Beranda / Romansa / MENGAJAR CINTA / 5. Satu Pintu yang Terbuka

Share

5. Satu Pintu yang Terbuka

Penulis: Nd.park
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-17 22:52:57

SELAMAT MEMBACA SEMUANYA

---

Dinda melirik jam dinding di ruang bimbel. Jarum pendek sudah tepat di angka dua belas siang. Ia pun segera berkemas, bersiap pergi untuk menemui Putra.

Pita yang melihat Dinda bersiap langsung bertanya, “Sudah mau pergi? Nggak terlalu cepat, tuh?”

“Kayaknya nggak, deh, Mbak,” jawab Dinda sambil tersenyum.

Pita tertawa ringan, “Semangat amat mau ketemunya.”

Dinda menoleh, menatap Pita yang menertawakannya. “Astaga, Mbak, jangan salah paham. Astagfirullahalazim,” ucapnya sambil mengusap dadanya pelan dan beristigfar. “Biar nggak kena macet, gitu loh, Mbak,” jelasnya buru-buru.

Pita tertawa lagi, lalu mengangguk pelan dan berkata, “Iya, iya, Mbak paham kok. Maaf, ya.”

“Ya udah, aku jalan dulu, ya, Mbak. Assalamu’alaikum,” pamit Dinda.

Sekarang Dinda tiba lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Ia tampak gugup, menyesap minuman rasa matcha yang ia pesan dengan pelan, sambil sesekali melirik ke arah jam.

Ia teringat momen-momen bersama Ares dan bertanya ragu pada dirinya sendiri, “Bolehkah aku berharap diberi kesempatan lagi untuk bertemu anak selucu itu?”

Tak lama kemudian, Putra datang. Ia tidak mengenakan jas kerja seperti biasanya, melainkan tampil lebih santai dan justru membuatnya terlihat semakin tampan. Ekspresi dinginnya tetap tak berubah. Jika Dinda memperhatikannya baik-baik, mungkin tatapan dingin itu memang sudah menjadi ciri khas Putra.

Dinda masih diam menunggu Putra menyelesaikan pesananya. Setalah itu, Dinda juga tetap diam menunggu apa yang akan dikatakan oleh Putra.

“Hmm/aku…” ucap Dinda dan Putra bersamaan.

Putra kembali ingin mengatakan sesuatu tetapi tertahan lagi karena pesanannya datang. Sungguh suasana yang sidikit terasa canggung bagi meraka.

“saya minta maaf atas kejadian beberapa hari lalu, Pak Putra,” ucap Dinda cepat, memberanikan diri untuk berbica terlebih dahulu.

Putra menatap Dinda yang sedang menunduk takut, lalu membuka pembicaraan, bukan untuk menerima permintaan maaf dari Dinda atau meminta maaf, “Saya cuma ingin tahu, kenapa kamu masuk ke gudang hari itu?”

Dinda memberanikan diri menatap Putra, lalu menjawab dengan jujur dan sepenuh hati, “Karena Ares yang mengajak. Dan saya benar-benar tidak tahu kalau kehadiran saya akan membuat kekacauan di sana.”

Putra menghembuskan napas pelan.

“Sebenarnya, saya sudah mendengar ceritanya dari Nita kemarin sore,” ujarnya tenang. “Dan… saya ingin meminta maaf pada kamu,” lanjutnya.

Akhirnya, Putra menurunkan gengsinya demi sang anak. Anak yang akan ia perjuangkan kebahagiaannya, dengan cara apa pun.

Dengan cepat, Dinda merespons Putra, “Tidak… tidak… itu salahku. Harusnya hanya aku yang meminta maaf pada Pak Putra.”

Tanpa sadar, Dinda mengangkat kedua tangannya dan melambai saat mengucapkan “tidak”, sementara mata bulatnya membelalak makin lebar membuat ekspresinya terlihat begitu hidup.

Putra menahan senyum. Sudut bibirnya terangkat sedikit, nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia sempat tersenyum melihat tingkah Dinda.

“Baiklah, baiklah,” ucap Putra akhirnya. “Tapi tetap saja, saya juga mau minta maaf.”

“Untuk masalah foto itu… yang ada di dalam sana… itu ibunya Ares,” ucap Putra tiba-tiba, tanpa sadar kata-katanya meluncur begitu saja.

Dinda terdiam. Hatinya seketika terasa mencelos. Ada perasaan tak nyaman yang mengendap di dadanya. Namun, dengan suara pelan, ia memberanikan diri untuk bertanya, “Kalau boleh tahu… di mana Ibu Ares sekarang? Maksud saya… istri Anda, Pak?”

Putra menoleh tajam. “Anda tak perlu tahu,” jawabnya dingin.

Sesaat hening, sebelum ia menambahkan dengan suara yang lebih datar, “Lupakan saja ucapan saya tadi… tentang Ibu Ares.”

