Menjelang magrib kami baru pulang dari pasar. Sebenarnya pembeli masih ada karena letak toko kami ada di pinggir jalan raya. Namun, demi membagi waktu beristirahat kami sepakat buka pukul tujuh, tutup pukul 17:00. Tadi, saat di jalan sengaja kami membeli lauk. Kasihan Bude jika harus menyiapkan makan malam buat kami, apalagi dia juga harus menjaga toko sepanjang hari. Tersenyum puas, aku menghempaskan tubuh letih ini di atas pembaringan. Masih terekam jelas dalam ingatan bagaimana wajah Bu Sri saat mengetahui bahwa perempuan yang dihina, kini memiliki toko tepat di sebelahnya. Setelah penat berkurang, aku baru keluar kamar. Alvin dan Bude sedang mengobrol di ruang depan. Kuayunkan langkah mendekati mereka lalu duduk di sebelah Bude. “Kebetulan kamu keluar, Lintang. Ada yang mau Bude tanyakan,” ujar Bude. “Tanya apa?” “Akhir-akhir ini kalian selalu pergi pagi pulang sore. Sebenarnya kalian ke mana sih?” tanya Bude. Aduh! Rupanya Bude sudah mulai curiga dengan aktivitas kami, pad
Tergagap saat mendengar bunyi ketukan pintu, aku bangkit dan menyeka sudut mata. Tak ada yang boleh tahu kalau hati ini menjerit sakit atas ucapan Papa.“Iya. Masuk saja!” sahutku dengan suara sumbang. Tak lama pintu terbuka. Alvin melongok dengan senyum khasnya. “Bisa kita bicara sebentar?” tanyanya. Aku mengernyit heran, tapi akhirnya mengangguk mengiyakan permintaannya. “Bisa. Sini masuk!” ajakku berusaha menyembunyikan kekalutan.“Di luar saja,” tolaknya halus. “Loh, kenapa enggak di sini saja?” tanya Alvin. “Aku lelaki normal, Lintang. Apalagi kamu itu cantik.” Lelaki itu menaik turunkan alis menggoda. Sudut bibirnya tertarik ke atas hingga menampakkan sebagian gigi. Entah apa maksud pernyataannya, tapi yakin dia hanya ingin menghibur. Aku bangkit, beranjak mendekat. Lalu, berjalan beriringan dan berhenti di teras. “Ada apa, Vin?” tanyaku setelah kami duduk. Lelaki itu menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Detik berikutnya dia menoleh. “Aku tahu kamu
Menjelang pukul tiga sore, kami sudah mendapat dua pick up penuh aneka hasil panen. Niko bilang tak lama lagi saatnya berangkat menjual semuanya. Aku yang belum berpengalaman tentu saja tertarik ikut langsung sekalian mencari suasana baru. “Yuk, Vin! Kita harus berangkat sekarang. Aku sudah janji sama yang mau beli nanti kita ketemu di pasar induk,” ajak Niko yang sudah selesai menata semua dagangan. “Gimana, Lintang? Kamu ikut atau aku antar pulang?” tanya Alvin. “Ikut dong, sekalian healing,” jawabku asal. “Kita mau kerja, bukan jalan-jalan.” Alvin mencibir. Mungkin bagi mereka ini semata soal pekerjaan, tapi bagiku yang belum pernah melakukan hal seperti ini, tentu saja akan menjadi pengalaman baru. Bukankah ini terbilang healing. “Iya,” sahutku. Lalu, Niko dan Bima masuk ke dalam mobil yang sama, sedangkan aku dan Alvin berdua dalam mobil pick up warna hitam. Memejam sejenak, Aku menyandarkan punggung pada sandaran jok. Satu hal yang membuatku gelisah adalah tidak hadirnya
Seperti biasa, aku bangun saat fajar subuh tiba. Menjalani rutinitas sebagai makhluk, memuji Dia dengan segala keagungan-Nya. Sebentar kemudian aku berkemas, bersiap pergi ke toko. Setelah kemarin seharian tak datang, tentu aku tak sabar ingin bertemu Bu Sri-perempuan yang akan kubungkam mulutnya dengan kesuksesan. “Yuk berangkat, Vin!” ajakku pada lelaki yang sedang menikmati kopi di teras. “Loh ... kan kita menjalankan tugas masing-masing,” sahut Alvin. Tersadar, hari ini kami memang beda tujuan. Namun, entah mengapa rasanya sepi jika tak ada Alvin, padahal belum lama saling mengenal. “Terus gimana dong? Aku jalan kaki?” Aku memasang wajah cemberut. “Emang kuat?” ledeknya disertai sedikit tawa. Astaga! Ini lelaki enggak peka banget. Ya jelas enggak mungkin jalan kaki. Yang ada belum sampai ruko sudah pingsan dulu. “Dikuat-kuatin aja!” ketusku. Melipat tangan di depan dada, aku memalingkan wajah dari lelaki itu, meski tak kunjung beranjak. “Cie ... ngambek,” ledeknya, “ya
Di depan cermin aku mematut diri, memindai wajah yang telah tersentuh make up tipis. Lipstik warna nude tak luput menghiasi bibir hingga terlihat lebih menyala. Ya. Seperti janji tadi siang, malam ini aku menyanggupi jalan dengan Alvin. Entah mau mengajakku ke mana sampai kakak sepupuku itu meminta untuk berdandan secantik mungkin. Menyambar sling bag yang telah kusiapkan di atas ranjang, aku melangkah ke luar menemui Alvin. Lelaki itu telah menunggu di teras. “Sudah siap, Lintang?” Alvin bangkit sembari melempar senyum. “Iya.” Aku mengangguk sembari memperhatikan penampilannya. Malam ini ada yang berbeda dari penampilan Alvin. Dia terlihat lebih maskulin mengenakan setelan kemeja batik hitam dipadukan dengan celana jeans warna senada. Terpaku, aku kembali memperhatikan lelaki yang berdiri tak jauh dariku. Rambut yang tercukur rapi, bibir yang kemerahan alami serta hidung yang mancung cukup untuk membuat mata perempuan terpesona. Sama halnya denganku yang notabene adik sepupu.
