Share

Bab 3

Dia melengos pergi. Padahal kerjanya mulai jam sepuluh pagi, tetapi pukul delapan sudah berangkat. Menyisakkan Bian yang kini mulai merengek karena lapar. Kuusap pucuk kepala anak lelaki berusia lima belas bulan itu. Dia menatap penuh minat pada makanan mpasi milik Mesya.

“Mamam … mamam …,” ucapnya polos.

“Iya, Mas Bian nanti Tante buatin mamam, ya! Diam di sini dulu, ya!” ucapku sambil memberinya mainan. Kugendong Mesya ke dapur dan mencari makanan untuk Bian. Ada satu rak berisi makanan bayi dan susu formula yang Mbak Winda khususkan hanya untuk Bian.

“Mia, itu kok di ruang tengah berantakan banget pakaian? Punya siapa?” Tanpa kukira, ibu mertuaku muncul dari dalam.

“Eh, Ibu sudah pulang?” tanyaku sambil tersenyum. Sementara itu, tanganku mengaduk makanan untuk Bian.

“Iya, sudah! Ini Ibu beli sayur juga sekalian! Kamu lagi buatin makanan Mesya?” tanyanya sambil meletakkan kantung belanja pada meja di dapur.

“Ini buat Bian, Bu! Biasa Mbak Winda sudah pergi, gak kasih makan dulu, padahal Bian sudah kelaperan sepertinya,” ucapku.

“Ya sudah biar ibu saja yang suapi, kamu tidurkan dulu Mesya terus siangi sayur,” ucapnya.

“Iya, Bu!” jawabku.

Aku memberikan mangkuk berisi makanan Bian yang sudah kesuduh. Lalu ke dalam sebentar mengumpulkan pakaian Mbak Winda yang berantakan. Kumasukkan ke dalam keranjang lalu kubawa kedepan dan langsung kujemur saja. Eits, kok gak dicuci lagi? Jawabannya adalah gak perlu karena apa? Karena kemarin sudah kucuci.

Lalu lanjut aku menidurkan Mesya dan meninabobokannya.

“Tante, aku lapar!” Hasan yang baru keluar dari dalam kamarnya menghampiriku.

Aku mengisyaratkan agar anak berusia lima tahun itu diam. Namun menyebalkan memang Hasan malah merengek sambil menangis di tepi Mesya. Alhasil semuanya berantakan. Aku menggendong Mesya kembali lalu mengambilkan nasi goreng di dapur dan menyimpannya di depan Hasan. Kuputarkan televisi agar anak itu makan sambil nonton tivi.

“Hasan makannya sambil diam, ya! Jangan lari-lari … Tante mau menidurkan Dedek Mesya, jangan berisik!” titahku.

Anak itu mengangguk. Aku mengusap pucuk kepalanya. Ada rasa iba pada kedua anak Mbak Winda yang tampaknya kesepian itu. Bagaimana tidak, setiap hari Mbak Winda selalu abai pada mereka. Bahkan Bian sering sekali ikut tidur di kamarku karena kadang Mbak Winda pulang larut.

Aku menidurkan Mesya sambil membacakan shalawat nabi agar dia tenang. Alhamdulilah akhirnya dia terlelap juga. Lalu kupergi ke dapur dan menyiangi sayuran yang tadi dibawa ibu.

“Paket! Paket, Mbak!” Terdengar dari luar suara tukang paket yang berteriak.

Aku bergegas ke depan, melewati Ibu yang sedang menunggui cucu-cucunya di ruang tengah. Dia sedang mengajak Bian bermain dan memperhatikan Hasan yang tengah asik makan.

“Atas nama Winda Sulistiawati, Mbak!” ucapnya sambil menyodorkan bungkusan paketan itu.

“Oh, makasih, ya, Mas!” Aku menerimanya. Mengulas senyum dan mengangguk pada lelaki itu.

“Bayar, Mbak! Ini COD!” ucapnya tanpa kusangka.

“Bayar?” Aku membuang napas kasar.

“Mas, bisa langsung sama orangnya saja nanti, gak?” Aku mengulurkan kembali barang itu.

