SELAMAT MEMBACA SEMUANYA
--- Dinda melirik jam dinding di ruang bimbel. Jarum pendek sudah tepat di angka dua belas siang. Ia pun segera berkemas, bersiap pergi untuk menemui Putra. Pita yang melihat Dinda bersiap langsung bertanya, “Sudah mau pergi? Nggak terlalu cepat, tuh?” “Kayaknya nggak, deh, Mbak,” jawab Dinda sambil tersenyum. Pita tertawa ringan, “Semangat amat mau ketemunya.” Dinda menoleh, menatap Pita yang menertawakannya. “Astaga, Mbak, jangan salah paham. Astagfirullahalazim,” ucapnya sambil mengusap dadanya pelan dan beristigfar. “Biar nggak kena macet, gitu loh, Mbak,” jelasnya buru-buru. Pita tertawa lagi, lalu mengangguk pelan dan berkata, “Iya, iya, Mbak paham kok. Maaf, ya.” “Ya udah, aku jalan dulu, ya, Mbak. Assalamu’alaikum,” pamit Dinda. … Sekarang Dinda tiba lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Ia tampak gugup, menyesap minuman rasa matcha yang ia pesan dengan pelan, sambil sesekali melirik ke arah jam. Ia teringat momen-momen bersama Ares dan bertanya ragu pada dirinya sendiri, “Bolehkah aku berharap diberi kesempatan lagi untuk bertemu anak selucu itu?” Tak lama kemudian, Putra datang. Ia tidak mengenakan jas kerja seperti biasanya, melainkan tampil lebih santai dan justru membuatnya terlihat semakin tampan. Ekspresi dinginnya tetap tak berubah. Jika Dinda memperhatikannya baik-baik, mungkin tatapan dingin itu memang sudah menjadi ciri khas Putra. Dinda masih diam menunggu Putra menyelesaikan pesananya. Setalah itu, Dinda juga tetap diam menunggu apa yang akan dikatakan oleh Putra. “Hmm/aku…” ucap Dinda dan Putra bersamaan. Putra kembali ingin mengatakan sesuatu tetapi tertahan lagi karena pesanannya datang. Sungguh suasana yang sidikit terasa canggung bagi meraka. “saya minta maaf atas kejadian beberapa hari lalu, Pak Putra,” ucap Dinda cepat, memberanikan diri untuk berbica terlebih dahulu. Putra menatap Dinda yang sedang menunduk takut, lalu membuka pembicaraan, bukan untuk menerima permintaan maaf dari Dinda atau meminta maaf, “Saya cuma ingin tahu, kenapa kamu masuk ke gudang hari itu?” Dinda memberanikan diri menatap Putra, lalu menjawab dengan jujur dan sepenuh hati, “Karena Ares yang mengajak. Dan saya benar-benar tidak tahu kalau kehadiran saya akan membuat kekacauan di sana.” Putra menghembuskan napas pelan. “Sebenarnya, saya sudah mendengar ceritanya dari Nita kemarin sore,” ujarnya tenang. “Dan… saya ingin meminta maaf pada kamu,” lanjutnya. Akhirnya, Putra menurunkan gengsinya demi sang anak. Anak yang akan ia perjuangkan kebahagiaannya, dengan cara apa pun. Dengan cepat, Dinda merespons Putra, “Tidak… tidak… itu salahku. Harusnya hanya aku yang meminta maaf pada Pak Putra.” Tanpa sadar, Dinda mengangkat kedua tangannya dan melambai saat mengucapkan “tidak”, sementara mata bulatnya membelalak makin lebar membuat ekspresinya terlihat begitu hidup. Putra menahan senyum. Sudut bibirnya terangkat sedikit, nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia sempat tersenyum melihat tingkah Dinda. “Baiklah, baiklah,” ucap Putra akhirnya. “Tapi tetap saja, saya juga mau minta maaf.” “Untuk masalah foto itu… yang ada di dalam sana… itu ibunya Ares,” ucap Putra tiba-tiba, tanpa sadar kata-katanya meluncur begitu saja. Dinda terdiam. Hatinya seketika terasa mencelos. Ada perasaan tak nyaman yang mengendap di dadanya. Namun, dengan suara pelan, ia memberanikan diri untuk bertanya, “Kalau boleh tahu… di mana Ibu Ares sekarang? Maksud saya… istri Anda, Pak?” Putra menoleh tajam. “Anda tak perlu tahu,” jawabnya dingin. Sesaat hening, sebelum ia menambahkan dengan suara yang lebih datar, “Lupakan saja ucapan saya tadi… tentang Ibu Ares.” Dinda tertegun sejenak, namun ia berusaha tetap terlihat biasa saja agar suasana tidak kembali canggung. Ia tersenyum tipis dan berkata pelan, “Ah… maaf sekali lagi, Pak Putra.” Putra tidak menjawab. Pandangannya kembali tertuju pada cangkir kopi yang sudah dingin di hadapannya. Sementara itu, Dinda