Kedua kakak iparku bilang kalau aku lebay jika menagih hutang mereka dengan mengumumkan nya melalui toa masjid. Padahal aku melakukan nya karena iparku punya hutang padaku tapi malah mendukung suamiku poligami. Biar mereka malu sekalian.. 😏
MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID (4) "Tunggu! Aku bayar! Aku bayar!" seru Desi dan Dewi secara bersamaan. Amira tersenyum puas lalu mematikan siaran live dan keluar dari aplikasi tiktoknya. Dia menatap tajam ke arah kedua kakak iparnya. "Amira," suara Desi bergetar, "kami janji akan bayar utang kami. Tapi tolong jangan viralkan ini. Jangan buat kami jadi bahan pembicaraan orang. Kami akan bayar utangnya." Amira mengangkat bahu, terkesan tak peduli. "Tentu saja. Aku akan menepati janjiku. Asal kalian bayar hutang, aku tidak akan memviralkan kalian. Aku bukan lah orang yang tukang ingkar janji. Katanya setia, tapi mendua. Dan ada pula yang berjanji membayar hutang dalam jangka waktu tiga bulan, eh, malah ilang," sindir Amira menatap keluarga Arif secara bergantian yang tampak serba salah. Desi dan Dewi saling berpandangan sejenak, mencoba mengumpulkan keberanian sebelum akhirnya Dewi berkata, "Sebenarnya… uang kami sudah habis untuk persiapan lebaran, Amira." Amira mendelik. "Lalu bagaimana kalian membayar hutangnya pada ku sekarang?!" tanya Amira menahan kesal dan rasa marah. Dewi dan Desi menatap Arif, secara bersamaan. "Kenapa? Kenapa kalian menatapku, Mbak?" tanya Arif dengan perasaan tidak enak. "Dek, tolong bayarkan hutang kami. Kamu kan kaya, kerja jadi manajer. Uang segitu pasti mudah dong untukmu?!" tanya Desi dengan nada memaksa. Arif terperanjat. "Tapi aku juga baru saja melunasi bayar mobil. Dan.. Aku perlu uang untuk pernikahan baruku sebentar lagi," jawab Arif lirih. Ada rasa menyentil di hati Amira saat mendengar suami nya sekarang berkata terang - terangan tentang pernikahan barunya. Dewi dan Desi mulai saling pandang lagi, ragu dengan ide yang terlintas di benak mereka. "Bu, tolong bayarkan hutang kami pada Amira," rengek Dewi. Sri menatap ketiga anaknya dengan kepala pusing. "Ibu sedang nggak ada duit nganggur. Semua habis untuk persiapan lebaran," ujar Sri dengan wajah masam. Amira hanya bisa menggeleng - gelengkan kepala melihat kelakuan suami dan keluarga nya. Mendadak selintas ide muncul di benak Amira. MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID (4) "Gini aja, Mbak Desi dan mbak Dewi. Hutang kalian dibayar dengan mobil mas Arif saja," ujar Amira seraya mengangkat sebelah alisnya. Arif menghela napas lagi. "Tapi, mobil ini... mobil kita ini... lebih mahal dari utang mereka, Amira. Dan aku nggak ada hubungannya dengan hutang mbak Desi dan mbak Dewi lho!" Amira mendekat dan dengan dingin berkata, "Dulu aku juga ikut bayar DP mobil itu sebanyak 20 juta, Mas Arif. Walaupun kamu yang membayar cicilan sampai lunas dengan total 200 juta. Dan mbak Desi serta mbak Dewi bisa nyicil hutang ke kamu, Mas. Silakan tuh tagih saja saudara saudara kamu," ujar Amira penuh kemenangan. Mata Desi dan Dewi berbinar. "Nah, iya kami setuju!" sahut kedua saudara Arif secara bersamaan. Arif terdiam, masih ragu. "Tapi, itu terlalu berlebihan. Utang mereka hanya beberapa juta, sementara mobil ini—" "Sudahlah mas Arif," potong Amira tajam. "Kita bisa tukar tambah. Aku akan memberikan motor ini agar kamu bisa tukar dengan mobil itu. Kurang baik gimana aku untuk seorang pengkhianat seperti kamu?!" Sekarang giliran Arif yang terkejut. "Tapi itu—" "Tak ada tapi," ujar Amira dengan suara lebih keras. "Ini bukan soal uang, ini soal harga diri dan rasa keadilan. Aku tidak akan terus dipermainkan begitu saja. Hitung hitung mobil itu juga bisa untuk ganti nafkah iddah dan nafkah mut'ah!" Arif akhirnya terdiam, tak tahu harus berkata apa lagi. Dia tahu bahwa Amira sudah tidak bisa diajak bicara lagi. Keputusan sudah bulat, dan dia harus menyetujuinya. Dengan berat hati, dia mengangguk pelan. "Tapi, Amira... kalau kamu melakukan ini, kamu harus tahu