Tengah malam Nila terbangun karna rasa haus juga lapar. Menyingkirkan selimut beranjak turun dari ranjang. Membuka pintu pelan dan ke luar kamar. Mematung merasa sungkan melanjutkan langkah saat tatapan Mada ke arahnya. Ternyata lelaki itu belum tidur. Mada tengah menonton bola. Berpaling sejenak melihatnya.
"Aku haus, Mas. Ngg ... aku juga lapar. Tapi aku tidak punya uang untuk membeli makanan. Uang dari Mas Mada sebelum ke sini, ada di rumah Mas Ibra." Ragu-ragu dia katakan kenapa terbangun dari tidur. Mengenyampingkan rasa malu sudah lapar tapi tidak punya apa-apa. Saat ribut-ribut di rumah Ibra dia tidak memikirkan lagi uangnya yang tergeletak di lantai. Boro-boro, yang ada rasa kalut dan Mada cepat membawa pergi. Karna Ibra terus menyakiti tubuhnya. "Ini." Mada meraih sesuatu dari samping tubuhnya. "Aku udah beli makanan." Dia lalu menaruhnya di meja. "Sengaja takut kamu lapar. Jadi aku sediakan. Makanlah." Terenyuh sekali Nila dengan perlakuannya, sampai mata tak terasa berkaca-kaca, rasa ingin menangis karna senang dengan perhatian luar biasa. Hal yang tidak didapatkan dari Ibra. Sejak pertama menikah, Ibra belum pernah inisiatif menyediakan makanan seperti itu, kecuali dia meminta duluan. Itu pun hanya awal-awal menikah saja, semakin ke sini jarang dituruti. Dia harus menjadi seperti pengemis dulu baru Ibra memberi, itu pun dibarengi dengan perkataan yang menyakitkan. Dia mendekati lelaki itu duduk di sisinya. Sebelum tangannya meraih, Mada lebih dulu bergerak membukakan kotak makanan itu. "Makanlah," ucapnya lagi. Nila menatap ayam KFC berikut nasinya ada di sana. Dilihatnya lagi Mada membuka kotak lain berisi Pizza, wadah satunya lagi berisi Burger. Minuman segar juga tersedia. "Kamu boleh makan yang mana aja." Nila spontan tersenyum sudah diijinkan mencicipi semua. Tentu karna Mada memberinya suka rela. "Segera makan.""Kamu juga ya, Mas." Mereka makan bersama. Nila meraih ayam goreng dan Mada mengambil satu potong Pizza. Tontonan bola tidak diprioritaskan lagi. Berkali lelaki itu memperhatikan Nila makan sangat lahap. Dia benar-benar lapar. Tatapannya begitu berbinar pada setiap makanan di meja. Seperti jarang menemukan. Lalu Mada berpikir, dengan jatah harian 30 ribu mana bisa terbeli makanan-makanan ini. Dia sulit membayangkan bagaimana mengaturnya di tengah kebutuhan pokok yang semakin mahal. Terutama di kota. Memberi minum saat perempuan itu tersedak saking bersemangat makan. "Hati-hati." Wajah Nila memerah antara perih di tenggorokkan dan malu. Merasa diri sangat norak. "Terimakasih, Mas." Dan lelaki itu membalas dengan menyeka sudut bibirnya yang terdapat sisa makanan. Nila menunduk. "Lanjutkan lagi makannya." Mengangguk pelan dan kembali makan dengan lebih hati-hati. Mada ikut terbawa berselera saat bersamanya. Alhasil makanan di meja pun tinggal sedikit. Mereka kekenyangan. Nila bersandar pada punggung sofa. "Aku ke balkon sebentar." Mengangguk saat lelaki itu pamit untuk merokok. Mada menyempatkan menyegarkan mulut terlebih dahulu sebelum memutuskan tidur. Memantik api dan mulai menghisap sambil menikmati pemandangan malam sekitar. Saat kembali masuk, dilihatnya Nila sudah meringkuk tidur. Dia menghampiri. Tersenyum melihatnya. Merunduk menyingkirkan rambut yang menutupi mata dan mengecup pipi. Lalu membawa pindah dalam kamar.