“Alesan mulu kamu itu, ya! Dasar ipar miskin!” hardiknya. Disambung dengan terputusnya panggilan telepen dari seberang sana.
Nyesss!
Ada rasa nyeri dalam dada ini. Padahal kurang baik apa aku padanya selama ini? Mungkin karena sudah keseringan ngalah dan nurut akhirnya dia jadi merasa di atas angin. Padahal awalnya aku seperti itu karena aku merasa orang baru di rumah ini. Aku berusaha menyesuaikan diri dengan keluarga dari suamiku.
Aku memberikan kembali gawai milik orang Bank keliling yang masih menunggu itu. Dia menatapku penuh harap.
“Gimana, Mbak?” tanyanya. Menyebalkan memang.
Aku hanya mengedik tanpa menjawab sepatah katapun. Berjalan ke dalam dan menyimpan paketan milik Mbak Winda di atas meja tivi. Lalu kembali ke dapur dan memasak untukku dan ibu. Ya, mulai hari ini aku sudah mendeklarasikan jika tidak akan memasak untuk Mbak Winda. Jadi masakan ini hanya untukku dan ibu.
Namun tetap saja, jika Hasan merengek minta makan, aku pun tidak tega juga. Masa kesal sama orang tuanya, harus benci anaknya. Gak adil rasanya kalau aku melibatkan kedua balita yang sebetulnya mereka pun korban dari sikap abai Mbak Winda.
Setelah selesai memasak, aku masuk ke kamar. Hari ini aku libur mencuci, biar saja kujadwalkan dua hari sekali. Mumpung Mesya masih tidur segera kurebahkan tubuh di sampingnya sambil membuka gawai.
Kubuka grup W*. Dalam grup agen property Syariah yang kuikuti tampak beberapa project baru dishare. Netraku berbinar. Lalu kuketik di dalam grup itu.
[Wah, alhamdulilah banyak project baru! Cusss ngiklan!] tulisku.
[Mbak Mia sudah on? Sudah kelar masaknya? Ayo, Mbak kita iklan semaksimalnya!] jawab Fida---teman dunia digital dalam grup agen marketing tersebut.
[BTW, aku punya lapak baru untuk iklan … ayo yang mau coba! Alhamdulilah beberapa cabuy sudah terjaring dari situs ini! Ini ya, kubagikan linknya!] tambah Irfan.
Mendengarnya mendapatkan cabuy atau calon buyer saja semangatku sudah melejit kembali. Apalagi jika di grup ada yang share closingan, langsung saja semangat di dada ini menggebu-gebu. Kalau orang lain bisa, kenapa aku tidak?
[Makasih Bang Irfan, langsung kucoba deh! Bismillah! Semangat!] tulisku.
[Semangat Closing!]
[Semangat!]
[Salam closing berjamaah!]
Terus bersahut-sahutan chat dari anggota grup yang lain. Di sinilah rasa kebersamaan kami dipupuk sehingga aku yang baru terjun ke dunia digital berjualan property online ini merasa sangat terbantu dengan adanya grup ini. Selain bisa selalu menjaga semangat, di grup ini juga sesama agen property sepertiku saling bertukar informasi.
Segera kupasang iklan-iklan di berbagai situs. Pastinya aku hanya bisa mencari situs gratisan karena modalnya hanya kuota internet. Berbeda dengan mereka yang sudah banyak closingan biasanya menggunakan iklan berbayar seperti f******k ads atau g****e ads. Apalah dayaku yang modalnya hanya niat dan kuota internet ini?
Aku memposting iklan tidak hanya puluhan, akan tetapi bisa mencapai seratus iklan atau lebih dalam sehari. Mengikuti arahan dari mentor di grup pada jam potensial di mana orang sedang banyak online. Aku percaya tidak ada hasil yang mengkhianati usaha.
[Selamat siang! Saya Ervan beralamat di Jakarta. Tertarik dengan iklan property Anda pada situs rumah345.com. Apakah bisa dibantu untuk project rumah villa yang ada di bogor?]
