Share

Hutang 7

Penulis: ananda zhia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-29 22:36:02

MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID (7)

Rita berdiri di depan kakak beradik itu. Pandangannya beralih pada Desi, Dewi, dan Arif yang duduk berderet di teras. Suasana rumah itu mendadak terasa pengap, seolah-olah udara berhenti bergerak. Ia menelan ludah, lalu memberanikan diri.

“Mbak Desi… Mbak Dewi… Arif...” Suaranya pelan, tapi cukup jelas. “Apa bener yang dikatakan Amira? Kalau Mbak Desi dan Mbak Dewi punya hutang sama dia?”

Ruangan itu seketika sunyi. Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar, pelan namun menusuk telinga. Desi dan Dewi saling berpandangan, mata mereka berbicara tanpa kata. Wajah keduanya menegang, seperti baru saja tertangkap basah melakukan sesuatu yang ingin disembunyikan.

Desi menarik napas, seolah mencari kata yang tepat, sementara Dewi menunduk, jari-jarinya meremas sudut kerudung yang ia kenakan.

Namun sebelum salah satu dari mereka sempat menjawab, sebuah suara lain menyela.

“Amira itu bohong.”

Semua mata berpaling ke arah Sri, ibu mereka, yang sejak tadi duduk diam di sudut ruangan. Wanita paruh baya itu melipat tangannya di dada, wajahnya tenang tapi sorot matanya tajam.

“Dia cuma nggak rela Arif nikah lagi,” lanjut Sri, nada bicaranya datar namun sarat penekanan. “Jangan percaya sama dia, Rita. Kamu nggak perlu khawatir. Kalau kamu menikah sama Arif, kamu bakal bahagia.”

Rita mengerutkan dahi. “Tapi, Bu...”

“Daripada Arif punya istri yang suka menyebar aib keluarga sendiri,” sambung Sri cepat, “dan mandul pula.”

Kata-kata itu menampar udara seperti cambuk. Rita terdiam, matanya membesar, sulit memutuskan harus merasa percaya pada Amira atau... percaya pada ibu Arif yang duduk tenang itu.

Melihat raut wajah Rita yang makin ragu, Sri tersenyum samar. “Udah, kamu istirahat aja. Besok kita salat ied di lapangan. Kalau tidur malam-malam, nanti telat bangun, lho.”

Rita mengangguk perlahan, seperti orang bingung yang pasrah. “Iya, Bu... kalau gitu saya pulang dulu.”

“Ati-ati di jalan,” sahut Arif, senyum tipisnya nyaris tak meyakinkan.

Begitu Rita melangkah keluar, suara pintu tertutup pelan. Sri mendesah, lalu menoleh ke arah ketiga anaknya.

“Untung aja Rita mewarisi sawah orang tuanya yang udah meninggal,” gumam Sri. Ia menyisir rambut yang terburai dari kerudungnya dengan jemarinya. “Kalau nanti dia sama Arif udah nikah, kamu bawa dia sama anaknya ke tempat kamu, Rif. Biar ibu sama kakak-kakak kamu yang ngurus sawah Rita.”

Arif menyeringai tipis. “Baik, Bu. Tentu aja. Tapi Arif bakal nyerahin semua gaji ke Rita, supaya dia nggak mempermasalahkan uang hasil panen sawahnya yang menurun.”

Desi dan Dewi tersenyum kecil. Mata mereka bersinar seperti mendapat ide bagus. Sri mengangguk puas.

Pagi harinya, suara motor meraung pelan ketika Sri dan keluarganya melaju menuju lapangan. Arif di depan, Sri duduk di belakangnya, sementara keluarga Desi dan keluarga Dewi ikut dalam motor lain. Jalanan desa yang sempit dipenuhi orang-orang berkumpul hendak salat ied.

Mereka melewati beberapa tetangga yang berdiri di pinggir jalan. Bisik-bisik pelan terdengar, tapi cukup jelas untuk menusuk telinga.

“Itu, keluarga Bu Sri...” suara perempuan paruh baya terdengar. “Nggak nyangka, ya. Katanya suka utang sama mantunya sendiri. Kalau aku bakal malu banget, hutang sampai disiarkan melalui toa masjid.”

“Iya,” sahut lainnya. “Padahal Desi sama Dewi punya toko, warung juga ada. Suami mereka juga kerja, meskipun di sawahnya Rita...”

Desi menggigit bibir. Tangannya mencengkeram kuat bahu suaminya yang menyetir motor.

“Eh, tapi,” bisik suara lain, “Rita itu katanya mau nikah, jadi istri kedua Arif. Tega banget ya mereka, sama istri pertama Arif.”

“Amit-amit jabang bayi,” desis yang lain. “Dapet mertua kayak gitu...”

“Hush,” sergah suara paling tua di antara mereka. “Jangan gibah keras-keras, masih iedul fitri ini.”

Suara-suara itu seperti dengung lebah di telinga Sri. Ia mendesis, wajahnya menegang. Begitu mereka tiba di lapangan dan duduk di shaf perempuan, Sri merapatkan kerudungnya sambil melirik kiri kanan. Gumaman masih terdengar samar di antara bisik-bisik yang lebih pelan.

