“Jadi gimana, Vin? Kapan kita lapor polisi?” Membiasakandiri mengambil keputusan dengan meminta pertimbangannya, aku memohon pendapat.“Entar deh! Kita selidiki sendiri dulu. Kalau gagal barulapor polisi. Soalnya aku merasa ini pasti ada campur tangan orang dekat.”Alvin mengedarkan pandangan menatap tiga karyawan bergantian.Mereka bertiga terperangah. Bias kemarahan terpancar jelasdari raut wajah mereka.“Kamu mencurigai kami, Vin?” tanya Rina.“Keterlaluan kamu, Vin!” umpat karyawan lainnya.Alvin, lelaki itu menyapu wajah, membuang nafas kasar.“Bukan! Bukan kalian, tapi orang lain,” jelasnya seperti takenak hati.“Oh ... aku pikir kamu mencurigai kami,” ungkap Rina yang wajahnyasedikit tenang.“Enggak mungkin aku curiga dengan kalian. Kalian itu temanterbaikku,” sahut Alvin.“Syukurlah kalau begitu,” ucap Rina, melempar senyum.Sejak tadi aku mengamati obrolan mereka yang terkesan akrab.Entah kenapa aku tak suka ada perempuan yang dekat dengan Alvin, apalagi sampaisenyum-senyum be
Mobil yang kami kendarai berhenti tepat di halaman rumah Bu Sri. Meski jarak tak terlalu jauh, kami terpaksa menggunakan kendaraan ini sebab motor Alvin tertinggal di rumahku.Kompak, kami turun lalu naik ke teras, tapi sebelum sempat mengetuk pintu, pemilik rumah lebih dulu keluar bersama suaminya. Mereka kaget melihat kedatangan kami.“Ngapain kamu ke sini? Belum puas menghancurkan semuausahaku? Atau mau pamer?” Berkacak pinggang, Papa menatapku penuh amarah.Niat baik belum tentu disambut baik juga. Padahal kami inginberbicara secara kekeluargaan. Namun, sambutan mereka sungguh tak mengenakkan.“Maaf, Om! Ada yang harus kita bicarakan,” ucap Alvin,sopan.Mereka berdua saling pandang lalu sama-sama berganti menatapkami. Sorot mata keduanya dipenuhi kebencian, terutama Bu Sri.“Enggak ada yang perlu dibicarakan. Mending kalian pergidari sini sebelum kami teriak!” usir Bu Sri.“Yakin kalian mau mengusir kami?” tantangku.“Tentu saja! Imi rumah kami, jadi bebas mengusir siapa pundari s
Jam di dinding hampir menunjuk pukul satu dini hari. Namun,sedikit pun mata ini belum terpejam. Hati di dera gelisah sebab besok akanpulang ke rumah, meninggalkan semua kenangan di tempat ini.Kuarahkan pandangan menatap pada foto yang terpasang didinding. Senyum lelaki itu memesona, hingga membuat hati bergetar walau hanyasebatas melihat gambarnya saja.Sempat berusaha meyakini bahwa Alvin telah mampu merebuthati. Namun, sedikit keraguan menyelinap, apakah aku benar cinta atau hanyabutuh pelarian saja?Lamunan buyar tatkala samar terdengar bunyi berisik yangsemakin lama semakin terdengar jelas.Fokus, aku berusaha menajamkan pendengaran. Suara sumbang disekeliling rumah memaksaku keluar kamar. Rupanya Alvin pun sudah berada diruang tengah.“Cepat keluar!” teriak suara lelaki disertai ketukan pintu.Ah ... bukan! Itu lebih menyerupai gedoran.“Itu siapa sih, Vin? Tengah malam begini kok ketuk-ketukpintu. Ganggu orang saja!” gerundelku.Tak menyahut, Alvin hanya mengendikan bahu lalu b
Pak Haji mengajak kami masuk, diikuti empat orang wargasebagai perwakilan, sedangkan Bu Sri dan anaknya ikut menimbrung. Untung sajaruang tamu ini cukup luas hingga mampu menampung kami semua.“Menurut Pak Haji, hukuman apa yang pantas buat pasanganmesum seperti mereka?” celetuk salah satu warga.Pak Haji melempar senyum pada lelaki yang bertanya. “Bagaimanabisa menentukan sebuah hukuman tanpa tahu kesalahan yang mereka perbuat?”Lelaki itu kaget. Sebentar kemudian mendengkus kesal seolahsedang menahan kemarahan.“Maksud Pak Haji apa sih? Tadi bilangnya mau musyawarah menentukanhukuman, tapi kok bilang begitu? Sudah jelas-jelas mereka kumpul kebo. Kamisaksinya!” ucap lelaki itu.“Tidak benar! Ini fitnah!” Tak terlalu banyak orangmembuatku berani bersuara lantang. Di sini harga diriku sedang dipertaruhkan.Lelaki itu terperangah. Barangkali tak menyangka aku beranimenyangkal. Mungkin dia pikir aku akan pasrah saat difitnah begini.“Benar, Pak Haji. Demi Alloh kami tak pernah melakukan
