Share

Bab 3

Author: Evie Yuzuma
last update Last Updated: 2022-06-24 09:41:28

Dia melengos pergi. Padahal kerjanya mulai jam sepuluh pagi, tetapi pukul delapan sudah berangkat. Menyisakkan Bian yang kini mulai merengek karena lapar. Kuusap pucuk kepala anak lelaki berusia lima belas bulan itu. Dia menatap penuh minat pada makanan mpasi milik Mesya.

“Mamam … mamam …,” ucapnya polos.

“Iya, Mas Bian nanti Tante buatin mamam, ya! Diam di sini dulu, ya!” ucapku sambil memberinya mainan. Kugendong Mesya ke dapur dan mencari makanan untuk Bian. Ada satu rak berisi makanan bayi dan susu formula yang Mbak Winda khususkan hanya untuk Bian.

“Mia, itu kok di ruang tengah berantakan banget pakaian? Punya siapa?” Tanpa kukira, ibu mertuaku muncul dari dalam.

“Eh, Ibu sudah pulang?” tanyaku sambil tersenyum. Sementara itu, tanganku mengaduk makanan untuk Bian.

“Iya, sudah! Ini Ibu beli sayur juga sekalian! Kamu lagi buatin makanan Mesya?” tanyanya sambil meletakkan kantung belanja pada meja di dapur.

“Ini buat Bian, Bu! Biasa Mbak Winda sudah pergi, gak kasih makan dulu, padahal Bian sudah kelaperan sepertinya,” ucapku.

“Ya sudah biar ibu saja yang suapi, kamu tidurkan dulu Mesya terus siangi sayur,” ucapnya.

“Iya, Bu!” jawabku.

Aku memberikan mangkuk berisi makanan Bian yang sudah kesuduh. Lalu ke dalam sebentar mengumpulkan pakaian Mbak Winda yang berantakan. Kumasukkan ke dalam keranjang lalu kubawa kedepan dan langsung kujemur saja. Eits, kok gak dicuci lagi? Jawabannya adalah gak perlu karena apa? Karena kemarin sudah kucuci.

Lalu lanjut aku menidurkan Mesya dan meninabobokannya.

“Tante, aku lapar!” Hasan yang baru keluar dari dalam kamarnya menghampiriku.

Aku mengisyaratkan agar anak berusia lima tahun itu diam. Namun menyebalkan memang Hasan malah merengek sambil menangis di tepi Mesya. Alhasil semuanya berantakan. Aku menggendong Mesya kembali lalu mengambilkan nasi goreng di dapur dan menyimpannya di depan Hasan. Kuputarkan televisi agar anak itu makan sambil nonton tivi.

“Hasan makannya sambil diam, ya! Jangan lari-lari … Tante mau menidurkan Dedek Mesya, jangan berisik!” titahku.

Anak itu mengangguk. Aku mengusap pucuk kepalanya. Ada rasa iba pada kedua anak Mbak Winda yang tampaknya kesepian itu. Bagaimana tidak, setiap hari Mbak Winda selalu abai pada mereka. Bahkan Bian sering sekali ikut tidur di kamarku karena kadang Mbak Winda pulang larut.

Aku menidurkan Mesya sambil membacakan shalawat nabi agar dia tenang. Alhamdulilah akhirnya dia terlelap juga. Lalu kupergi ke dapur dan menyiangi sayuran yang tadi dibawa ibu.

“Paket! Paket, Mbak!” Terdengar dari luar suara tukang paket yang berteriak.

Aku bergegas ke depan, melewati Ibu yang sedang menunggui cucu-cucunya di ruang tengah. Dia sedang mengajak Bian bermain dan memperhatikan Hasan yang tengah asik makan.

“Atas nama Winda Sulistiawati, Mbak!” ucapnya sambil menyodorkan bungkusan paketan itu.

“Oh, makasih, ya, Mas!” Aku menerimanya. Mengulas senyum dan mengangguk pada lelaki itu.

“Bayar, Mbak! Ini COD!” ucapnya tanpa kusangka.