Ah, netraku berbinar setiap kali ada chat masuk dari cabuy. Aku memasarkan property di seluruh Kawasan Indonesia termasuk beberapa tempat di luar pulau jawa. Jadinya prospek menjadi lebih luas dan kesempatan closing menjadi lebih terbuka lebar.
Aku segera membalasi chatnya. Rumah villa yang berada di bogor ini seharga empat ratus juta rupiah dan komisi untuk project ini sebesar dua setengah persen. Jadi Kalau closing maka uang sepuluh juta rupiah sudah menanti. Enaknya jadi agen marketing property online seperti ini ialah gak harus ngantor dan gak harus ke lapangan.
Aku cukup berada di depan gawai dan memfollow up calon pembeli saja. Jika mereka tertarik maka aku hanya perlu mengarahkan mereka untuk ke kantor pemasaran. Di sana ada tim survey yang menunggu dan akan membantuku mengarahkan para calon pembeli ke lokasi. Jika mereka cocok, maka aku akan mendapatkan laporan dari tim kantor untuk menginformasikan pada pembeli jadwal akad saja.
Dengan kerja sama team, semua menjadi lebih mudah, gampang dan cepat. Memang job seperti ini menjadi terlihat seperti tidak ada kerjaan karena bisa seharian aku di kamar. Menerima pertnyaan dari pembeli dan memasang iklan. Aku bahagia ketika pesan dari calon pembeli berdatangan.
Entah berapa lama aku di kamar. Asyik dengan duniaku, dengan pekerjaan baruku. Namun tiba-tiba terdengar gedoran pada pintu kamarku. Aku menoleh seiring daun pintu yang terbuka.
Eh tumben Mbak Winda sudah pulang? Padahal belum juga waktunya ashar. Biasanya dia pulang ba’da isya kadang sampai larut juga, meskipun jam kerjanya sebetulnya hanya sampai pukul enam sore.
“Enak, ya? Tiduran doang kerjaannya, kamu biarin ibu kerepotan sendirian jagain Bian dan Hasan di sana, enak-enakan ngendon sambil main HP?” ujarnya nyinyir.
“Mbak Winda tahu apa tentang kerjaanku? Aku lagi kerja, Mbak! Cari duit buat bantu Mas Hafid. Bian sama Hasan ‘kan anak Mbak Winda, kenapa jadi nyalahin aku, sih? Kalau anak aku yang repotin ibu, baru Mbak boleh nyalahin aku. Mesya lagi tidur, kok.” Aku menoleh sekilas lalu kembali fokus pada gawai.
“Pakaian Mbak kamu cuci lagi ‘kan?” tanyanya mengalihkan pembahasan.
Dia bingung kan jawabnya, toh anak sendiri yang merepotkan ibunya malah nyalahin orang. Mbak Winda sehat?
“Itu lihat saja semua sudah ada di jemuran! Oh iya, angkatin ya, Mbak mumpung Mbak Winda pulang! Aku sibuk, gak ada waktu!” ucapku. Gak berbohong kan? Aku bilang sudah ada di jemuran bukan bilang sudah dicuci lagi. Urusan gatal, itu urusan belakangan.
Dia membanting pintu tanpa berkata apa-apa lagi. Enyahlah dari kehidupanku, Mbak. Aku kembali fokus pada cabuy bernama Pak Ervana ini. Sepertinya termasuk hot buyer, sudah bertanya detail tentang harga. Ya Allah, semoga closing lagi. Yang kemarin sudah lima belas juta tinggal nunggu cair, kalau ditambah yang ini closing jadinya dua puluh lima juta.
Banyaaaaaak!
Ah, kalau closing lagi, aku mau mengajak Mas Hafid mencari rumah yang disewa tahunan saja lah! Terus nanti aku buka usaha laundry. Jadi sambil nungguin laundry sambil masarin produk rumah dan villa di internet.
Aku menatap langit-langit. Tidak sabar menunggu uang closingan itu segera cair. Beruntung masih boleh menggunakan rekening Mas Hafid bekas kerja dulu. Soalnya aku mana punya rekening Bank.
