Share

bab 7

"Hai Laila, apa saya boleh masuk?" tanya Satria sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Bo-boleh."

Laila mempersilakan Satria masuk ke dalam ruang tamu.

"Duduk Pak. Mau minum apa?"

Satria tersenyum dan duduk di sofa. "Terserah kamu, mau memberikan aku minuman apa saja."

"Baiklah Pak. Tunggu sebentar di sini." Laila lalu pamit dan pergi ke dapur untuk menyeduh kopi sachet. Sambil menunggu air di teko panas, Laila berlari ke kamarnya untuk mengambil ponsel dan kembali ke dapur seraya berusaha menghubungi Bintang.

Satria menunggu beberapa saat di ruang tamu sambil memainkan ponselnya.

"Ck, lama amat!" keluh Satria tak sabar seraya menatap ke arah arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.

Lelaki itu lalu melangkah dengan cepat tanpa suara dari ruang tamu mencari Laila di dapur.

"Sayang," bisik Satria lirih di telinga Laila.

Laila terkejut dan membalikan badan. Tubuh Satria sangat dekat padanya. Rupanya Satria menyusulnya ke dapur.

Laila hendak mundur tapi ada kulkas di belakangnya.

"Tolong yang sopan. Saya tahu Bapak pernah menjadi klien saya. Tapi itu dulu. Sekarang tolong jaga kelakuan Bapak. Ini rumah saya!" seru Laila mendelik.

"Kamu galak juga, Cantik. Tidak seperti saat di ranjang kemarin." Satria mengelus pipi mulus Laila tapi tak lama kemudian Laila segera menepis tangan Satria.

"Berani menyentuh saya lagi, saya akan berteriak!"

"Wow, tenang. Saya enggak akan berbuat hal yang buruk padamu."

"Jadi, kamu mau apa ke rumah saya? Dan darimana kamu tahu alamat rumah saya?" tanya Laila. Dia sudah tidak ingin menghormati Satria lagi.

"Keinginan saya? Simpel. Ayo duduk dulu!"

Satria setengah menyeret tangan Laila untuk duduk di kursi kayu ruang makannya.

"Apa mau kamu, Pak!? Langsung katakan saja!"

Kali ini Satria memandang mata Laila dengan serius.

"Adikku mencintaimu."

"Saya tahu."

"Kenapa kamu menolaknya?"

"Kamu bisa lihat sendiri kondisi saya yang sebenarnya. Aku tidak ingin Mas Bintang mendapatkan barang bekas."

Satria tertawa.

"Pernah mendengar pepatah bahwa cinta itu buta kan? Bintang juga pernah tidur dengan beberapa gadis ...,"

"Cepat katakan apa maumu. Jangan bertele-tele."

Satria tersenyum melihat keberanian Laila.

"Kamu berani juga. Oke. Jadi gini, kemarin Bintang memintaku menerima kamu di perusahaan propertiku. Dan aku menerimanya. Tapi dengan satu syarat, kamu mau meninggalkan pekerjaanmu selamanya."

"Baiklah. Tapi saya juga ingin meminta tolong dari kamu."

"Oke. Katakan saja."

"Pertama, temui Mami. Dan katakan kalau Mas Bintang atau kamu ingin melepaskan saya dari pekerjaan itu. Kedua, jangan katakan pada Mas Bintang kalau Bapak pernah memboking saya. Kalau Mas Bintang tahu bahwa kita pernah tidur bersama, pasti dia akan sangat terluka. Bagaimana?"

"Deal!"

Satria mengulurkan tangannya ke arah Laila dan Laila menjabat tangan Satria.

"Baiklah. Nanti kabari saya atau Bintang, kapan kami bisa bertemu dengan Mami."

"Baiklah. Ngomong-ngomong, darimana kamu tahu alamat kontrakan saya?"

"Kalau ada duit, apa sih yang susah? Dan itu nggak gratis. Boleh saya dapat ci*man sebagai ganti yang saya?!" tanya Satria seraya menunjuk ke arah bib*rnya.

"Jangan gila. Saya calon adik ipar kamu!"

"Hahaha, sekarang kamu percaya diri sekali ya kalau akan menjadi pendamping Bintang."