Jam digital di ponsel menunjukkan pukul 03:05 saat akumembuka benda pipih ini. Duduk di tepian ranjang, aku mulai mencari kontakdengan nama ‘Mama’ dan segera menghubungi.Tersambung. Di jam seperti ini Mama memang biasanya sudahbangun. Mengawali rutinitas dengan menyembah sang Khalik, itulah keseharianMama.“Halo, Ma ...” sapaku sedikit gemetar.“Iya, Sayang. Ada apa jam segini kok nelpon?” tanya suaraperempuan dari seberang sana.“Ma, aku mau dinikahkan!” Aku mulai terisak, khawatirmengecewakan Mama.“Menikah bagaimana? Kamu ngigau ya?”“Enggak, Ma! Aku serius. Kami digerebek warga!”Entah kalimat apa yang cocok untuk menjelaskan keadaan saatini. Yang jelas, aku tak punya banyak waktu.“Digerebek bagaimana? Kamu di mana sekarang? Kok bisa kayakgitu?”Mama mencecar dengan tiga pertanyaan sekaligus. Inimembuatku bingung harus menjawab yang mana.“Ceritanya panjang, Ma! Aku sekarang di rumah Alvin! Mama kesini cepat ya! Aku takut!” rengekku.“Loh, kamu nginep di rumah Alvin? Lenapa Papa
Selepas magrib, kami sekeluarga berkumpul mengitari mejamakan. Aku duduk di sebelah Alvin, sementara Mama dan Bude berseberangan dengankami.“Gimana, Vin? Habis ini jadi ke rumah Pak Budi enggak?” tanyaku.“Iya. Nanti habis makan,” sahut Alvin.Ya. Tadi sore kami memang sudah menyusun rencana, mencarisiapa dalang dibalik fitnah yang menimpa. Pertama akan mendatangi PakBudi-lelaki yang mengaku melihat kami bercinta. Aku rasa ada yang membayarnya agarmenebar kebohongan.“Kok kamu panggil suami nama doang sih, Lintang? Harusnya panggilMas atau apa kek,” protes Mama.Menyambar gelas berisi air putih, buru-buru aku menegukhingga tandas. Kalimat Mama berhasil membuatku tersedak.“Enggak apa-apa kok, Tant. Biasanya memang begitu,” sahutAlvin.“Mulai sekarang jangan dibiasakan seperti itu. Harusberubah!” tekan Mama.Aku melirik lelaki di sebelahku. Alvin-lelaki itu kini telahsah menjadi suami, meski baru secara agama. Rasanya masih tak percaya masalajangku berakhir dengan cara memalukan.“Kok
“Gimana, Vin? Apa Pak Budi mau ngaku siapa yangmenyuruhnya?” tanya Bude saat kami sampai rumah.“Iya, Bu. Ternyata Bu Sri yang nyuruh,” sahut Alvin.“Astaghfirulloh... Sri sudah kebangetan. Maunya apa sihsampai bikin berita bohong segala!” Bude mengelus dada.“Sejak dulu memang kayak gitu, Mbak! Aku aja difitnahselingkuh sampai Harjo tak mau mengakui Lintang. Sekarang sudah terbukti,ternyata dia tukang fitnah. Malah tadi kepergok lagi berduaan sama Pak Budi,”sahut Mama.Lalu, kami sama-sama masuk dan duduk di ruang tamu.Kusandarkan punggung pada sandaran kursi, melepas lelah setelah semua yangterjadi.“Jadi Sri selingkuh sama Pak Budi?” cecar Bude.“Iya, Ma!” sahut Alvin.Lelaki itu menceritakan apa yang baru saja kami alami.Sesekali Alvin tersenyum puas. Barangkali dia senang sudah berhasil membongkardalang dibalik semua ini.“Terus sekarang Sri gimana?” cecar Bude.“Enggak tahu, Bude. Tadi Alvin ngajak pulang, padahal akujuga ingin tahu kelanjutan nasib mereka,” selaku.Alvin menole
Menatap nanar pada punggung lelaki itu, Bude tersenyummiris. Agaknya dia tak tega melihat adik kandungnya terlunta-lunta.“Bude sedih lihat Papa kayak gitu?” tanyaku yang turutmelihat Papa pergi.Tersenyum, Bude menoleh.“Biar bagaimanapun Harjo tetap adikku, Lintang, sudah tentu Budesedih melihat nasibnya,” sahut Bude.“Lalu kenapa Bude enggak mengizinkan Papa tinggal di sini?”Lagi. Bude kembali tersenyum. Sebuah senyum yang sulitkuartikan.“Terkadang manusia punya cara tersendiri untuk menyayangi. Samahalnya dengan Bude yang menyayangi Papamu. Jika dibiarkan tinggal di sini, sangatsulit untuk Papamu mengubah kebiasaan buruknya. Dengan begini, Papamu punyawaktu untuk merenung, meresapi setiap apa yang pernah dia lakukan. Semoga inimenjadi momen di mana Harjo menjadi pribadi yang lebih baik,” jelas Bude.Mengangguk paham, diam-diam aku mengacungi jempol jalanpikiran Bude. Kelihatannya seolah Bude perempuan kejam yang enggan memaafkankesalahan Papa, tapi dibalik semua itu, Bude memili