공유

Bab 2

작가: Evie Yuzuma
last update 최신 업데이트: 2022-06-24 09:41:06

“Mia … Mia … tolong jagain dulu Bian! Mbak kok gatel-gatel gini, ya?” Mbak Winda terburu-buru berjalan dari kamarnya dan menghampiriku yang tengah berada di ruang tengah. Aku sedang menemani Mas Hafid sarapan di ruang tengah sambil menonton televisi.

Dia menyimpan Bian ke pangkuanku sambil tergesa ke belakang. Mau mandi lagi mungkin? Maafkan aku, Mbak … pakaian kamu sama Mas Ardi ‘kan waktu itu kan hanya kurendam dengan pewangi. Aku hanya mencuci kembali pakaian Bian dan Hasan karena tidak tega jika anak kecil harus gatal-gatal juga.

Bian memainkan kepala Mesya anakku. Sudah kebiasaan bocah itu memainkan rambut Mesya jika sedang bermain bersamanya. Mesya yang baru bisa miring-miring itu berusaha meraih tangan Bian yang sejak tadi mengusili rambutnya. Senang jika melihat mereka akur seperti itu. Namun sayang, aku sama ibunya Bian tidak pernah damai.

“Eh, Mia! Kamu ‘kan yang tempo hari nyuciin pakaian, Mbak, ya?” Dia datang dari kamar mandi sepertinya habis mandi lagi. Kebiasaan banget kalau habis mandi masuk ke dalam rumah hanya memakai lilitan handuk. Untung Mas Hafid adik kandungnya. Coba kalau ada lelaki lain di rumah ini.

“Kenapa gitu, Mbak?” tanyaku menatap polos padanya.

“Ini pasti kamu nyuci gak bersih nih? Lihat tuh kulit Mbak sampai merah-merah!” gerutunya. Kulit Mbak Winda memang agak sensitive setahuku. Mungkin masih ada sisa detergen pada pakaiannya.

“Aku nyuci kayak biasa, buktinya tuh lihat Bian sama Hasan gak kenapa-kenapa, lagian sudah dibilang jangan nitip aku, kok, maksa! Mungkin bajunya juga gak rela dicuciin aku, Mbak!” jawabku santai.

Mas Hafid sesekali melirik padaku. Namun dia terus menyuap nasi goreng yang sudah kubuat tadi.

“Hari ini Mbak nitip cucian lagi, awas, ya! Kalau sampai Mbak gatal-gatal lagi, Mbak tuntut kamu!” hardiknya sambil melotot. Dia berjalan sambil membanting pintu dan masuk ke dalam kamar.

Aku menghela napas. Kulanjutkan menyuapi Mpasi Mesya. Anakku ini baru sedang Mpasi pertama.

“Kalian kok berantem mulu, Dek!” tukas Mas Hafid sambil meneguk kopi yang kubuat.

“Ya, habisnya, Mas … Mbak Winda itu keterlaluan! Masa nitip nyuci ke aku sampai pakaian dalam dia sama Mas Ardi juga. Aku ‘kan risih, Mas! Sudah gitu, sebenernya dia juga masih ada waktu, Mas! Masuk kerjanya jam sepuluh pagi, kok! Lagian dia ‘kan cuma bagian kasir juga di rumah makan itu! Ya, pasti gak capek-capek banget! Ini semua urusan rumah tangga nya diserahkan padaku, nyuapin Bian, ngasih makan Hasan, kalau masak sih gak apa sekalian!” tukasku sambil menghela napas.

“Jangan keseringan berantem, kasihan Ibu! Dia sudah tua, nanti jadi banyak pikiran,” ucap suamiku.

“Iya, Mas!” ucapku pada akhirnya.

Mas Hafid berangkat dengan mengendarai sepeda motor milik kami. Beruntung waktu sebelum habis kontrak sudah memiliki sepeda motor, jadi setidaknya untuk ke sana ke sini masih ada kendaraan. Pernah aku menyuruhnya menjadi pengemudi online, akan tetapi untuk sepeda motornya tidak masuk kriteria, ternyata harus yang baru. Tidak bisa sepeda motor tua seperti itu.

