Aku sudah lama mendengar nama Putri Nur Hasanah dari cerita teman-teman di toko ini. Dia digambarkan sebagai seorang terdidik, anggun, berambut sepinggang, dan memiliki mata yang menampilkan ketenangan. Mereka bahkan memujinya sempurna sebagai wanita.
Aku belum pernah bertemu Putri sebelumnya. Setahuku selama bekerja, dia malah belum pernah ke toko. Lantas darimana teman-temanku tahu tentang Putri? Entahlah. Aku memilih untuk tidak peduli. Bagiku pekerjaan yang lebih utama daripada memikirkan seseorang yang tidak juga dapat digapai.
Aku baru selesai mengecek persediaan sak semen sampai kejadian di hari itu membawaku pada takdir tidak terduga. Aku melihat Putri secara langsung dan terpesona. Benar-benar si pemilik magnet yang kuat.
Rambutnya yang hitam lurus tergerai dengan indah. Kulitnya kuning langsat berpadu dengan dress putih yang elegan. Alis rapi, bulu mata lentik, bibir dengan lipstik nude, dan sapuan warna di kelopak matanya adalah perpaduan yang harus kuakui.
Cantik.
Kukira dalam sebulan ini akan siap. Putri Nur Hasanah, dia persis seperti yang digambarkan, kecuali pada matanya yang tenang itu. Aku dapat merasakan tatap kosongnya. Dia bagai boneka yang diberi nyawa. Melihatnya membuatku ragu kembali. Bertanya-tanya apakah menerima perjodohan kami adalah pilihan tepat.
“Kamu benar menerima perjodohan ini, Dik?” Jujur saja, aku tak bisa mengalihkan pandangan padanya. Seperti ingin menjelajahi keheningan yang dia ciptakan lebih dekat.
Aku menunggu, tapi dia hanya diam, sehingga aku tidak dapat menyimpulkan apa-apa. Bu Indah yang duduk di samping Putri merespons. Wanita paru baya itu mengusap bahu anak semata wayangnya.
Bu Indah tersenyum maklum. “Putri tidak pernah pacaran atau dekat laki-laki, Zaki. Mungkin sekarang masih malu-malu.”
Aku mengerti jika Putri canggung. Aku juga demikian. Raut ketegangan sudah memenuhi wajahku sejak menginjakkan kaki ke rumah ini. Tapi aku tetap perlu kepastian.
“Putri, bagaimana? Saya menunggu jawaban kamu.” Suaraku parau. Tenggorokanku kering. “Saya izin untuk minum dulu, Pak, Bu.”
“Iya, iya minum dulu. Kenapa jadi tegang begini?” Bu Indah mempersilakan. Aku menyesap teh, disusul Bu Indah dan Pak Bahar yang menemaniku minum. Hanya Putri yang terus membisu.
Wanita itu tidak dapat ditebak. Tapi aku cukup tahu dia harus berpikir baik-baik. Pernikahan bukan permainan, melainkan perjalanan seumur hidup.
Aku membasahi bibir. Seharusnya dia sudah menyiapkan jawaban karena kami sama-sama diberi waktu cukup untuk memikirkan perjodohan ini.
“Saya tidak bisa menerimanya kalau Putri sendiri keberatan. Bukankah pernikahan harus disetujui oleh kedua pihak?”
Pak Bahar mendengkus. Suaranya terdengar menggelegar. “Kenapa juga harus keberatan? Saya tersinggung. Itu terkesan saya menjodohkan kalian asal-asalan dan tanpa pertimbangan.”
Aku tidak menjawab karena perkataan Pak Bahar sudah jelas tanpa bantahan. Putri menundukkan kepala. Haruskan dia bersikap begitu jika benar senang dengan perjodohan kami? Karenanya aku merasa perlu mendesak Putri agar mau bicara.
