang di alam sana. Masih ada Papamu." Adik tiri Mada itu tidak mendengarkan ucapan siapapun. Terus terisak di hadapan makam yang masih basah dengan taburan kelopak bunga segar di atasnya. Rahayu mematung melihatnya. Bersyukur dia selamat dari kecelakaan dulu. Sehingga masih bisa menemani Mada. Menyempatkan datang melihat akhir kehidupan wanita perebut suaminya dulu yang tragis. Membenarkan selendang hitam yang merosot di rambutnya juga menyentuh kaca mata, Rahayu kemudian berbalik. Irwan melihatnya mencegah. "Tunggu, Yu. Aku ingin bicara." Rahayu melepaskan tangan lelaki itu yang sembarangan menyentuhnya. "Katakan saja sekara
Gedoran di pintu mengejutkan Ibra. Mengehentikan aktifitasnya memagut mesra bibir Nila. Juga gerakkan di bawahnya. Lelaki itu tengah menikmati tubuh istri Mada ke tiga kalinya. Berdecak kesal. "Jangan ganggu gue!" teriaknya. Tidak ada suara lagi. Ibra pun melanjutkan kesenangannya sembari tersenyum menatap Nila sayang. Tetapi perempuan itu sebaliknya, sangat benci dengan mata sembab dan tatapan putus asa. Mual setiap mendengar desah dan erangan kenikmatan dari bibirnya.Tidak lama gedoran terdengar lagi kali ini lebih keras. Bahkan didobrak. Tiga orang masuk. Ibra yang merunduk terlena, sibuk mengecup dan mengecap ditarik tubuhnya hingga menyingkir dari Nila diseret turun. Nila menangis sangat malu tubuh telanj4ngnya kini dilihat banyak orang sementara tangan dan kaki terikat. "Lanc4ng kalian. Mengangguku!" Ibra marah kesenangannya dihentikan paksa. "Sudah cukup lo senang-senangnya, sekarang giliran kami," ujar salah satu seraya tersenyum menyeringai menatap Nila yang seketika pi
Ibra menyingkir selesai menuntaskan hasratnya. Begitu puas dengan durasi lama. Tidak seperti biasanya, karna dia pun meminum obat sebelumnya. Napas terengah sama seperti perempuan di dekatnya. Nila kembali menitikkan air mata saat diselimuti dan dikecup kening. "Terimakasih, Sayang." Ibra lalu memakai bawahan dan mengambil kemeja mengancingkan satu-satu hanya menyisakan kancing teratas yang dibiarkan. Lantas berdiri. Menghadap Mada. Tersenyum sinis melihatnya tidak berdaya terus menunduk dengan segala pesakitan. Mendekati dan menendangnya lagi hingga terjengkang. "Mass!" jerit Nila tidak tega melihatnya mendapat perlakuan buruk kesekian kali. "Kamu tega, Mas!" Marah terhadap Ibra. Sudah memakainya sepuas hati. Tapi masih juga menyakiti Mada. Lelaki itu menghadapnya lagi. Tersenyum dingin. "Kamu tidak usah pedulikan dia lagi Nila. Mulai sekarang kamu menjadi milikku. Akan selalu bersamaku. Dan kita ... bisa mengulang lagi yang tadi." "Tidak sudi! Lebih baik aku mati dari pada har
"Nila?!" Mada pun membelalak menatapnya. Ternyata istri yang dia cari ada di sini. "Mas ...," Nila terus terisak-isak. Menyadari keduanya dalam keadaan terikat tidak berdaya. "So sweetnya saling mengelukan ... sudah seperti Romeo dan Juliet yang mau dipisahkan." Ibra berkata mengolok dan menyungging senyum tipis setelahnya. Mada memelototi menatap benci. "Sejahat ini lo sama gue," tekannya geram. Ibra maju membekap dua pipinya kuat mencengkeram. "Lo yang mulai. Lo yang pertama hancurin kehidupan gue. Gak usah berlagak sok dijalimi!" Bugh! Ibra meninju kencang wajah itu hingga terjengkang. Nila menjerit membuatnya menoleh. "Tolong, jangan sakiti Mas Mada ...," pintanya terus berurai air mata. Ibra menyerigai kecil dan muak mendengarnya. "Hei, mantan istriku. Kamu hanya kasihan padanya, tidak kasihan padaku? Sungguh, kamu pun tidak punya hati sama seperti dia." Ibra kali ini membekap pipinya. Nila memajamkan mata bersiap seandainya lelaki itu mau menghajarnya. Dulu pun dia sudah te