Share

MENDAPATKAN CINTA ISTRIKU
MENDAPATKAN CINTA ISTRIKU
Author: Aulia Fitrillia

Bab 1

Aku sudah lama mendengar nama Putri Nur Hasanah dari cerita teman-teman di toko ini. Dia digambarkan sebagai seorang terdidik, anggun, berambut sepinggang, dan memiliki mata yang menampilkan ketenangan. Mereka bahkan memujinya sempurna sebagai wanita.

Aku belum pernah bertemu Putri sebelumnya. Setahuku selama bekerja, dia malah belum pernah ke toko. Lantas darimana teman-temanku tahu tentang Putri? Entahlah. Aku memilih untuk tidak peduli. Bagiku pekerjaan yang lebih utama daripada memikirkan seseorang yang tidak juga dapat digapai.

Aku baru selesai mengecek persediaan sak semen sampai kejadian di hari itu membawaku pada takdir tidak terduga. Aku melihat Putri secara langsung dan terpesona. Benar-benar si pemilik magnet yang kuat.

Rambutnya yang hitam lurus tergerai dengan indah. Kulitnya kuning langsat berpadu dengan dress putih yang elegan. Alis rapi, bulu mata lentik, bibir dengan lipstik nude, dan sapuan warna di kelopak matanya adalah perpaduan yang harus kuakui.

Cantik.

Kukira dalam sebulan ini akan siap. Putri Nur Hasanah, dia persis seperti yang digambarkan, kecuali pada matanya yang tenang itu. Aku dapat merasakan tatap kosongnya. Dia bagai boneka yang diberi nyawa. Melihatnya membuatku ragu kembali. Bertanya-tanya apakah menerima perjodohan kami adalah pilihan tepat.

“Kamu benar menerima perjodohan ini, Dik?” Jujur saja, aku tak bisa mengalihkan pandangan padanya. Seperti ingin menjelajahi keheningan yang dia ciptakan lebih dekat.

Aku menunggu, tapi dia hanya diam, sehingga aku tidak dapat menyimpulkan apa-apa. Bu Indah yang duduk di samping Putri merespons. Wanita paru baya itu mengusap bahu anak semata wayangnya.

Bu Indah tersenyum maklum. “Putri tidak pernah pacaran atau dekat laki-laki, Zaki. Mungkin sekarang masih malu-malu.”

Aku mengerti jika Putri canggung. Aku juga demikian. Raut ketegangan sudah memenuhi wajahku sejak menginjakkan kaki ke rumah ini. Tapi aku tetap perlu kepastian.

 “Putri, bagaimana? Saya menunggu jawaban kamu.” Suaraku parau. Tenggorokanku kering. “Saya izin untuk minum dulu, Pak, Bu.”

“Iya, iya minum dulu. Kenapa jadi tegang begini?” Bu Indah mempersilakan. Aku menyesap teh, disusul Bu Indah dan Pak Bahar yang menemaniku minum. Hanya Putri yang terus membisu.

Wanita itu tidak dapat ditebak. Tapi aku cukup tahu dia harus berpikir baik-baik. Pernikahan bukan permainan, melainkan perjalanan seumur hidup.

Aku membasahi bibir. Seharusnya dia sudah menyiapkan jawaban karena kami sama-sama diberi waktu cukup untuk memikirkan perjodohan ini.

“Saya tidak bisa menerimanya kalau Putri sendiri keberatan. Bukankah pernikahan harus disetujui oleh kedua pihak?”

Pak Bahar mendengkus. Suaranya terdengar menggelegar. “Kenapa juga harus keberatan? Saya tersinggung. Itu terkesan saya menjodohkan kalian asal-asalan dan tanpa pertimbangan.”

Aku tidak menjawab karena perkataan Pak Bahar sudah jelas tanpa bantahan. Putri menundukkan kepala. Haruskan dia bersikap begitu jika benar senang dengan perjodohan kami? Karenanya aku merasa perlu mendesak Putri agar mau bicara.

 “Dik, bagaimana? Saya harus mendengar jawaban kamu. Apapun itu, Mas akan terima dengan baik.” Kali ini aku mengubah cara dengan bersikap lebih pengertian padanya. Aku ingin meyakinkan bahwa dia berhak memilih dan aku akan menghormati keputusannya. Aku tidak akan keberatan jika Putri memang tidak menginginkan perjodohan kami.

“Putri, cepat dijawab,” ucap Pak Bahar.

Perlahan wanita itu mengangkat kepala, melihat ke arahku yang tersenyum. Untuk beberapa saat kami bertahan dalam situasi ini. Menegangkan sekaligus menenangkan.

Kulihat dia mengangguk. “Saya menerima perjodohan ini.”

Aku tersenyum. Senang dan haru bercampur jadi satu. Kelegaan mencelos dalam dadaku. Ini kali kedua aku merasa bahagia, selain melihat senyum ibu ketika aku mendapat peringkat satu.