Ah, masih dua bulan lagi! Yang besok akan cair baru yang nominalnya lima juta dulu! Enaknya beli apa, ya? Mungkin beli perhiasan saja biar bisa kusimpan. Sekalian bikin Mbak Winda kepanasan melihatku memakai perhiasan. Nanti satu jutanya untuk makan. Jaga-jaga kalau parkiran Mas Hafid lagi sepi.
Ah, sempurna sekali rencanaku.
Istri Mas Akim yang sedang menunggu di kontrakan akhirnya mencari tahu keberadaan Mas Akim yang tidak pulang-pulang hingga pagi. Dia bertanya pada tetangga kontrakan tentang alamat kontrakan Teta. Namun semua tidak ada yang tahu. Via mencoba menghubungi ponsel Mas Akim juga tapi tidak ada yang mengangkatnya. Hingga pada pukul sepuluh pagi, ada seseorang yang mengetuk pintu. Ternyata pemilik kontrakan. Via langsung mendadak lemas ketika mendapat kabar dari pemilik kontrakan jika Mas Akim ditemukan tewas bersama Teta di kontrakan perempuan itu.Via---perempuan yang dibodohi cinta, akhirnya membawa pulang jenazah suami yang telah berkhianat itu. Tetap saja dia menangis histeris. Terlebih selama ini dia tidak tahu kelakuan Mas Akim di rantau. Baginya Mas Akim adalah suami baik dan bertanggung jawab. Hanya hari itu saja dia memergoki bersama Teta. Kehidupan Via sebetulnya terselamatkan. Mas Akim tidak bisa lagi melaksanakan niat busuknya untuk menguasai warisan Via dari orang tuanya. Nam
Teta beberapa kali menciumi pipi Mas Akim. Sudah tidak sabar mereka akan melaksanakan rutinitas yang menyenangkan di dalam kontrakan Mas Akim. Terlebih baru saja mereka mendapatkan beberapa bungkus barang haram yang mereka candukan. Cup!Cup! Cup!Beberapa kali Teta mencium pipi lelaki berambut plontos itu ketika sepeda motor yang mereka tumpangi berhenti. Tangan Teta yang melingkar pada perut Mas Akim tak jua dilepasnya. “Sayang! Lepas, dong! Katanya mau buru-buru?” bisik Mas Akim sambil membelai pipi Teta. “Habisnya nyaman kalau peluk kamu, tuh!” ucap Teta sambil melepas pelukannya lalu turun dari sepeda motor. Begitu pun Mas Akim. Keduanya baru saja hendak membuka pintu kontrakan ketika terdengar ada suara yang memekik dari arah jalan.“Mas!” Suara seorang wanita memekik.Mas Akim dan Teta menoleh. Ada seorang wanita yang tampak memandang nyalang pada Mas Akim. Perempuan itu mendekat. Lalu menatap lekat wajah Teta yang memang masih terbilang muda itu dengan penuh kebencian. Pl
Mia menatap Mesya dan Lili yang tengah berlarian di taman depan. Fasilitas umum yang baru selesai dibangun oleh developer ini cukup efektif. Keduanya berteman semakin dekat semenjak Lili resmi diadopsi menjadi anak dari keluarga Mbak Nindi. Mendengar cerita Mia saat pulang dari panti waktu itu, Mbak Nindi langsung tertarik dengan sosok Lili. Setelah semua dokumen selesai diurus, akhirnya Lili kini resmi menjadi putri dari keluarganya. Mia dan Mbak Nindi tengah duduk di tepi lapang sambil memakan rujak petis. Mangga muda yang dibawa Mbak Nindi benar-benar segar. Meskipun hari sudah menjelang sore, akan tetapi rujak ini masih cukup bersahabat untuk dinikmati.Kini Mia lebih banyak memiliki waktu luang, semenjak Hafid meminta untuk tidak terlalu capek, Mia sudah membayar satu orang admin virtual untuk mengurusi setiap cabuy yang bertanya tentang property. Warteg dan catering akikah, sudah ada yang jaga juga. Jadi Mia hanya sesekali mengecheck mereka saja.Sore itu, Mia tengah menunggu H
