Share

BAB 5

"Kamu gak usah takut." Mada menyentuh tangan Nila sebelum ke luar dari mobil. Menenangkannya yang cemas. "Ibra pasti sedang bekerja, tidak akan ada di dalam rumahnya." 

Mereka sengaja mendatangi kediamannya siang-siang. Untuk mengambil buku nikah, kartu keluarga, KTP, untuk melengkapi berkas gugatan cerai. Dan mengambil keperluan Nila yang lain seperti baju. Mada rela cuti sehari dari kantor untuk mengurusinya. 

"Turun?" Nila mengangguk. Mada membuka pintu lebih dulu. Dengan dada berdebar Nila menyusul turun. Berjalan lambat mengikuti langkahnya. Hampir satu minggu dia meninggalkan rumah ini. Ibra juga tidak ada menemuinya. Entah apa lelaki itu sangat benci terhadapnya sehingga tidak mau melihat lagi. Kalau begitu Nila akan mempercepat proses perceraian. 

Ada rasa sedih, takut, saat menginjakkan lagi kaki di teras. Banyak kenangan di sini. Kenangan yang membuat ia seperti terpasung. Bagaimana kabar ibu mertua? Siapa yang merawat? Terselip setitik rasa bersalah sudah meninggalkan tanpa pamit. 

Nila menghela napas panjang ketika sudah di depan pintu. Melirik Mada, lelaki itu mengulas senyum menenangkannya. Nila hendak mengetuk. Namun, belum sempat melakukannya pintu terbuka. Seorang perempuan keluar. 

"Mbak Nila? Istrinya Mas Ibrakan?" 

Nila mengangguk kaku menanggapi pertanyaan perempuan itu. "Iya." 

"Alhamdulillah ... Mbak datang. Kamana waee," ujarnya dengan logat sunda. Lagi-lagi Nila hanya tersenyum kaku. Bingung menjelaskan. 

"Bibi ini yang mengurus Ibunya Ibra?" tanya Mada. Sama dengan isi kepala Nila mempertanyakan hal serupa. 

"Iya, betul. Disuruh Mas Ibra. Mas ini siapa ya? Kok bisa bersama Mbak Nila?" Terlukis penasaran di wajah tetangga jauh Ibra. 

"Saya teman Ibra. Kami ke sini karna ada keperluan."

"Oo ... kalau begitu mari masuk. Tapi Mas Ibranya tidak ada." 

"Tidak apa-apa," jawab Mada. Memang sengaja datang saat dia tidak ada. Nila melangkah lebih dulu menyusul perempuan itu. Mada lalu masuk. Dilihatnya pembantu itu mematikan TV, dia sedang menonton tadi. 

"Silahkan duduk. Sebentar, saya ambil minum dulu."

"Tidak usah, Bi." Langkahnya yang hendak ke dapur terhenti mendengar larangan Nila. "Saya mau langsung ke kamar." Dia lalu melihat Mada. "Mas kamu tunggu di sini." Direspon dengan anggukannya. Nila pun berlalu. Diiringi tatapan heran pembantu itu. 

Di kamar, Nila membuka laci nakas mencari barang yang dibutuhkan. Tapi tidak menemukannya. Laci kedua, ketiga pun sama tidak ada. Padahal jelas-jelas surat KK, KTP dan buku nikah disimpan di sana. Berikut sertifikat rumah. Sekarang semua tidak ada. 

Beranjak ke lemari mencari-cari di antara tumpukkan baju. Sama tidak ada. Perasaannya mulai panik dan mencari di mana saja. Menyingkirkan bantal, melihat kolong ranjang. Tetap tidak ditemukan. 

"Mas. Mas Mada!" Cemas memanggil kekasihnya. Lelaki itu buru-buru menghampiri. "Ada apa?"

"Tidak ada, Mas. Aku sudah mencarinya dimana-mana." Raut Mada pun berubah. Seketika ikut berpikir keras tentang keberadaan surat-surat itu. 

"Coba cari di kamar lain." Nila segera keluar. Memasuki kamar belakang. Mencari di laci dan di lemari barang itu tetap tidak ada. "Gak ada, Mas," keluhnya pada Mada yang menyusul ke sini. 

"Di kamar satunya? Barangkali ada di sana."

"Di kamar Ibu Mas Ibra?"