konsekuensinya," kata Arif dengan suara pelan, mencoba mencari celah. "Aku masih mencintaimu dan poligami halal dalam islam. Aku ingin kamu tetap menjadi istriku, Amira. Kalau istri keduaku hamil dan punya anak, maka anaknya kan juga bisa menjadi anakmu juga." Amira terdiam sejenak, kemudian meledak. "Apa kamu sedang mempermainkan aku, mas Arif? Aku bukan mainan yang bisa diperlakukan sesuka hati! Kamu pikir aku akan menerima poligami begitu saja? Aku belum siap. Lalu yang jadi pikiran ku, kenapa kamu tidak mau kalau kuajak periksa kesuburan? Padahal jika kita memeriksa kan diri, kita akan tahu dengan pasti siapa diantara kita yang kesuburan nya bermasalah. Jadi bukan aku saja yang dituduh mandul! Apa jangan jangan kamu takut menghadapi kemungkinan kamu yang mandvl?" tanya Amira penasaran. Arif terkejut dengan reaksi Amira, dia tidak menyangka akan mendapatkan penolakan sekeras itu. Sementara itu, Desi dan Dewi hanya diam, tampak terkejut dengan kemarahan Amira yang semakin memuncak. Amira, yang sebelumnya hanya seorang istri yang pasrah, kini berubah menjadi sosok yang penuh ketegasan. "Aku bukan nya tidak mau, aku sibuk kerja. Kamu tahu sendiri kan kalau aku pergi pagi pulang malam?" ujar Arif merasa tidak terima karena dituduh mandvl. Amira tersenyum kecut. "Halah alasan! Kalau orang niat punya anak, pasti mau memeriksakan diri ke dokter, Mas!" Arif tampak serba salah. "Sudah lah, aku memang tidak ingin tahu lagi tentang kamu dan keluarga kamu! Sekarang mana kunci mobil mu!?" tanya Amira sambil menyerahkan kunci motor nya ke meja di teras untuk ditukar dengan kunci mobil milik Arif. Baru saja Amira menerima kunci mobil Arif, saat sebuah suara terdengar dari arah pintu gerbang. "Assalamu'alaikum, mas Arif. Masa tadi di masjid aku mendengar kalau... " Amira dan semua keluarga Arif menoleh ke asal suara. Tampak calon istri Arif yang baru masuk ke halaman rumah Arif keheranan melihat wajah Arif dan keluarga nya yang tegang. "Mas Arif, dia siapa?" tanya perempuan itu menunjuk ke arah Amira. Next?Saat Handoko membukakan pintu, Amira turun perlahan. Tangannya masih lemah, tapi semangatnya membuncah. Saat kakinya menginjak permadani merah di depan pintu utama, matanya membelalak. Taburan kelopak mawar merah dan putih tertata rapi di atas permadani, membentuk jejak menuju dalam rumah."Masya Allah..." bisiknya.Aroma harum dari lilin aroma terapi menyambutnya, berpadu dengan semerbak mawar yang lembut. Ruang tamu bersih, rapi, dan berhiaskan bunga segar."Selamat datang kembali di rumah, Non Amira!" Amira menoleh dan langsung tersenyum lebar. Bi Inem dan Mbok Sumi berdiri berdampingan menyambutnya. keduanya tersenyum hangat. "Bi... Mbok..." Amira memeluk mereka bergantian."Alhamdulillah Non Amira sehat walafiat," ucap Mbok Sumi, matanya berkaca-kaca."Terima kasih, Mbok... Bi... Kalian sudah repot-repot," balas Amira."Aduh, Non... jangan begitu... Justru kami yang berterima kasih. Non Amira sudah menolong saya dari para penghadang itu... Saya benar-benar takut kalau sampai No
Bau obat yang menusuk hidung adalah hal pertama yang disadari Amira saat perlahan-lahan kesadarannya kembali. Pandangannya buram, lalu semakin jelas. Langit-langit putih, cahaya lampu neon, dan suara mesin monitor detak jantung yang berdetak pelan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada.Kepalanya terasa berat, nyeri menjalar dari pelipis hingga tengkuk. Saat ia berusaha menggerakkan tangan, terasa ada genggaman hangat yang menahannya."Amira... kamu sudah sadar, sayang?" suara itu lirih, penuh kekhawatiran.Amira menolehkan kepala. Di sebelah tempat tidurnya, duduk Handoko dengan wajah kusut dan mata sembab. Pria itu menggenggam tangan Amira erat seolah tak ingin kehilangan momen kebersamaan itu lagi."Mas Handoko..." suara Amira serak. "Maafkan aku... karena aku keluar rumah tanpa izinmu, sehingga semua ini terjadi."Handoko menggeleng cepat, matanya berkaca-kaca. "Jangan pernah berkata seperti itu. Kamu tidak salah. Yang salah adalah orang-orang
