“Mia … Mia … tolong jagain dulu Bian! Mbak kok gatel-gatel gini, ya?” Mbak Winda terburu-buru berjalan dari kamarnya dan menghampiriku yang tengah berada di ruang tengah. Aku sedang menemani Mas Hafid sarapan di ruang tengah sambil menonton televisi.
Dia menyimpan Bian ke pangkuanku sambil tergesa ke belakang. Mau mandi lagi mungkin? Maafkan aku, Mbak … pakaian kamu sama Mas Ardi ‘kan waktu itu kan hanya kurendam dengan pewangi. Aku hanya mencuci kembali pakaian Bian dan Hasan karena tidak tega jika anak kecil harus gatal-gatal juga.
Bian memainkan kepala Mesya anakku. Sudah kebiasaan bocah itu memainkan rambut Mesya jika sedang bermain bersamanya. Mesya yang baru bisa miring-miring itu berusaha meraih tangan Bian yang sejak tadi mengusili rambutnya. Senang jika melihat mereka akur seperti itu. Namun sayang, aku sama ibunya Bian tidak pernah damai.
“Eh, Mia! Kamu ‘kan yang tempo hari nyuciin pakaian, Mbak, ya?” Dia datang dari kamar mandi sepertinya habis mandi lagi. Kebiasaan banget kalau habis mandi masuk ke dalam rumah hanya memakai lilitan handuk. Untung Mas Hafid adik kandungnya. Coba kalau ada lelaki lain di rumah ini.
“Kenapa gitu, Mbak?” tanyaku menatap polos padanya.
“Ini pasti kamu nyuci gak bersih nih? Lihat tuh kulit Mbak sampai merah-merah!” gerutunya. Kulit Mbak Winda memang agak sensitive setahuku. Mungkin masih ada sisa detergen pada pakaiannya.
“Aku nyuci kayak biasa, buktinya tuh lihat Bian sama Hasan gak kenapa-kenapa, lagian sudah dibilang jangan nitip aku, kok, maksa! Mungkin bajunya juga gak rela dicuciin aku, Mbak!” jawabku santai.
Mas Hafid sesekali melirik padaku. Namun dia terus menyuap nasi goreng yang sudah kubuat tadi.
“Hari ini Mbak nitip cucian lagi, awas, ya! Kalau sampai Mbak gatal-gatal lagi, Mbak tuntut kamu!” hardiknya sambil melotot. Dia berjalan sambil membanting pintu dan masuk ke dalam kamar.
Aku menghela napas. Kulanjutkan menyuapi Mpasi Mesya. Anakku ini baru sedang Mpasi pertama.
“Kalian kok berantem mulu, Dek!” tukas Mas Hafid sambil meneguk kopi yang kubuat.
“Ya, habisnya, Mas … Mbak Winda itu keterlaluan! Masa nitip nyuci ke aku sampai pakaian dalam dia sama Mas Ardi juga. Aku ‘kan risih, Mas! Sudah gitu, sebenernya dia juga masih ada waktu, Mas! Masuk kerjanya jam sepuluh pagi, kok! Lagian dia ‘kan cuma bagian kasir juga di rumah makan itu! Ya, pasti gak capek-capek banget! Ini semua urusan rumah tangga nya diserahkan padaku, nyuapin Bian, ngasih makan Hasan, kalau masak sih gak apa sekalian!” tukasku sambil menghela napas.
“Jangan keseringan berantem, kasihan Ibu! Dia sudah tua, nanti jadi banyak pikiran,” ucap suamiku.
“Iya, Mas!” ucapku pada akhirnya.
Mas Hafid berangkat dengan mengendarai sepeda motor milik kami. Beruntung waktu sebelum habis kontrak sudah memiliki sepeda motor, jadi setidaknya untuk ke sana ke sini masih ada kendaraan. Pernah aku menyuruhnya menjadi pengemudi online, akan tetapi untuk sepeda motornya tidak masuk kriteria, ternyata harus yang baru. Tidak bisa sepeda motor tua seperti itu.
Mas Hafid itu terlalu baik. Dia itu bekerja dari sebelum menikah. Namun uangnya habis untuk menanggung kebutuhan rumah tangga. Waktu itu Mbak Winda sambil kursus katanya. Kursus kelas pagi karena kebetulan untuk diangkat jadi penjaga kasir minimalnya harus SMA plus, jadi urusan kebutuhan rumah jadi tanggung jawab Mas Hafid Semua. Dia memang sudah bekerja di rumah makan itu dari lajang dan belum berhenti sampai sekarang.
Suami Mbak Winda juga hanya buruh pabrik seperti Mas Hafid dulu. Cuma dia beruntung sudah karyawan tetap, jadi setidaknya sudah aman sampai pensiun nanti.
“Bruk!”