***Hari sudah beranjak pagi. Mada sedang merapikan diri, tampak dari pintu yang terbuka dia tengah mengancingkan kemejanya. Nila diam dari luar memperhatikan. Sudah selesai membuat sarapan hendak memberitahu. "Mas Mada." Lelaki itu menoleh tersenyum kecil. "Apa?" tanyanya. "Aku udah buat sarapan." Kemudian Mada menghampirinya. "Tidak usah repot-repot, Nila." "Gak apa-apa, Mas. Tapi hanya seadanya bahan." "Oke, nanti aku ke sana." Melihat Mada yang kerepotan memasangkan dasi, Nila gatal ingin membantunya. Lalu mengulurkan tangan memasangkan rapi. Mada terdiam. Menatap lurus dia dengan hati senang, merasa mempunyai istri jika seperti ini. Tidak terasa tangannya menyentuh kening, menepikan rambut Nila. Perempuan itu sama menatapnya. Mada memandang terpesona dengan kerinduan mencuat dalam dada. Nila sama, hati perempuan itu berdesir. Anehnya, padahal bukan pertama kali dekat dengannya. Sekarang cenderung merasa tersipu setelah tahu perasaan Mada sebenarnya. Tatapan lelaki itu semakin melembut dan teduh.Mada mencoba memangkas jarak mendekatkan wajah. Namun, Nila melengos malu. Merona wajahnya lalu pergi begitu saja menahan senyum. Mada melihatnya berlalu, berbeda dengan Nila, dia tidak dapat menahan diri untuk tidak tersenyum. "Aku pergi dulu. Kamu jangan kemana-mana," pesan Mada sebelum berangkat beraktivitas di luar. "Iya, Mas." Lelaki itu berbalik hendak membuka pintu. Tapi urung Nila memanggilnya lagi. "Mas?""Ya?" "Kalau mau menggugat cerai berarti harus menyerahkan berkas berisi buku nikah ke pengadilan agama? Dan bukunya ada di rumah Mas Ibra." Mada tahu dia yang resah dan bingung mengambil langkah. Juga takut. "Jangan pergi sendiri ke sana. Nanti bersamaku." Nila lalu menghela napas lega mendengar jawabannya. Tentu lelaki itu tidak akan membiarkan. Bagaimana jadinya jika Nila datang ke rumah itu sendirian? Bisa terjadi macam-macam. "Baik, Mas." Mada pun pergi. Nila berbalik hendak membersihkan dan merapikan seluruh ruangan. Juga mencuci pakaian. Sore hari Mada sudah pulang. Sengaja pulang cepat dan tidak lembur, demi bisa mengajak Nila pergi. Lelaki itu membawanya ke pusat berbelanjaan mall. Memasuki gerai pakaian dewasa. Membelikan baju untuk dia. "Kamu pilih mau baju yang mana. Ambil yang kamu suka. Nanti aku membayarnya." "Mas." Tidak tahu Nila harus berkata apa. Rasanya dia kehabisan kata-kata. Selalu dibuat haru lelaki itu. Selain perhatian dia juga tidak pelit. "Kamu butuh baju untuk ganti sehari-hari.""Terimakasih." Nila pun bergegas memilih baju yang disukanya. Mada mengekori. "Mas, aku boleh ambil baju yang ini?" Mengambil atasan menunjukkan padanya. Mada mengangguk. "Boleh.""Yang ini?" Mengambil yang lain. "Boleh.""Ini?" Dan mengambil lagi. "Boleh."Ah, senangnya Nila ... bisa shopping bebas seperti ini. Bukan dia matre, tapi itu perintah Mada sendiri untuk membeli baju lebih dari satu. Karna sama sekali tidak ada stok baju perempuan di tempat tinggalnya. Dan dia tidak bisa begitu saja ke rumah Ibra untuk mengambil baju-bajunya. Nila mengambil beberapa atasan, bawahan, dan dress. Mada membayar