Share

BAB 3

Semilir angin menerpa kulit wajah Nila, menerbang-nerbangkan rambutnya pelan. Memberi sensasi segar dan menyingkirkan sedikitnya keraguan dan kepiluan. Entah mengapa kini hatinya merasa tenang meski bersama orang lain. Bersama Mada. Lelaki itu terus membawa pelan motor ke tempat yang ditujunya. 

Mada sudah baik, ada rasa haru di tengah rasa berdosa. Andai dipertemukan sebelum mengenal Ibra. Sayangnya kini dia malah mempunyai hubungan gelap dengannya. Dan menjadi rumit setelah diketahui Ibra. 

Kepala Nila pusing. Juga merasa lelah. Menyandarkan tubuh pada Mada. Menempelkan pipi di punggungnya. Dan dia merasa nyaman. Mada sendiri tidak keberatan malah tersenyum senang. Menoleh sekali ke belakang pada Nila yang bersandar manja lalu fokus ke depan. Membawa Kawasaki merahnya sedikit lebih cepat. 

"Silahkan." Mada membuka pintu mempersilahkan Nila masuk lebih dulu. Mereka sudah sampai di apartemen. Nila sejenak terdiam ragu. 

"Kamu butuh istirahat. Di dalam kamu bisa santai." Ramah Mada menyuruhnya lagi untuk masuk. 

"Aku ngerepotin, Mas."

"Tidak sama sekali. Kamu tidak usah sungkan. Ayo." Mada lalu memutuskan masuk lebih dulu, tersenyum lega Nila akhirnya mau mengikuti langkahnya. Dia menutup pintu kembali. 

Keduanya beriringan menuju sofa. Nila duduk dengan sungkan. Menautkan jari-jari tangan di pangkuan. Dia malu tidak membawa apa-apa selain pakaian yang melekat di badan. 

"Kamu pasti haus. Sebentar, aku ambilkan minum." 

"Gak usah, Mas. Biar nanti aku ambil sendiri." Mada tidak mendengarkan tetap pergi. Nila pun beranjak mengikutinya. Lelaki itu membuka pintu kulkas mengambil botol air mineral dingin. 

"Kenapa? Takut aku kasih sesuatu diminuman? Gak akan Nila." Dia membuka tutup kemasan menyerahkan padanya. "Minum." 

Nila pun mengambil, meneguknya pelan. Dia memang haus. Mada mengambil botol kemasan lain, membuka dan meneguk sekaligus banyak. Bagaimana mereka tidak haus? Setelah sebelumnya berkegiatan bercin-ta. Meski tidak lama itu cukup membuat dehidrasi. Ditambah konflik dengan Ibra yang menguras emosi. 

Berdua kembali menuju sofa. "Aku mau mandi dulu. Kamu tunggu di sini." Nila mengangguk. Sebenarnya dia pun sama ingin membersihkan diri. Tubuhnya terasa lengket dan gerah. Tetapi malu untuk mengatakan.

Mada menoleh sebelum masuk kamar. "Nanti kamu bisa mandi setelah aku." Perempuan itu mengangguk.  

Nila terdiam bingung kembali. Tidak ada pakaian ganti setelah mandi. Selain itu, dia juga teringat ibunya Ibra, bagaimana setelah ditinggalkan? Dia bahkan langsung pergi tidak sempat menemuinya. Lantaran takut dengan amukkan Ibra. Mengingat lelaki itu tidak mengurusi ibu sendiri dengan baik, timbul lagi rasa hawatir dan kasihan. 

Bagaimana kalau meminta minum, meminta makan atau buang air besar? Ibra tidak mau membersihkan dan mengganti pampes. Ibra pernah beberapa kali memarahi saat ibunya ada keinginan tetapi tidak mengerti maunya apa. Ini salah itu salah, akhirnya dia membentak. Padahal Ibunya sendiri. Menghela napas, Nila mencoba menepis prasangka buruk. Berdoa semoga ibu mertua baik-baik saja di sana. 

"Kamu mengantuk?" Tiba-tiba Mada sudah ada di hadapannya lagi. Sudah berganti pakaian sedang menggosokkan rambut basahnya dengan handuk kecil. Nila beranjak duduk. Terus terdiam membuatnya mengantuk dan tidak terasa meringkuk di sofa. 

"Mau mandi atau mau tidur saja? Kalau mau tidur pindah di kamar." 

"Mau mandi, Mas." Dia beranjak berdiri. Lelaki itu lalu pergi mengambilkan handuk dan menyerahkan padanya. 

Tidak berapa lama, Nila sudah berada dalam kamar kecil. Mandi air hangat sesuai arahan Mada. Untuk mencegah badannya meriang. Sampai selesai. Lelaki itu tertegun setelah melihatnya ke luar kamar memakai kemejanya. Tangannya yang mengotak-atik ponsel terhenti. Memperhatikan tubuh bagian atas itu tenggelam mencapai paha. 