"Kalau sudah selesai bicaranya, silakan pergi dari sini. Pintu keluarnya tetap di sana!" tunjuk Laila ke arah pintu depan.

"Hm, baiklah. Siapkan dirimu karena kita akan sering bertemu mulai sekarang," kata Satria sambil menjawil dagu Laila.

Laila segera menepisnya dan Satriapun meninggalkan Laila dengan menyisakan suara tawanya.

***

"Satu milyar? Apa itu tidak berlebihan untuk harga seorang perempuan pemuas nafs*?" tanya Satria kaget.

Sedangkan Bintang mendelik ke arah kakaknya. Merasa tidak terima dengan sebutan kakaknya pada Laila. Mereka berdua saat ini sedang duduk di ruangan khusus milik mami Rosa.

Bintang dan Satria ingin membuat kesepakatan dengan mami Wati agar melepaskan Laila. Tapi rupanya tidak semudah itu.

Mami Wati menghembuskan asap rokok nya dengan nikmat.

"Jadi gimana? Apa kalian bersedia menebus Laila dengan harga yang saya minta?"

Satria tertawa mencemooh. "Apa tidak bisa lebih murah? Dia kan sudah barang bekas?"

"Kak, jangan mengatakan Laila seperti itu!" protes Bintang.

Mami Rosa tertawa pongah. "Laila itu mutiara paling cantik di sini. Saya mendapatkan uang administrasi besar dari transaksi pelanggan jasanya. Jadi wajar kalau saya meminta uang satu milyar."

Satria berdecak dan berdiri dari sofa merah maron itu. "Kalau begitu pembicaraan ini tidak ada gunanya. Kami tidak jadi meminta Laila."

Tanpa menunggu respon mami Rosa, Satria keluar dari pintu ruangan. Bintang mengikuti dari belakang.

"Kak, tunggu!"

Bintang mencekal lengan Satria saat dia hampir masuk ke dalam mobil Fortuner nya.

Satria menoleh dan mendelik. "Apa? Kamu mau aku mengeluarkan banyak uang untuk perempuan seperti Laila?

Buka mata kamu! Masih banyak perempuan lain dengan wajah dan tubuh yang lebih indah serta terpelajar. Kamu tenang saja. Biar kakak yang mencarikan satu gadis perawan untukmu. Jangan mengharap Laila lagi. Oke?!" tanya Satria sambil membuka pintu mobil nya.

"Tapi Kak ..,"

"Kamu rajin belajar dan cepat lulus kuliah saja. Kamu itu sudah tidak mau membantuku mengurus perusahaan warisan, malah merepotkan. Cari duit itu susah.

Kalau kamu sudah lulus kuliah jadi dokter kaya, tidak ada satupun perempuan yang bisa menolak kamu," sahut Satria langsung menghidupkan mobilnya dan meninggalkan Bintang sendirian yang tengah memanggil-manggil nama kakaknya dengan kesal.

**

"Sudahlah Kak Bintang, kak Satria benar. Apalah arti saya ini daripada masa depan kak Bintang." Laila berusaha mengulas senyum meskipun hatinya terasa kebas.

Bintang menatap wajah Laila lalu mencium tangan perempuan itu dengan penuh perasaan.

"Kamu tenang saja. Aku akan tetap mencari cara agar kamu bisa lepas dari mami Rosa dan menikah dengan ku!" seru Bintang dengan tegas.

"Kak, terimakasih sekali kamu mau mencintaiku. Tapi aku adalah perempuan kotor. Kak Bintang cari saja pendamping lain. Aku serius, Kak."

Bintang memeluk Laila dengan mata berkaca-kaca. "Aku akan mencari cara lain. Trust me, Honey!"

Bintang memeluk erat tubuh Laila dan mengelus rambut nya. Mereka berdua larut dalam kesedihan dan berharap adanya keajaiban yang mendukung kisah cinta mereka.

"Aku cuma kupu-kupu malam yang tidak bisa berharap ada cahaya yang menyapaku. Sudahlah. Aku pasrah dengan semuanya. Aku tidak ingin merepotkanmu. Urus saja kuliahmu. Materi kuliahnya saja sudah membuatmu pening kan, Kak?"

Bintang melepaskan pelukannya perlahan lalu menatap tajam ke mata Laila.