“Aduh, Mbak … bisa tolong bantu ringankan pekerjaan saya? Sudah seharian muter nyari-nyari alamat, masa giliran ketemu malah gak diterima, cuma lima puluh ribu kok, Mbak!” ucapnya memelas.

Aku akhirnya tidak tega dengan wajahnya yang tampak kelelahan. Meski dengan enggan, akhirnya aku melangkah masuk ke dalam dan mengambil uang yang kusimpan. Ya, setiap hari aku menyisihkan lima ribu rupiah dari hasil Mas Hafid jaga parkiran. Lima puluh ribu itu uang yang sudah sepuluh hari kukumpulkan.

“Ini, Mas!” Aku memberikan uang itu pada tukang paket.

“Makasih, Mbak! Semoga semua urusan Mbaknya juga dimudahkan, maaf ya, Mbak!” ujarnya tampak tidak enak.

Aku mengangguk sambil mengulum senyum. Sebetulnya malas kalau menalangi paket COD miliknya itu. Yang satu bulan lalu pun belum dia ganti padaku. Padahal cuma tiga puluh ribu. Waktu itu dia membeli lipstick online kalau gak salah. Namun meskipun bagi Mbak Winda itu kecil, bagiku itu uang yang kukumpulkan selama seminggu.

Yang membuatku kesal itu bukan apa-apa. Mbak Winda selalu lelet pada hutang meskipun hanya recehan, akan tetapi giliran pergi ke salon, smoothing atau rebonding rambut yang harganya ratusan ribu dia lakukan. Kalau kutagih, alasannya selalu gak ada uang, sudah habis buat belanja ini dan itu. Gimana gak tekanan batin coba?

Belum aku masuk. Suara klakson motor kembali terdengar.

Tin!Tin!

“Mbak Windanya ada, Mbak?” sapa seorang lelaki berjaket.

“Bapak siapa, ya?” Aku menatapnya.

“Saya tukang Bank keliling, Mbak! Minggu lalu Mbak Winda ngambil di saya dua juta rupiah! Sekarang harus sudah mulai bayar,” ujarnya menjelaskan.

“Maaf, Pak … kalau mau nagih Mbak Winda hari senin, soalnya dia kerja di rumah makan, kebagian liburnya setiap senin, Pak!” tukasku.

“Bisa talangin dulu mungkin, Mbak! Gak besar cuma enam puluh ribu rupiah kok setoran mingguannya!” ujarnya sambil mematung.

“Maaf, Pak … saya tidak ada uang lagi!” Aku menangkupkan tangan di depan dada.

Lelaki itu tampak masih mematung. Lalu diambilnya gawai dari sakunya dan menelpon seseorang.

“Hallo!” sapanya. Dia tampak berbincang dengan orang di seberang sana.

Aku sudah melangkah meninggalkannya. Namun baru juga beberapa langkah, dia memanggilku kembali.

“Mbak, Mbak Mia, ya?” tanyanya. Aku menoleh sambil mengangguk.

Dia tergopoh membawakan benda pipih itu padaku.

“Ini Mbak Winda mau bicara,” ucapnya.

Aku menerimanya. Mungkin dia punya uang yang disimpan di rumah dan minta tolong dikasihkan sama si Bapak ini. Lagian sudah dua-duanya kerja juga masih suka utang sana-sini. Kadang heran dengan pola hidupnya Mbak Winda.

“Hallo, Mbak!” sapaku padanya.

“Mia, kamu itu, ya! Sama saudara sendiri juga perhitungan banget, itu cicilan utang, Mbak Cuma enam puluh ribu rupiah! Kamu masa gak ada uang cuma segitu doang juga! Bayarin dulu dong, tolong! Mbak uangnya masih di ATM juga belum ambil!” ucapnya penuh penekanan.

“Maaf, Mbak … aku ada uang lima puluh ribu rupiah juga, sudah dipakai nalangin paketan, Mbak! Mbak belanja COD tapi gak nitipin uang!” ucapku.

“Alesan mulu kamu itu, ya! Dasar ipar miskin!” hardiknya. Disambung dengan terputusnya panggilan telepn dari seberang sana.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Partinah Partinah
kakak ipar bangsat
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status