Share

BAB 6: IJAB QABUL

Penulis: Andri Lestari
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-19 00:40:49

"Saya terima nikah dan kawinnya Aira Muthmainnah binti Ahmad Ruslan dengan mas kawin sepuluh gram emas dibayar tunai."

"Bagaimana saksi? Sah?"

"Sah!"

"Alhamdulillah."

Dengungan hamdallah terdengar memenuhi ruangan masjid Baiturrahim. Tempat dilaksanakannya akad nikah Raihan dan Aira.

Di tengah para keluarga yang hadir, Aira terlihat menitikkan air mata. Ada rasa haru yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Siapa sangka jika dia telah menjadi istri dari anak majikan tempat ibunya bekerja dulu. Menjadi istri dari seorang pengusaha muda sukses, pemilik showroom mobil di Malang.

"Mempelai pria dan wanita dipersilakan untuk berdiri. Kepada mempelai pria agar bisa memasangkan perhiasan emas dalam bentuk kalung dan cincin pada mempelai wanita." Moderator memberikan aba-aba.

Raihan berdiri dan berjalan ke posisi yang telah disediakan. Demikian juga Aira, ia tampak susah mengangkat gaun terusan yang dikenakan. 

"Mempelai wanitanya mohon dibantu, Ibu-ibu."

Seorang ibu membantu Aira dan mengantarkannya menuju Raihan. Aira masih menundukkan pandangannya.

Raihan melirik sedikit wanita yang kini sudah menjadi istrinya itu.

'Ck! Masih juga suka nunduk. Apa ngga sakit tuh leher. Lihat, kok, ke bawah aja,' umpatnya dalam hati.

Raut wajah dingin Raihan tidak berubah sedikit pun. Bahkan saat tangannya menyentuh leher serta jemari Aira. Ia menyematkan perhiasan tersebut tanpa senyum dan kebahagiaan yang terpancar. Demikian juga Aira, dia sama sekali tidak berani melihat wajah Raihan.

Setelah sesi sungkeman dan foto-foto berakhir. Mereka melanjutkan perjalanan menuju hotel tempat diadakan resepsi. Di sana Raihan dan Aira berganti pakaian terlebih dahulu. Menggunakan pakaian adat Jawa lalu duduk di pelaminan.

Tamu undangan terlihat ramai sekali. Kedua orang tua Aira dan Raihan sedang duduk bersama di satu meja. Ibu Hafsah terlihat sangat bahagia. Ia tak henti menyunggingkan senyum ketika meladeni para tamu.

Di pelaminan, Raihan terlihat gagah dalam balutan busana hitam bludru bercampur warna emas. Demikian pula Aira, hanya saja wajah perempuan itu tidak terlihat akibat cadar yang ia gunakan.

Meskipun duduk berdampingan di atas pelaminan, tapi sama sekali tak saling bersentuhan. Raihan tetap fokus ke depan, begitu juga dengan Aira.

Hingga acara selesai, tak ada sepatah kata pun yang diucapkan. Aira merasa tak enak hati. Namun dia berusaha untuk tetap berpikiran baik. 'Barangkali ia lelah.' Gadis itu membatin.

***

Malam harinya mereka menginap di hotel yang sama, sebelum esoknya kembali ke Malang, tempat Raihan menetap. Semenjak setelah bekerja, Raihan memang tinggal terpisah dengan ibunya. Sang ibu menetap di Surabaya. Raihan sudah pernah mengajak ibunya untuk ikut pindah, tapi wanita itu menolak, alasannya rumah peninggalan sang suami harus dirawat dan ditempati. 

Aira tampak gamang. Ia duduk di tepi tempat tidur. Menebar pandang ke seisi ruangan kamar yang sudah di sulap sedemikian rupa. Di atas ranjang pun, banyak bunga mawar yang sengaja ditaburkan. Semerbak harumnya memenuhi seisi kamar. Sejak ia memasuki kamar tadi, Raihan sama sekali belum berada di sana.

"Ke mana dia?" lirih Aira pelan.

Sementara di luar kamar, Raihan sedang duduk bersama ibunya di dalam kamar yang lain.

"Kamu kenapa? Aira sedang nungguin kamu, lho." Bu Hafsah berujar sembari menepuk bahu putranya.

