(POV AIRA)"Ngga usah, Mas. Aku pulang naik taksi aja. Mas jumpai aja dulu Safia." Aku menolak tawaran Mas Raihan. Kesal, dong, ya. Dia mengagumi wanita lain di depanku. Menceritakan keistimewaan wanita itu tanpa memikirkan perasaanku sama sekali. Apa tidak terbersit di pikirannya tentang perasaanku? Sedikit saja."Kamu kenapa, sih?" tanyanya sambil menahan pintu agar aku tidak bisa keluar."Kamu yang kenapa, sih, Mas? Aku mau pulang. Bosan di sini. Bikin gerah hati.""AC-nya kurang dingin? Aku setel ulang, ya.""Ngga usah, Mas. Aku mau pulang."Aku semakin tidak bisa menahan sedih. Meski baru saja menikah, tapi aku selalu mencoba untuk menumbuhkan rasa cinta pada Mas Raihan. Sama sekali tak pernah terpikir untuk meninggalkannya atau mencari orang lain untuk dicinta. Bagiku, Mas Raihan-lah orang yang harus kuperjuangkan hingga nyawa terpisah dari raga."Ya sudah. Aku antar."Kami berjalan terpisah. Dia berjalan di depan, sementara aku memperlambat langkah di belakang. Aku melihat Saf
(POV RAIHAN)Lama sekali Aira membuka pintu kamar. Sebenarnya dia ingin membahas apa? Masalah rumah tangga? Ada apa memangnya?"Aira ...!""Iya, Mas."Pintu pun terbuka. Kulihat Aira berdiri menundukkan kepala. Matanya menatap lantai."Kita ngobrol di mana? Di sini atau di dalam?""Di dalam aja."Dia minggir memberi jalan. Aku masuk dan langsung menuju kursi mendudukkan badan. Kulihat Aira berjalan perlahan. Bukan memilih kursi di depanku, ia malah duduk di pinggir ranjang."Aku mau ngobrol serius, Mas.""Tentang apa?" tanyaku tak kalah serius. Bocah ini memang pintar, dia bisa memasang wajah seserius ini, dan bisa juga menjadi gadis paling iseng dengan segala bentuk banyolannya."Bagaimana kelanjutan perasaan Mas untuk Safia?"Aku kaget mendapat pertanyaan seperti itu. Bukan urusannya kurasa. Apa dia perlu tahu secara mendetail tentang apa yang kurasa?"Masih sama. Aku mencintainya.""Kapan akan Mas ungkapkan ke dia?""Sesegera mungkin!"Kulihat Aira menarik napas. Wajahnya ditekuk t
(POV RAIHAN)Gawat!Aira sudah meminta naik level. Dia tidak mau disebut sebagai sepupu. Aku harus memutar otak agar bisa menjaga semuanya. Apa aku harus membongkar siapa Aira di depan Safia? Di sisi lain, jika aku menolak permintaan Aira, maka dia akan memilih pergi. Ini yang lebih bahaya. Jika Ibu tahu, aku akan kehilangan cinta dari orang yang sangat berharga dalam hidupku."Mas, jadi aku tidur di kamar Mas, nih?" tanya Aira semringah."I ... iya." Aku menjawab kikuk.Aira pun tampak bersemangat. Dia kembali mengeluarkan semua baju yang telah dimasukkan ke dalam koper."Besok aja itu. Kita makan dulu. Aku lapar," ajakku.Dia pun meletakkan kembali baju-baju tersebut di atas tempat tidur.Kemudian menggandeng tanganku keluar kamar.Aku bagaimana? Ya, pasrah!***"Kamu ngapain?" tanyaku pada Aira. Melihat dia sedang sibuk di atas tempat tidur.Malam hampir larut. Setelah selesai makan malam bersama Aira, aku meminta izin masuk ke ruangan kerja. Pada Aira kusampaikan, jika ada hal yan
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa sebentar lagi bulan suci Ramadhan akan bertamu. Raihan dan Aira melewati hari-hari seperti biasa. Aira dengan segenap jiwa mencurahkan rasa terhadap pernikahannya, sementara Raihan masih saja menikmati segala bentuk kebohongannya terhadap sang istri.Dalam diam, lelaki itu masih saja sering memikirkan Safia. Mengkhayalkan setiap kebersamaannya dengan wanita cantik itu. Padahal belum pernah sekali pun ia mengungkapkan perasaannya pada wanita itu. Safia pun tampaknya sangat senang saat sedang bersama dengan Raihan. Banyak hal yang mereka bicarakan, terkadang Omar sampai terkantuk-kantuk menemani mereka saat bertemu. Ya, Safia tidak pernah mau duduk berdua saja dengan Raihan. Wanita berjilbab itu selalu mengajak orang lain untuk menemani, atau ia meminta Raihan agar membawa serta Omar saat mereka merencakan ingin bertemu di luar kantor.Aira sudah jarang meminta untuk ikut. Gadis itu telah disibukkan dengan pekerjaan barunya. Ia sudah bekerja di seb
