Dia melengos pergi. Padahal kerjanya mulai jam sepuluh pagi, tetapi pukul delapan sudah berangkat. Menyisakkan Bian yang kini mulai merengek karena lapar. Kuusap pucuk kepala anak lelaki berusia lima belas bulan itu. Dia menatap penuh minat pada makanan mpasi milik Mesya.
“Mamam … mamam …,” ucapnya polos.
“Iya, Mas Bian nanti Tante buatin mamam, ya! Diam di sini dulu, ya!” ucapku sambil memberinya mainan. Kugendong Mesya ke dapur dan mencari makanan untuk Bian. Ada satu rak berisi makanan bayi dan susu formula yang Mbak Winda khususkan hanya untuk Bian.
“Mia, itu kok di ruang tengah berantakan banget pakaian? Punya siapa?” Tanpa kukira, ibu mertuaku muncul dari dalam.
“Eh, Ibu sudah pulang?” tanyaku sambil tersenyum. Sementara itu, tanganku mengaduk makanan untuk Bian.
“Iya, sudah! Ini Ibu beli sayur juga sekalian! Kamu lagi buatin makanan Mesya?” tanyanya sambil meletakkan kantung belanja pada meja di dapur.
“Ini buat Bian, Bu! Biasa Mbak Winda sudah pergi, gak kasih makan dulu, padahal Bian sudah kelaperan sepertinya,” ucapku.
“Ya sudah biar ibu saja yang suapi, kamu tidurkan dulu Mesya terus siangi sayur,” ucapnya.
“Iya, Bu!” jawabku.
Aku memberikan mangkuk berisi makanan Bian yang sudah kesuduh. Lalu ke dalam sebentar mengumpulkan pakaian Mbak Winda yang berantakan. Kumasukkan ke dalam keranjang lalu kubawa kedepan dan langsung kujemur saja. Eits, kok gak dicuci lagi? Jawabannya adalah gak perlu karena apa? Karena kemarin sudah kucuci.
Lalu lanjut aku menidurkan Mesya dan meninabobokannya.
“Tante, aku lapar!” Hasan yang baru keluar dari dalam kamarnya menghampiriku.
Aku mengisyaratkan agar anak berusia lima tahun itu diam. Namun menyebalkan memang Hasan malah merengek sambil menangis di tepi Mesya. Alhasil semuanya berantakan. Aku menggendong Mesya kembali lalu mengambilkan nasi goreng di dapur dan menyimpannya di depan Hasan. Kuputarkan televisi agar anak itu makan sambil nonton tivi.
“Hasan makannya sambil diam, ya! Jangan lari-lari … Tante mau menidurkan Dedek Mesya, jangan berisik!” titahku.
Anak itu mengangguk. Aku mengusap pucuk kepalanya. Ada rasa iba pada kedua anak Mbak Winda yang tampaknya kesepian itu. Bagaimana tidak, setiap hari Mbak Winda selalu abai pada mereka. Bahkan Bian sering sekali ikut tidur di kamarku karena kadang Mbak Winda pulang larut.
Aku menidurkan Mesya sambil membacakan shalawat nabi agar dia tenang. Alhamdulilah akhirnya dia terlelap juga. Lalu kupergi ke dapur dan menyiangi sayuran yang tadi dibawa ibu.
“Paket! Paket, Mbak!” Terdengar dari luar suara tukang paket yang berteriak.
Aku bergegas ke depan, melewati Ibu yang sedang menunggui cucu-cucunya di ruang tengah. Dia sedang mengajak Bian bermain dan memperhatikan Hasan yang tengah asik makan.
“Atas nama Winda Sulistiawati, Mbak!” ucapnya sambil menyodorkan bungkusan paketan itu.
“Oh, makasih, ya, Mas!” Aku menerimanya. Mengulas senyum dan mengangguk pada lelaki itu.
“Bayar, Mbak! Ini COD!” ucapnya tanpa kusangka.
“Bayar?” Aku membuang napas kasar.
“Mas, bisa langsung sama orangnya saja nanti, gak?” Aku mengulurkan kembali barang itu.
“Aduh, Mbak … bisa tolong bantu ringankan pekerjaan saya? Sudah seharian muter nyari-nyari alamat, masa giliran ketemu malah gak diterima, cuma lima puluh ribu kok, Mbak!” ucapnya memelas.
Aku akhirnya tidak tega dengan wajahnya yang tampak kelelahan. Meski dengan enggan, akhirnya aku melangkah masuk ke dalam dan mengambil uang yang kusimpan. Ya, setiap hari aku menyisihkan lima ribu rupiah dari hasil Mas Hafid jaga parkiran. Lima puluh ribu itu uang yang sudah sepuluh hari kukumpulkan.