Desi mencondongkan tubuh ke arah ibunya. “Bu... kita telepon Amira aja, suruh dia tanggung jawab.”

Sri mengangguk cepat. “Telepon sekarang.”

Dewi sudah membuka ponselnya, tangannya gemetar menahan emosi. Ia mengetik cepat, lalu menekan tombol panggil. Namun panggilan dari nomor Dewi tidak dapat tersambung ke ponsel Amira.

“Bu, nomorku diblokir Amira.”

“Mampus,” desis Dewi, wajahnya merah padam. Ia mengangkat kepala menatap Desi. “Dia blokir kita semua.”

Desi menatap ponselnya sendiri, mencoba menghubungi nomor yang sama. Hasilnya serupa.

Sri mengatupkan rahang. “Dia pikir dia siapa...”

Desi mengepalkan tangan. “Bu... Aku malu! Semua orang jadi memperhatikan kita gara - gara Amira!"

Arif yang duduk di shaf laki-laki, juga merasakan tatapan beberapa jamaah yang tidak enak tertuju padanya.

Bahkan seorang lelaki yang duduk di sebelah kanan Arif, berbisik padanya. "Mas Arif, dengar - dengar mau nikah lagi ya? Semoga rukun kedua istri nya, Mas," ujar lelaki di sebelah Arif.

Arif hanya tersenyum kecut. Dia mencoba menelepon Amira tapi ternyata nomornya juga sudah diblokir.

***

Amira melajukan mobil dengan kencang, jalanan tampak lengang. Para pengguna jalan yang biasanya memadati arus lalu lintas, sedang melakukan salat iedul fitri.

Dalam hati Amira menahan tangis, karena dia rindu lebaran tahun lalu saat ibunya belum terbaring di ICU karena stroke.

Setiba di rumahnya, Amira segera menuju ke kamar dan memasukkan semua baju dan barang Arif ke dalam kardus, lalu menulis kan alamat kantor tempat Arif bekerja. Tak lupa Amira menambahkan tulisan yang provokatif pada nama penerima.

Untuk : Arif Adinata, tukang kawin lagi. (Hati - hati untuk perusahaan tempat mas Arif bekerja, kalau mas Arif bisa mengkhianati istri yang tiap hari tidur bersamanya, dia bisa juga mengkhianati perusahaan tempat dia bekerja!)

Next?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 11 B

    Arif mendecakkan lidah. "Ah, Ibu! Kayak nggak pernah muda saja!" ujar Arif ketus. Suasana hening sejenak."Kenapa sih punya anak itu ribet? Susah? Kenapa nggak perempuan aja yang urus anak? Kan suami udah capek cari uang!" protes Arif lagi. Sri menghela napas panjang. "Memang seharusnya perempuan yang lebih banyak urus anak. Waktu kamu kecil, Ibu juga ngurus kamu dan kakak-kakakmu sendirian. Bapakmu mana pernah bantu.""Nah, itu maksudku! Harusnya ya gitu! Aku juga udah kerja keras, kenapa masih harus ikut ngurus anak segala?" Arif semakin kesal.Sri menatap putranya dengan sorot mata lelah. "Tapi kamu tahu nggak, Nak? Itu capek banget! Ibu hampir gila karena ngurus kalian bertiga sendirian. Kadang pengen nangis, pengen marah, tapi nggak ada pilihan."Arif terdiam sejenak, tapi lalu menggeleng dengan keras. "Tetap aja, Bu. Aku nggak terima kalau harus ikut-ikutan urus anak. Harusnya Rita yang tanggung jawab!"Sri menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. "Ya sudah, kalau begitu.

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   hutang 11 A

    Teriakan tangis Irwan menembus sunyi malam, menyentak Rita dari tidurnya. Kepalanya masih berat, tetapi naluri seorang ibu membuatnya langsung terbangun dan menghampiri anaknya. Dengan langkah tergesa, ia mendapati Irwan meringkuk di lantai, menangis tersedu-sedu."Ya Allah! Irwan!" Rita menggendong anaknya, menenangkan tubuh mungil yang masih tersedu. Matanya langsung mencari Arif, suaminya, yang berdiri tak jauh dengan wajah penuh keraguan."Kenapa dia jatuh?!" Rita mendelik tajam.Arif menghela napas panjang, tampak kesal sekaligus lelah. "Anakmu itu susah dibilangin, Rita. Dari tadi udah aku suruh tidur, malah lompat-lompat di ranjang!""Anakmu?" Rita mengulangi dengan suara dingin. "Jadi karena dia bukan anak kandungmu, kau nggak peduli? Ini anak kita, Arif! Calon anak sambung kamu!""Jangan mulai lagi, Rita. Aku capek! Aku udah coba jaga dia, tapi dia bandel!"Mata Rita menyipit, amarahnya naik ke puncak. "Kau nggak sayang sama dia, ya? Itu sebabnya Tuhan nggak kasih kau anak ka