menunduk, berusaha menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di hatinya. Suasana di antara mereka kembali sunyi. Tak ada kata, hanya denting sendok dan gumaman obrolan dari meja-meja lain yang terdengar samar-samar. Beberapa menit kemudian, Putra menarik napas panjang, lalu berdiri. “Terima kasih karena sudah datang,” ucapnya singkat. Dinda ikut berdiri, membalas dengan anggukan kecil. “Terima kasih juga, Pak.” Mereka berjalan keluar kafe bersisian dalam diam, hingga akhirnya berhenti di depan pintu. “Sampai jumpa,” kata Putra, tanpa menoleh. “Sampai jumpa,” jawab Dinda, kali ini dengan suara lebih tegas, meski hatinya belum sepenuhnya tenang. Saat Putra berjalan menjauh, Dinda tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung pria itu yang perlahan menghilang di balik deretan mobil yang terparkir. Angin sore menyapa pelan wajahnya. Dalam hatinya, Dinda tahu… meski pertemuan ini belum menjernihkan segalanya, setidaknya ada satu pintu yang mulai terbuka. … Malam harinya, Dinda sedang berada di kamar dengan laptop menyala di atas kasur. Ia tengah menikmati tontonan drama Korea kesayangannya bisa dibilang tontonan wajib seminggu sekali yang selalu ia tunggu-tunggu. Setelah menyelesaikan tiga episode berturut-turut, Dinda memutuskan untuk tidur. Namun, ponselnya tiba-tiba berbunyi, menandakan ada pesan masuk. “Miss Dinda, saya mau menyampaikan pesan dari Pak Putra. Apakah lusa Miss bisa kembali mengajar Adek?” tulis Nita, pengasuh Ares. Dinda tersenyum cerah begitu membaca pesan itu. Hatinya menghangat, seolah sebagian kekhawatirannya perlahan larut bersama malam. “Bisa, Mbak. Saya bisa,” balas Dinda singkat, masih dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Setelah membalas pesan itu, Dinda menatap layar ponselnya beberapa detik lebih lama. Rasanya seperti baru saja mendapat angin segar setelah hari-hari yang menyesakkan. Ia tak tahu apakah ini berarti semuanya sudah benar-benar membaik, tapi satu hal pasti kesempatannya untuk kembali bertemu Ares adalah hal yang sangat ia syukuri. Ia memeluk gulingnya erat-erat sambil membenamkan wajah, lalu tertawa kecil. "Aduh... kenapa senang banget, sih," gumamnya malu-malu, seperti sedang menertawakan dirinya sendiri. Lampu kamar ia matikan. Gelap pun menyelimuti ruangan, menyisakan cahaya redup dari layar laptop yang belum sempat ia tutup. Dinda menarik selimut, menatap langit-langit sebentar, lalu berbisik dalam hati, “Terima kasih, Tuhan… setidaknya hari ini terasa lebih baik dari kemarin.” Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Dinda tidur dengan hati yang benar-benar tenang. Senyumnya masih tersisa meski matanya mulai terpejam, seolah dunia sedang berbaik hati padanya malam ini. Di balik lelapnya, tersimpan harapan kecil yang tumbuh diam-diam, ia tak sabar menanti hari esok, untuk kembali mengajar, kembali tertawa… dan yang paling ia rindukan, kembali bertemu dengan Ares. --- TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA DAN MEMBERI DUKUNGANSELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Angin sore dari balkon kamar hotel membawa aroma susu coklat yang samar. Dinda duduk di tepi ranjang, jemarinya memainkan ujung selimut tanpa sadar. Langkah cepat Cindy terdengar mendekat, diikuti bunyi pintu yang terbuka tergesa. "Bagaimana?" tanya Dinda pelan, matanya mencari jawaban di wajah sahabatnya. Cindy menarik napas panjang, lalu menatap Dinda dengan sorot ragu. "Maaf, Din... lo nggak jadi ikut. Tiketnya harus dikasih ke Pak Harry." Senyum tipis mencoba menghiasi wajah Dinda, meski dadanya mengeras. "Iya, nggak apa-apa. Lagian, itu memang hak beliau," ujarnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Tapi kan lo ikut gue karena mau nonton seminar itu," Cindy terdengar penuh penyesalan. Matanya memanas, tapi Dinda tetap diam. Cindy menatap ke arah jendela, kesal. "Lagian, si Harry ini kenapa plin-plan banget? Katanya nggak mau ikut, eh sekarang malah mau. Itu pun bilangnya mendadak!"