begitu selesai. Nila menatap tersenyum di balik punggungnya. Menunggu kasir selesai menghitung. Lelaki itu kemudian berbalik dengan paper bag di tangan. Nila mengambil alih. "Biar sama aku, Mas." Melihatnya yang ceria Mada ikut senang. Tidak hanya di gerai pakaian dewasa, lelaki itu juga mengajak ke toko pakaian dalam. Nila agak risih dan malu saat memasuki tempat itu bersamanya. Terpajang aneka dalaman pria dan wanita. "Kamu juga butuh dalaman kan? Ambil yang kamu suka." Dengan langkah canggung Nila mendekati deretan dalaman perempuan. Menoleh pada Mada di belakang yang diam memperhatikan, membuatnya risih lagi. Merasa tidak leluasa untuk memilih. Bukan menjauh lelaki itu malah sengaja mendekat. "Perlu aku bantu pilihin?""Ih, Mas. Apaan." Semakin malu. Mada tidak dapat menahan senyum melihat ekspresinya. "Motif berenda bagus, tuh." Sengaja membicarakannya. "Beha-nya yang itu juga bagus." Dan menunjuk deretan bra di atas. Nila semakin memerah wajahnya. "Mas Mada, minggir deh. Biar aku pilih sendiri.""Kenapa? Kan aku juga pengen liat.""Gak usaah." Entah dengan cara bagaimana Nila bisa mengusirnya. Untuk pakaian luar dia tidak masalah diperhatikan, tapi memilih dalaman? Oh, tidak. Mada sedikit menjauh tapi bukan pergi. Menunjuk sesuatu di dekatnya. "Ini bagus buat kamu nih." Nila menoleh dan melotot. Itu lingerie! Dengan warna merah terang. "Kamu cocok memakainya. Pasti akan sangat mempesona." Berkata sambil membayangkan dengan raut penuh damba dan gemas. Nila melihatnya ngeri. "Untuk nanti malam ....""Mas Mada!" Lelaki itu terkekeh puas mengerjainya."Kamu gak usah takut." Mada menyentuh tangan Nila sebelum ke luar dari mobil. Menenangkannya yang cemas. "Ibra pasti sedang bekerja, tidak akan ada di dalam rumahnya." Mereka sengaja mendatangi kediamannya siang-siang. Untuk mengambil buku nikah, kartu keluarga, KTP, untuk melengkapi berkas gugatan cerai. Dan mengambil keperluan Nila yang lain seperti baju. Mada rela cuti sehari dari kantor untuk mengurusinya. "Turun?" Nila mengangguk. Mada membuka pintu lebih dulu. Dengan dada berdebar Nila menyusul turun. Berjalan lambat mengikuti langkahnya. Hampir satu minggu dia meninggalkan rumah ini. Ibra juga tidak ada menemuinya. Entah apa lelaki itu sangat benci terhadapnya sehingga tidak mau melihat lagi. Kalau begitu Nila akan mempercepat proses perceraian. Ada rasa sedih, takut, saat menginjakkan lagi kaki di teras. Banyak kenangan di sini. Kenangan yang membuat ia seperti terpasung. Bagaimana kabar ibu mertua? Siapa yang merawat? Terselip setitik rasa bersalah sudah meninggalkan tanpa
Nila didudukkan paksa di tempat tidur. Wajahnya terus menghindar enggan melihat Ibra. Lelaki itu tersenyum puas telah berhasil membawa pulang istri yang kabur dengan laki-laki lain. Dia menekuk kaki berjongkok di hadapannya, agar wajah yang terus menunduk itu dapat melihatnya. Sebelah tangan ditumpu di paha Nila sambil terus mendongak ke arahnya. "Kamu pikir aku akan diam saja? Tidak, Nila. Kamu, Mada ... kalian harus mendapat balasan. Sudah menyakitiku," ucapnya pelan dengan ancaman dan menekan. Ibra tidak membiarkan begitu saja. Sejak Nila pergi besoknya langsung membuat laporan ke kantor polisi, mengadukan perbuatan Mada. Mengumpulkan bukti-bukti untuk kemudian di proses. Sehingga puncaknya hari ini. Penyidik datang menjemput paksa Mada di kediamannya setelah adanya bukti kuat dan Nila ditemukan tengah bersamanya. "Bi Darmi bilang kamu ke sini bersama kawanku yang brengs*k itu mencari buku nikah. Untuk apa Nila? Ooh, untuk menggugat cerai aku? Agar kalian bisa menikah nantinya,
