Share

Hutang 6

Author: ananda zhia
last update Last Updated: 2025-05-29 22:35:29

MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID (6)

Amira tertawa kecil, namun tawanya terdengar tajam dan penuh ironi. "Hati-hati saja kamu nanti setelah menjadi istri Mas Arif, siapa tahu kamu akan dihutangi terus oleh keluarga Mas Arif," kata Amira dengan nada sinis. "Seperti yang sudah kamu dengar dari toa masjid tadi."

Rita semakin melongo.

Rita memandangnya tajam, seperti mencari kebenaran lain dari ucapan itu. Namun sebelum ia sempat berkata lagi, Amira membalikkan badan. Kakinya melangkah pasti menuruni teras rumah Sri yang mulai retak di ujung tangga.

“Amira, tunggu!” panggil Rita, tapi Amira tak menoleh.

Tangannya gemetar saat membuka pintu mobil Arif, namun ia berhasil duduk dan menutupnya dengan satu hentakan tegas. Kunci diputar. Mesin meraung. Dalam sekali tarikan napas, mobil itu melaju keluar dari halaman.

Di kanan-kiri jalan, suara takbir masih bergema. Anak-anak berlarian, membawa bedug kecil, tertawa lepas tanpa beban. Amira menatap lurus ke depan, tangannya menggenggam erat setir. Tapi matanya berkaca-kaca.

“Jangan… jangan di sini,” bisiknya pada dirinya sendiri. Ia menegakkan punggung, menarik napas dalam-dalam, menahan air mata yang sudah mengambang di pelupuk.

Satu kali ia menguap. Lalu sekali lagi. Kepalanya terasa berat, lelah menumpuk tanpa ampun. Mobil itu melaju melewati lampu jalan yang bergantian menyala di kejauhan. Dunia terasa asing malam itu.

Amira menepikan mobil di bahu jalan. Mesin dimatikan. Ia mendongak, menatap langit yang pekat, bertabur bintang, namun rasanya kosong.

“Aku ingin sekali tidur di hotel,” gumamnya pelan, suaranya nyaris bergetar. “Tapi… aku lagi nggak megang uang banyak.”

Ia memejamkan mata sejenak, bayangan ibunya yang terbaring di ICU menyelinap dalam pikirannya. “Apalagi ibu masih di rumah sakit sendirian,” lanjutnya dengan napas berat. “Apa yang harus kulakukan?”

Tangannya mengusap wajah. Ia meraih ponsel, membuka kontak dan menatap satu nama yang menyelamatkan nya malam ini, Ana.

Telepon tersambung setelah beberapa dering.

“Halo?” suara Ana terdengar di ujung sana.

Amira menelan ludah. “Ana… ini aku, Amira. Maaf menganggu malam - malam.”

"Apa ada yang bisa kubantu lagi, Mir? Kamu jadi ke rumah mertuamu kan?"

“Iya,” jawab Amira lirih. “Kalau kamu nggak kasih tahu aku soal rencana pernikahan mereka, aku nggak tahu apa yang terjadi malam ini. Aku udah lega karena sudah mempermalukan keluarga mas Arif.”

Ana terdiam di seberang. Hanya ada suara tarikan napasnya.

“Tapi aku nggak nyesel,” lanjut Amira, suaranya mengeras. “Aku malah lega. Semua topeng mereka akhirnya lepas.”

Ana menarik napas panjang. “Aku cuma… aku nggak tega liat kamu dibohongi terus.”

Ada jeda yang membuat Amira bimbang. Tapi ia tahu, ia harus mencoba.

“Ana…” suaranya pelan, seperti ragu. “Boleh aku… pinjam uang?”

Ana terdengar kaget. “Berapa?”

“Sejuta aja,” ucap Amira, suaranya semakin pelan. “Aku… nggak punya tempat tidur malam ini. Mau pulang ke rumah, aku takut tertidur saat menyetir."

Di seberang, Ana menghela napas. “Maaf banget, Mir. Uangku juga tinggal buat makan dan bensin beberapa hari ke depan. Habis buat beli kebutuhan Lebaran.”

Amira menggigit bibir, menahan kecewa. “Nggak apa-apa. Makasih, Ana.”

Telepon terputus. Amira menghela napas panjang, lalu membuka kontak lain di ponselnya. Ia mengetik cepat: Om Handoko.

Telepon terhubung setelah dering ketiga.

“Amira?” suara berat itu menyapa.

Amira menarik napas, mencoba bersikap tenang. “Om… aku mau pinjam uang. Aku.. Sedang dalam perjalanan pulang ke rumah mertuaku. Karena mas Arif ternyata mau nikah lagi. Aku... mau pulang ke rumah, tapi takut tertidur saat nyetir, Om.”

“Berapa?” tanya Om Handoko, langsung.