"Iya. Sekalian kamu lihat keadaannya," ujarnya penuh harap. Nila pun keluar lagi dari kamar itu. Tetapi pandangannya tertuju pada tumpukkan barang kotor di westafel di dapur. Juga baju kotor yang menumpuk di atas mesin cuci. Menatap heran mengapa belum dikerjakan? Apa pembantu itu hanya mengurusi ibu Ibra saja? 

"Bi Darmi?" Orang yang dia panggil menghampiri. "Ada apa, Mbak?"

"Apa Mas Ibra tidak menyuruh Bibi mengerjakan pekerjaan rumah?"

"Disuruh sih."

"Terus kenapa ini belum dikerjakan?" Darmi melihat ke arah westafel dan tumpukkan baju kotor. 

"Ya ... gimana, ya. Abisnya saya gak semangat. Mas Ibra belum bayar saya, Mbak, sejak saya bekerja di sini. Udah enam hari. Padahal saya udah minta. Lagi butuh. Buat beli susu anak, beli beras, buat token listrik. Mas Ibra tetep gak mau ngasih. Nanti-nanti terus jawabnya." 

Nila dan Mada sama-sama tercengang. Nila lalu berpikiran tentang ibu mertuanya. Segera menemui di kamar tengah. Diikuti Darmi dengan wajah tak enak. Bau menyengat menusuk hidung saat masuk. Dilihatnya ibu mertua tengah berurai air mata. Mengatakan meminta makan dengan bahasanya yang sulit dimengerti. 

"Ibu?" Nila menghampirinya. Tidak kuasa menahan tangis. Ibu mertua kelaparan dan buang air besar tanpa ada yang membersihkan. "Seharusnya Bi Darmi jangan membiarkan Ibu. Seharusnya Bi Darmi tetap merawat Ibu dengan baik." 

Darmi menunduk. "Maaf ... saya mau merawat Ibu Mas Ibra lagi. Tapi tolong bayar dulu. Di rumah sudah tidak ada beras untuk dimasak. Mohon pengertiannya Mbak Nila sebagai istri Mas Ibra. Kalau hari ini tidak mau membayar juga, besok saya mau pindah kerja, dari pada tidak pasti seperti ini." 

Nila menatap ibu mertua yang menangis semakin pilu setelah mendengar ucapan Darmi. Barang yang dibutuhkannya belum ditemukan ditambah lagi masalah lain. Ternyata Ibra susah untuk membayar pekerjanya sendiri. Mada mengusap bahunya pelan, wajah kebingungan itu meliriknya dan beranjak dari sisi ranjang. 

"Berapa upah Bi Darmi?" Lelaki itu menanyai Darmi yang menunduk kembali. 

"Kalau di perumahan 50 ribu sehari pagi sampai sore. Tapi itu hanya untuk beberes rumah saja, bukan sambil menjaga orang sakit. Sambil mengurus orang sakit ya beda lagi. Capek, Mas, saya. Kadang disuruh menginap sama Mas Ibra. Nemenin Ibunya." 

Mada membuka dompet mengeluarkan lima lembar uang merah. Menyerahkan padanya. "Segini cukup?" 

"Cukup, Mas. Terimakasih." Darmi mengambilnya dengan mata berbinar. 

"Sekarang urusi Ibunya Ibra dan bereskan semua pekerjaan rumah di sini."

"Baik, Mas." Darmi memasukkan uangnya dalam kantong daster. Mendekati ibu Ibra untuk membersihkan tubuhnya. "Maafkan saya, Bu, sudah ngebiarin Ibu." Perempuan tua itu menggeleng. Berkata seolah bukan salahnya. 

Air mata Nila menitik lagi di pipi melihat ibu mertua yang sudah dia anggap sebagai ibu kandung sendiri. Kini berjauhan dengannya. Kurang diperhatikan. Mada melihat itu. Betapa hati Nila lembut dan welas asih. Tetapi sayang, Ibra menyia-nyiakan. 

Saat Bi Darmi ke dapur Nila menghampiri lagi ibu mertua. "Nila ke sini mau mencari buku nikah, KK dan KTP. Di kamar depan dan belakang tidak ada. Maaf, Nila mau mencarinya di sini." Saat ibu mertua mempertanyakan untuk apa, Nila tidak kuasa menjawab jujur. "Bukan apa-apa, Bu." Berkata baik-baik saja, tidak ingin membuatnya bertambah sedih. Biarlah waktu yang akan menjawab semua. 