“Ini, Mas!” Aku memberikan uang itu pada tukang paket.
“Makasih, Mbak! Semoga semua urusan Mbaknya juga dimudahkan, maaf ya, Mbak!” ujarnya tampak tidak enak.
Aku mengangguk sambil mengulum senyum. Sebetulnya malas kalau menalangi paket COD miliknya itu. Yang satu bulan lalu pun belum dia ganti padaku. Padahal cuma tiga puluh ribu. Waktu itu dia membeli lipstick online kalau gak salah. Namun meskipun bagi Mbak Winda itu kecil, bagiku itu uang yang kukumpulkan selama seminggu.
Yang membuatku kesal itu bukan apa-apa. Mbak Winda selalu lelet pada hutang meskipun hanya recehan, akan tetapi giliran pergi ke salon, smoothing atau rebonding rambut yang harganya ratusan ribu dia lakukan. Kalau kutagih, alasannya selalu gak ada uang, sudah habis buat belanja ini dan itu. Gimana gak tekanan batin coba?
Belum aku masuk. Suara klakson motor kembali terdengar.
Tin!Tin!
“Mbak Windanya ada, Mbak?” sapa seorang lelaki berjaket.
“Bapak siapa, ya?” Aku menatapnya.
“Saya tukang Bank keliling, Mbak! Minggu lalu Mbak Winda ngambil di saya dua juta rupiah! Sekarang harus sudah mulai bayar,” ujarnya menjelaskan.
“Maaf, Pak … kalau mau nagih Mbak Winda hari senin, soalnya dia kerja di rumah makan, kebagian liburnya setiap senin, Pak!” tukasku.
“Bisa talangin dulu mungkin, Mbak! Gak besar cuma enam puluh ribu rupiah kok setoran mingguannya!” ujarnya sambil mematung.
“Maaf, Pak … saya tidak ada uang lagi!” Aku menangkupkan tangan di depan dada.
Lelaki itu tampak masih mematung. Lalu diambilnya gawai dari sakunya dan menelpon seseorang.
“Hallo!” sapanya. Dia tampak berbincang dengan orang di seberang sana.
Aku sudah melangkah meninggalkannya. Namun baru juga beberapa langkah, dia memanggilku kembali.
“Mbak, Mbak Mia, ya?” tanyanya. Aku menoleh sambil mengangguk.
Dia tergopoh membawakan benda pipih itu padaku.
“Ini Mbak Winda mau bicara,” ucapnya.
Aku menerimanya. Mungkin dia punya uang yang disimpan di rumah dan minta tolong dikasihkan sama si Bapak ini. Lagian sudah dua-duanya kerja juga masih suka utang sana-sini. Kadang heran dengan pola hidupnya Mbak Winda.
“Hallo, Mbak!” sapaku padanya.
“Mia, kamu itu, ya! Sama saudara sendiri juga perhitungan banget, itu cicilan utang, Mbak Cuma enam puluh ribu rupiah! Kamu masa gak ada uang cuma segitu doang juga! Bayarin dulu dong, tolong! Mbak uangnya masih di ATM juga belum ambil!” ucapnya penuh penekanan.
“Maaf, Mbak … aku ada uang lima puluh ribu rupiah juga, sudah dipakai nalangin paketan, Mbak! Mbak belanja COD tapi gak nitipin uang!” ucapku.
“Alesan mulu kamu itu, ya! Dasar ipar miskin!” hardiknya. Disambung dengan terputusnya panggilan telepn dari seberang sana.