“Dik, bagaimana? Saya harus mendengar jawaban kamu. Apapun itu, Mas akan terima dengan baik.” Kali ini aku mengubah cara dengan bersikap lebih pengertian padanya. Aku ingin meyakinkan bahwa dia berhak memilih dan aku akan menghormati keputusannya. Aku tidak akan keberatan jika Putri memang tidak menginginkan perjodohan kami.
“Putri, cepat dijawab,” ucap Pak Bahar.
Perlahan wanita itu mengangkat kepala, melihat ke arahku yang tersenyum. Untuk beberapa saat kami bertahan dalam situasi ini. Menegangkan sekaligus menenangkan.
Kulihat dia mengangguk. “Saya menerima perjodohan ini.”
Aku tersenyum. Senang dan haru bercampur jadi satu. Kelegaan mencelos dalam dadaku. Ini kali kedua aku merasa bahagia, selain melihat senyum ibu ketika aku mendapat peringkat satu.
***
Lima tahun sejak ibu meninggal dan memutuskan untuk merantau, Pak Bahar yang paling banyak membantu hidupku. Beliau memberi tempat tinggal dan memercayaiku untuk mendapatkan posisi sebagai pengelola toko materialnya.
Sebenarnya itu sudah cukup untuk seseorang yang tidak punya tujuan hidup sepertiku. Tidak menyangka aku juga akan membersamai anaknya yang cemerlang itu. Awalnya aku pesimis. Biasanya orang tua akan mencarikan pasangan yang sepadan dan semapan untuk anaknya. Aku sangat sadar diri.
Aku menganggap Pak Bahar bercanda. Tapi aku tahu beliau tidak pernah bercanda.
Semua pegawai sudah pulang dan tinggal aku yang memeriksa persediaan sak semen kami di gudang. Aku memang tinggal di toko dan tidak menyangka akan kedatangan Pak Bahar. Tidak biasanya beliau begitu, apalagi sekarang sudah mulai larut malam.
Sebuah obrolan dengan dua cangkir kopi hitam menemani kami. Kami duduk di kursi tunggu pelanggan sambil mengamati lalu lintas jalanan yang masih ramai.
“Tumben sekali Bapak ke sini.”
“Ada yang mau saya bicarakan sama kamu, Zaki.”
Aku mendengarkan dan menebak diam-diam. Mungkinkah masalah toko?
Pak Bahar menatapku dengan wajahnya yang serius. “Saya mau menjodohkan kamu dengan anak saya.”
Refleks aku menarik mundur badan ke belakang. Kelimpungan. “Maksudnya, Pak?”
Pak Bahar menatapku sinis. Dahinya berkerut. “Masa kamu tidak mengerti maksud saya?”
Aku paham. Tapi ini terlalu mengejutkan.
“Tapi kenapa saya, Pak?”
“Karena kamu sudah memenuhi kualifikasi saya untuk menjadi suami Putri, Zaki.” Pak Bahar berhenti sejenak untuk meminum kopinya. “Saya percaya kamu mampu jadi pemimpin keluarga yang baik sama seperti menjadi pemimpin toko saya sampai sukses besar begini.”
Aku tidak menyahut. Pikiranku melayang jauh. Tes jenis apa yang sudah dilakukan Pak Bahar untuk mengukurnya? Memimpin toko dan memimpin rumah tangga jelas dua hal yang berbeda dan tidak memiliki kesamaan dari segi apapun. Tapi mengenai kepercayaan, aku jadi merasa besar kepala. Di dunia ini kepercayaan memang tidak ada nilainya.
Aku merenung beberapa saat. Sekelebat masa lalu hinggap. Suaraku merendah. “Bagaimana kalau saya menolak?”
Pak Bahar berdecak. Rasa tak suka terlihat jelas dari raut wajahnya yang selalu serius itu. “Coba beri saya alasan kenapa kamu menolak?”