"Ngga kenapa-kenapa, Bu. Aku cuma mau habisin waktu sama ibu. Besok 'kan sudah harus balik ke Malang." Raihan menatap ibunya dengan tatapan sedih.

"Lha, biasanya 'kan juga begini, ya. Kamu datang sebentar, terus pulang lagi. Ngga pernah sedih."

"Iya, tapi sekarang aku sedih, Bu. Ibu ikut aku, ya, ke Malang. Rumah kita itu ngga akan terbengkalai. Aku akan gaji orang untuk bersihin rumah tiap hari."

"Ndak usah, Rai! Ibu masih kangen rumah kita. Banyak kenangan sama ayahmu di sana. Nanti kamu pasti paham setelah menjalani hari-hari bersama Aira. Sekarang kamu balik kamar, gih. Kasihan Aira."

Dengan terpaksa, Raihan mengikuti perintah sang ibu. Ia bangkit dan berjalan menuju pintu.

"Ikhlas. Jangan terpaksa hanya karena kasihan sama ibu. Percayalah, Nak, ndak mungkin ibu mau memberikan hal terburuk untukmu. Ibu akan selalu mendoakan rumah tangga kalian."

Raihan hanya membalas dengan sebuah senyuman. Tak guna menjawab, pikirnya.

Raihan melangkah berat menuju kamar. Kini ia telah memakai baju kaos lengan pendek. Dadanya yang bidang terlihat jelas sekali.

Aira kaget begitu mendengar suara kenop pintu terbuka. Wanita itu juga telah mengganti pakaiannya. Ia mengenakan baju terusan panjang, jilbab lebar, kaos kaki serta cadar. Raihan melihat ke arah Aira sekilas. Kemudian ia berlanjut berjalan ke kamar mandi.

"Mas ...." Panggil Aira sebelum lelaki itu menghilang di balik pintu kamar mandi.

Sepi! Raihan sama sekali tidak menggubris Aira.

Gadis bercadar itu kembali menunduk. Matanya terasa panas. Hatinya sakit karena diabaikan.

Jarum jam bertengger di angka sembilan. Aira merasa sangat lapar. Perutnya keroncongan. Makanan sudah terhidang sejak tadi, akan tetapi ia masih menunggu Raihan. Sudah hampir satu jam elaki itu belum keluar dari kamat mandi.

Aira bingung harus bagaimana. Di samping lapar, ia juga merasa sangat lelah. Ingin sekali ia berbaring meluruskan badan. Namun, lagi-lagi gadis itu merasa tidak enak. Ia takut jika nanti saat Raihan keluar dari kamar mandi dan melihatnya sedang tiduran. Aira merasa risih sendiri.

"Mas. Masih lama?" Aira memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar mandi.

Sama sekali tak ada jawaban.

"Mas. Aku tunggu, ya. Kita makan sama-sama." Aira tak berhenti mencoba.

Ia bergeser dari pintu dan duduk di kursi menghadap meja makan. Melihat menu yang terhidang, cacing-cacing di dalam perutnya kembali berontak.

Akhirnya pintu kamar mandi terbuka juga. Raihan berdiri di ambang pintu dan melihat Aira yang terkantuk-kantuk di meja makan.

"Kamu mau makan atau mau tidur?" Pertanyaan Raihan membuat Aira terkejut. Ia mengucek matanya berkali-kali. 

"Eh, Mas Raihan. Aku lapar plus ngantuk, Mas."

Raihan mendekat dan duduk di depan Aira. Aira memberanikan diri melihat ke arah suaminya. 'Masih baju dan celana yang sama. Dia ngga mandi, terus selama satu jam lebih dia ngapain aja?' Batin Aira.

"Kamu mau makan atau mau lihat aku terus? Memangnya lihat aku begitu bisa bikin kenyang?"

Buru-buru Aira membuang pandangannya,  menekuri makanan yang ada di meja. Dengan hati-hati ia mengambil satu persatu menu dan memindahkan ke piringnya.

"Mas mau yang mana?" Tanpa melihat Raihan, wanita itu mengambil piring suaminya. Namun Raihan merebut piringnya kembali, "Aku bisa sendiri," ucapnya ketus.