Tiga hari ini toko Bu Sri sangat ramai oleh pembeli. Namun, separuh di antaranya adalah orang suruhan Alvin. Ya. Mereka sengaja dibayar untuk berbelanja sebanyak mungkin di toko sebelah. Tentu saja biar dagangan mereka lekas habis dan aku meraup banyak untung. Bu Sri dan Gea sehari bisa tiga kali menghampiriku. Mereka selalu menghina bahkan mengatakan aku tak becus mengurus toko. Aku yang sedang menjalankan misi hanya diam saja berusaha bersikap seolah kalah, padahal dalam hati tertawa girang melihat kebodohan mereka. Pagi ini toko Bu Sri terlihat sepi. Aku menghampiri sekedar melongok dagangan mereka. Benar saja. Dagangan yang semula banyak, kini habis hampir tak bersisa. Beberapa etalase malah kosong melompong. “Ngapain kamu ke sini?” seru Gea saat melihatku datang. “Enggak kok. Pengin lihat saja,” sahutku asal. “Oh... kamu mau mengintip konsep tokoku ya? Kreatif dong! Jangan ikut-ikutan doang,” ejeknya. Aku mencebikkan bibir mendengar celoteh Gea. Mana mungkin meniru, sedan
“Aku diblokir, Vin!” gerutuku.“Loh ... kok bisa?” Alvin mengernyit dengan sepasang mata menatap lekat pada gawai di tanganku.Tak menyahut, aku fokus melihat akun facebook Nita, melihat-lihat aktivitasnya di dunia maya.Sepasang bola mataku terbelalak sempurna saat melihat sebuah foto undangan dengan caption ‘hari yang kutunggu’. Penasaran, ku-klik foto itu agar bisa melihat lebih jelas.Gemuruh di dada semakin menggema saat membaca tulisan dalamfoto tersebut. Di situ tertera nama Nita dan Arya yang akan melangsungkan pernikahan besok siang. Seketika tubuh gemetar. Emosi membuncah dan mata terasa memanas melihat kenyataan ini.Sama sekali tak menduga Nita yang sudah kuanggap saudara sendiri tega menikung. Ini sebuah pengkhianatan yang luar biasa.“Kamu kenapa, Lintang?” tanya Alvin.Kelu, aku tak menjawab pertanyaan Alvin. Namun, air mata yang luruh cukup jelas untuk menggambarkan perasaan ini.Lalu, lelaki itu meraih ponsel dari tangan kemudian memindai layar.“Astaga! Ini Nita tem
Setelah melalui sedikit perdebatan, akhirnya diputuskanhanya aku dan Alvin saja yang datang ke pesta pernikahan mereka. Sempat Mamabersikukuh ikut, tapi aku khawatir dia mengamuk di sana. Tentu akan membuatkami semua malu.“Kamu ke salon dulu, Lintang. Dandan secantik mungkin biarArya menyesal sudah meninggalkan perempuan secantik kamu,” saran Mama.“Sepertinya enggak perlu, Tante! Lintang sudah terlihat cantikwalau tanpa make up. Malah kesannya lebih natural,” puji Alvin.Jika hati tak sedang didera luka, barangkali aku sudahtertawa mendengar pujian Alvin. Atau mungkin merasa tersanjung meski tahu diahanya bercanda.“Aku dandan sendiri saja! Percuma dong punya salon kalau gakpinter dandan,” sahutku.Mereka berdua setuju. Yang terpenting adalah aku bisa tetaptersenyum saat bertemu dua pengkhianat itu di pelaminan.Lalu, aku beranjak ke kamar, sedangkan Alvin kubiarkanmengobrol dengan Mama. Sebentar aku menghempas tubuh di atas ranjang sekedarmelepas letih yang mendera raga, memikirkan