Nila beranjak membuka lemari mencari disela-sela lilatan baju, ternyata sama tidak ada. Pun ketika memeriksa laci bawah meja tetap tidak ditemukan.

"Di sini juga tidak ada, Mas," ucapnya mulai putus asa. Mada terdiam. Rupanya Ibra sudah menyembunyikan semua surat penting itu. 

Pulang dari rumah Ibra nihil tidak mendapat apa-apa. Nila bersandar lemas pada jok mobil sambil terus menatap ke samping. Tidak hanya Nila, kini Mada pun bingung. Tampak dari raut wajahnya. Mengemudi dengan kening terlipat. Bagaimana dia akan mengurusi perceraian Nila kalau syaratnya susah ditemukan? 

Saat tiba di apartemen pun wajah keduanya tampak tidak baik-baik saja. Nila duduk tak semangat di sofa. Mada menghampirinya menatap wajah gelisah itu. "Gimana, Mas?" tanyanya lesu. Lelaki itu menghela napas kecil. "Aku takut, Mas. Aku ingin bebas." Diraih tangan Nila menggenggamnya erat. "Aku akan berusaha mencari solusinya." Nila mengangguk kecil, diusap kepalanya dan dia membalas memeluk Mada. Sedikit berkurang kehawatirannya saat dekat bersama lelaki itu. 

Di tengah keduanya yang larut dalam situasi tidak mengenakan, terdengar bel apartemen. Mereka berlepas saling menatap tanya tentang siapa gerangan yang datang. Mada lalu bangkit. 

Melihat dari layar pemantau beberapa orang laki-laki yang tidak dikenalnya. Entah, siapa mereka? Pintu kemudian dibuka. 

"Selamat siang," ujar salah satunya.

"Siang." 

"Dengan saudara Armada Kusuma?"

"Iya. Saya sendiri."

"Kami dari tim penyidik, mendapat laporan saudara telah membawa pergi saudari Nila Silviyani dari suaminya, Bapak Ibra Gustiawan, dan diduga melakukan tindakkan asusila. Mohon ikut kami ke kantor polisi."

Mada melebarkan mata terkejut. Rupanya Ibra telah melaporkan kehilangan Nila dan menjadikannya sebagai tersangka utama. "A-apa?" Nila tidak jauh di belakangnya menutup mulut dan tidak terasa berjalan mundur mendengar kabar itu. 

Para petugas melakukan jemput paksa dengan menunjukkan surat penangkapan untuk ditindak lanjut. Dua di antara mereka memeriksa ke dalam dan menemukan Nila. "Korban sudah kami temukan."  

"Bisa saya jelaskan, Pak." Mada berusaha tenang meski pikirannya berkecamuk.

"Saudara bisa menjelaskan semuanya di kantor kepolisian." Dua orang merengkuh bahunya hendak dibawa pergi. Mada tidak siap. 

"Dia orangnya, Pak. Sudah membawa kabur istri saya." Tiba-tiba Ibra datang. Menunjukkan senyum sinis terhadapnya. "Istri saya ada di dalam." Tanpa permisi dia masuk. Menarik Nila keluar bersamanya. "Ayo, Sayang. Pulang. Kamu aman sekarang." 

Nila menggeleng-geleng takut. Ibra mendekapnya erat. "Lihat, Pak, istri saya sampai setakut ini. Seterganggu ini sudah disekap dan diperk0sa lelaki itu." Ibra terus memojokkan Mada. Nila terus menggeleng. Mencoba berontak. "Sayang, tenang." Ibra menenggelamkan wajahnya di dadanya mencium-cium rambut seolah menenangkan. "Sttt, Sayang, sudah. Kita pergi."

Lelaki itu tertuju pada Mada berbisik di dekatnya. "Selamat mendekam di penjara!" Menyeringai dan menjauh. "Bawa dia pergi, Pak!" 

"Mas, lepas. Biarkan aku pergi. Kumohon ...." 

Dada Mada bergemuruh melihat Nila yang dipaksa dan berurai air mata. "Jangan sakiti Nila!" Hendak mengejar tapi petugas itu menahannya. "Ikut kami, Pak." 

"Mas, Mas Madaa!"

"Diam, Sayang. Dia jahat udah culik kamu." 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status