Namun saat mobil itu bergerak memasuki area sawah yang sepi, empat pria berpakaian serba hitam tiba-tiba berdiri mengadang jalan. Mereka tidak mengenakan penutup wajah, namun sorot mata mereka tajam seperti pisau yang siap mengoyak.Amira refleks menginjak rem."Apa itu... geng motor?" bisik Bi Inem, tubuhnya mulai bergetar.Salah satu dari pria itu maju mendekat. Tubuhnya besar, tangan bertato, dan suaranya dalam saat berkata, "Turun dari mobil sekarang juga."Amira menatap lurus ke arah pria itu dari balik kaca jendela. Matanya tak bergeming. Dulu, mungkin dia akan panik dan menangis. Tapi sejak bercerai dengan Arif, dia bertekad tak ingin jadi perempuan lemah lagi. Latihan karate selama setahun mulai menunjukkan hasil—bukan cuma ototnya yang kuat, tapi juga keberaniannya.Tanpa ekspresi takut, Amira mengambil ponsel dari dashboard, lalu cepat-cepat menghubungi nama yang sudah tersimpan dengan label "Handoko - Darurat". Begitu panggilan tersambung, dia sembunyikan ponselnya di bawah
Mendadak Amira menggigil. Dia jadi teringat Arif yang sudah meninggal. Amira merasa bersalah karena menurut nya dialah yang menjadi penyebab kematian Arif. "Kenapa mbak Desi menghubungi ku? Apa dia akan membalas kematian adiknya!?" gumam Amira. Belum sempat Amira membalas pesan dari Desi, Desi lebih dulu melakukan panggilan telepon padanya. Dengan ragu, Amira menerima panggilan suara yang masuk ke ponselnya itu. "Ha... lo?!"Hening sejenak. "Halo, Amira! Aku ingin meminta maaf atas semua kesalahan ku dan seluruh keluarga ku. Apa kita bisa bertemu?" tanya Desi dari seberang telepon. Amira mengerutkan dahinya menerima permintaan maaf yang menurut nya aneh itu. "Aku menemukan kalian telah memeras almarhum bunda dengan memfitnahku. Rasanya aku susah menerima maaf kalian. Tapi aku mendengar kabar jika mas Arif sudah meninggal dunia. Jadi aku akan menganggap kalau sekarang kita impas," ujar Amira lirih. "Kalau begitu kita bisa bertemu hari ini kan?" tanya Desi. "Atau sesenggangnya k
Hari itu, hujan turun sejak pagi. Gerimisnya tipis, tapi dinginnya menusuk sampai ke dalam dada. Di sebuah ruang tunggu kantor polisi, dua perempuan duduk bersebelahan dalam diam. Wajah mereka pucat, mata mereka kosong, dan tangan mereka saling menggenggam seolah dunia akan runtuh kapan saja.Desi menatap lantai. Ibunya, Sri, duduk kaku di sampingnya.Tak lama kemudian, seorang petugas berpakaian preman keluar dari dalam ruangan dan memanggil nama mereka.“Ibu Sri, Mbak Desi… mohon ikut saya sebentar.”Mereka berdiri tanpa suara, melangkah ke ruangan kecil dengan lampu temaram dan aroma lembab kertas tua. Di sana, seorang polisi senior duduk dengan map di tangannya. Tatapannya berat.“Kami mohon maaf sebelumnya… tapi kami harus menyampaikan ini secepatnya.”Sri mencengkeram tangan Desi.“Apa… ada apa dengan anak saya?”Polisi itu menarik napas panjang. Lalu mengucapkan lima kata yang membuat waktu seolah berhenti:“Arif ditemukan meninggal tadi malam. Berkelahi dengan sesama napi.”“T
Amira menatapnya. “Apa maksudmu?”“Artinya, semua akan dibuka. Hubunganmu dengan Arif, masa lalu kalian. Tapi... Arif akan ditahan secara hukum. Tidak hanya ditangkap sementara. Semua akan berjalan melalui jalur yang sah.”Amira menggigit bibir bawahnya. Lama. Tapi akhirnya ia mengangguk.“Lakukan, Mas. Aku sudah lelah dengan balas dendamku yang dulu. Biar saja dia ditahan.”Handoko tersenyum tipis, walau tak ada kelegaan di balik matanya. “Baik. Aku akan urus semua malam ini juga. Arif akan masuk tahanan sebelum pagi.”Amira menarik napas panjang. Entah karena lega, atau karena tahu semuanya baru saja dimulai.Handoko bangkit dari kursinya dan berjalan ke jendela, menatap keluar. Lalu ia berbalik, memandang Amira yang kini menatap kosong ke mangkuk sup yang telah dingin.***Ketika Arif dibawa masuk ke ruang tahanan, wajahnya tampak tenang. Dua polisi menggiringnya melintasi lorong sempit dengan dinding lembab, melewati para tahanan lain yang menatap dengan campuran penasaran dan jij