MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID (7)
Rita berdiri di depan kakak beradik itu. Pandangannya beralih pada Desi, Dewi, dan Arif yang duduk berderet di teras. Suasana rumah itu mendadak terasa pengap, seolah-olah udara berhenti bergerak. Ia menelan ludah, lalu memberanikan diri. “Mbak Desi… Mbak Dewi… Arif...” Suaranya pelan, tapi cukup jelas. “Apa bener yang dikatakan Amira? Kalau Mbak Desi dan Mbak Dewi punya hutang sama dia?” Ruangan itu seketika sunyi. Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar, pelan namun menusuk telinga. Desi dan Dewi saling berpandangan, mata mereka berbicara tanpa kata. Wajah keduanya menegang, seperti baru saja tertangkap basah melakukan sesuatu yang ingin disembunyikan. Desi menarik napas, seolah mencari kata yang tepat, sementara Dewi menunduk, jari-jarinya meremas sudut kerudung yang ia kenakan. Namun sebelum salah satu dari mereka sempat menjawab, sebuah suara lain menyela. “Amira itu bohong.” Semua mata berpaling ke arah Sri, ibu mereka, yang sejak tadi duduk diam di sudut ruangan. Wanita paruh baya itu melipat tangannya di dada, wajahnya tenang tapi sorot matanya tajam. “Dia cuma nggak rela Arif nikah lagi,” lanjut Sri, nada bicaranya datar namun sarat penekanan. “Jangan percaya sama dia, Rita. Kamu nggak perlu khawatir. Kalau kamu menikah sama Arif, kamu bakal bahagia.” Rita mengerutkan dahi. “Tapi, Bu...” “Daripada Arif punya istri yang suka menyebar aib keluarga sendiri,” sambung Sri cepat, “dan mandul pula.” Kata-kata itu menampar udara seperti cambuk. Rita terdiam, matanya membesar, sulit memutuskan harus merasa percaya pada Amira atau... percaya pada ibu Arif yang duduk tenang itu. Melihat raut wajah Rita yang makin ragu, Sri tersenyum samar. “Udah, kamu istirahat aja. Besok kita salat ied di lapangan. Kalau tidur malam-malam, nanti telat bangun, lho.” Rita mengangguk perlahan, seperti orang bingung yang pasrah. “Iya, Bu... kalau gitu saya pulang dulu.” “Ati-ati di jalan,” sahut Arif, senyum tipisnya nyaris tak meyakinkan. Begitu Rita melangkah keluar, suara pintu tertutup pelan. Sri mendesah, lalu menoleh ke arah ketiga anaknya. “Untung aja Rita mewarisi sawah orang tuanya yang udah meninggal,” gumam Sri. Ia menyisir rambut yang terburai dari kerudungnya dengan jemarinya. “Kalau nanti dia sama Arif udah nikah, kamu bawa dia sama anaknya ke tempat kamu, Rif. Biar ibu sama kakak-kakak kamu yang ngurus sawah Rita.” Arif menyeringai tipis. “Baik, Bu. Tentu aja. Tapi Arif bakal nyerahin semua gaji ke Rita, supaya dia nggak mempermasalahkan uang hasil panen sawahnya yang menurun.” Desi dan Dewi tersenyum kecil. Mata mereka bersinar seperti mendapat ide bagus. Sri mengangguk puas. Pagi harinya, suara motor meraung pelan ketika Sri dan keluarganya melaju menuju lapangan. Arif di depan, Sri duduk di belakangnya, sementara keluarga Desi dan keluarga Dewi ikut dalam motor lain. Jalanan desa yang sempit dipenuhi orang-orang berkumpul hendak salat ied. Mereka melewati beberapa tetangga yang berdiri di pinggir jalan. Bisik-bisik pelan terdengar, tapi cukup jelas untuk menusuk telinga. “Itu, keluarga Bu Sri...” suara perempuan paruh baya terdengar. “Nggak nyangka, ya. Katanya suka utang sama mantunya sendiri. Kalau aku bakal malu banget, hutang sampai disiarkan melalui toa masjid.” “Iya,” sahut lainnya. “Padahal Desi sama Dewi punya toko, warung juga ada. Suami mereka juga kerja, meskipun di sawahnya Rita...” Desi menggigit bibir. Tangannya mencengkeram kuat bahu suaminya yang menyetir motor. “Eh, tapi,” bisik suara lain, “Rita itu katanya mau nikah, jadi istri kedua Arif. Tega banget ya mereka, sama istri pertama Arif.” “Amit-amit jabang bayi,” desis yang lain. “Dapet mertua kayak gitu...” “Hush,” sergah suara paling tua di antara mereka. “Jangan gibah keras-keras, masih iedul fitri ini.” Suara-suara itu seperti dengung lebah di telinga Sri. Ia mendesis, wajahnya menegang. Begitu mereka tiba di lapangan dan duduk di shaf