“Alesan mulu kamu itu, ya! Dasar ipar miskin!” hardiknya. Disambung dengan terputusnya panggilan telepen dari seberang sana.Nyesss!Ada rasa nyeri dalam dada ini. Padahal kurang baik apa aku padanya selama ini? Mungkin karena sudah keseringan ngalah dan nurut akhirnya dia jadi merasa di atas angin. Padahal awalnya aku seperti itu karena aku merasa orang baru di rumah ini. Aku berusaha menyesuaikan diri dengan keluarga dari suamiku.Aku memberikan kembali gawai milik orang Bank keliling yang masih menunggu itu. Dia menatapku penuh harap.“Gimana, Mbak?” tanyanya. Menyebalkan memang.Aku hanya mengedik tanpa menjawab sepatah katapun. Berjalan ke dalam dan menyimpan paketan milik Mbak Winda di atas meja tivi. Lalu kembali ke dapur dan memasak untukku dan ibu. Ya, mulai hari ini aku sudah mendeklarasikan jika tidak akan memasak untuk Mbak Winda. Jadi masakan ini hanya untukku dan ibu.Namun tetap saja, jika Hasan merengek minta makan, aku pun tidak tega juga. Masa kesal sama orang tuanya
Menjelang ashar aku keluar dari kamar. Cucian milik Mbak Winda tampak menggunung di sofa ruang tengah. Sepertinya dia sudah angkatin pakaian yang hanya kujemur saja itu.Suasana di ruang tengah sepi. Padahal aku mau menitipkan Mesya dulu pada Ibu sebentar. Jika Mesya sudah bangun, aku gak bisa ngapa-ngapain soalnya. Aku akan menyiapkan masakan untuk sore nanti. Mungkin ibu sedang membawa main kedua cucunya ke rumah tetangga.Aku kembali lagi ke kamar dan menggendong Mesya pada akhirnya. Belum sempat lagi aku pergi ke dapur terdengar orang yang memanggil dari teras.“Permisi! Go food, Mbak!” pekiknya.Aku membukakan pintu. Tampak seorang pengemudi ojek online tengah menenteng beberapa box makanan.“Cari siapa, Pak?” tanyaku.“Ini, Mbak … dari go food! Anter pizza!” ucapnya.“Atas nama siapa, Pak?” tanyaku lagi, tidak merasa memesan makanan langka itu. Ya, langka bagiku yang kondisi kantong pas-pasan. Sayang duitnya kalau membeli makanan mahal seperti itu.“Eh, itu pizza atas nama Winda
Namun alangkah kagetnya aku, ketika dari kejauhan tampak Mas Hafid tengah dihajar oleh dua orang. Tubuhnya terhuyung membentur trotoar.“Mas Hafid!” pekikku sambil berlari memburunya.Kedua lelaki itu melepaskan Mas Hafid ketika melihatku berjalan tergopoh memburu ke arahnya. Kupegang luka yang ada pada sudut bibirnya.“Ya Allah, Mas … kamu ada masalah apa sama mereka?”Aku meraih tangannya dan membantunya untuk bangun. Kulirik sekilas pada dua orang yang tengah berjalan menjauh itu.“Biasa, Mi … rebutan wilayah! Kebetulan Bang Azhar lagi ada urusan, jadi dia leluasa melampiaskan kekesalan pada kita-kita yang ada di lapangan!”“Kita beli obat luka saja ke apotek kalau gitu, Mas! Mau ke dokter uangnya juga gak ada. Ini Mesya saja panas. Aku cuma punya uang tiga puluh ribu, Mas. Tadinya ke sini mau minta tambah sama kamu.”Tidak terasa ada yang menggenang pada pelupuk mataku. Rasa sedih menyeruak memaksa butiran bening ini berjatuhan perlahan.“Astagfirulloh, Mesya panas, Mi? Mas gak pu
[Trx.Rek 11011332212354320211015:22 xxx21277 Rp. 5.000.000,- 10.10.202115.01.32]“Alhamdulilah, Mas!” pekikku pelan.Kutatap deretan angka itu dengan mata lebar-lebar. Seumur hidup baru merasakan punya penghasilan sendiri, rasanya luar biasa banget.“Kenapa?”Mas Hafid yang sudah bersandar pada dipan di samping Mesya melihat heran ke arahku. Aku berjalan mendekat dan menunjukkan sms banking yang ada di tanganku. “Mas, ini lihat uang komisiku sudah masuk! Besok kita bisa ke dokter, Mas! Kita periksa luka kamu dan beli obat yang bagus! Mesya juga,” ucapku sambil menyeka sudut mata yang tiba-tiba menghangat.Disaat kami sedang kesulitan. Rasanya bahagia banget melihat sejumlah uang yang kini sedang kubutuhkan. “Mas sudah baikan, gak usah ke dokter lagi! Uangnya simpan saja pakai buat kebutuhan kita! Takut-takut Mas lagi gak dapet pemasukan di parkiran!” ucapnya. “Empat jutanya mau aku belikan cincin saja kalau gitu, Mas! Bisa dapet dua, jadi itung-itung nyimpen … nanti kalau dapat ko