Aku sampai terkejut ketika Mbak Winda melempar pakaian yang kemarin kucuci ke wajahku. Dia mencaci habis-habisan.
“Ini kamu cuci ulang, semuanya! Mbak gak mau tahu, sepertinya semua ini gak bersih … kulit Mbak gatal-gatal semua walau sudah berganti pakaian!” ucapnya sambil berkacak pinggang.
Aku meraih Mesya yang tertimpa pakaian itu. Makanan Mpasi Mesya pun tumpah dibuatnya.
“Jadi orang miskin itu harus pandai menitipkan diri! Untung coba kamu dinikahi Hafid dan bisa tinggal di sini! Coba kalau nikahnya sama orang yang tidak punya rumah juga! Kalian sudah tinggal di kolong jembatan mungkin!” hardiknya.
Selalu saja mengungkit tentang aku yang menumpang. Padahal ini ‘kan rumah ibunya Mas Hafid juga.
“Kamu itu jangan sok ngarep ketinggian! Ibu kamu saja sekarang hanya pembantu ‘kan? Kamu sendiri hanya anak terlantar yang dititipkan di tempat pamanmu! Jadi jangan berharap datang ke sini terus jadi nyonya rumah! Duduk dan ongkang-ongkang kaki!” bentaknya lagi.
Hati ini selalu sakit setiap kali dia mengungkit pekerjaan Ibuku yang hanya seorang ART di kota. Memang apa yang salah dengan pekerjaan sebagai pembantu? Toh itu halal juga. Tidak merugikan siapapun.
Ya, aku memang sudah tidak memiliki rumah karena rumah panggung peninggalan ayah sudah lapuk termakan usia. Tanahnya sudah ibu jual karena waktu aku dititip di rumah paman, aku masih sekolah SMA. Paman meminta uang biaya karena akan merawat aku di sana. Padahal aku pun di rumahnya sudah seperti pembantu juga. Dari shubuh sudah mengerjakan pekerjaan rumah, mencuci, memasak sarapan, nyuci piring. Pulang sekolah lanjut memasak untuk sore lalu menyetrika. Selebihnya waktuku untuk membersihkan rumahnya. Kadang belajar hanya punya sedikit waktu.
Awalnya sangat bahagia ketika dinikahi Mas Hafid dan keluar dari rumah Paman dan Bibi. Namun kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar. Mas Hafid malah di PHK kerjanya.
Aku membuang napas kasar. Keinginanku untuk sukses semakin besar.
“Silakan, Mbak hina aku sepuasnya sekarang! Silakan Mbak ungkit terus latar belakang keluargaku yang kamu anggap hina! Akan ada waktunya aku tunjukkan pada ,Mbak … aku bisa memiliki rumah sendiri juga! Aku tidak akan menumpang lagi di sini bertahun-tahun lamanya seperti, Mbak!” tukasku dengan penuh penekanan.
“Ngimpi kamu, ya, Mia! Pagi-pagi sudah ngelantur! Masih berani juga ngatain aku numpang! Ini rumah ibuku, sejak kecil aku dibesarkan di sini!” ucapnya sambil berkacak pinggang.
“Ini juga rumah ibunya Mas Hafid, sejak kecil dia juga dibesarkan di sini!” balasku tidak mau kalah.
“Lancang banget kamu, ya, sekarang! Awas saja kalau masih berani ikut makan rejeki saya!” ucapnya dengan jumawa.
“Enggak kebalik, Mbak! Asal Mbak tahu, nasi goreng yang pagi ini kubuat untuk sarapan juga hasil keringat Mas Hafid jaga parkiran! Kalau Mbak memang mau memisahkan semuanya! Silakan Mbak masak sendiri! Jangan makan masakanku! Karena mulai hari itu di mana Mbak bilang tidak boleh memakan rizki milik, Mbak! Aku tidak pernah lagi menyentuh bahan sembako yang Mbak beli … lihat saja semuanya masih utuh dalam lemari! Jadi mulai hari ini, silakan Mbak masak sendiri kalau gitu!” ucapku yang sudah terlanjur kesal.
