SELAMAT MEMBACA SEMUANYA
--- Dua hari kemudian, udara pagi terasa lebih segar dari biasanya. Dinda berdiri di depan pagar rumah bergaya minimalis itu, rumah yang sempat membuatnya gugup dan merasa tak diinginkan. Tapi kali ini berbeda. Ada senyum kecil yang terselip di wajahnya, meski jantungnya tetap berdetak agak cepat. Belum sempat ia menekan bel, suara kecil memanggil dari dalam, “Miss Dindaaaaa!” Dinda menoleh, dan di sana Ares tengah meminta turun dari gendongan sang pengasuh, lalu berlari menghampirinya. Ia masih mengenakan piyama bergambar Smurfs kartun hijau kesayangannya. Dengan rambut sedikit berantakan dan senyum lebar, Ares langsung memeluk Dinda erat-erat. “Miss datang lagi, yeeey!” serunya riang. Dinda menahan napas sesaat, lalu membalas pelukan itu dengan lembut. “Iya, Miss datang lagi. Karena Miss kangen kamu, loh.” “Miss tahu tidak? Kemalin-kemalin Yes gambal Blainy Muf... telus ada pelanggina juga!” Ares menarik tangan Dinda masuk, lalu menggiringnya ke ruang belajarnya seperti seorang pemandu acara kecil. Di atas meja, tergeletak satu gambar krayon yang agak kusut. Di sana tergambar dua Brainy Smurfs yang sedang memegang buah yang sepertinya bisa ditebak oleh Dinda sebagai apel. Kedua Brainy Smurfs itu tampak sedang memberikan buah apel tersebut kepada Smurfs lain. Di tengah-tengah mereka, tergambar sebuah papan kecil dengan tulisan samar “Smurfs untuk Miss”, dan di latarnya, awan-awan putih mengambang di langit biru yang digambar dengan ceroboh tapi penuh semangat. “Ini siapa yang nulis?” tanya Dinda, sambil menunjuk papan tulisan yang ada di gambar. Ares tertawa kecil dan sempat melirik ke arah Nita. “Mbak yang tulis. Iya, kan, Mbak?” katanya polos. Nita hanya membalas dengan anggukan kepala dan senyum lembut. “Kemalin-kemalin kata Mbak, Yes calah tulisna,” lanjut Ares lagi, dengan nada bangga seperti baru berhasil memperbaiki sesuatu yang penting. Dinda tersenyum kecil, lalu menatap Ares. “Wah, berarti nanti kita belajar lagi cara menulis yang benar, ya?” ucapnya lembut. Ares mengangguk semangat. “Iya, ciap, Miss!” Dinda kembali melihat gambar yang Ares buat. “Ini Brainy Smurfs-nya lagi berbagi apel, ya?” tanyanya lagi, sambil menatap gambar penuh warna itu dengan kagum. Ares langsung menggeleng cepat. “No, no, no!” ucapnya sambil mengangkat jari telunjuk dan menggerakkannya ke kiri dan kanan. “Muf-na jualan, Miss,” lanjutnya dengan kekeh pelan. Nita dan Dinda tak bisa menahan tawa mendengar jawaban tak terduga itu. Nita yang sudah tahu ceritanya saja masih terpingkal setiap kali Ares mengucapkan "no, no, no" dengan penuh semangat, apalagi saat melihat ekspresi serius anak kecil itu yang seolah sedang menjelaskan hal paling penting di dunia. Dinda mencoba meredam tawanya. “Miss suka banget gambarnya,” pujinya tulus, sambil mengelus kepala Ares dengan penuh sayang. Tak lama, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu ruang belajar Ares. Putra muncul mengenakan kemeja biru muda dan celana bahan panjang hitam. Santai tapi tetap rapi. Tatapannya singkat terarah pada Dinda, lalu ke arah gambar di meja. “Papa mau kelja, ya?” tanya Ares saat melihat Putra sudah rapi. “Iya, Papa mau kerja. Ares jangan nakal saat belajar, ya. Dan