Mas Hafid itu terlalu baik. Dia itu bekerja dari sebelum menikah. Namun uangnya habis untuk menanggung kebutuhan rumah tangga. Waktu itu Mbak Winda sambil kursus katanya. Kursus kelas pagi karena kebetulan untuk diangkat jadi penjaga kasir minimalnya harus SMA plus, jadi urusan kebutuhan rumah jadi tanggung jawab Mas Hafid Semua. Dia memang sudah bekerja di rumah makan itu dari lajang dan belum berhenti sampai sekarang.

Suami Mbak Winda juga hanya buruh pabrik seperti Mas Hafid dulu. Cuma dia beruntung sudah karyawan tetap, jadi setidaknya sudah aman sampai pensiun nanti.

“Bruk!”

Aku sampai terkejut ketika Mbak Winda melempar pakaian yang kemarin kucuci ke wajahku. Dia mencaci habis-habisan.

“Ini kamu cuci ulang, semuanya! Mbak gak mau tahu, sepertinya semua ini gak bersih … kulit Mbak gatal-gatal semua walau sudah berganti pakaian!” ucapnya sambil berkacak pinggang.

Aku meraih Mesya yang tertimpa pakaian itu. Makanan Mpasi Mesya pun tumpah dibuatnya.

“Jadi orang miskin itu harus pandai menitipkan diri! Untung coba kamu dinikahi Hafid dan bisa tinggal di sini! Coba kalau nikahnya sama orang yang tidak punya rumah juga! Kalian sudah tinggal di kolong jembatan mungkin!” hardiknya.

Selalu saja mengungkit tentang aku yang menumpang. Padahal ini ‘kan rumah ibunya Mas Hafid juga.

“Kamu itu jangan sok ngarep ketinggian! Ibu kamu saja sekarang hanya pembantu ‘kan? Kamu sendiri hanya anak terlantar yang dititipkan di tempat pamanmu! Jadi jangan berharap datang ke sini terus jadi nyonya rumah! Duduk dan ongkang-ongkang kaki!” bentaknya lagi.

Hati ini selalu sakit setiap kali dia mengungkit pekerjaan Ibuku yang hanya seorang ART di kota. Memang apa yang salah dengan pekerjaan sebagai pembantu? Toh itu halal juga. Tidak merugikan siapapun.

Ya, aku memang sudah tidak memiliki rumah karena rumah panggung peninggalan ayah sudah lapuk termakan usia. Tanahnya sudah ibu jual karena waktu aku dititip di rumah paman, aku masih sekolah SMA. Paman meminta uang biaya karena akan merawat aku di sana. Padahal aku pun di rumahnya sudah seperti pembantu juga. Dari shubuh sudah mengerjakan pekerjaan rumah, mencuci, memasak sarapan, nyuci piring. Pulang sekolah lanjut memasak untuk sore lalu menyetrika. Selebihnya waktuku untuk membersihkan rumahnya. Kadang belajar hanya punya sedikit waktu.

Awalnya sangat bahagia ketika dinikahi Mas Hafid dan keluar dari rumah Paman dan Bibi. Namun kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar. Mas Hafid malah di PHK kerjanya.

Aku membuang napas kasar. Keinginanku untuk sukses semakin besar.

“Silakan, Mbak hina aku sepuasnya sekarang! Silakan Mbak ungkit terus latar belakang keluargaku yang kamu anggap hina! Akan ada waktunya aku tunjukkan pada ,Mbak … aku bisa memiliki rumah sendiri juga! Aku tidak akan menumpang lagi di sini bertahun-tahun lamanya seperti, Mbak!” tukasku dengan penuh penekanan.

“Ngimpi kamu, ya, Mia! Pagi-pagi sudah ngelantur! Masih berani juga ngatain aku numpang! Ini rumah ibuku, sejak kecil aku dibesarkan di sini!” ucapnya sambil berkacak pinggang.

“Ini juga rumah ibunya Mas Hafid, sejak kecil dia juga dibesarkan di sini!” balasku tidak mau kalah.

“Lancang banget kamu, ya, sekarang! Awas saja kalau masih berani ikut makan rejeki saya!” ucapnya dengan jumawa.