Dia melengos pergi. Padahal kerjanya mulai jam sepuluh pagi, tetapi pukul delapan sudah berangkat. Menyisakkan Bian yang kini mulai merengek karena lapar. Kuusap pucuk kepala anak lelaki berusia lima belas bulan itu. Dia menatap penuh minat pada makanan mpasi milik Mesya.“Mamam … mamam …,” ucapnya polos.“Iya, Mas Bian nanti Tante buatin mamam, ya! Diam di sini dulu, ya!” ucapku sambil memberinya mainan. Kugendong Mesya ke dapur dan mencari makanan untuk Bian. Ada satu rak berisi makanan bayi dan susu formula yang Mbak Winda khususkan hanya untuk Bian.“Mia, itu kok di ruang tengah berantakan banget pakaian? Punya siapa?” Tanpa kukira, ibu mertuaku muncul dari dalam.“Eh, Ibu sudah pulang?” tanyaku sambil tersenyum. Sementara itu, tanganku mengaduk makanan untuk Bian.“Iya, sudah! Ini Ibu beli sayur juga sekalian! Kamu lagi buatin makanan Mesya?” tanyanya sambil meletakkan kantung belanja pada meja di dapur.“Ini buat Bian, Bu! Biasa Mbak Winda sudah pergi, gak kasih makan dulu, pada
“Alesan mulu kamu itu, ya! Dasar ipar miskin!” hardiknya. Disambung dengan terputusnya panggilan telepen dari seberang sana.Nyesss!Ada rasa nyeri dalam dada ini. Padahal kurang baik apa aku padanya selama ini? Mungkin karena sudah keseringan ngalah dan nurut akhirnya dia jadi merasa di atas angin. Padahal awalnya aku seperti itu karena aku merasa orang baru di rumah ini. Aku berusaha menyesuaikan diri dengan keluarga dari suamiku.Aku memberikan kembali gawai milik orang Bank keliling yang masih menunggu itu. Dia menatapku penuh harap.“Gimana, Mbak?” tanyanya. Menyebalkan memang.Aku hanya mengedik tanpa menjawab sepatah katapun. Berjalan ke dalam dan menyimpan paketan milik Mbak Winda di atas meja tivi. Lalu kembali ke dapur dan memasak untukku dan ibu. Ya, mulai hari ini aku sudah mendeklarasikan jika tidak akan memasak untuk Mbak Winda. Jadi masakan ini hanya untukku dan ibu.Namun tetap saja, jika Hasan merengek minta makan, aku pun tidak tega juga. Masa kesal sama orang tuanya
Menjelang ashar aku keluar dari kamar. Cucian milik Mbak Winda tampak menggunung di sofa ruang tengah. Sepertinya dia sudah angkatin pakaian yang hanya kujemur saja itu.Suasana di ruang tengah sepi. Padahal aku mau menitipkan Mesya dulu pada Ibu sebentar. Jika Mesya sudah bangun, aku gak bisa ngapa-ngapain soalnya. Aku akan menyiapkan masakan untuk sore nanti. Mungkin ibu sedang membawa main kedua cucunya ke rumah tetangga.Aku kembali lagi ke kamar dan menggendong Mesya pada akhirnya. Belum sempat lagi aku pergi ke dapur terdengar orang yang memanggil dari teras.“Permisi! Go food, Mbak!” pekiknya.Aku membukakan pintu. Tampak seorang pengemudi ojek online tengah menenteng beberapa box makanan.“Cari siapa, Pak?” tanyaku.“Ini, Mbak … dari go food! Anter pizza!” ucapnya.“Atas nama siapa, Pak?” tanyaku lagi, tidak merasa memesan makanan langka itu. Ya, langka bagiku yang kondisi kantong pas-pasan. Sayang duitnya kalau membeli makanan mahal seperti itu.“Eh, itu pizza atas nama Winda
Namun alangkah kagetnya aku, ketika dari kejauhan tampak Mas Hafid tengah dihajar oleh dua orang. Tubuhnya terhuyung membentur trotoar.“Mas Hafid!” pekikku sambil berlari memburunya.Kedua lelaki itu melepaskan Mas Hafid ketika melihatku berjalan tergopoh memburu ke arahnya. Kupegang luka yang ada pada sudut bibirnya.“Ya Allah, Mas … kamu ada masalah apa sama mereka?”Aku meraih tangannya dan membantunya untuk bangun. Kulirik sekilas pada dua orang yang tengah berjalan menjauh itu.“Biasa, Mi … rebutan wilayah! Kebetulan Bang Azhar lagi ada urusan, jadi dia leluasa melampiaskan kekesalan pada kita-kita yang ada di lapangan!”“Kita beli obat luka saja ke apotek kalau gitu, Mas! Mau ke dokter uangnya juga gak ada. Ini Mesya saja panas. Aku cuma punya uang tiga puluh ribu, Mas. Tadinya ke sini mau minta tambah sama kamu.”Tidak terasa ada yang menggenang pada pelupuk mataku. Rasa sedih menyeruak memaksa butiran bening ini berjatuhan perlahan.“Astagfirulloh, Mesya panas, Mi? Mas gak pu