Aira merasa takut melihat kelakuan Raihan. Perlahan ia mengangkat garpu berisi steak daging sapi. Tangannya sedikit gemetar.

Raihan melihat Aira tajam. Sendok di tangan diletakkan dan mulutnya berhenti mengunyah.

"Kamu mau makan dengan wajah tertutup begitu?" sungut lelaki tersebut.

Aira terdiam. Ia meletakkan sendok yang hampir masuk ke mulut. Kemudian tangannya mengarah ke tali cadar yang terikat di bagian belakang kepala.

Tali terlepas, namun cadar belum terbuka. Ia merasa gugup yang teramat sangat. Apalagi tatapan Raihan tidak berpindah sedikit pun. Ternyata lelaki itu pun juga sudah tak sabar ingin melihat wajah sang istri.

***

Apa yang akan terjadi kemudian??

Next, ya. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 50: (POV RAIHAN) (TAMAT)

    "Menuruti emosi dan keras kepala hanya akan merugikan, dan penyesalan adalah hadiah yang tepat untuk diterima."***Aku duduk termenung di depan gundukan tanah Merah yang masih basah. Aroma khas dari tanah yang disiram rintik hujan menyapa lembut di indra penciuman. Para pelayat yang lain sudah meninggalkan tanah pekuburan. Hanya aku, Abah, Mak, Ibu serta beberapa tetangga dekat yang masih bertahan.Kami masih khusyu dengan doa masing-masing. Terutama aku, banyak hal yang masih kupertanyakan pada Tuhan, juga banyak hal yang akan kupinta pada-Nya. "Raihan, sudah. Kita pulang. Sebentar lagi hujan lebat," ujar Abah. Sebelah tangannya berada di pundakku. Aku bergeming. Hanya menggeleng saja tanpa menoleh ke arah Abah. "Besok dilanjut lagi, Nak Raihan. Kamu juga harus istirahat. Semalam kamu belum tidur." Kudengar suara Mak ikut menimpali. "Aku masih ingin ngobrol dengan Aira, Mak, Bah. Aku masih mau di sini.""Ya sudah. Kami pergi terlebih dahulu, ya. Ibu tunggu di rumah mertuamu."Aku

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 49: (POV RAIHAN)

    "Aira....!"Aku berteriak nyalang. Bungkusan rujak di dalam kantong lepas di tangan. Mak dan Abah berbalik badan. Tangis keduanya semakin menjadi saat melihatku masih berdiri di belakang mereka.Aku menubruk tubuh Aira dan segera mengangkatnya sambil berlari ke luar rumah. Darah segar masih saja tampak mengalir menyentuh telapak kaki wanita yang sudah sangat pucat ini. Panik dan bingung membuatku tak bisa berpikir jernih. Di belakangku Mak dan Abah masih menangis sambil ikut berlari mengikutiku. "Aira. Bangun, Sayang. Ini Mas datang. Mas bawa rujak pesananmu, Sayang."Aku menunggu Abah dan Mak masuk di bangku belakang. Kemudian aku meletakkan Aira perlahan di atas pangkuan mereka. "Raihan. Cepat, Nak. Aira sudah sangat lemah."Tanganku gemetar saat memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Tubuhku pun telah basah oleh keringat dingin. "Bah, ajak Aira bicara. Buat dia selalu sadar."Entah ilmu dari mana itu, yang ada di pikiranku adalah Aira harus sadar. Jangan sampai dia tertidur selama

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 48: (POV RAIHAN)

    POV RAIHAN***Setelah menghabiskan waktu satu jam menelepon Aira setelah subuh tadi, pagi ini aku berkemas dengan semangat. Tak sabar ingin menyelesaikan pekerjaan dan segera menjemput Aira di Surabaya. Aku ingin memeluknya dan bersimpuh di kaki wanita itu. Kesalahanku padanya sudah menggunung. Kuhadapi meja makan seorang diri. Biasanya selalu ada Aira menemani. Kali ini aku sarapan tanpa ditemani tatapan penuh cinta istriku. Aku sungguh menyesal telah menyia-nyiakannya beberapa hari ini. Mendiamkan Aira tanpa mempedulikannya sama sekali. Ponsel bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dan segera kubuka. Aku berharap itu adalah Aira. Benar saja, sebuah pesan masuk dari istriku. [Apa Mas masih menyimpan rasa untuk Safia?]Apakah dia masih belum percaya dengan penjelasanku kemarin? Yang dilihat oleh Aira di dekat lampu lalu lintas itu bukanlah sebuah kesengajaan. Lagi pula Safia telah menjadi istri orang. Dia adalah masa lalu yang sudah kukubur dalam-dalam. Jika pun sekarang aku be