“Enggak kebalik, Mbak! Asal Mbak tahu, nasi goreng yang pagi ini kubuat untuk sarapan juga hasil keringat Mas Hafid jaga parkiran! Kalau Mbak memang mau memisahkan semuanya! Silakan Mbak masak sendiri! Jangan makan masakanku! Karena mulai hari itu di mana Mbak bilang tidak boleh memakan rizki milik, Mbak! Aku tidak pernah lagi menyentuh bahan sembako yang Mbak beli … lihat saja semuanya masih utuh dalam lemari! Jadi mulai hari ini, silakan Mbak masak sendiri kalau gitu!” ucapku yang sudah terlanjur kesal.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 37 - End

    Istri Mas Akim yang sedang menunggu di kontrakan akhirnya mencari tahu keberadaan Mas Akim yang tidak pulang-pulang hingga pagi. Dia bertanya pada tetangga kontrakan tentang alamat kontrakan Teta. Namun semua tidak ada yang tahu. Via mencoba menghubungi ponsel Mas Akim juga tapi tidak ada yang mengangkatnya. Hingga pada pukul sepuluh pagi, ada seseorang yang mengetuk pintu. Ternyata pemilik kontrakan. Via langsung mendadak lemas ketika mendapat kabar dari pemilik kontrakan jika Mas Akim ditemukan tewas bersama Teta di kontrakan perempuan itu.Via---perempuan yang dibodohi cinta, akhirnya membawa pulang jenazah suami yang telah berkhianat itu. Tetap saja dia menangis histeris. Terlebih selama ini dia tidak tahu kelakuan Mas Akim di rantau. Baginya Mas Akim adalah suami baik dan bertanggung jawab. Hanya hari itu saja dia memergoki bersama Teta. Kehidupan Via sebetulnya terselamatkan. Mas Akim tidak bisa lagi melaksanakan niat busuknya untuk menguasai warisan Via dari orang tuanya. Nam

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 36

    Teta beberapa kali menciumi pipi Mas Akim. Sudah tidak sabar mereka akan melaksanakan rutinitas yang menyenangkan di dalam kontrakan Mas Akim. Terlebih baru saja mereka mendapatkan beberapa bungkus barang haram yang mereka candukan. Cup!Cup! Cup!Beberapa kali Teta mencium pipi lelaki berambut plontos itu ketika sepeda motor yang mereka tumpangi berhenti. Tangan Teta yang melingkar pada perut Mas Akim tak jua dilepasnya. “Sayang! Lepas, dong! Katanya mau buru-buru?” bisik Mas Akim sambil membelai pipi Teta. “Habisnya nyaman kalau peluk kamu, tuh!” ucap Teta sambil melepas pelukannya lalu turun dari sepeda motor. Begitu pun Mas Akim. Keduanya baru saja hendak membuka pintu kontrakan ketika terdengar ada suara yang memekik dari arah jalan.“Mas!” Suara seorang wanita memekik.Mas Akim dan Teta menoleh. Ada seorang wanita yang tampak memandang nyalang pada Mas Akim. Perempuan itu mendekat. Lalu menatap lekat wajah Teta yang memang masih terbilang muda itu dengan penuh kebencian. Pl

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 35

    Mia menatap Mesya dan Lili yang tengah berlarian di taman depan. Fasilitas umum yang baru selesai dibangun oleh developer ini cukup efektif. Keduanya berteman semakin dekat semenjak Lili resmi diadopsi menjadi anak dari keluarga Mbak Nindi. Mendengar cerita Mia saat pulang dari panti waktu itu, Mbak Nindi langsung tertarik dengan sosok Lili. Setelah semua dokumen selesai diurus, akhirnya Lili kini resmi menjadi putri dari keluarganya. Mia dan Mbak Nindi tengah duduk di tepi lapang sambil memakan rujak petis. Mangga muda yang dibawa Mbak Nindi benar-benar segar. Meskipun hari sudah menjelang sore, akan tetapi rujak ini masih cukup bersahabat untuk dinikmati.Kini Mia lebih banyak memiliki waktu luang, semenjak Hafid meminta untuk tidak terlalu capek, Mia sudah membayar satu orang admin virtual untuk mengurusi setiap cabuy yang bertanya tentang property. Warteg dan catering akikah, sudah ada yang jaga juga. Jadi Mia hanya sesekali mengecheck mereka saja.Sore itu, Mia tengah menunggu H