Baru saja aku membuka pintu lemari es dan hendak menata sayuran milikku. Terdengar suara lantang Mbak Winda. “Eh, Mia! Mulai hari ini, kamu jangan sentuh kulkas milik saya! Simpan saja sayuranmu di luar biar pada busuk sekalipun Mbak gak peduli!” Astagfirulloh! Aku mengelus dada. Lalu menoleh padanya yang berdiri beberapa langkah dari tempatku. “Mbak Winda, ini sayuran juga aku simpan buat makan Ibunya Mbak Winda juga! Jadi orang jangan pelit amet, Mbak! Nanti kena karma! Lagian aku yang bayar listriknya!” ketusku sambil menatapnya kesal. Ya, aku tidak suka diperlakukan semena-mena olehnya. Meskipun berulang kali Mas Hafid selalu menasihatiku untuk mengalah. Malu katanya ribut terus. Rasanya keterlaluan sekali sikapnya, susah sekali aku mengimbanginya.Dia melirik sinis ke arah dua cincin baru yang melingkar di jemariku. Lalu dengan wajah angkuhnya dia berkata. “Beli cincin saja mampu, masa beli kulkas gak bisa! Atau jangan-jangan kamu cuma beli cincin imitasi biar kelihatan kere
“A Hafidnya ada, Mbak?” Lagi-lagi dia mengulang pertanyaannya. Aku mengangguk. “Suamiku lagi sakit, ada perlu apa, Mbak?” tanyaku datar. “Ini, saya hanya mau mengantarkan bingkisan sedikit buat dia, Mbak!” ucapnya sambil mengulurkan tentengan yang berisi makanan. Aku tidak serta merta menerimanya, kubiarkan tangannya menggantung saja. “Mbak ini siapanya suami saya?” tanyaku masih menatap lekat. Wajah menor dan rambut pirang itu masih berada di depanku. “Saya hanya temannya Mbak Winda, Mbak! Dia ada mengabarkan kalau A Hafid lagi sakit. Ini Mbak Mia 'kan? Mbak Mia gak mau nyuruh saya masuk ke dalam dulu, Mbak? Tamu ‘kan harus dihormati!” tukasnya dengan penuh percaya diri. Haish, yang tuan rumah siapa? Yang tamu siapa? “Mia siapa? Ada tamu?” terdengar suara ibu mertuaku dari dalam.“Iya, Bu!” tukasku setengah enggan. Malas menyuruh wanita dengan gaya selangit itu untuk masuk.“Suruh masuk dulu, masa tamu didiemin di luar!” Suara Ibu Mertuaku membuat senyum pada bibir wanita itu
"Mia! Mia!” “Mia! Mia!” Aku menoleh ke asal suara. Mbak Winda dan Mbak Wilda tampak sudah datang dan berada di belakangku yang tengah menyiapkan makan malam. Mas Hafid sedang berada di kamar menjaga Mesya yang memang tadi belum tidur. Bruk!Aku belum bersiap ketika Mbak Winda mendorongku. Dia melotot penuh amarah ke arahku. Mbak Wilda berdiri di sampingnya sambil melipat tangan di dada. Aku berusaha kembali bangkit. Ada rasa ngilu pada siku yang kupakai untuk menopang tubuhku tadi. Kutatap kedua kakak beradik itu satu persatu.“Ada apa, sih, Mbak? Salahku apa?!” “Kamu masih bertanya salah kamu apa, hah?!” Mbak Winda maju kembali dan hendak menoyor kepalaku. Namun dengan sigap kutepis. Enak saja, dikira ini kepala gak ada harganya apa?Namun ternyata aku lengah pada sisi lainnya, bagaimanapun dua lawan satu.Byurr!Tanpa kusangka, Mbak Wilda kali ini menyiramkan air dari teko yang ada di meja makan ke arahku. Basah sebagian pakaianku. Astagaaaa! Beraninya main keroyokan ternyata.
“Mas, Akim! Winda tuh seneng banget, akhirnya bisa jadian sama kamu! Makasih sudah bikin aku puas, Mas!”Rekaman mulai kuputar. Wajah Mbak Winda sudah tampak menegang.“Ya, aku itu memang jago bikin wanita puas. Kamu tinggal pijit nomorku saja, bisa melayani kamu kapan saja! Asal timbal baliknya sepadan!”“Tenang, Mas! Ini aku sudah dapat rejeki nomplok. Sebagian sudah aku belikan perhiasan, ini sisanya buat kamu. Nanti kita janjian lagi, ya besok malam! Suamiku itu sibuk terus kerja, sampai lupa ada ladang yang butuh disiram!”“Siap Bebeb!”“Aku pamit dulu, ya! Mau telepon Mbak Wilda buat minta dukungan usir si Mia dari rumah! Makin hari makin nyebelin saja sikapnya! Kamu do'ain aja si Hafid mau sama Mince, biar aku punya pohon uang!"Aku mematikan rekaman yang dikirimkan oleh temanku yang bekerja di sebuah café. Ziza memang pernah sekali bermain ke sini. Dia minta kuajari berjualan property. Akhirnya kami menjadi dekat juga, dan dia tahu seperti apa perlakuan Mbak Winda padaku di ru