Alasan. Alasan. Aku membasahi bibir sebelum menjawab dengan hati-hati. “Saya cuma pegawai biasa, Pak. Tidak mapan untuk membiayai hidup Putri. Lagi pula, pernikahan bukan permainan.”
“Memang siapa yang mau main-main? Putri juga sudah setuju. Untuk urusan finansial sudah siap semua, Zaki. Sekarang tinggal kamunya saja yang mau menikah atau tidak.”
“Tapi, Pak ….”
“Kamu ini sudah saya anggap seperti anak sendiri. Anggap saja ini sebagai balas budi.”
Mendengar kata balas budi membuat tenggorokanku kering. Aku kalah telak. Pekataan Pak Bahar adalah pukulan besar untukku. Tapi sekali lagi, aku tidak boleh gegabah mengambil keputusan.
“Akan saya pertimbangkan, Pak.”
“Apalagi yang mau dipertimbangkan? Anakku bukan gadis sembarangan. Dia sudah saya didik dengan ketat. Orang yang menikah dengan dia akan sangat beruntung.” Ada jeda dengan tatapan penuh selidik. “Atau jangan-jangan kamu sudah punya incaran?”
Mendengar kata incaran membuatku bergidik. Deskripsi yang menurutku menggetirkan. Aku menggeleng.
Pak Bahar menatapku tajam. “Ya sudah. Pikirkan baik-baik kalau begitu. Kamu harus membuat keputusan yang tepat. Kesempatan tak datang dua kali, Zaki.”
Aku terdiam. Pak Bahar membuatku banyak berpikir tentang masa depan yang ingin kubangun. Cinta dan keluarga. Aku memang mendambakannya dalam hidup.
Halo, teman-teman. Jadi, cerita ini lagi kurevisi. Mohon dukungannya, ya^^
Satu hari pernikahan, setidaknya aku tahu Putri tidak mencintaiku. Tidak masalah, kukira ini hanya urusan waktu.Aku bangun pukul lima pagi dan bergegas untuk solat subuh. Setelah menyalakan lampu, aku dapat melihat Putri yang masih terlelap. Dia terlihat dua kali lebih tenang dalam keadaan begitu, juga tidak merasa terganggu dengan cahaya yang seharusnya menusuk mata. Napasnya naik turun beraturan di antara kedamaian. Tanpa sadar aku tersenyum melihatnya.Aku mengusap wajah gusar. Mendadak perkataan Putri tadi malam kembali menghantam dadaku. Harus kuakui rasanya begitu nyeri. Sisi lain, aku harus tetap bersikap baik pada istriku. Katanya kebaikan selalu menang. Aku berharap ini juga akan berlaku padaku."Dik, bangun, solat subuh," kataku sambil menggelar sajadah. Tidak ada respons dari wanita itu."Dik.""Lima menit lagi, Mas," jawabnya setengah sadar."Dik?""Enggh!"Baiklah, aku memilih untuk membiarkan Putri dan solat sendirian. Dapat kumengerti dia kelelahan karena acara semalam
"Mas, jangan pegang aku!" Putri menyentak tanganku kuat. Dia masih enggan untuk menantang mataku yang kini berubah kelabu. Aku merasa cemas sekaligus sedih luar biasa."Jelasin ke Mas." Hanya satu itu permintaanku."Mas lebay! Aku gak kenapa-kenapa. Mataku cuma kemasukan sesuatu!" katanya sambil mengucek kedua mata, "lagian gak usah sok perhatian deh, Mas. Aku bisa mengurus diriku sendiri, kok."Setelah mengatakan itu, Putri langsung pergi ke kamarnya, sedangkan aku masih tak bergerak dari tempat. Hanya memerhatikan punggung wanita itu hingga menghilang dari pandangan. Dan tidak usah ditanya, kami memang tidur secara terpisah di rumah ini.Aku hanya tak mengerti kenapa memberikan kejelasan singkat begitu susahnya bagi Putri. Naluriku mengatakan telah terjadi sesuatu padanya sama seperti di hari pertama pernikahan. Ada yang sedang tidak beres, tapi aku tidak tahu apa. Kuembuskan napas kasar, lalu berjalan menuju kamarnya. "Dik, kamu baik-baik aja 'kan?"Tidak ada jawaban."Sudah makan