juga harus nurut sama Mbak,” ucap Putra sambil mengusap kepala Ares pelan saat anak itu menghampirinya. “Em! Yes, akan ingat, Papa!” ucap Ares sambil mengangguk cepat, penuh semangat seperti prajurit kecil yang menerima perintah penting. Putra kemudian menoleh pada Nita. “Mbak, tolong jaga Ares sampai saya pulang, ya.” Nita mengangguk santai. “Siap, Pak.” “Saya titip Ares untuk belajar, Miss Dinda,” lanjut Putra, kini menatap Dinda yang berdiri tak jauh dari meja belajar. Dinda sempat kaget ketika namanya disebut. Ia reflek berdiri lebih tegak, menyembunyikan gugup yang melintas sejenak di wajahnya. “Tentu, Pak Putra,” jawabnya dengan senyum kecil, meski nada suaranya sedikit canggung. Putra hanya mengangguk singkat, lalu melangkah pergi. Sementara itu, Dinda menarik napas perlahan, mencoba menenangkan degup jantung yang entah kenapa mendadak terasa lebih cepat dari biasanya. Nita terkekeh pelan saat melihat tingkah Miss Dinda yang terlihat sangat kaku ketika menjawab Pak Putra. Bahu Dinda sempat kaku, tangannya reflek menyentuh ujung bajunya seolah tak tahu harus berbuat apa. “Maaf ya, Miss. Saya mandikan dulu Adek. Soalnya tadi belum sempat mandi,” ucap Nita sambil melirik Ares yang masih sibuk dengan gambarnya. Dinda mengangguk cepat, sedikit terlalu cepat. “Ah, boleh, Mbak. Silakan,” jawabnya, berusaha tetap tenang meski pipinya terasa hangat. Nita mendekat sedikit dan berkata dengan nada sungkan, “Sekali lagi maaf ya, Miss. Padahal kami yang minta jam belajarnya diganti pagi, tapi Adek malah belum siap waktu Miss sudah datang.” “Tidak apa-apa, Mbak, saya juga datangnya agak awal kok,” sahut Dinda dengan senyum canggung, lalu berpura-pura sibuk merapikan alat gambar Ares di meja. Dalam hati, Dinda hanya bisa berharap ekspresi kikuknya barusan tidak terlalu jelas terlihat. Tapi mengingat senyum geli Nita barusan… kemungkinan besar, harapannya gagal total. Nita hanya tersenyum kecil sebelum akhirnya beranjak sambil menggandeng Ares yang tampak ogah-ogahan saat diajak mandi. “Adek, yuk mandi dulu. Nanti belajar sama Miss Dinda lagi, ya,” bujuk Nita lembut. “Emm... Mbak, boleh mandinna cama bebek-bebek?” tanya Ares, setengah merayu, mengingat mainan bebeknya yang tersimpan di lemari kamar mandi. “Boleh, tapi mandinya jangan lama, ya. Kasihan Miss Dinda kalau nunggu kelamaan,” balas Nita, tegas tapi tetap hangat. Ares mencibir kecil, tapi akhirnya mengangguk pelan, menyerah pada bujukan. Tangannya tetap menggenggam tangan Nita saat keduanya keluar dari ruang belajar. Begitu suara langkah mereka menjauh, Dinda menghela napas panjang. Ia menatap ruangan yang mendadak hening, lalu tertawa kecil, entah karena lega, gugup, atau... sedikit geli pada dirinya sendiri. Ia lalu duduk kembali di dekat meja belajar, lalu merapikan alat tulis dan buku-buku yang tadi belum sempat dibereskan. Tangannya sibuk, tapi pikirannya melayang ke sosok Putra yang tadi sempat berdiri di ambang pintu. Cara pria itu berbicara, mengusap kepala Ares, bahkan cara matanya menatapnya sekilas, semuanya muncul kembali seperti potongan adegan pendek yang diputar ulang. Dinda buru-buru menggeleng pelan, mengusir pikirannya sendiri. “Duh, fokus, Dinda. Ini kerja, bukan drama,” bisiknya pada