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 47: (POV RAIHAN)

    "Pak, para klien sudah berkumpul di restoran, bapak di mana?" tanya Omar di seberang telepon. Aku menancap gas agar tak terlambat. Masih tersisa setengah jam lagi."Iya. 15 menit lagi. Minta mereka untuk menunggu sebentar lagi.""Bu Aira bagaimana?""Mereka sudah pergi. Kami selisih di jalan."Aku baru saja dari kafe yang disebutkan Aira tadi malam. Namun, setiba di sana, menurut karyawan kafe, mereka baru saja keluar dari tempat tersebut. Aku tidak menemukan siapa pun. Bermaksud menelepon Aira, ponselku pun tertinggal di dalam mobil. Begitu berada di dalam mobil, aku malah lupa menghubungi Aira karena panik mengejar waktu agar tak terlambat. Benar saja, ternyata para klien telah menunggu di restoran bersama Omar."Pak, saya boleh minta tolong? Safia di dalam taksi sekarang hendak menemuiku. Menurut Safia, sopir taksi tersebut sedang terburu-buru. Anaknya meninggal. Bisa Pak Raihan menunggu Safia sebentar. Posisinya ngga jauh dari posisi bapak sekarang.""Wah, kenapa dia ngga menumpa

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 46

    Berulang kali Aira menghubungi suaminya, akan tetapi Raihan tidak memberikan respon apa-apa. Aira merasa khawatir, karena sebentar lagi mereka akan tiba di lokasi tempat yang telah ditentukan. Adit juga telah mengirim pesan di IG sejak tadi, lelaki itu memberitahukan pada Aira jika ia telah tiba sejak tadi dan sedang menunggu kedatangan Aira. "Lu yakin, Ai, mau jumpa Adit tanpa suami lu?" tanya Lita. Wanita itu telah melambankan laju mobilnya. Aira tak menjawab. Ia hanya menaikkan bahu pertanda bimbang. "Ngga pa-pa, deh! Kalau suami lu memang ngga bisa datang, kami saja yang akan menghandel semuanya," ucap Sania kemudian. Aira merasa tak mungkin membatalkan pertemuan dengan Adit. Ini adalah kesempatannya untuk berbicara dengan lelaki itu. Padahal sudah sejak tadi malam Aira memberitahukan pada Raihan, agar lelaki itu bisa meluangkan sedikit waktu untuk pertemuan yang telah direncanakan. Namun, dia malah tak bisa dihubungi. Aira memantapkan diri untuk keluar dan segera menemui Adi

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 45: (POV AIRA)

    POV AIRA***Mas Raihan meneleponku. Dia marah karena Lita serta Sania menghubunginya. Dua sahabatku itu memang keras kepala. Sudah kukatakan agar jangan menghubungi Mas Raihan, tapi mereka tetap melakukannya. Percuma menelepon Mas Raihan, apa lagi menjelaskan semuanya tanpa bukti yang akurat. Mas Raihan tidak akan percaya karena dia mengira jika aku dan kedua sahabatku pasti bersekongkol. Aku tetap menghubungi Adit dan menetapkan jadwal pertemuan kami besok. Dari cara-cara lelaki membalas pesanku, dia terlihat sangat antusias. [Wow! Akhirnya aku bisa melepaskan rindu bersamamu, Cantik!]Muak aku membaca pesan balasan dari Adit. Kita lihat saja besok apa yang akan terjadi. [Kamu memang jahat, Dit. Tega sekali mau merusak rumah tanggaku.]Aku membalas pesan lelaki itu. [Lho! Aku ngga suka lihat suamimu, Ai!]Terserah juga dia mau bilang apa, aku akan menyelesaikan semuanya besok. Mas Raihan juga telah kuajak untuk ikut serta. Lelah rasanya berlarut-larut dalam masalah ini. Ditambah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status