[Trx.Rek 11011332212354320211015:22 xxx21277 Rp. 5.000.000,- 10.10.202115.01.32]“Alhamdulilah, Mas!” pekikku pelan.Kutatap deretan angka itu dengan mata lebar-lebar. Seumur hidup baru merasakan punya penghasilan sendiri, rasanya luar biasa banget.“Kenapa?”Mas Hafid yang sudah bersandar pada dipan di samping Mesya melihat heran ke arahku. Aku berjalan mendekat dan menunjukkan sms banking yang ada di tanganku. “Mas, ini lihat uang komisiku sudah masuk! Besok kita bisa ke dokter, Mas! Kita periksa luka kamu dan beli obat yang bagus! Mesya juga,” ucapku sambil menyeka sudut mata yang tiba-tiba menghangat.Disaat kami sedang kesulitan. Rasanya bahagia banget melihat sejumlah uang yang kini sedang kubutuhkan. “Mas sudah baikan, gak usah ke dokter lagi! Uangnya simpan saja pakai buat kebutuhan kita! Takut-takut Mas lagi gak dapet pemasukan di parkiran!” ucapnya. “Empat jutanya mau aku belikan cincin saja kalau gitu, Mas! Bisa dapet dua, jadi itung-itung nyimpen … nanti kalau dapat ko
Baru saja aku membuka pintu lemari es dan hendak menata sayuran milikku. Terdengar suara lantang Mbak Winda. “Eh, Mia! Mulai hari ini, kamu jangan sentuh kulkas milik saya! Simpan saja sayuranmu di luar biar pada busuk sekalipun Mbak gak peduli!” Astagfirulloh! Aku mengelus dada. Lalu menoleh padanya yang berdiri beberapa langkah dari tempatku. “Mbak Winda, ini sayuran juga aku simpan buat makan Ibunya Mbak Winda juga! Jadi orang jangan pelit amet, Mbak! Nanti kena karma! Lagian aku yang bayar listriknya!” ketusku sambil menatapnya kesal. Ya, aku tidak suka diperlakukan semena-mena olehnya. Meskipun berulang kali Mas Hafid selalu menasihatiku untuk mengalah. Malu katanya ribut terus. Rasanya keterlaluan sekali sikapnya, susah sekali aku mengimbanginya.Dia melirik sinis ke arah dua cincin baru yang melingkar di jemariku. Lalu dengan wajah angkuhnya dia berkata. “Beli cincin saja mampu, masa beli kulkas gak bisa! Atau jangan-jangan kamu cuma beli cincin imitasi biar kelihatan kere
“A Hafidnya ada, Mbak?” Lagi-lagi dia mengulang pertanyaannya. Aku mengangguk. “Suamiku lagi sakit, ada perlu apa, Mbak?” tanyaku datar. “Ini, saya hanya mau mengantarkan bingkisan sedikit buat dia, Mbak!” ucapnya sambil mengulurkan tentengan yang berisi makanan. Aku tidak serta merta menerimanya, kubiarkan tangannya menggantung saja. “Mbak ini siapanya suami saya?” tanyaku masih menatap lekat. Wajah menor dan rambut pirang itu masih berada di depanku. “Saya hanya temannya Mbak Winda, Mbak! Dia ada mengabarkan kalau A Hafid lagi sakit. Ini Mbak Mia 'kan? Mbak Mia gak mau nyuruh saya masuk ke dalam dulu, Mbak? Tamu ‘kan harus dihormati!” tukasnya dengan penuh percaya diri. Haish, yang tuan rumah siapa? Yang tamu siapa? “Mia siapa? Ada tamu?” terdengar suara ibu mertuaku dari dalam.“Iya, Bu!” tukasku setengah enggan. Malas menyuruh wanita dengan gaya selangit itu untuk masuk.“Suruh masuk dulu, masa tamu didiemin di luar!” Suara Ibu Mertuaku membuat senyum pada bibir wanita itu
"Mia! Mia!” “Mia! Mia!” Aku menoleh ke asal suara. Mbak Winda dan Mbak Wilda tampak sudah datang dan berada di belakangku yang tengah menyiapkan makan malam. Mas Hafid sedang berada di kamar menjaga Mesya yang memang tadi belum tidur. Bruk!Aku belum bersiap ketika Mbak Winda mendorongku. Dia melotot penuh amarah ke arahku. Mbak Wilda berdiri di sampingnya sambil melipat tangan di dada. Aku berusaha kembali bangkit. Ada rasa ngilu pada siku yang kupakai untuk menopang tubuhku tadi. Kutatap kedua kakak beradik itu satu persatu.“Ada apa, sih, Mbak? Salahku apa?!” “Kamu masih bertanya salah kamu apa, hah?!” Mbak Winda maju kembali dan hendak menoyor kepalaku. Namun dengan sigap kutepis. Enak saja, dikira ini kepala gak ada harganya apa?Namun ternyata aku lengah pada sisi lainnya, bagaimanapun dua lawan satu.Byurr!Tanpa kusangka, Mbak Wilda kali ini menyiramkan air dari teko yang ada di meja makan ke arahku. Basah sebagian pakaianku. Astagaaaa! Beraninya main keroyokan ternyata.