diri sendiri sambil menepuk pipi pelan. Setelah sesi belajar selesai, Ares dengan bangga menunjukkan hasil tulisannya. Di atas selembar kertas, ia menyalin kalimat: “Untuk Miss Dinda”. Huruf-hurufnya masih acak, ada yang besar, ada yang kecil, beberapa terbalik, tapi jelas terlihat usaha dan semangat di tiap goresannya. Ia menyodorkan kertas itu pada Dinda seperti sedang memberikan sebuah hadiah. “Ini buat dicimpan... bial Miss ingat kalau Yes bica tulis,” katanya polos. Dinda tertawa haru, lalu menyimpan kertas itu dengan hati-hati. Ia merasa bangga. Meski Ares baru tiga tahun dan baru beberapa kali belajar bersamanya, anak itu sudah menunjukkan minat dan kemajuan yang luar biasa. Ia belum bisa menulis lancar, tapi kemauannya untuk mencoba itu yang membuat Dinda terharu. Dan saat Dinda menatap kembali tulisan kecil itu, ia tahu kenangan seperti inilah yang akan terus ia simpan, bukan hanya di kertas, tapi di dalam hatinya. --- TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA DAN MEMBERI DUKUNGAN.SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Angin sore dari balkon kamar hotel membawa aroma susu coklat yang samar. Dinda duduk di tepi ranjang, jemarinya memainkan ujung selimut tanpa sadar. Langkah cepat Cindy terdengar mendekat, diikuti bunyi pintu yang terbuka tergesa. "Bagaimana?" tanya Dinda pelan, matanya mencari jawaban di wajah sahabatnya. Cindy menarik napas panjang, lalu menatap Dinda dengan sorot ragu. "Maaf, Din... lo nggak jadi ikut. Tiketnya harus dikasih ke Pak Harry." Senyum tipis mencoba menghiasi wajah Dinda, meski dadanya mengeras. "Iya, nggak apa-apa. Lagian, itu memang hak beliau," ujarnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Tapi kan lo ikut gue karena mau nonton seminar itu," Cindy terdengar penuh penyesalan. Matanya memanas, tapi Dinda tetap diam. Cindy menatap ke arah jendela, kesal. "Lagian, si Harry ini kenapa plin-plan banget? Katanya nggak mau ikut, eh sekarang malah mau. Itu pun bilangnya mendadak!"
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam setengah, Putra akhirnya menepikan mobilnya di sebuah rumah makan untuk makan siang.Ia menoleh sekilas, mendapati ketiga penumpangnya masih terlelap. Bahkan Dinda baru saja ikut tertidur sekitar setengah jam lalu. “Dinda, bangun sebentar,” panggil Putra pelan. Dinda mengerjap, matanya masih berat. “Sudah sampai, Mas?” tanyanya dengan nada linglung. “Kita makan siang dulu,” jawab Putra singkat. “Bangunkan temanmu.” Dinda mengangguk pelan, lalu menyentuh bahu Cindy untuk membangunkannya. Sementara itu, Putra memilih langsung mengangkat Ares ke gendongannya. Bocah itu masih terlelap, kepalanya bersandar di bahu ayahnya, saat mereka melangkah masuk ke dalam rumah makan. Begitu masuk, Putra langsung mengarahkan langkah ke pojok ruangan, memilih meja yang cukup luas untuk mereka berempat. Tak lama, Dinda dan Cindy menyusul lal