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam setengah, Putra akhirnya menepikan mobilnya di sebuah rumah makan untuk makan siang.Ia menoleh sekilas, mendapati ketiga penumpangnya masih terlelap. Bahkan Dinda baru saja ikut tertidur sekitar setengah jam lalu. “Dinda, bangun sebentar,” panggil Putra pelan. Dinda mengerjap, matanya masih berat. “Sudah sampai, Mas?” tanyanya dengan nada linglung. “Kita makan siang dulu,” jawab Putra singkat. “Bangunkan temanmu.” Dinda mengangguk pelan, lalu menyentuh bahu Cindy untuk membangunkannya. Sementara itu, Putra memilih langsung mengangkat Ares ke gendongannya. Bocah itu masih terlelap, kepalanya bersandar di bahu ayahnya, saat mereka melangkah masuk ke dalam rumah makan. Begitu masuk, Putra langsung mengarahkan langkah ke pojok ruangan, memilih meja yang cukup luas untuk mereka berempat. Tak lama, Dinda dan Cindy menyusul lal
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA ... Dinda yang baru saja keluar dari rumah terlonjak kaget. "Hai, Ares," sapanya sambil tertawa kecil saat melihat mobil berhenti tepat di depan rumahnya, disusul pekikan semangat dari Ares. "Miss Dindaaa!" teriak Ares lagi dari dalam mobil, masih duduk di atas car seat-nya. "Ye ye ye Miss Dinda!" ujarnya penuh semangat, seperti menyambut idola. Putra menggeleng pelan, tak habis pikir dengan anaknya. "Sabar, Boy..." gumamnya pelan. Flashback on: Putra menarik napas sebentar sebelum melanjutkan, "Masalahnya... Ares ingin kamu juga ikut." Perkataan Putra membuat Dinda terdiam sejenak. "Maksudnya... Ares ngajak aku, ya, Mas?" tanyanya memastikan. Putra mengangguk pelan. Dinda tampak ragu. "Mmm... bagaimana ya, Mas..." Putra buru-buru menanggapi, suaranya terde
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Setelah mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya Putra memutuskan untuk mempertimbangkan permintaan Ares. Dua hari yang lalu, Ares memintanya untuk pergi berlibur—bermain ke Dufan. Flashback On "Papa, tadi Kakak Lia celita kalau dia pelnah main di Dufan," cerita Ares pada Putra. Saat ini mereka sedang berbaring di atas kasur Ares. "Terus, apa lagi kata Kakak Lia?" tanya Putra penasaran. Ares memandang wajah ayahnya dengan seksama. "Kata Kakak Lia, di sana banyak pelmainannya. Telus nanti kita bebas main sepuasnya, Papa," jelasnya lagi. Putra mengangguk setuju mendengar ucapan tersebut. Ia mengelus kepala Ares dengan lembut. "Jadi anak Papa ini mau main ke sana juga, ya?" ucapnya, peka terhadap ketertarikan Ares yang tampak ingin mengunjungi Dufan. Putra pun menyadari bahwa ia memang belum pernah sekalipun mengajak Ares ke tempat itu.
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Hari ini, Ares dan Nita kembali pergi ke taman. Tepatnya, hanya Ares yang akan bermain, sementara Nita hanya mengawasi dari kejauhan.Ares terlihat sangat senang. Ia duduk di bangku taman bersama Nita sambil memperhatikan anak-anak lain yang bermain. Padahal, Nita sudah mempersilakan Ares untuk bergabung, tetapi Ares memilih tetap duduk di dekatnya. Hingga akhirnya, seorang anak perempuan mendekatinya dan mengajak Ares bermain bersama."Halo, adik kecil," sapa anak perempuan itu pada Ares.Ares yang disapa tiba-tiba langsung memeluk Nita sambil menunduk malu.Nita terkekeh pelan. "Aduh, Adek Ares-nya malu, nih, sama Kakak," godanya sambil mengelus kepala Ares."Ayo, Sayang, sapa balik dong. Gak boleh malu terus gini," bujuk Nita lembut.Anak perempuan itu masih berdiri di hadapan Ares, memandangi wajahnya dengan tatapan gemas."Ah, namanya Ares, ya? Nama Kakak Amelia," ucap
SELAMAT MEMBACA AEMUANYA...Sore yang membosankan bagi Ares. Ia hanya berdiam diri di rumah—ya, seperti biasanya juga begitu."Mbak, Yes mau jalan," adu Ares pada Nita yang sedang menyiapkan bahan masakan."Jalan ke mana, Dek?" tanya Nita sambil tetap sibuk mengolah bahan-bahan di dapur."Ke taman. Yes mau, Mbak," katanya."Taman, ya?" Nita mengulang sambil melirik ke jam dinding. Jarum jam menunjukkan pukul tiga sore. "Boleh," putusnya akhirnya."Tapi... boleh nggak, Mbak masak sebentar dulu?" tanya Nita sambil merunduk, menyamakan tinggi badannya dengan Ares.Ares mengangguk setuju. "Boleh, Mbak. Tapi jangan lama ya, Mbak," pintanya.Nita terkekeh pelan. "Tentu! Mbak akan mengeluarkan jurus kilat Mbak buat masak sore ini!"Ares tertawa geli. "Iya, Mbak! Halus kelualkan julusnya!"***Ares dan Nita sudah berada di luar gerbang rumah. Mereka berdua menuju taman dengan menaiki