“Sejuta buat sekarang,” jawab Amira, menunduk. “Aku juga mau jual mobil. Kalau Om mau beli, aku nggak akan nawar banyak. Ini untuk berobat ibuk.”

Ada jeda di sana. Lalu suara Om Handoko terdengar lagi. “Kamu kenapa, Mir?”

“Om… aku cuma butuh uang buat bertahan malam ini,” jawabnya dengan pelan.

“Kirimin nomor rekening. Uang mukanya Om transfer sekarang,” ucap Om Handoko tegas. “Mobilnya nanti Om lihat pas Om balik dari luar kota. Sekaligus menjenguk ibumu, Mir. Maaf kalau Om hanya bisa menjenguk sesekali sejak ibumu masuk ICU."

Amira menahan isaknya. “Tidak apa- apa, Om. Makasih, makasih banyak.”

Notifikasi transfer masuk di layar ponselnya. Amira memejamkan mata sejenak, lalu menghidupkan mesin mobil.

Ia melaju menuju hotel bintang lima di pusat kota, membayar kamar dengan sisa energi yang ada. Malam itu, ia rebahkan tubuhnya di kasur empuk, membiarkan kelelahan mengendap bersama suara AC yang mengisi keheningan kamar.

Pagi harinya, Amira berdiri di depan cermin kamar hotel. Wajahnya terlihat lebih segar, meski kantung mata masih kentara. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu bersiap untuk pulang.

Baru saja Amira masuk ke dalam mobil, ponselnya bergetar. Ia menatap layar. Nama Arif muncul, diikuti Sri, lalu kedua mantan iparnya.

Dengan satu ketukan, Amira memblokir semuanya dari W******p. Ia mendesah, merasa lebih ringan. Tapi kemudian, sebuah pesan SMS masuk.

[Gara-gara perbuatan kamu semalam, saat aku dan keluargaku salat Ied, para tetangga mempermalukan kami!]

Amira menyimpan ponselnya ke dalam tas selempang nya. “Bagus,” gumamnya. “Itu baru awal. Nanti kalian akan mengalami rasa sakit yang jauh lebih berat daripada yang kurasakan sekarang," ujar Amira seraya menghidupkan mesin mobilnya.

Next?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 30 B (tamat)

    Saat Handoko membukakan pintu, Amira turun perlahan. Tangannya masih lemah, tapi semangatnya membuncah. Saat kakinya menginjak permadani merah di depan pintu utama, matanya membelalak. Taburan kelopak mawar merah dan putih tertata rapi di atas permadani, membentuk jejak menuju dalam rumah."Masya Allah..." bisiknya.Aroma harum dari lilin aroma terapi menyambutnya, berpadu dengan semerbak mawar yang lembut. Ruang tamu bersih, rapi, dan berhiaskan bunga segar."Selamat datang kembali di rumah, Non Amira!" Amira menoleh dan langsung tersenyum lebar. Bi Inem dan Mbok Sumi berdiri berdampingan menyambutnya. keduanya tersenyum hangat. "Bi... Mbok..." Amira memeluk mereka bergantian."Alhamdulillah Non Amira sehat walafiat," ucap Mbok Sumi, matanya berkaca-kaca."Terima kasih, Mbok... Bi... Kalian sudah repot-repot," balas Amira."Aduh, Non... jangan begitu... Justru kami yang berterima kasih. Non Amira sudah menolong saya dari para penghadang itu... Saya benar-benar takut kalau sampai No

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 30 A

    Bau obat yang menusuk hidung adalah hal pertama yang disadari Amira saat perlahan-lahan kesadarannya kembali. Pandangannya buram, lalu semakin jelas. Langit-langit putih, cahaya lampu neon, dan suara mesin monitor detak jantung yang berdetak pelan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada.Kepalanya terasa berat, nyeri menjalar dari pelipis hingga tengkuk. Saat ia berusaha menggerakkan tangan, terasa ada genggaman hangat yang menahannya."Amira... kamu sudah sadar, sayang?" suara itu lirih, penuh kekhawatiran.Amira menolehkan kepala. Di sebelah tempat tidurnya, duduk Handoko dengan wajah kusut dan mata sembab. Pria itu menggenggam tangan Amira erat seolah tak ingin kehilangan momen kebersamaan itu lagi."Mas Handoko..." suara Amira serak. "Maafkan aku... karena aku keluar rumah tanpa izinmu, sehingga semua ini terjadi."Handoko menggeleng cepat, matanya berkaca-kaca. "Jangan pernah berkata seperti itu. Kamu tidak salah. Yang salah adalah orang-orang