Bila tiap prasangka adalah doa, lebih baik berprasangka yang baik saja.***"Aku pulang sendiri aja, Mas.""Kenapa? Kita barengan aja. Ketemu ibu, mak sama abah. Nanti kalau kamu sendiri pasti mereka tanyain aku ke mana.""Ya aku jawab kalau kamu kerja." Aira menjawab sambil menyapu sudut mata. Hidungnya tampak memerah serta wajah yang sembab."Kamu kenapa, sih, Ra. Aku kadang bingung hadapi kamu. Sedikit-sedikit nangis. Kalau ada masalah, ya, dikasih tau. Aku bukan dukun lho yang bisa menebak setiap pikiran kamu." Raihan terlihat kes menghadapi Aira. Gadis itu masih saja terisak sejak tadi. Rambut jatuh berurai menutupi wajahnya.Bukannya menjawab, Aira malah semakin tergugu. Dia merasa selama ini Raihan hanya berpura-pura saja.'Jika memang ia menginginkanku, kenapa hingga detik ini lelaki itu sama sekali belum menyentuhku?' Batin Aira."Besok aku antar. Kita pulang sama-sama," ucap Raihan. Kemudian dia berlalu dari kamar meninggalkan Aira sendirian. Gadis itu masih terisak, sama se
(POV RAIHAN)"Istri Pak Raihan?" Omar membelalakkan mata tak percaya.Aduh, asli gawat!Seharusnya aku tidak keceplosan sehingga membongkar semua. Lalu, tidak ada angin tidak ada hujan, kenapa pula Omar ingin melamar Aira?"Iya. Dia istriku.""Tapi, bapak bilang sepupu. Trus bapak sama Mbak Safia?""Aku dan Aira dijodohkan. Kami ngga saling cinta.""Astaghfirullah, Pak. Kasian Aira, eh Mbak Aira ... duh, Buk Aira kalau bapak bersikap begitu. Cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya. Ikhlas, terima dan jangan tutup mata serta hati untuk orang yang ada di samping kita.""Kamu nikah aja belum, sok nasehatin," ucapku sambil tertawa. Masih tak habis pikir kenapa Omar bisa tertarik dengan Aira. Sementara dia bertemu hanya beberapa kali saja."Serius, Pak. Apalagi bapak bilang Buk Aira itu sepupu bapak, hatinya pasti sedih dan sakit. Saran saya, Pak. Sebelum bapak memperlakukan istri bapak begitu, coba posisi ditukar. Buk Aira berada di posisi bapak dan bapak berada di posisi Buk Aira, apa ya
(POV RAIHAN)"Sebelum kita benar-benar berpisah setelah lebaran, selama satu bulan ini perlakukanlah aku layaknya istrimu. Hanya satu bulan. Setelah itu aku akan pergi."Aku menatapnya lekat. Sementara ia menundukkan pandangannya. Lagi-lagi Aira mengucurkan air mata. Aku merasa kasihan padanya. Juga merasa bersalah karena telah menyakitinya. Namun, sungguh, aku sudah mewanti-wanti jauh-jauh hari sejak aku membawanya ke Malang, agar ia tidak memainkan perasaannya. Aku sudah mengatakan jika dia bisa mencari orang lain, aku tidak menghalangi. Namu, ia bersikeras untuk mencoba membuatku untuk jatuh cinta. Lihat saja sekarang, siapa yang kesulitan?"Sudah berapa kali kamu menangis hari ini, Ra?" tanyaku sembari mengangkat dagunya. Air mata di wajahnya merembes tanpa henti. Sesedih itukah? Ah!"Jangan larang aku, Mas.""Iya. Aku ngga larang. Hanya aku heran aja, apa yang sedang kamu sedihkan?""Kamu itu benar-benar ngga tau atau ngga mau tau, sih, Mas?""Ah! Sudahlah. Aku menyanggupi persya
Walau dengan siapa pun Allah menjodohkan kita, bersyukurlah dengan kelebihannya dan bersabarlah dengan kekurangannya. (Quote by someone)***"Kalau mau ikutan mandi juga ngga apa-apa, Mas," ujar Aira sambil menaikkan kedua alisnya.Kali ini justru Raihan yang terdiam. Malah Aira yang balik menggoda. Raihan baru ingat jika Aira memang lebih jago dalam hal itu dari pada dirinya.Ditantang begitu, Raihan memilih berlalu. Ia berjalan melewati Aira."Eh! Ke mana? Ngga jadi?" Aira tak henti menggoda Raihan.Gegas Raihan melarikan diri.Aira pun berjalan ke kamar mandi sambil tak henti tersenyum melihat tingkah Raihan."Apakah akan ada pertanda baik, Tuhan?" lirih Aira pelan.Di teras rumah, Raihan duduk seorang diri. Lelaki itu memegang ponsel rahasia yang sengaja ia bawa dari Malang. Ingatan akan Safia kembali muncul, padahal sudah beberapa saat terlupa. Dia kembali membuka foto-foto wanita itu di dalam galeri ponselnya. Ada puluhan foto Safia yang tersimpan. Raihan sengaja melakukannya.S