Home / Romansa / MENGAJAR CINTA / 6. Tulisan Tangan Kecil

Share

6. Tulisan Tangan Kecil

Author: Nd.park
last update Last Updated: 2025-06-17 22:54:29

SELAMAT MEMBACA SEMUANYA

---

Dua hari kemudian, udara pagi terasa lebih segar dari biasanya. Dinda berdiri di depan pagar rumah bergaya minimalis itu, rumah yang sempat membuatnya gugup dan merasa tak diinginkan. Tapi kali ini berbeda. Ada senyum kecil yang terselip di wajahnya, meski jantungnya tetap berdetak agak cepat.

Belum sempat ia menekan bel, suara kecil memanggil dari dalam, “Miss Dindaaaaa!”

Dinda menoleh, dan di sana Ares tengah meminta turun dari gendongan sang pengasuh, lalu berlari menghampirinya. Ia masih mengenakan piyama bergambar Smurfs kartun hijau kesayangannya. Dengan rambut sedikit berantakan dan senyum lebar, Ares langsung memeluk Dinda erat-erat.

“Miss datang lagi, yeeey!” serunya riang.

Dinda menahan napas sesaat, lalu membalas pelukan itu dengan lembut. “Iya, Miss datang lagi. Karena Miss kangen kamu, loh.”

“Miss tahu tidak? Kemalin-kemalin Yes gambal Blainy Muf... telus ada pelanggina juga!” Ares menarik tangan Dinda masuk, lalu menggiringnya ke ruang belajarnya seperti seorang pemandu acara kecil.

Di atas meja, tergeletak satu gambar krayon yang agak kusut. Di sana tergambar dua Brainy Smurfs yang sedang memegang buah yang sepertinya bisa ditebak oleh Dinda sebagai apel.

Kedua Brainy Smurfs itu tampak sedang memberikan buah apel tersebut kepada Smurfs lain. Di tengah-tengah mereka, tergambar sebuah papan kecil dengan tulisan samar “Smurfs untuk Miss”, dan di latarnya, awan-awan putih mengambang di langit biru yang digambar dengan ceroboh tapi penuh semangat.

“Ini siapa yang nulis?” tanya Dinda, sambil menunjuk papan tulisan yang ada di gambar.

Ares tertawa kecil dan sempat melirik ke arah Nita. “Mbak yang tulis. Iya, kan, Mbak?” katanya polos.

Nita hanya membalas dengan anggukan kepala dan senyum lembut.

“Kemalin-kemalin kata Mbak, Yes calah tulisna,” lanjut Ares lagi, dengan nada bangga seperti baru berhasil memperbaiki sesuatu yang penting.

Dinda tersenyum kecil, lalu menatap Ares. “Wah, berarti nanti kita belajar lagi cara menulis yang benar, ya?” ucapnya lembut.

Ares mengangguk semangat. “Iya, ciap, Miss!”

Dinda kembali melihat gambar yang Ares buat. “Ini Brainy Smurfs-nya lagi berbagi apel, ya?” tanyanya lagi, sambil menatap gambar penuh warna itu dengan kagum.

Ares langsung menggeleng cepat. “No, no, no!” ucapnya sambil mengangkat jari telunjuk dan menggerakkannya ke kiri dan kanan.

“Muf-na jualan, Miss,” lanjutnya dengan kekeh pelan.

Nita dan Dinda tak bisa menahan tawa mendengar jawaban tak terduga itu.

Nita yang sudah tahu ceritanya saja masih terpingkal setiap kali Ares mengucapkan "no, no, no" dengan penuh semangat, apalagi saat melihat ekspresi serius anak kecil itu yang seolah sedang menjelaskan hal paling penting di dunia.

Dinda mencoba meredam tawanya. “Miss suka banget gambarnya,” pujinya tulus, sambil mengelus kepala Ares dengan penuh sayang.

Tak lama, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu ruang belajar Ares. Putra muncul mengenakan kemeja biru muda dan celana bahan panjang hitam. Santai tapi tetap rapi. Tatapannya singkat terarah pada Dinda, lalu ke arah gambar di meja.

“Papa mau kelja, ya?” tanya Ares saat melihat Putra sudah rapi.