“Bayar?” Aku membuang napas kasar.

“Mas, bisa langsung sama orangnya saja nanti, gak?” Aku mengulurkan kembali barang itu.

“Aduh, Mbak … bisa tolong bantu ringankan pekerjaan saya? Sudah seharian muter nyari-nyari alamat, masa giliran ketemu malah gak diterima, cuma lima puluh ribu kok, Mbak!” ucapnya memelas.

Aku akhirnya tidak tega dengan wajahnya yang tampak kelelahan. Meski dengan enggan, akhirnya aku melangkah masuk ke dalam dan mengambil uang yang kusimpan. Ya, setiap hari aku menyisihkan lima ribu rupiah dari hasil Mas Hafid jaga parkiran. Lima puluh ribu itu uang yang sudah sepuluh hari kukumpulkan.

“Ini, Mas!” Aku memberikan uang itu pada tukang paket.

“Makasih, Mbak! Semoga semua urusan Mbaknya juga dimudahkan, maaf ya, Mbak!” ujarnya tampak tidak enak.

Aku mengangguk sambil mengulum senyum. Sebetulnya malas kalau menalangi paket COD miliknya itu. Yang satu bulan lalu pun belum dia ganti padaku. Padahal cuma tiga puluh ribu. Waktu itu dia membeli lipstick online kalau gak salah. Namun meskipun bagi Mbak Winda itu kecil, bagiku itu uang yang kukumpulkan selama seminggu.

Yang membuatku kesal itu bukan apa-apa. Mbak Winda selalu lelet pada hutang meskipun hanya recehan, akan tetapi giliran pergi ke salon, smoothing atau rebonding rambut yang harganya ratusan ribu dia lakukan. Kalau kutagih, alasannya selalu gak ada uang, sudah habis buat belanja ini dan itu. Gimana gak tekanan batin coba?

Belum aku masuk. Suara klakson motor kembali terdengar.

Tin!Tin!

“Mbak Windanya ada, Mbak?” sapa seorang lelaki berjaket.

“Bapak siapa, ya?” Aku menatapnya.

“Saya tukang Bank keliling, Mbak! Minggu lalu Mbak Winda ngambil di saya dua juta rupiah! Sekarang harus sudah mulai bayar,” ujarnya menjelaskan.

“Maaf, Pak … kalau mau nagih Mbak Winda hari senin, soalnya dia kerja di rumah makan, kebagian liburnya setiap senin, Pak!” tukasku.

“Bisa talangin dulu mungkin, Mbak! Gak besar cuma enam puluh ribu rupiah kok setoran mingguannya!” ujarnya sambil mematung.

“Maaf, Pak … saya tidak ada uang lagi!” Aku menangkupkan tangan di depan dada.

Lelaki itu tampak masih mematung. Lalu diambilnya gawai dari sakunya dan menelpon seseorang.

“Hallo!” sapanya. Dia tampak berbincang dengan orang di seberang sana.

Aku sudah melangkah meninggalkannya. Namun baru juga beberapa langkah, dia memanggilku kembali.

“Mbak, Mbak Mia, ya?” tanyanya. Aku menoleh sambil mengangguk.

Dia tergopoh membawakan benda pipih itu padaku.

“Ini Mbak Winda mau bicara,” ucapnya.

Aku menerimanya. Mungkin dia punya uang yang disimpan di rumah dan minta tolong dikasihkan sama si Bapak ini. Lagian sudah dua-duanya kerja juga masih suka utang sana-sini. Kadang heran dengan pola hidupnya Mbak Winda.

“Hallo, Mbak!” sapaku padanya.

“Mia, kamu itu, ya! Sama saudara sendiri juga perhitungan banget, itu cicilan utang, Mbak Cuma enam puluh ribu rupiah! Kamu masa gak ada uang cuma segitu doang juga! Bayarin dulu dong, tolong! Mbak uangnya masih di ATM juga belum ambil!” ucapnya penuh penekanan.