***

Lima tahun sejak ibu meninggal dan memutuskan untuk merantau, Pak Bahar yang paling banyak membantu hidupku. Beliau memberi tempat tinggal dan memercayaiku untuk mendapatkan posisi sebagai pengelola toko materialnya.

Sebenarnya itu sudah cukup untuk seseorang yang tidak punya tujuan hidup sepertiku. Tidak menyangka aku juga akan membersamai anaknya yang cemerlang itu. Awalnya aku pesimis. Biasanya orang tua akan mencarikan pasangan yang sepadan dan semapan untuk anaknya. Aku sangat sadar diri.

Aku menganggap Pak Bahar bercanda. Tapi aku tahu beliau tidak pernah bercanda.

Semua pegawai sudah pulang dan tinggal aku yang memeriksa persediaan sak semen kami di gudang. Aku memang tinggal di toko dan tidak menyangka akan kedatangan Pak Bahar. Tidak biasanya beliau begitu, apalagi sekarang sudah mulai larut malam.

Sebuah obrolan dengan dua cangkir kopi hitam menemani kami. Kami duduk di kursi tunggu pelanggan sambil mengamati lalu lintas jalanan yang masih ramai.

“Tumben sekali Bapak ke sini.”

“Ada yang mau saya bicarakan sama kamu, Zaki.”

Aku mendengarkan dan menebak diam-diam. Mungkinkah masalah toko?

Pak Bahar menatapku dengan wajahnya yang serius. “Saya mau menjodohkan kamu dengan anak saya.”

Refleks aku menarik mundur badan ke belakang. Kelimpungan. “Maksudnya, Pak?”

Pak Bahar menatapku sinis. Dahinya berkerut. “Masa kamu tidak mengerti maksud saya?”

Aku paham. Tapi ini terlalu mengejutkan.

“Tapi kenapa saya, Pak?”

“Karena kamu sudah memenuhi kualifikasi saya untuk menjadi suami Putri, Zaki.” Pak Bahar berhenti sejenak untuk meminum kopinya. “Saya percaya kamu mampu jadi pemimpin keluarga yang baik sama seperti menjadi pemimpin toko saya sampai sukses besar begini.”

Aku tidak menyahut. Pikiranku melayang jauh. Tes jenis apa yang sudah dilakukan Pak Bahar untuk mengukurnya? Memimpin toko dan memimpin rumah tangga jelas dua hal yang berbeda dan tidak memiliki kesamaan dari segi apapun. Tapi mengenai kepercayaan, aku jadi merasa besar kepala. Di dunia ini kepercayaan memang tidak ada nilainya.

Aku merenung beberapa saat. Sekelebat masa lalu hinggap. Suaraku merendah. “Bagaimana kalau saya menolak?”

Pak Bahar berdecak. Rasa tak suka terlihat jelas dari raut wajahnya yang selalu serius itu. “Coba beri saya alasan kenapa kamu menolak?”

Alasan. Alasan.  Aku membasahi bibir sebelum menjawab dengan hati-hati. “Saya cuma pegawai biasa, Pak. Tidak mapan untuk membiayai hidup Putri. Lagi pula, pernikahan bukan permainan.”

“Memang siapa yang mau main-main? Putri juga sudah setuju. Untuk urusan finansial sudah siap semua, Zaki. Sekarang tinggal kamunya saja yang mau menikah atau tidak.”

 “Tapi, Pak ….”

“Kamu ini sudah saya anggap seperti anak sendiri. Anggap saja ini sebagai balas budi.”

Mendengar kata balas budi membuat tenggorokanku kering. Aku kalah telak. Pekataan Pak Bahar adalah pukulan besar untukku. Tapi sekali lagi, aku tidak boleh gegabah mengambil keputusan.

“Akan saya pertimbangkan, Pak.”

 “Apalagi yang mau dipertimbangkan? Anakku bukan gadis sembarangan. Dia sudah saya didik dengan ketat. Orang yang menikah dengan dia akan sangat beruntung.” Ada jeda dengan tatapan penuh selidik. “Atau jangan-jangan kamu sudah punya incaran?”

Mendengar kata incaran membuatku bergidik. Deskripsi yang menurutku menggetirkan. Aku menggeleng.

Pak Bahar menatapku tajam. “Ya sudah. Pikirkan baik-baik kalau begitu. Kamu harus membuat keputusan yang tepat. Kesempatan tak datang dua kali, Zaki.”

Aku terdiam. Pak Bahar membuatku banyak berpikir tentang masa depan yang ingin kubangun. Cinta dan keluarga. Aku memang mendambakannya dalam hidup.

Aulia Fitrillia

Halo, teman-teman. Jadi, cerita ini lagi kurevisi. Mohon dukungannya, ya^^

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status