perempuan, Sri merapatkan kerudungnya sambil melirik kiri kanan. Gumaman masih terdengar samar di antara bisik-bisik yang lebih pelan. Desi mencondongkan tubuh ke arah ibunya. “Bu... kita telepon Amira aja, suruh dia tanggung jawab.” Sri mengangguk cepat. “Telepon sekarang.” Dewi sudah membuka ponselnya, tangannya gemetar menahan emosi. Ia mengetik cepat, lalu menekan tombol panggil. Namun panggilan dari nomor Dewi tidak dapat tersambung ke ponsel Amira. “Bu, nomorku diblokir Amira.” “Mampus,” desis Dewi, wajahnya merah padam. Ia mengangkat kepala menatap Desi. “Dia blokir kita semua.” Desi menatap ponselnya sendiri, mencoba menghubungi nomor yang sama. Hasilnya serupa. Sri mengatupkan rahang. “Dia pikir dia siapa...” Desi mengepalkan tangan. “Bu... Aku malu! Semua orang jadi memperhatikan kita gara - gara Amira!" Arif yang duduk di shaf laki-laki, juga merasakan tatapan beberapa jamaah yang tidak enak tertuju padanya. Bahkan seorang lelaki yang duduk di sebelah kanan Arif, berbisik padanya. "Mas Arif, dengar - dengar mau nikah lagi ya? Semoga rukun kedua istri nya, Mas," ujar lelaki di sebelah Arif. Arif hanya tersenyum kecut. Dia mencoba menelepon Amira tapi ternyata nomornya juga sudah diblokir. *** Amira melajukan mobil dengan kencang, jalanan tampak lengang. Para pengguna jalan yang biasanya memadati arus lalu lintas, sedang melakukan salat iedul fitri. Dalam hati Amira menahan tangis, karena dia rindu lebaran tahun lalu saat ibunya belum terbaring di ICU karena stroke. Setiba di rumahnya, Amira segera menuju ke kamar dan memasukkan semua baju dan barang Arif ke dalam kardus, lalu menulis kan alamat kantor tempat Arif bekerja. Tak lupa Amira menambahkan tulisan yang provokatif pada nama penerima. Untuk : Arif Adinata, tukang kawin lagi. (Hati - hati untuk perusahaan tempat mas Arif bekerja, kalau mas Arif bisa mengkhianati istri yang tiap hari tidur bersamanya, dia bisa juga mengkhianati perusahaan tempat dia bekerja!) Next?Saat Handoko membukakan pintu, Amira turun perlahan. Tangannya masih lemah, tapi semangatnya membuncah. Saat kakinya menginjak permadani merah di depan pintu utama, matanya membelalak. Taburan kelopak mawar merah dan putih tertata rapi di atas permadani, membentuk jejak menuju dalam rumah."Masya Allah..." bisiknya.Aroma harum dari lilin aroma terapi menyambutnya, berpadu dengan semerbak mawar yang lembut. Ruang tamu bersih, rapi, dan berhiaskan bunga segar."Selamat datang kembali di rumah, Non Amira!" Amira menoleh dan langsung tersenyum lebar. Bi Inem dan Mbok Sumi berdiri berdampingan menyambutnya. keduanya tersenyum hangat. "Bi... Mbok..." Amira memeluk mereka bergantian."Alhamdulillah Non Amira sehat walafiat," ucap Mbok Sumi, matanya berkaca-kaca."Terima kasih, Mbok... Bi... Kalian sudah repot-repot," balas Amira."Aduh, Non... jangan begitu... Justru kami yang berterima kasih. Non Amira sudah menolong saya dari para penghadang itu... Saya benar-benar takut kalau sampai No
Bau obat yang menusuk hidung adalah hal pertama yang disadari Amira saat perlahan-lahan kesadarannya kembali. Pandangannya buram, lalu semakin jelas. Langit-langit putih, cahaya lampu neon, dan suara mesin monitor detak jantung yang berdetak pelan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada.Kepalanya terasa berat, nyeri menjalar dari pelipis hingga tengkuk. Saat ia berusaha menggerakkan tangan, terasa ada genggaman hangat yang menahannya."Amira... kamu sudah sadar, sayang?" suara itu lirih, penuh kekhawatiran.Amira menolehkan kepala. Di sebelah tempat tidurnya, duduk Handoko dengan wajah kusut dan mata sembab. Pria itu menggenggam tangan Amira erat seolah tak ingin kehilangan momen kebersamaan itu lagi."Mas Handoko..." suara Amira serak. "Maafkan aku... karena aku keluar rumah tanpa izinmu, sehingga semua ini terjadi."Handoko menggeleng cepat, matanya berkaca-kaca. "Jangan pernah berkata seperti itu. Kamu tidak salah. Yang salah adalah orang-orang