"Maaf, Mas, aku pinjam bajunya." Dia merasa tidak enak meski sebelumnya lelaki itu sudah mengijinkan untuk memakai bajunya. Memilih kemeja putih lengan panjang dalam lemari. Baju yang biasa Mada pakai untuk bekerja. Tidak mau memakai kaus lengan pendek karna dingin.  

"Tidak apa-apa. Pakai saja." Mada tersenyum tidak mempermasalahkan. Nila perlahan menghampiri, duduk di sebelahnya. Volume TV dikecilkan Mada lalu melirik Nila. Memperhatikan lagi dirinya yang jadi tampak lucu dengan kemeja kebesarannya. Dan melihat rambutnya yang tergerai basah. 

"Aku minta maaf, Mas. Sudah merepotkan." 

"Tadi kamu sudah mengatakan itu saat baru tiba di sini. Kamu gak perlu merasa gimana-gimana, bagaimanapun salahku juga. Aku harus bertanggung jawab setelahnya. Melindungimu membuatmu nyaman."  

Nila terharu mendengarnya. Setelah dekat seperti ini dia semakin tahu ketulusannya. Selama ini interaksi mereka terbatas. Tidak ada obrolan mendalam. Selain hanya seputar hasrat bagi Mada dan uang untuknya. Itu pun waktunya tidak leluasa. Terkadang dilakukan di luar, terkadang dalam rumah Ibra saat Mada menginap. Lalu setelah sekitar tiga minggu mereka tidak jumpa dan akhirnya dipertemukan lagi tadi, ternyata itu menjadi kesempatan terakhir. 

"Terimakasih, Mas." Tulus dia ucapkan sudah baik hati mau memberi tumpangan. Tidak tahu kalau Mada lelaki tidak bertanggungjawab, dia mungkin akan terlunta-lunta karna tidak dipedulikan. 

Luka pukulan Ibra di pelipis dan di sudut bibirnya diperhatikan. Luka itu tidak mengurangi kadar ketampanannya, tetap terlihat mempesona ditambah sikap ramah dan manis. Juga tatapannya yang teduh. 

Mada menurunkan tangannya yang baru menyentuh luka tersebut dan sudah menatap hawatir. Menggenggamnya. "Kamu tidak usah hawatir. Aku baik-baik saja. Luka ini tidak ada apa-apanya dibanding penderitaan kamu selama ini." Penderitaan kekurangan bersama Ibra, dikasari dan capek mengurus semua hal sendirian di rumahnya. 

Perempuan itu masih muda meski telah menjadi ibu rumah tangga. Menikah pada usia 21 tahun dan kini baru memasuki usia 24. Cukup berbeda jauh dengan Ibra yang sudah berkepala tiga. Juga masih lebih tua Mada. Lelaki itu berbeda satu tahun lebih muda dari suaminya. 

Dua puluh empat tahun, usia yang seharusnya baru menikmati karir dan bergaul bebas. Atau melanjutkan pendidikkan ke jenjang strata dua. Tapi Nila tidak seberuntung itu, dia bahkan tidak kuliah. Lulus sekolah pindah-pindah bekerja, hingga bertemu Ibra di kantornya sebagai Office Girl. Lelaki itu menyukainya yang cantik dan pendiam. Mendekati dan meminta ijin pemilik panti tempat tinggalnya untuk melamar. 

Tidak menyangka setelah menikah justru dia tidak bisa kemana-mana, tidak bebas bekerja di luar lagi karna ada ibu mertua tengah sakit mesti diurusi. Sikap Ibra pun berubah tidak sebaik saat berkenalan. Dan paling parah dia menjatah nafkah sedikit, tidak terbuka soal gaji. 

Setiap Nila protes Ibra akan marah. Mengatakan dia hanya anak panti untuk jangan belagu. Mengatakan masih untung Ibra mau menikahinya memboyong ke rumahnya. Juga mengungkit status pendidikkan yang tak sama. Menganggap Nila rendah karna bukan sarjana seperti dirinya. Dan hanya seorang OB bukan pegawai kantor. Merasa diri lebih terhormat lebih berjasa. Dan dia harus nurut semua apa katanya. 

"Kenapa melamun?" Mada membuyarkan diamnya dengan menyentuh lembut pipi. 

"Enggak apa-apa, Mas." Mada tahu kekasihnya itu tengah memikirkan sesuatu. 

"Kamu masih mau bersama Ibra?"

"Aku mau pisah." Mada merasa lega mendengar jawabannya. Akan sia-sia kejujurannya di hadapan Ibra tentang hubungan gelap mereka dan sia-sia sikap peduli terhadapnya, jika Nila masih mau dengan lelaki itu.  

Dengan kondisi Ibra yang tempramental dan sudah tahu dia berhianat, bisa melayang nyawanya jika kembali. Sekarang jalan pikiran Nila sudah terbuka. Tidak takut lagi setelah Mada begitu peduli terhadapnya. Untuk lepas dari belenggu Ibra. 

"Kalau begitu kamu harus menggugat cerai." 

"Bagaimana prosesnya?" 

"Aku akan membantumu." 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status