“Maaf, Mbak … aku ada uang lima puluh ribu rupiah juga, sudah dipakai nalangin paketan, Mbak! Mbak belanja COD tapi gak nitipin uang!” ucapku.

“Alesan mulu kamu itu, ya! Dasar ipar miskin!” hardiknya. Disambung dengan terputusnya panggilan telepn dari seberang sana.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Partinah Partinah
kakak ipar bangsat
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 37 - End

    Istri Mas Akim yang sedang menunggu di kontrakan akhirnya mencari tahu keberadaan Mas Akim yang tidak pulang-pulang hingga pagi. Dia bertanya pada tetangga kontrakan tentang alamat kontrakan Teta. Namun semua tidak ada yang tahu. Via mencoba menghubungi ponsel Mas Akim juga tapi tidak ada yang mengangkatnya. Hingga pada pukul sepuluh pagi, ada seseorang yang mengetuk pintu. Ternyata pemilik kontrakan. Via langsung mendadak lemas ketika mendapat kabar dari pemilik kontrakan jika Mas Akim ditemukan tewas bersama Teta di kontrakan perempuan itu.Via---perempuan yang dibodohi cinta, akhirnya membawa pulang jenazah suami yang telah berkhianat itu. Tetap saja dia menangis histeris. Terlebih selama ini dia tidak tahu kelakuan Mas Akim di rantau. Baginya Mas Akim adalah suami baik dan bertanggung jawab. Hanya hari itu saja dia memergoki bersama Teta. Kehidupan Via sebetulnya terselamatkan. Mas Akim tidak bisa lagi melaksanakan niat busuknya untuk menguasai warisan Via dari orang tuanya. Nam

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 36

    Teta beberapa kali menciumi pipi Mas Akim. Sudah tidak sabar mereka akan melaksanakan rutinitas yang menyenangkan di dalam kontrakan Mas Akim. Terlebih baru saja mereka mendapatkan beberapa bungkus barang haram yang mereka candukan. Cup!Cup! Cup!Beberapa kali Teta mencium pipi lelaki berambut plontos itu ketika sepeda motor yang mereka tumpangi berhenti. Tangan Teta yang melingkar pada perut Mas Akim tak jua dilepasnya. “Sayang! Lepas, dong! Katanya mau buru-buru?” bisik Mas Akim sambil membelai pipi Teta. “Habisnya nyaman kalau peluk kamu, tuh!” ucap Teta sambil melepas pelukannya lalu turun dari sepeda motor. Begitu pun Mas Akim. Keduanya baru saja hendak membuka pintu kontrakan ketika terdengar ada suara yang memekik dari arah jalan.“Mas!” Suara seorang wanita memekik.Mas Akim dan Teta menoleh. Ada seorang wanita yang tampak memandang nyalang pada Mas Akim. Perempuan itu mendekat. Lalu menatap lekat wajah Teta yang memang masih terbilang muda itu dengan penuh kebencian. Pl

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 35

    Mia menatap Mesya dan Lili yang tengah berlarian di taman depan. Fasilitas umum yang baru selesai dibangun oleh developer ini cukup efektif. Keduanya berteman semakin dekat semenjak Lili resmi diadopsi menjadi anak dari keluarga Mbak Nindi. Mendengar cerita Mia saat pulang dari panti waktu itu, Mbak Nindi langsung tertarik dengan sosok Lili. Setelah semua dokumen selesai diurus, akhirnya Lili kini resmi menjadi putri dari keluarganya. Mia dan Mbak Nindi tengah duduk di tepi lapang sambil memakan rujak petis. Mangga muda yang dibawa Mbak Nindi benar-benar segar. Meskipun hari sudah menjelang sore, akan tetapi rujak ini masih cukup bersahabat untuk dinikmati.Kini Mia lebih banyak memiliki waktu luang, semenjak Hafid meminta untuk tidak terlalu capek, Mia sudah membayar satu orang admin virtual untuk mengurusi setiap cabuy yang bertanya tentang property. Warteg dan catering akikah, sudah ada yang jaga juga. Jadi Mia hanya sesekali mengecheck mereka saja.Sore itu, Mia tengah menunggu H