“Iya, Papa mau kerja. Ares jangan nakal saat belajar, ya. Dan juga harus nurut sama Mbak,” ucap Putra sambil mengusap kepala Ares pelan saat anak itu menghampirinya.

“Em! Yes, akan ingat, Papa!” ucap Ares sambil mengangguk cepat, penuh semangat seperti prajurit kecil yang menerima perintah penting.

Putra kemudian menoleh pada Nita. “Mbak, tolong jaga Ares sampai saya pulang, ya.”

Nita mengangguk santai. “Siap, Pak.”

“Saya titip Ares untuk belajar, Miss Dinda,” lanjut Putra, kini menatap Dinda yang berdiri tak jauh dari meja belajar.

Dinda sempat kaget ketika namanya disebut. Ia reflek berdiri lebih tegak, menyembunyikan gugup yang melintas sejenak di wajahnya. “Tentu, Pak Putra,” jawabnya dengan senyum kecil, meski nada suaranya sedikit canggung.

Putra hanya mengangguk singkat, lalu melangkah pergi. Sementara itu, Dinda menarik napas perlahan, mencoba menenangkan degup jantung yang entah kenapa mendadak terasa lebih cepat dari biasanya.

Nita terkekeh pelan saat melihat tingkah Miss Dinda yang terlihat sangat kaku ketika menjawab Pak Putra. Bahu Dinda sempat kaku, tangannya reflek menyentuh ujung bajunya seolah tak tahu harus berbuat apa.

“Maaf ya, Miss. Saya mandikan dulu Adek. Soalnya tadi belum sempat mandi,” ucap Nita sambil melirik Ares yang masih sibuk dengan gambarnya.

Dinda mengangguk cepat, sedikit terlalu cepat. “Ah, boleh, Mbak. Silakan,” jawabnya, berusaha tetap tenang meski pipinya terasa hangat.

Nita mendekat sedikit dan berkata dengan nada sungkan, “Sekali lagi maaf ya, Miss. Padahal kami yang minta jam belajarnya diganti pagi, tapi Adek malah belum siap waktu Miss sudah datang.”

“Tidak apa-apa, Mbak, saya juga datangnya agak awal kok,” sahut Dinda dengan senyum canggung, lalu berpura-pura sibuk merapikan alat gambar Ares di meja.

Dalam hati, Dinda hanya bisa berharap ekspresi kikuknya barusan tidak terlalu jelas terlihat. Tapi mengingat senyum geli Nita barusan… kemungkinan besar, harapannya gagal total.

Nita hanya tersenyum kecil sebelum akhirnya beranjak sambil menggandeng Ares yang tampak ogah-ogahan saat diajak mandi.

“Adek, yuk mandi dulu. Nanti belajar sama Miss Dinda lagi, ya,” bujuk Nita lembut.

“Emm... Mbak, boleh mandinna cama bebek-bebek?” tanya Ares, setengah merayu, mengingat mainan bebeknya yang tersimpan di lemari kamar mandi.

“Boleh, tapi mandinya jangan lama, ya. Kasihan Miss Dinda kalau nunggu kelamaan,” balas Nita, tegas tapi tetap hangat.

Ares mencibir kecil, tapi akhirnya mengangguk pelan, menyerah pada bujukan. Tangannya tetap menggenggam tangan Nita saat keduanya keluar dari ruang belajar.

Begitu suara langkah mereka menjauh, Dinda menghela napas panjang. Ia menatap ruangan yang mendadak hening, lalu tertawa kecil, entah karena lega, gugup, atau... sedikit geli pada dirinya sendiri.

Ia lalu duduk kembali di dekat meja belajar, lalu merapikan alat tulis dan buku-buku yang tadi belum sempat dibereskan. Tangannya sibuk, tapi pikirannya melayang ke sosok Putra yang tadi sempat berdiri di ambang pintu. Cara pria itu berbicara, mengusap kepala Ares, bahkan cara matanya menatapnya sekilas, semuanya muncul kembali seperti potongan adegan pendek yang diputar ulang.

Dinda buru-buru menggeleng pelan, mengusir pikirannya sendiri.

“Duh, fokus, Dinda. Ini kerja, bukan drama,” bisiknya pada diri sendiri sambil menepuk pipi pelan.