Hubunganku dengan Putri masih sama seperti biasa. Kami hanya mengobrol jika penting. Selebihnya bagai orang asing yang dipaksa untuk tinggal serumah.Akhir pekan ini, kami akan pulang ke rumah orang tua Putri. Suatu saat, ketika semuanya membaik, aku juga ingin memperkenalkan Putri dengan ibuku. Meski hanya gundukan tanah, Ibu pasti senang melihatku sudah menikah.Putri tampak cantik dalam balutan dress putih di bawah lutut yang kontras dengan kulit kuning langsatnya. Tak lupa dia padukan itu dengan sepatu hak tinggi berwarna hitam. Wajahnya dipoles dengan make up tipis, sedangkan rambut wanita itu sedikit melambai ketika berjalan ke arahku yang tengah menunggunya.Di mobil, Putri mengambil duduk di sebelahku. Tidak lama setelahnya, kulajukan mobil dalam keheningan di antara kami berdua.Tidak mungkin kami pulang dengan tangan kosong. Untuk itu beberapa kali kami singgah demi membeli beberapa makanan khas di kota ini. Putri juga secara khusus memintaku untuk berhenti di toko kue keri
"Ada apa, Zaki?" tanya Pak Bahar sesaat aku kembali duduk menemaninya."Cuma orang salah alamat, Pak," bohongku. Setelahnya Pak Bahar tampak bersungut kesal seolah ini bukan yang pertama kali terjadi.Aku bersiap untuk menutup rapat kisah hari ini, bahkan pada Putri sekali pun. Mawar itu kuberikan pada tukang ojek agar membawanya pergi sejauh mungkin. Sebelummya aku sudah mengambil foto beberapa hal terkait dengan penyelidikanku nantinya.Selepas mengobrol dengan Pak Bahar, aku segera menghubungi toko bunga pesananku. Aku sangat yakin logo yang ada di buket bunga misterius itu sama dengan logo toko bunga yang kupesan.Aku menunggu pihak toko membalas pesan. Tidak lama kemudian, mereka mengatakan bahwa bunga itu memang berasal dari toko mereka. [Siapa pengirimnya?][Maaf, tapi kami tidak bisa memberikan identitas pembeli][Ini penting, menyangkut rumah tangga saya. Ada orang iseng yang mengirimkan bunga dengan kartu ucapan yang bisa membuat kami salah paham] Aku menjelaskan panjang le
Kalau dugaanku benar, Aliwafa dan Alwafa adalah orang yang sama. Maka ini waktu yang tepat untuk mencari tahu siapakah sosok itu."Mas yang temani, ya?" kataku sungguh-sungguh."Loh, masih belum selesai juga masalah yang tadi?" Bu Indah menarik kursi untuknya duduk, sedangkan Pak Bahar kelihatan heran."Ada masalah apa?" katanya ikut menimbrung.Seharusnya Putri tidak akan menolak jika permintaan langsung datang dari sang ayah. Aku tersenyum hangat, menatap Pak Bahar dengan rasa penuh hormat. Putri pikir mungkin hanya dia yang bisa bermain-main."Gak ada yang serius, kok, Pak. Putri mau pergi ketemu kawannya. Saya cuma khawatir apalagi kaki Putri belum sepenuhnya pulih. Jadi saya mau menemani dia ke luar.""Loh, suami perhatian gini kenapa ditolak, Put? Mama aja gak pernah digituin sama ayah." Aku semakin melebarkan senyum ketika tahu mendapatkan dukungan dari Bu Indah.Pak Bahar tidak merasa tersinggung dengan ucapan istrinya barusan. Laki-laki pemilik kumis tebal itu memilih mengangg