Ibra datang membawa mobil baru. Tersenyum begitu turun menginjakkan kaki di halaman. Melihat Nila yang mematung di teras tengah memegang sapu dan menghampirinya. "Bagaimana, bagus?" tanyanya sembari menatap kendaraan roda empat itu. Nila tidak menjawab. Menunduk sedih teringat Mada yang sudah menyerahkan uang demi menyelamatkan harga diri darinya. "Ternyata ada gunanya juga perselingkuhanmu itu." Ibra beralih menatapnya dengan pandangan mengolok. Dia sempat ingin menghabisi istri sendiri saat hubungan gelapnya dengan Mada diketahui. Ibra hancur dan kelimpungan harus mengurusi ibunya sendiri karna Nila yang dibawa pergi. Di tengah perasaan hampir putus asa, terlintas sebuan ide dan kini sudah ada hasilnya. Cukup membuatnya terhibur. "Mau mencobanya jalan-jalan denganku?" "Tidak!" Nila meninggalkannya ke dalam. Ibra mengekeh senang melihatnya yang penuh rasa bersalah terhadap Mada. Mengurung diri dalam kamar. "Mas Mada ... Maafkan aku, Mas." Sungguh dia telah merepotkannya. Mada me
Untuk pertama kali Nila singgah lagi di apartemen Mada. Lelaki itu tidak takut membawanya ke sana. Meski sebelumnya terjadi insiden tidak mengenakan. "Aku merindukan kehadiran kamu di sini." Dengan jujur mengungkapkan apa yang tengah dirasakan. Nila meliriknya dan berhadapan. "Mas." Mada meraih tangannya menggenggam hangat. "Harusnya kamu tidak menuruti Mas Ibra." Dia hanya tersenyum kecil diingatkan itu. "Uang 150 juta bukan sedikit." Mada menuntunnya untuk duduk bersama. Nila terus memperhatikan tampangnya yang tenang. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Mada sekarang lebih bisa menguasai diri. Setelah kemarin-kemarin dibuat kalut Ibra. "Kamu pinjam, Mas?" Nila tidak mau lelaki itu sampai terlilit hutang karenanya dan menjadi beban. "Tidak," jawabnya enteng. "Aku minta maaf banget, Mas. Karnaku kamu rugi." "Konsekuensi untukku sudah salah mendekatimu.""Tapi tidak harus begitu." "Tidak apa-apa, Nila. Hitung-hitung buang sial. Malam itu Ibra sangat menekanku. Aku ingin hari
Nila langsung menutup pintu kembali saat melihat siapa yang datang. "Nila, biarkan aku masuk!" Mada menahan pintu itu tak mengerti. Tidak biasanya kedatangannya ditolak. Tenaga Nila kalah dan pintu tetap terbuka akhirnya. Lelaki itu menerobos masuk dan menutupnya kembali. Nila mundur. Mada semakin tidak mengerti melihat reaksinya. "Kamu kenapa?" tanyanya seraya mendekat. Terus menatap heran. "Tidak seharusnya kamu ke sini, Mas.""Kenapa? Aku tahu Ibra tidak ada. Kamu tidak usah takut." Bukan itu maksud Nila. Mada tidak mengerti. "Mau apa kamu ke sini, Mas?"Lelaki itu tersenyum pada akhirnya dia mau menanyakan. "Tentu karna aku kangen." Lebih mendekat memeluk begitu saja. "Kamu tidak membalas pesanku, tidak menerima panggilan teleponku, kamu membuatku tersiksa, Nila." "Cukup, Mas." Alih-alih membalas, Nila malah melepaskan diri dan menjauh. "Kamu jangan seenaknya menyentuhku. Aku masih istri orang, Mas." Pelan mencoba mengingatkan. "Kenapa baru sekarang? Apa Ibra mengancam? Kata