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA ... Dinda yang baru saja keluar dari rumah terlonjak kaget. "Hai, Ares," sapanya sambil tertawa kecil saat melihat mobil berhenti tepat di depan rumahnya, disusul pekikan semangat dari Ares. "Miss Dindaaa!" teriak Ares lagi dari dalam mobil, masih duduk di atas car seat-nya. "Ye ye ye Miss Dinda!" ujarnya penuh semangat, seperti menyambut idola. Putra menggeleng pelan, tak habis pikir dengan anaknya. "Sabar, Boy..." gumamnya pelan. Flashback on: Putra menarik napas sebentar sebelum melanjutkan, "Masalahnya... Ares ingin kamu juga ikut." Perkataan Putra membuat Dinda terdiam sejenak. "Maksudnya... Ares ngajak aku, ya, Mas?" tanyanya memastikan. Putra mengangguk pelan. Dinda tampak ragu. "Mmm... bagaimana ya, Mas..." Putra buru-buru menanggapi, suaranya terde
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Setelah mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya Putra memutuskan untuk mempertimbangkan permintaan Ares. Dua hari yang lalu, Ares memintanya untuk pergi berlibur—bermain ke Dufan. Flashback On "Papa, tadi Kakak Lia celita kalau dia pelnah main di Dufan," cerita Ares pada Putra. Saat ini mereka sedang berbaring di atas kasur Ares. "Terus, apa lagi kata Kakak Lia?" tanya Putra penasaran. Ares memandang wajah ayahnya dengan seksama. "Kata Kakak Lia, di sana banyak pelmainannya. Telus nanti kita bebas main sepuasnya, Papa," jelasnya lagi. Putra mengangguk setuju mendengar ucapan tersebut. Ia mengelus kepala Ares dengan lembut. "Jadi anak Papa ini mau main ke sana juga, ya?" ucapnya, peka terhadap ketertarikan Ares yang tampak ingin mengunjungi Dufan. Putra pun menyadari bahwa ia memang belum pernah sekalipun mengajak Ares ke tempat itu.
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Hari ini, Ares dan Nita kembali pergi ke taman. Tepatnya, hanya Ares yang akan bermain, sementara Nita hanya mengawasi dari kejauhan.Ares terlihat sangat senang. Ia duduk di bangku taman bersama Nita sambil memperhatikan anak-anak lain yang bermain. Padahal, Nita sudah mempersilakan Ares untuk bergabung, tetapi Ares memilih tetap duduk di dekatnya. Hingga akhirnya, seorang anak perempuan mendekatinya dan mengajak Ares bermain bersama."Halo, adik kecil," sapa anak perempuan itu pada Ares.Ares yang disapa tiba-tiba langsung memeluk Nita sambil menunduk malu.Nita terkekeh pelan. "Aduh, Adek Ares-nya malu, nih, sama Kakak," godanya sambil mengelus kepala Ares."Ayo, Sayang, sapa balik dong. Gak boleh malu terus gini," bujuk Nita lembut.Anak perempuan itu masih berdiri di hadapan Ares, memandangi wajahnya dengan tatapan gemas."Ah, namanya Ares, ya? Nama Kakak Amelia," ucap
SELAMAT MEMBACA AEMUANYA...Sore yang membosankan bagi Ares. Ia hanya berdiam diri di rumah—ya, seperti biasanya juga begitu."Mbak, Yes mau jalan," adu Ares pada Nita yang sedang menyiapkan bahan masakan."Jalan ke mana, Dek?" tanya Nita sambil tetap sibuk mengolah bahan-bahan di dapur."Ke taman. Yes mau, Mbak," katanya."Taman, ya?" Nita mengulang sambil melirik ke jam dinding. Jarum jam menunjukkan pukul tiga sore. "Boleh," putusnya akhirnya."Tapi... boleh nggak, Mbak masak sebentar dulu?" tanya Nita sambil merunduk, menyamakan tinggi badannya dengan Ares.Ares mengangguk setuju. "Boleh, Mbak. Tapi jangan lama ya, Mbak," pintanya.Nita terkekeh pelan. "Tentu! Mbak akan mengeluarkan jurus kilat Mbak buat masak sore ini!"Ares tertawa geli. "Iya, Mbak! Halus kelualkan julusnya!"***Ares dan Nita sudah berada di luar gerbang rumah. Mereka berdua menuju taman dengan menaiki