Setelah sesi belajar selesai, Ares dengan bangga menunjukkan hasil tulisannya.

Di atas selembar kertas, ia menyalin kalimat: “Untuk Miss Dinda”. Huruf-hurufnya masih acak, ada yang besar, ada yang kecil, beberapa terbalik, tapi jelas terlihat usaha dan semangat di tiap goresannya.

Ia menyodorkan kertas itu pada Dinda seperti sedang memberikan sebuah hadiah. “Ini buat dicimpan... bial Miss ingat kalau Yes bica tulis,” katanya polos.

Dinda tertawa haru, lalu menyimpan kertas itu dengan hati-hati. Ia merasa bangga. Meski Ares baru tiga tahun dan baru beberapa kali belajar bersamanya, anak itu sudah menunjukkan minat dan kemajuan yang luar biasa.

Ia belum bisa menulis lancar, tapi kemauannya untuk mencoba itu yang membuat Dinda terharu.

Dan saat Dinda menatap kembali tulisan kecil itu, ia tahu kenangan seperti inilah yang akan terus ia simpan, bukan hanya di kertas, tapi di dalam hatinya.

---

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA DAN MEMBERI DUKUNGAN.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENGAJAR CINTA   64. Marah

    SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Hari-hari kembali berjalan seperti biasa. Ares sudah aktif lagi bersekolah, mengikuti les, sementara Dinda tenggelam dengan kesibukan kerjanya. Rutinitas itu membuat mereka sama-sama terbiasa dengan ritme baru: Ares yang ceria dengan dunianya, dan Dinda yang setia mendampingi setiap langkah kecilnya. Sore itu, waktunya Ares pulang dari les. Nita bersama Mas Panji sudah menjemput, sementara Dinda dan Tari masih menemani di ruang belajar. “Ares sudah siap, sayang?” tanya Dinda lembut. “Sudah, Miss. Yes pamit pulang, ya, Miss,” ucap Ares sambil menyalami tangan Dinda. Tak lupa ia juga berpamitan pada Tari. “Miss Tali, Yes pulang dulu, ya.” “Iya, hati-hati ganteng,” sahut Tari sambil tersenyum. “Iya, hati-hati ya,” tambah Dinda. “Terima kasih untuk hari ini, Miss Dinda, Miss Tari, sudah mengajar dan menjaga adik,” ujar Nita sambil membawa tas Ares dan menggandeng tangannya yang kec

  • MENGAJAR CINTA   63. Penjelasan

    SELAMAT MEMBACA SEMUANYA..Seminggu sudah berlalu tanpa kabar dari Ares. Selama itu pula, Ares tidak terlihat di sekolah maupun di bimbel.Sementara itu, Sabtu siang ini Dinda sibuk menatap layar laptop, merapikan jadwal anak-anak les seperti rutinitas mingguannya. Ruangan terasa tenang, hanya suara ketikan jari di keyboard yang terdengar.Tiba-tiba, pintu bimbel terbuka. Dinda tidak menoleh, masih larut dalam pikirannya, sampai sebuah suara melengking memecah keheningan.“Miss Dindaaa!”Dinda tersentak, lalu segera menoleh. Senyum lebar langsung merekah di wajahnya ketika melihat siapa yang datang.“Aresss…” serunya, bangkit dari kursi dan merengkuh bocah itu ke dalam pelukan hangat.“Hihi, Yes kangen sama Miss Dinda,” ujar Ares masih dalam dekapan hangat Dinda.Dinda tersenyum lebar, lalu perlahan melepaskan pelukan mereka. “Miss juga kangeeeen banget sama Ares,” balasnya penuh sayang.“Apa

  • MENGAJAR CINTA   62. Ada Apa?