"Ini buat kalian." Mada menyerahkan amplop coklat berisi uang tunai pada dua orang yang sudah berhasil membawa ponsel Ibra sampai ke tangannya. "Terimakasih, Boss," ucap salah satunya sambil menerima amplop yang dia angsurkan. Mengecek isinya dan puas. "Ayo." Mengajak pergi kawannya. Dua orang itu naik ke motor dan berlalu. Mada menutup kaca mobil. Tersenyum lega karna bukti perbuatan hilafnya sudah ada padanya. Dia akan menghapus semua vidio menjijikkan itu. Berikut isi chat saat merayu Nila, juga poto-poto mesra mereka. Setelahnya ponsel Ibra akan dihancurkan. Lelaki itu mengemudi untuk segera melancarkan aksi melenyapkan bukti. Rela merogoh kocek lagi demi membuat diri aman. Juga membuat Nila nyaman.Pola yang mengunci layar bisa dibuka oleh ahli reparasi ponsel di toko besar dan terpercaya. Dengan begitu Mada bisa leluasa melihat isi galeri. Tentu dengan membuang sim card Ibra terlebih dahulu. Menghapus semua vidio mesumnya bersama Nila. Poto-poto, juga chat mesra. Setelah itu
"Sebentar!" Nisa buru-buru membilas piring saat seseorang menekan bel apartemennya secara berulang tak sabaran. Mencuci tangan lalu pergi membuka pintu. "Astagfirullah, Nila!" ujarnya panik. Melihat wajah perempuan itu babak belur di balik kain penutup kepala yang disampirkan asal. "Mbak, Nisa, tolong saya ...," Pelan dan bergetar Nila katakan. Nisa segera merangkul bahunya membawa masuk. Namun, baru beberapa langkah tubuh Nila ambruk jatuh telungkup."Ya, Allah!" Tubuh lemah itu sekarang ada di bed pasien. Tetes demi tetes cairan mengalir dari kantung infusan melalui selang, tersambung dengan tangannya. Nisa menunggui. Mungkinkah semua luka ini oleh suaminya? Jika benar, tega sekali. Tidak bisa dibiarkan. Nila harus menjauhi lelaki toxic seperti itu. Beruntung dia masih bisa menyelamatkan diri. Nisa membayangkan tidak mudah baginya pergi dalam kondisi tidak baik-baik saja. Dia melihat hijab fasmina yang tadi dipakainya asal. Nila menutupi wajah dan leher dengan kain itu sampai di
"Ambil semua. Ambil!" Ibra melemparkan surat-surat penting yang dibutuhkan Nila ke hadapan Mada. "Ini juga, silahkan lo ambil!" Dia juga melemparkan beberapa gepok uangnya. Mereka ada dalam rumah. Mada berhasil membawanya ke sana berikut koper yang sudah diangkut. Ibra membuka wadah besar itu dan menyerahkan apa yang selama ini dia pertahankan. "Asal, biarin gue pergi!" "Lo gi-la." Mada hanya melihat sekilas apa yang barusan dilemparkannya yang kini berserak di bawah. Tertuju pada kamar yang membuka terdapat ibu Ibra. "Ibu lo ma-ti dan lo mau pergi?" Lelaki itu sudah memberitahu ibunya meninggal dan Mada sudah melihat. "Gue gak peduli. Gue akan mengurusnya sendiri!" "Urus Ibu lo di sini." "Jangan ngatur gue. Kalau lo mau Nila, silahkan ambil. Gue gak akan mempersulit lo lagi. Jadi biarkan gue bebas!" Ibra tidak mempedulikannya lagi. Menutup koper lalu beralih ke kamar ibunya. Hendak mengangkut tubuhnya ke dalam mobil. "Ibu lo pantas diurusi dengan layak di sini. Gue gak akan nge