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 34

    “Astagfirulloh, Mas! Itu kok mirip banget sama Mbak Winda, Mas?” gumam Mia sambil menatap para pelaku yang tengah digiring oleh pihak kepolisian. Hafid menoleh pada layar kaca. Begitupun Bu Romsih yang tengah bermain dengan Mesya. Keduanya memekik bersama. Benar, wajah dalam layar kaca itu sangat mirip sekali dengan Mbak Winda. Namun masa iya, Mbak Winda berada di Batam? Mia mencoba mencari tahu kontak stasiun televisi yang menayangkan berita itu. Dia hanya ingin mendapatkan kabar tentang para pelaku yang dibekuk tersebut. Namun ternyata Mia cukup kesulitan. Sambungan terhubung akan tetapi tidak juga ada yang mengangkat. “Apakah Mbak Winda ada yang menjual ke luar pulau, ya, Mas? Makanya dia gak balik-balik ke sini?” bisik Mia pada Hafid.“Astaghfirulloh, Dek! Apa iya, ya? Mas gak kepikiran kesitu, ya?” Hafid terpekik mendengar penuturan Mia. Bu Romsih tiba-tiba terisak. Usianya yang semakin renta membuat perasaannya semakin sensitif. Terlebih dia kembali teringat pada Putri---cuc

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 33

    Bu Romsih sudah menangis sejak semalam. Sepulang dari tempat kerja, Mbak Winda membawa paksa Putri. Alasannya mau dibawa ke dokter. Namun hingga pagi, Mbak Winda gak bisa dihubungi dan keberadaan Putri tidak diketahui. “Ibu kenapa juga ngasihin si Putri malem-malem dibawa Winda! Sudah jelas selama ini dia gak sayang sama anaknya itu!” Mbak Wilda malah menyalahkan Bu Romsih atas kehilangan bayi tersebut. Bu Romsih yang sejak malam menangis itu makin tersedu. Dia merasa sangat bersalah ketika tak mendapat kabar dari Mbak Winda. Hafid dan Mia baru saja tiba. Keduanya langsung masuk ke dalam rumah. Mas Kama sudah berangkat kerja. Hanya ada Bu Romsih dan Mbak Wilda di sana. “Putri belum ditemukan juga, Bu?” Hafid memburu Bu Romsih dengan pertanyaan. Wanita sepuh itu menggeleng sambil terisak. “Aku juga coba hubungi Mbak Winda berkali-kali tapi gak aktif. Nanti aku coba ke tempat kerjanya.” Hafid berusaha menenangkan. Mbak Wilda menatap sinis pada Hafid. Lalu melirik ke arah Mia. “Ka

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 32

    “Mbak ngapain pagi-pagi ke sini?” Teta menyipit menatap Mbak Winda.“Aku mau barang itu, Ta!” Mbak Winda mendorong daun pintu yang Teta masih tahan. Namun sontak matanya membulat melihat sosok lelaki yang tengah terbaring di atas tempat tidur Teta. “Mas Akim?!” pekik Mbak Winda sambil berpegangan pada daun pintu. Kakinya mendadak gemetar. Hatinya berdentum-dentum hebat. Lelaki bertelanjang dada tersebut tampak kaget. Dia meraih kaosnya yang tergeletak lalu mengenakannya dengan cepat. Sementara itu, Mbak Winda berjalan cepat mendekat.Plak!Plak! Plak! Tamparan bertubi-tubi dihadiahkannya pada kedua pipi Mas Akim. Air mata Mbak Winda mengalir tak tertahan. Sedih, benci, marah bercampur kecewa membaur menjadi sesak. “Balikin uang aku, Mas! Balikin semuanya!” hardik Mbak Winda sambil mendorong tubuh lelaki yang baru saja hendak bangun itu. Tubuh Mas Akim terhuyung ke belakang karena tidak menyangka mendapatkan serangan dadakan sekuat tenaga dari Mbak Winda.Mbak Winda maju lagi mera

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status