Namun saat mobil itu bergerak memasuki area sawah yang sepi, empat pria berpakaian serba hitam tiba-tiba berdiri mengadang jalan. Mereka tidak mengenakan penutup wajah, namun sorot mata mereka tajam seperti pisau yang siap mengoyak.Amira refleks menginjak rem."Apa itu... geng motor?" bisik Bi Inem, tubuhnya mulai bergetar.Salah satu dari pria itu maju mendekat. Tubuhnya besar, tangan bertato, dan suaranya dalam saat berkata, "Turun dari mobil sekarang juga."Amira menatap lurus ke arah pria itu dari balik kaca jendela. Matanya tak bergeming. Dulu, mungkin dia akan panik dan menangis. Tapi sejak bercerai dengan Arif, dia bertekad tak ingin jadi perempuan lemah lagi. Latihan karate selama setahun mulai menunjukkan hasil—bukan cuma ototnya yang kuat, tapi juga keberaniannya.Tanpa ekspresi takut, Amira mengambil ponsel dari dashboard, lalu cepat-cepat menghubungi nama yang sudah tersimpan dengan label "Handoko - Darurat". Begitu panggilan tersambung, dia sembunyikan ponselnya di bawah
Mendadak Amira menggigil. Dia jadi teringat Arif yang sudah meninggal. Amira merasa bersalah karena menurut nya dialah yang menjadi penyebab kematian Arif. "Kenapa mbak Desi menghubungi ku? Apa dia akan membalas kematian adiknya!?" gumam Amira. Belum sempat Amira membalas pesan dari Desi, Desi lebih dulu melakukan panggilan telepon padanya. Dengan ragu, Amira menerima panggilan suara yang masuk ke ponselnya itu. "Ha... lo?!"Hening sejenak. "Halo, Amira! Aku ingin meminta maaf atas semua kesalahan ku dan seluruh keluarga ku. Apa kita bisa bertemu?" tanya Desi dari seberang telepon. Amira mengerutkan dahinya menerima permintaan maaf yang menurut nya aneh itu. "Aku menemukan kalian telah memeras almarhum bunda dengan memfitnahku. Rasanya aku susah menerima maaf kalian. Tapi aku mendengar kabar jika mas Arif sudah meninggal dunia. Jadi aku akan menganggap kalau sekarang kita impas," ujar Amira lirih. "Kalau begitu kita bisa bertemu hari ini kan?" tanya Desi. "Atau sesenggangnya k
Hari itu, hujan turun sejak pagi. Gerimisnya tipis, tapi dinginnya menusuk sampai ke dalam dada. Di sebuah ruang tunggu kantor polisi, dua perempuan duduk bersebelahan dalam diam. Wajah mereka pucat, mata mereka kosong, dan tangan mereka saling menggenggam seolah dunia akan runtuh kapan saja.Desi menatap lantai. Ibunya, Sri, duduk kaku di sampingnya.Tak lama kemudian, seorang petugas berpakaian preman keluar dari dalam ruangan dan memanggil nama mereka.“Ibu Sri, Mbak Desi… mohon ikut saya sebentar.”Mereka berdiri tanpa suara, melangkah ke ruangan kecil dengan lampu temaram dan aroma lembab kertas tua. Di sana, seorang polisi senior duduk dengan map di tangannya. Tatapannya berat.“Kami mohon maaf sebelumnya… tapi kami harus menyampaikan ini secepatnya.”Sri mencengkeram tangan Desi.“Apa… ada apa dengan anak saya?”Polisi itu menarik napas panjang. Lalu mengucapkan lima kata yang membuat waktu seolah berhenti:“Arif ditemukan meninggal tadi malam. Berkelahi dengan sesama napi.”“T
Amira menatapnya. “Apa maksudmu?”“Artinya, semua akan dibuka. Hubunganmu dengan Arif, masa lalu kalian. Tapi... Arif akan ditahan secara hukum. Tidak hanya ditangkap sementara. Semua akan berjalan melalui jalur yang sah.”Amira menggigit bibir bawahnya. Lama. Tapi akhirnya ia mengangguk.“Lakukan, Mas. Aku sudah lelah dengan balas dendamku yang dulu. Biar saja dia ditahan.”Handoko tersenyum tipis, walau tak ada kelegaan di balik matanya. “Baik. Aku akan urus semua malam ini juga. Arif akan masuk tahanan sebelum pagi.”Amira menarik napas panjang. Entah karena lega, atau karena tahu semuanya baru saja dimulai.Handoko bangkit dari kursinya dan berjalan ke jendela, menatap keluar. Lalu ia berbalik, memandang Amira yang kini menatap kosong ke mangkuk sup yang telah dingin.***Ketika Arif dibawa masuk ke ruang tahanan, wajahnya tampak tenang. Dua polisi menggiringnya melintasi lorong sempit dengan dinding lembab, melewati para tahanan lain yang menatap dengan campuran penasaran dan jij