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 29 C

    Namun saat mobil itu bergerak memasuki area sawah yang sepi, empat pria berpakaian serba hitam tiba-tiba berdiri mengadang jalan. Mereka tidak mengenakan penutup wajah, namun sorot mata mereka tajam seperti pisau yang siap mengoyak.Amira refleks menginjak rem."Apa itu... geng motor?" bisik Bi Inem, tubuhnya mulai bergetar.Salah satu dari pria itu maju mendekat. Tubuhnya besar, tangan bertato, dan suaranya dalam saat berkata, "Turun dari mobil sekarang juga."Amira menatap lurus ke arah pria itu dari balik kaca jendela. Matanya tak bergeming. Dulu, mungkin dia akan panik dan menangis. Tapi sejak bercerai dengan Arif, dia bertekad tak ingin jadi perempuan lemah lagi. Latihan karate selama setahun mulai menunjukkan hasil—bukan cuma ototnya yang kuat, tapi juga keberaniannya.Tanpa ekspresi takut, Amira mengambil ponsel dari dashboard, lalu cepat-cepat menghubungi nama yang sudah tersimpan dengan label "Handoko - Darurat". Begitu panggilan tersambung, dia sembunyikan ponselnya di bawah

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 29 B

    Mendadak Amira menggigil. Dia jadi teringat Arif yang sudah meninggal. Amira merasa bersalah karena menurut nya dialah yang menjadi penyebab kematian Arif. "Kenapa mbak Desi menghubungi ku? Apa dia akan membalas kematian adiknya!?" gumam Amira. Belum sempat Amira membalas pesan dari Desi, Desi lebih dulu melakukan panggilan telepon padanya. Dengan ragu, Amira menerima panggilan suara yang masuk ke ponselnya itu. "Ha... lo?!"Hening sejenak. "Halo, Amira! Aku ingin meminta maaf atas semua kesalahan ku dan seluruh keluarga ku. Apa kita bisa bertemu?" tanya Desi dari seberang telepon. Amira mengerutkan dahinya menerima permintaan maaf yang menurut nya aneh itu. "Aku menemukan kalian telah memeras almarhum bunda dengan memfitnahku. Rasanya aku susah menerima maaf kalian. Tapi aku mendengar kabar jika mas Arif sudah meninggal dunia. Jadi aku akan menganggap kalau sekarang kita impas," ujar Amira lirih. "Kalau begitu kita bisa bertemu hari ini kan?" tanya Desi. "Atau sesenggangnya k

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   hutang 29 A

    Hari itu, hujan turun sejak pagi. Gerimisnya tipis, tapi dinginnya menusuk sampai ke dalam dada. Di sebuah ruang tunggu kantor polisi, dua perempuan duduk bersebelahan dalam diam. Wajah mereka pucat, mata mereka kosong, dan tangan mereka saling menggenggam seolah dunia akan runtuh kapan saja.Desi menatap lantai. Ibunya, Sri, duduk kaku di sampingnya.Tak lama kemudian, seorang petugas berpakaian preman keluar dari dalam ruangan dan memanggil nama mereka.“Ibu Sri, Mbak Desi… mohon ikut saya sebentar.”Mereka berdiri tanpa suara, melangkah ke ruangan kecil dengan lampu temaram dan aroma lembab kertas tua. Di sana, seorang polisi senior duduk dengan map di tangannya. Tatapannya berat.“Kami mohon maaf sebelumnya… tapi kami harus menyampaikan ini secepatnya.”Sri mencengkeram tangan Desi.“Apa… ada apa dengan anak saya?”Polisi itu menarik napas panjang. Lalu mengucapkan lima kata yang membuat waktu seolah berhenti:“Arif ditemukan meninggal tadi malam. Berkelahi dengan sesama napi.”“T

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 28 B

    Amira menatapnya. “Apa maksudmu?”“Artinya, semua akan dibuka. Hubunganmu dengan Arif, masa lalu kalian. Tapi... Arif akan ditahan secara hukum. Tidak hanya ditangkap sementara. Semua akan berjalan melalui jalur yang sah.”Amira menggigit bibir bawahnya. Lama. Tapi akhirnya ia mengangguk.“Lakukan, Mas. Aku sudah lelah dengan balas dendamku yang dulu. Biar saja dia ditahan.”Handoko tersenyum tipis, walau tak ada kelegaan di balik matanya. “Baik. Aku akan urus semua malam ini juga. Arif akan masuk tahanan sebelum pagi.”Amira menarik napas panjang. Entah karena lega, atau karena tahu semuanya baru saja dimulai.Handoko bangkit dari kursinya dan berjalan ke jendela, menatap keluar. Lalu ia berbalik, memandang Amira yang kini menatap kosong ke mangkuk sup yang telah dingin.***Ketika Arif dibawa masuk ke ruang tahanan, wajahnya tampak tenang. Dua polisi menggiringnya melintasi lorong sempit dengan dinding lembab, melewati para tahanan lain yang menatap dengan campuran penasaran dan jij

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status