"Kalau tidak ada cahaya yang bisa membawamu ke tempat yang lebih terang, aku kan menjadi bintangmu untuk membawamu lepas dari kehidupan malam kamu, La."

Bintang mengecup kening Laila dengan sepenuh hati.

"Oh ya, La. Sebenarnya aku ingin berterus terang padamu."

Laila menatap wajah Bintang dengan cemas. "Ada apa, Kak? Apakah ada sesuatu yang serius dan gawat terjadi padamu?"

Bintang menatap mata Laila lekat-lekat.

"Ada juniorku yang seperti nya jatuh cinta padaku. Namanya Wulan," sahut Bintang lirih.

Seketika bib*r Laila mengerucut. "Lalu apa kak Bintang lebih memilih dia? Dia mempunyai segalanya dari aku kan?"

Bintang mengangguk. "Wulan memang salah satu gadis yang mengejarku tanpa tahu malu dan dia punya segala nya. Kecuali cintaku. Karena cintaku hanyalah untukmu, La."

"Lalu kenapa kamu menceritakan tentang perempuan itu padaku, Kak?"

Bintang menahan tawa. "Satu, aku hanya ingin bersikap jujur padamu, Sayang. Tidak menutup-nutupi apapun yang terjadi. Dua, aku ingin mengujimu apakah kamu cemburu atau tidak."

Laila mengangkat satu alis nya. "Lalu menurut Kak Bintang, apakah aku cemburu?"

Bintang tergelak. "Tentu saja! Lihatlah hidung kamu yang kembang kempis menahan rasa cemburu dan kesal saat aku menyebut nama Wulan, " sahut Bintang menjawil dagu Laila.

Laila melengos. "Ish, apaan sih, Kak?! Aku nggak cemburu kok!"

"Iya, iya. Kamu nggak cemburu. Nggak cemburu sedikit, tapi cemburu banyak," sahut Bintang tertawa.

"Hm, tahu ah gelap!"

"Duh, marah deh. Kamu nggak usah cemas, La. Hubungan cinta kita itu ibarat ompol."

Laila mengerutkan keningnya saat mendengar ucapan Bintang.

"Lho, kok ompol sih? Nggak keren banget, Kak!"

"Iya. Jadi cinta kita itu ibarat ompol karena orang lain hanya bisa melihat celananya yang basah dan hanya kita yang bisa merasakan kehangatan nya," sahut Bintang seraya tertawa.

Laila pun ikut tertawa. Mendadak Bintang berhenti tertawa dan menatap serius ke arah Laila.

"La, sebelum aku mendapatkan solusi atas masalah kita, sekarang setiap kali ada tamu yang akan memb*okingmu, kamu harus bilang padaku ya. Aku akan membayarnya dengan harga yang sama dengan yang dibayarkan oleh tamu itu, sehingga permintaan tamunya bisa dicancel."

Laila menatap wajah Bintang mata berkaca-kaca lalu mengangguk tanpa suara.

**

Semenjak pulang dari rumah Mami Rosa, Bintang menjadi tidak enak makan dan tidak bisa tidur. Di kampus maupun di rumah, selalu tampak murung membuat Satria khawatir.

Dan setelah memikirkan lagi masak-masak, Satria akhirnya meraih ponsel dan menelepon dua orang anak buahnya.

"Tabrak ma ti perempuan yang nanti foto nya aku kirim ke kalian. Setelah itu kalian harus bersembunyi di luar kota atau bahkan luar negeri. Aku bayar 30 juta. Lima belas juta untuk uang muka, dan sisanya akan kuberikan saat tugas kalian sukses. Oke?"

"Baik, Boss!" sahut kedua anak buahnya. Satria tersenyum puas lalu mengirim foto mami Rosa pada mereka setelah dia mengakhiri panggilan telepon.

[Lakukan eksekusi dengan segera! Semakin cepat, semakin baik!]

Satria lalu menatap sebuah bingkai foto di meja kerjanya. "Bintang, aku mungkin bukan lelaki yang baik untuk perempuan yang pernah tidur denganku, tapi kupastikan aku akan menjadi kakak yang terbaik untukmu.

Sejak orang tua kita meninggal, kita hanya saling memiliki satu sama lain, Dek. Dan akan kubantu apapun yang kamu inginkan!"

Next?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status