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 34

    “Astagfirulloh, Mas! Itu kok mirip banget sama Mbak Winda, Mas?” gumam Mia sambil menatap para pelaku yang tengah digiring oleh pihak kepolisian. Hafid menoleh pada layar kaca. Begitupun Bu Romsih yang tengah bermain dengan Mesya. Keduanya memekik bersama. Benar, wajah dalam layar kaca itu sangat mirip sekali dengan Mbak Winda. Namun masa iya, Mbak Winda berada di Batam? Mia mencoba mencari tahu kontak stasiun televisi yang menayangkan berita itu. Dia hanya ingin mendapatkan kabar tentang para pelaku yang dibekuk tersebut. Namun ternyata Mia cukup kesulitan. Sambungan terhubung akan tetapi tidak juga ada yang mengangkat. “Apakah Mbak Winda ada yang menjual ke luar pulau, ya, Mas? Makanya dia gak balik-balik ke sini?” bisik Mia pada Hafid.“Astaghfirulloh, Dek! Apa iya, ya? Mas gak kepikiran kesitu, ya?” Hafid terpekik mendengar penuturan Mia. Bu Romsih tiba-tiba terisak. Usianya yang semakin renta membuat perasaannya semakin sensitif. Terlebih dia kembali teringat pada Putri---cuc

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 33

    Bu Romsih sudah menangis sejak semalam. Sepulang dari tempat kerja, Mbak Winda membawa paksa Putri. Alasannya mau dibawa ke dokter. Namun hingga pagi, Mbak Winda gak bisa dihubungi dan keberadaan Putri tidak diketahui. “Ibu kenapa juga ngasihin si Putri malem-malem dibawa Winda! Sudah jelas selama ini dia gak sayang sama anaknya itu!” Mbak Wilda malah menyalahkan Bu Romsih atas kehilangan bayi tersebut. Bu Romsih yang sejak malam menangis itu makin tersedu. Dia merasa sangat bersalah ketika tak mendapat kabar dari Mbak Winda. Hafid dan Mia baru saja tiba. Keduanya langsung masuk ke dalam rumah. Mas Kama sudah berangkat kerja. Hanya ada Bu Romsih dan Mbak Wilda di sana. “Putri belum ditemukan juga, Bu?” Hafid memburu Bu Romsih dengan pertanyaan. Wanita sepuh itu menggeleng sambil terisak. “Aku juga coba hubungi Mbak Winda berkali-kali tapi gak aktif. Nanti aku coba ke tempat kerjanya.” Hafid berusaha menenangkan. Mbak Wilda menatap sinis pada Hafid. Lalu melirik ke arah Mia. “Ka

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 32

    “Mbak ngapain pagi-pagi ke sini?” Teta menyipit menatap Mbak Winda.“Aku mau barang itu, Ta!” Mbak Winda mendorong daun pintu yang Teta masih tahan. Namun sontak matanya membulat melihat sosok lelaki yang tengah terbaring di atas tempat tidur Teta. “Mas Akim?!” pekik Mbak Winda sambil berpegangan pada daun pintu. Kakinya mendadak gemetar. Hatinya berdentum-dentum hebat. Lelaki bertelanjang dada tersebut tampak kaget. Dia meraih kaosnya yang tergeletak lalu mengenakannya dengan cepat. Sementara itu, Mbak Winda berjalan cepat mendekat.Plak!Plak! Plak! Tamparan bertubi-tubi dihadiahkannya pada kedua pipi Mas Akim. Air mata Mbak Winda mengalir tak tertahan. Sedih, benci, marah bercampur kecewa membaur menjadi sesak. “Balikin uang aku, Mas! Balikin semuanya!” hardik Mbak Winda sambil mendorong tubuh lelaki yang baru saja hendak bangun itu. Tubuh Mas Akim terhuyung ke belakang karena tidak menyangka mendapatkan serangan dadakan sekuat tenaga dari Mbak Winda.Mbak Winda maju lagi mera

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status