Aku dapat mengingat dengan jelas wajah laki-laki itu. Seseorang dengan jas putih dan wajah sangat tenang. Dia persis seperti yang kulihat di WhatApps Putri. Aku bahkan berani bertaruh uang atas keyakinan ini. Aku ingin sekali menghampiri dan jujur mengenai kekecewaan yang kurasakan. Sayangnya aku harus segera mengecek pekerjaan yang sempat tertunda. Kali ini akan kubiarkan dia lolos. Kedua kali, entahlah. Tapi aku sudah memikirkan untuk mengajaknya minum kopi bersama nanti.Dua hari terlewati. Sampai saat ini aku tidak ada niatan untuk menjemput Putri. Aku menginginkan agar wanita itu yang tidak memintanya lebih dahulu. Sayangnya tidak ada pesan apapun yang masuk. Aku mencoba untuk berpikir positif. Barangkali berpisah sementara waktu seperti ini adalah jalan terbaik. Aku juga harus meluruskan pikiran yang kusut antara pekerjaan dan pernikahan.Syukurnya makan dan tidurku mulai membaik lagi. Setidaknya aku harus membanggakan hal ini karena artinya telah berhasil bertahan di antara s
"Enggak," balas Putri cepat."Maka dari sekarang sampai tiga bulan ke depan kamu harus mikirin saya. Kalau gak bisa, ya sudah paksakan saja." Aku berusaha mencairkan suasana tegang kami. Tapi ternyata semakin bertambah tegang."Kalo aku gak mau?""Mas bikin mau. Bisa karna terpaksa, begitu peribahasa lama.""Apa, Mas? Peribahasa dari mana? Ngaco!"Sehabis itu dia tertawa. Barangkali menganggap ucapanku tadi lucu. Melihat itu aku bagai menyelami sisi lain Putri. Selama ini wanita itu hanya terus bersungut sebal padaku."Kamu manis banget Dik, kalau ketawa begitu," pujiku."Mana ada!" Dia kembali lagi ke wujud asalnya.Aku tersenyum. Harusnya kusimpan sendiri saja manisnya diam-diam. Di dalam sini, ada desir yang tidak bisa kujelaskan. Rasanya hangat, mendebarkan, sekaligus menyenangkan."Dari sekarang cobalah untuk banyak tersenyum, Dik." Aku memberikan nasihat. "Jangan lupa juga buat melibatkan Mas terus dalam urusanmu."***Kulihat Putri tengah merawat tanaman-tanamannya. Pemandangan
Aku tidak mengerti kenapa masalah ini bisa membuat Putri merasa sangat tak nyaman. Memang artinya salah satu dari kami perlu mengosongkan ruang kamar dan tidur bersama. Tapi ini seharusnya bukan masalah besar. Ya, seharusnya begitu."Mas, aku gak mau pindahin barang-barangku ke kamar kamu," tukasnya dengan lantang."Terus Mas yang pindah?" Aku memberikan pengertian, tapi dia malah menggeleng kuat."Aku juga gak mau Mas pindah ke kamarku."Alisku bertaut heran. "Terus gimana? Setidaknya kamu harus mau kalau gak mau ibu sama bapak curiga.""Ya cari cara lain dong Mas. Pokoknya aku gak mau satu kamar sama Mas."Aku tersenyum miring, mendekatkan wajah ke arahnya. "Kenapa emangnya sampai tidak boleh sekamar? Sudah mulai takut jatuh cinta sama saya, ya?""Apa sih, Mas. Ya enggaklah!" Dia menarik diri dariku. Pasang badan seolah nyawanya tengah terancam.Aku terkekeh melihat sikapnya yang menggemaskan itu."Ya ... pokoknya aku gak mau satu kamar sama Mas!" kukuhnya."Kasih saya alasan," bala