    SELAMAT MEMBACA SEMUANYA***Setelah menempuh perjalanan panjang di udara, pesawat yang ditumpangi keluarga kecil Johan akhirnya mendarat di Bandara Haneda, Tokyo. Udara musim gugur menyambut mereka dengan hembusan dingin yang menusuk, berbeda jauh dari hangatnya pagi di Indonesia. Di ruang bagasi, Putra sibuk memperhatikan koper mereka satu per satu, sementara Nissa menggenggam boarding pass yang mulai kusut. Johan berdiri sedikit di belakang, menatap cucunya yang tampak tak sabar. Ares, masih setia dengan ransel mungil di punggung, sibuk celingak-celinguk melihat keramaian bandara. Setelah semua barang terkumpul dan jemputan tiba, mereka pun berangkat menuju rumah sakit—tempat kakek buyut Ares dirawat. Perjalanan itu terasa hening; setiap orang larut dalam pikirannya sendiri, menyimpan harapan dan kekhawatiran yang tak terucap. “Kita mau ke mana lagi, Papa?” bisik Ares dari pangkuan Putra. Putra mengelus kepala kecil itu de

  • MENGAJAR CINTA   61. Perjalanan

    SELAMAT MEMBACA...Pagi itu rumah Johan dipenuhi hiruk-pikuk. Bunyi koper diseret, suara pintu lemari dibuka-tutup, dan langkah kaki yang mondar-mandir memenuhi ruang tengah. Aroma kopi masih menggantung di udara, bercampur dengan suara Nissa yang terdengar tegas memecah keheningan.“Mas, gimana sih? Aku kan sudah bilang, bawa kopernya ke depan,” seru Nissa, nadanya sedikit sewot.Johan yang tadinya bersandar nyaman di sofa langsung terlonjak. Lelaki itu menoleh cepat, wajahnya masih menampakkan malas bercampur kaget.“Aduh, Mah… Papa capek,” keluhnya, membuat Nissa memandangnya dengan tatapan yang penuh peringatan.“Apa kamu bilang, Mas?” tanya Nissa, menekankan setiap kata sambil berdecak dan bertolak pinggang di hadapan Johan.“Eh… eh iya, Mah. Iya, ini Papa bawa kopernya ke depan,” jawab Johan terbata-bata, buru-buru bangkit dari duduknya begitu melihat tatapan tajam istrinya.Tanpa banyak cingcong lagi, Jo

  • MENGAJAR CINTA   60. Duda?

    SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Sore itu rumah keluarga Dinda terasa lebih ramai dari biasanya. Suara tawa, langkah kecil Ares yang berlarian, hingga panggilan riangnya membuat suasana rumah hangat dan hidup. Setelah makan bersama, semua anggota keluarga bergeser ke ruang keluarga. Tempat itu selalu jadi pusat kegiatan: tempat bercerita, bercanda, hingga bermain. Bayu yang paling banyak bermain dengan Ares karena ia punya banyak mainan mobil di kamarnya. Alhasil, Ares pun terus menempel bersama Bayu. "Aa, ini mobil Aa kenapa kecil-kecil semua? Mobil Yes di lumah banyak yang besal-besal. Kalau yang kecil cuma sedikit, soalnya seling hilang kalau yang kecil," jelas Ares polos pada Bayu. Bayu memandang Ares dengan sengit. Apaan coba dipanggil Aa segala…"Gak tahu gue. Dan satu lagi, jangan panggil gue Aa!" sahutnya ketus. Ares menatap Bayu sambil mengernyitkan kening. "Kenapa sih? Aa itu bagus, loh," belanya. “Gak ada

  • MENGAJAR CINTA   59. Rumah Miss Dinda

    SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Sore itu datang perlahan, namun Ares belum juga dijemput. Ruang bimbel mulai sepi, hanya tersisa Dinda yang bersiap pulang. Di kursi depan mejanya, Ares duduk dengan wajah setengah bingung, masih terbawa dari tidurnya yang baru saja terputus.Dinda masih berusaha menelepon Putra, tetapi tetap saja nihil—tidak ada jawaban. Ia sempat terpikir untuk menelepon Nita, namun kata Ares, Nita sudah dua hari tidak masuk kerja karena pulang kampung. Ibunya harus menghadiri acara pernikahan salah satu sepupunya.Akhirnya Dinda menyerah dan mengalihkan pandangan pada Ares."Ares mau ikut Miss pulang ke rumah, nggak?" tanya Dinda lembut.Ares menegakkan kepala yang sedari tadi menunduk lesu. Senyumnya muncul perlahan."Mau, Miss. Yes mau ikut," jawabnya ceria, seiring kesadarannya yang mulai terkumpul setelah bangun tidur.Akhirnya Dinda membereskan barang-barangnya, lalu segera membantu Ares merapikan mili

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status