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 10 B

    "Iya. Kamu sudah terbiasa memasarkan produk. Kenapa nggak gunakan kemampuan itu untuk membangun sesuatu yang baru? Kamu bisa cerita tentang perjalananmu, atau... kalau berani, bahas soal Arif juga," Om Handoko menyarankan dengan senyum penuh arti.Mata Amira berbinar. Ide itu menggugah sesuatu dalam dirinya. "Jadi, aku bisa membagikan pengalaman, sekaligus membuka mata orang lain?""Tepat sekali. Banyak perempuan di luar sana yang mungkin mengalami hal sama. Mengalah pada rumah tangga nya. Dikhianati suami. Memiliki mertua dan ipar yang kejam. Kalau kamu berbagi, mereka bisa belajar dari pengalamanmu. Dan, siapa tahu? Ini bisa jadi awal yang baik untuk karier baru."Amira mengangguk, perlahan tapi pasti. "Baiklah, Om. Aku akan coba.""Dan kalau kamu mau mencoba, sepertinya kamu juga cocok untuk membuat tutorial make up. Bukan kah kamu dari dulu suka mencoba coba make up?"Amira terdiam sesaat."Atau kamu juga bisa berkarier dengan ijazah kamu. Kamu dulu lulusan pendidikan guru kan?"A

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 10 A

    "Halo Om, bisakah suami yang mencuri mahar dari istrinya dipenjara kan?" tanya Amira dengan suara bergetar. "Hah? Apa maksudnya, Ami? Mahar kamu hilang?"Amira menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri sebelum bicara. "Om... aku nggak tahu harus cerita ke siapa lagi. Mahar dari Arif... hilang, Om."Suara Om Handoko terdengar terkejut. "Apa? Mahar dari Arif hilang? Kapan kamu tahu?""Baru saja. Aku mencari di tempat biasa kusimpan, tapi nggak ada, Om. Aku curiga... Arif yang ambil," ujar Amira dengan suara bergetar."Arif? Kenapa kamu curiga dia?""Nggak ada orang lain yang tahu tempat aku menyimpannya, selain Arif, Om!"Om Handoko terdiam sesaat. "Oke, Om ke rumahmu sepuluh menit lagi. Jangan panik dulu, ya."Amira mengangguk meski tahu Om Handoko tak bisa melihatnya. Setelah menutup telepon, ia segera memeriksa kembali kamar dan laci tempat biasa ia menyimpan perhiasan itu. Tak lupa Amira memeriksa tempat penyimpanan sertifikat rumahnya di lemari kamar mendiang ibunya."Huft, u

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 9 B

    Arif melirik ke arah perhiasan Desi dan Dewi. "Kemarin kayaknya kalian nggak pake perhiasan deh, Mbak!? Sekarang kok kalung atau gelang? Berikan saja perhiasan itu biar kujual dan kujadikan DP mobil. Aku pulang dengan apa kalau nggak naik mobil? Naik bis, pasti berdesakan. Naik kreta, aku kehabisan tiket. Mau naik motor? Aku capek di jalan!Kemarin aku menyerah kan mobil pada Amira secepatnya, agar namaku juga tidak viral karena berniat nikah lagi. Sekarang karena keadaan sudah aman dari Amira, kalian harus bayar hutang. Dan minimal ada jaminannya. Jaminannya perhiasan kalian itu, Mbak!" ujar Arif menatap tajam ke arah Desi dan Dewi. Sri memandang ketiga anak nya secara bergantian. "Arif benar. Kalian sebagai kakak dari Arif yang lebih mapan dan bahkan Dewi sudah jalan jalan ke Singapura, seharusnya tahu diri dan bayar hutang pada Arif segera. Apalagi dia juga membutuhkan uang," ujar Sri tegas. Desi dan Dewi berpandangan, lalu dengan menghela napas panjang, mereka melepas perhias

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 9 A

    Sri duduk di kursi rotan, mengamati anaknya, Arif, yang terlihat begitu percaya diri. Dua kakaknya, Desi dan Dewi, baru saja datang, membawa keresahan yang sama."Apa kamu gila, Rif?" suara Desi meledak begitu saja. "Bagaimana kalau Amira sampai tahu kalau maharnya diambil olehmu?"Arif hanya menyeringai, menyendok opor ayam ke piringnya dengan santai. Belum sempat ia menjawab, Dewi ikut menyusul, matanya ta j am men us u k ke arah adiknya."Lalu bagaimana kalau Rita tahu kalau maharnya palsu?"Arif tertawa kecil, menikmati ketegangan yang ia ciptakan. "Tenang saja, mereka nggak akan tahu. Aku sudah punya rencana untuk mengantisipasinya," ujarnya dengan penuh percaya diri.Desi dan Dewi saling berpandangan, lalu bergerak ke arah meja makan. Mereka mengambil mangkuk dan mulai menyendok opor ayam."Bu, minta opor, aku nggak masak," kata Desi, hampir bersamaan dengan Dewi yang berkata, "Aku juga, Bu."Sri hanya mengangguk, menyodorkan sendok besar ke arah anak-anaknya. Namun, sorot matan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status