“Astagfirulloh, Mas! Itu kok mirip banget sama Mbak Winda, Mas?” gumam Mia sambil menatap para pelaku yang tengah digiring oleh pihak kepolisian. Hafid menoleh pada layar kaca. Begitupun Bu Romsih yang tengah bermain dengan Mesya. Keduanya memekik bersama. Benar, wajah dalam layar kaca itu sangat mirip sekali dengan Mbak Winda. Namun masa iya, Mbak Winda berada di Batam? Mia mencoba mencari tahu kontak stasiun televisi yang menayangkan berita itu. Dia hanya ingin mendapatkan kabar tentang para pelaku yang dibekuk tersebut. Namun ternyata Mia cukup kesulitan. Sambungan terhubung akan tetapi tidak juga ada yang mengangkat. “Apakah Mbak Winda ada yang menjual ke luar pulau, ya, Mas? Makanya dia gak balik-balik ke sini?” bisik Mia pada Hafid.“Astaghfirulloh, Dek! Apa iya, ya? Mas gak kepikiran kesitu, ya?” Hafid terpekik mendengar penuturan Mia. Bu Romsih tiba-tiba terisak. Usianya yang semakin renta membuat perasaannya semakin sensitif. Terlebih dia kembali teringat pada Putri---cuc
Bu Romsih sudah menangis sejak semalam. Sepulang dari tempat kerja, Mbak Winda membawa paksa Putri. Alasannya mau dibawa ke dokter. Namun hingga pagi, Mbak Winda gak bisa dihubungi dan keberadaan Putri tidak diketahui. “Ibu kenapa juga ngasihin si Putri malem-malem dibawa Winda! Sudah jelas selama ini dia gak sayang sama anaknya itu!” Mbak Wilda malah menyalahkan Bu Romsih atas kehilangan bayi tersebut. Bu Romsih yang sejak malam menangis itu makin tersedu. Dia merasa sangat bersalah ketika tak mendapat kabar dari Mbak Winda. Hafid dan Mia baru saja tiba. Keduanya langsung masuk ke dalam rumah. Mas Kama sudah berangkat kerja. Hanya ada Bu Romsih dan Mbak Wilda di sana. “Putri belum ditemukan juga, Bu?” Hafid memburu Bu Romsih dengan pertanyaan. Wanita sepuh itu menggeleng sambil terisak. “Aku juga coba hubungi Mbak Winda berkali-kali tapi gak aktif. Nanti aku coba ke tempat kerjanya.” Hafid berusaha menenangkan. Mbak Wilda menatap sinis pada Hafid. Lalu melirik ke arah Mia. “Ka
“Mbak ngapain pagi-pagi ke sini?” Teta menyipit menatap Mbak Winda.“Aku mau barang itu, Ta!” Mbak Winda mendorong daun pintu yang Teta masih tahan. Namun sontak matanya membulat melihat sosok lelaki yang tengah terbaring di atas tempat tidur Teta. “Mas Akim?!” pekik Mbak Winda sambil berpegangan pada daun pintu. Kakinya mendadak gemetar. Hatinya berdentum-dentum hebat. Lelaki bertelanjang dada tersebut tampak kaget. Dia meraih kaosnya yang tergeletak lalu mengenakannya dengan cepat. Sementara itu, Mbak Winda berjalan cepat mendekat.Plak!Plak! Plak! Tamparan bertubi-tubi dihadiahkannya pada kedua pipi Mas Akim. Air mata Mbak Winda mengalir tak tertahan. Sedih, benci, marah bercampur kecewa membaur menjadi sesak. “Balikin uang aku, Mas! Balikin semuanya!” hardik Mbak Winda sambil mendorong tubuh lelaki yang baru saja hendak bangun itu. Tubuh Mas Akim terhuyung ke belakang karena tidak menyangka mendapatkan serangan dadakan sekuat tenaga dari Mbak Winda.Mbak Winda maju lagi mera