Dinda tertegun sejenak, namun ia berusaha tetap terlihat biasa saja agar suasana tidak kembali canggung. Ia tersenyum tipis dan berkata pelan, “Ah… maaf sekali lagi, Pak Putra.”

Putra tidak menjawab. Pandangannya kembali tertuju pada cangkir kopi yang sudah dingin di hadapannya. Sementara itu, Dinda menunduk, berusaha menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di hatinya.

Suasana di antara mereka kembali sunyi. Tak ada kata, hanya denting sendok dan gumaman obrolan dari meja-meja lain yang terdengar samar-samar.

Beberapa menit kemudian, Putra menarik napas panjang, lalu berdiri. “Terima kasih karena sudah datang,” ucapnya singkat.

Dinda ikut berdiri, membalas dengan anggukan kecil. “Terima kasih juga, Pak.”

Mereka berjalan keluar kafe bersisian dalam diam, hingga akhirnya berhenti di depan pintu.

“Sampai jumpa,” kata Putra, tanpa menoleh.

“Sampai jumpa,” jawab Dinda, kali ini dengan suara lebih tegas, meski hatinya belum sepenuhnya tenang.

Saat Putra berjalan menjauh, Dinda tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung pria itu yang perlahan menghilang di balik deretan mobil yang terparkir.

Angin sore menyapa pelan wajahnya. Dalam hatinya, Dinda tahu… meski pertemuan ini belum menjernihkan segalanya, setidaknya ada satu pintu yang mulai terbuka.

Malam harinya, Dinda sedang berada di kamar dengan laptop menyala di atas kasur. Ia tengah menikmati tontonan drama Korea kesayangannya bisa dibilang tontonan wajib seminggu sekali yang selalu ia tunggu-tunggu.

Setelah menyelesaikan tiga episode berturut-turut, Dinda memutuskan untuk tidur. Namun, ponselnya tiba-tiba berbunyi, menandakan ada pesan masuk.

“Miss Dinda, saya mau menyampaikan pesan dari Pak Putra. Apakah lusa Miss bisa kembali mengajar Adek?” tulis Nita, pengasuh Ares.

Dinda tersenyum cerah begitu membaca pesan itu. Hatinya menghangat, seolah sebagian kekhawatirannya perlahan larut bersama malam.

“Bisa, Mbak. Saya bisa,” balas Dinda singkat, masih dengan senyum yang mengembang di wajahnya.

Setelah membalas pesan itu, Dinda menatap layar ponselnya beberapa detik lebih lama. Rasanya seperti baru saja mendapat angin segar setelah hari-hari yang menyesakkan. Ia tak tahu apakah ini berarti semuanya sudah benar-benar membaik, tapi satu hal pasti kesempatannya untuk kembali bertemu Ares adalah hal yang sangat ia syukuri.

Ia memeluk gulingnya erat-erat sambil membenamkan wajah, lalu tertawa kecil.

"Aduh... kenapa senang banget, sih," gumamnya malu-malu, seperti sedang menertawakan dirinya sendiri.

Lampu kamar ia matikan. Gelap pun menyelimuti ruangan, menyisakan cahaya redup dari layar laptop yang belum sempat ia tutup.

Dinda menarik selimut, menatap langit-langit sebentar, lalu berbisik dalam hati,

“Terima kasih, Tuhan… setidaknya hari ini terasa lebih baik dari kemarin.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Dinda tidur dengan hati yang benar-benar tenang. Senyumnya masih tersisa meski matanya mulai terpejam, seolah dunia sedang berbaik hati padanya malam ini.

Di balik lelapnya, tersimpan harapan kecil yang tumbuh diam-diam, ia tak sabar menanti hari esok, untuk kembali mengajar, kembali tertawa… dan yang paling ia rindukan, kembali bertemu dengan Ares.

---

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA DAN MEMBERI DUKUNGAN

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tari Olana
Seneng banget kayaknya hehe
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • MENGAJAR CINTA   68. Rencana ke Puncak

    SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Setelah kegaduhan yang Dinda dan Ares timbulkan, akhirnya mereka segera membersihkannya, dibantu oleh Nita. Setelah semuanya beres, Dinda pun ikut membantu Nita menyiapkan makan malam.“Masak apa lagi, Mbak?” tanya Dinda pada Nita.“Capcai aja deh, kayaknya, Din,” jawab Nita sambil tersenyum. Kini Nita memang sudah memanggil Dinda dengan sebutan santai, sesuai permintaan Dinda sendiri.“Oke, kalau gitu aku ambil bahannya dulu, Mbak,” kata Dinda setelah mendapat izin.“Yes nggak suka sayul itu, Miss,” protes Ares tiba-tiba saat melihat Dinda mengeluarkan sayur pakcoy dari kulkas. “Tapi Yes suka ayam goleng,” lanjutnya polos.Ares sedari tadi hanya duduk di meja makan sambil memainkan robot kesayangannya, sesekali melirik Miss Dinda yang sedang memasak bersama Mbak Nita.“Kenapa jadi ayam goreng, si Sayang? Kan ayam gorengnya udah matang,” sahut Dinda pelan. “Kalau sayuran, Ares suka y

  • MENGAJAR CINTA   67. Salju??

    SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Pagi menjelang disambut dengan sinar matahari yang cerah serta angin sejuk yang berhembus lembut. Seorang bocah laki-laki dengan pipi gembil dan bokong semoknya tengah berlarian di dalam rumah, sambil membawa mainan pesawat terbang di tangannya. “Ares, ayo, Nak, kita mandi dulu!” panggil Putra untuk kesekian kalinya. Namun Ares tidak mengindahkannya, sehingga Putra harus menangkap bocah kecil itu dan mempongnya ke arah sofa. “Ahhh, Papa! Yes tidak mau mandi! Masih dingin, tahu!” ujar Ares sambil menggeliat di dalam pelukan Putra sebelum pria itu duduk di atas sofa. “Enggak ada, ya. Kamu harus mandi sekarang juga,” ucap Putra sambil mencoba membuka baju Ares. “Tidak—!” teriak Ares dengan nada drama, sementara tangan mungilnya berusaha menjauhkan tangan besar sang ayah. “Eh, mana sopan teriak-teriak begitu di depan Papa?” tegur Putra pelan namun sedikit tegas untuk meng

  • MENGAJAR CINTA   66. Harapan

    SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Sesampainya di rumah, Ares langsung menuju kamar, tentu saja dibantu oleh Nita, sang pengasuhnya.“Aduh, aduh... adek sudah bau keringat banget, nih. Yuk, kita mandi, ya,” ujar Nita dengan nada sedikit berlebihan agar Ares segera mau mandi.Ares mengangguk kecil. “Iya, Mbak. Yes sudah bau badan, Yes juga banyak kelingat. Maaf ya, Mbak,” ucapnya polos.Nita yang mendengar permintaan maaf dari Ares sontak tersenyum haru. Meski bukan pertama kalinya bocah itu meminta maaf, setiap kali Ares mengucapkannya, hatinya selalu tersentuh.“Aduh, sayangnya Mbak... nggak apa-apa, Dek. Ayo, kita mandi,” ajak Nita sambil menuntun Ares ke arah kamar mandi.“Mbak, Yes mau ajak Nemo, ya,” katanya sambil menggenggam boneka ikan kecil kesayangannya saat berada di dalam kamar mandi.Sementara itu, di sisi lain, Putra masih berkutat dengan berkas-berkas kerja di kantornya . Kacamata bacanya bertengger man

  • MENGAJAR CINTA   65. Hangatnya Perpisahan

    SELAMAT MEMBACA SEMUANYA ... Sebulan telah berlalu sejak insiden ketika Putra memecat sekretaris lamanya. Kini ia sudah memiliki pengganti baru. Sebenarnya Putra menginginkan sekretaris laki-laki, namun apa daya—semua pelamar yang datang adalah perempuan. Mau tak mau, Putra harus menerima, dari pada tidak ada sama sekali. Memang benar ada Satria yang selama ini juga membantunya, tapi Satria memiliki tugas utama sendiri. Putra tidak bisa sepenuhnya bergantung padanya. "Selamat pagi, Pak," sapa sekretaris baru itu sambil segera berdiri dari duduknya ketika Putra melewati meja kerjanya. "Hm," sahut Putra datar sambil terus berlalu. Sekretaris barunya bernama Nindi. Selama tiga minggu bekerja, Nindi menunjukkan profesionalismenya. Ia tidak pernah melanggar aturan yang telah ditetapkan Putra. "Pagi, Pak Satria," sapa Nindi lagi sambil berdiri, ketika melihat Satria hendak masuk ke ruang kerja Putra. "Pagi jug

  • MENGAJAR CINTA   64. Marah

    SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Hari-hari kembali berjalan seperti biasa. Ares sudah aktif lagi bersekolah, mengikuti les, sementara Dinda tenggelam dengan kesibukan kerjanya. Rutinitas itu membuat mereka sama-sama terbiasa dengan ritme baru: Ares yang ceria dengan dunianya, dan Dinda yang setia mendampingi setiap langkah kecilnya. Sore itu, waktunya Ares pulang dari les. Nita bersama Mas Panji sudah menjemput, sementara Dinda dan Tari masih menemani di ruang belajar. “Ares sudah siap, sayang?” tanya Dinda lembut. “Sudah, Miss. Yes pamit pulang, ya, Miss,” ucap Ares sambil menyalami tangan Dinda. Tak lupa ia juga berpamitan pada Tari. “Miss Tali, Yes pulang dulu, ya.” “Iya, hati-hati ganteng,” sahut Tari sambil tersenyum. “Iya, hati-hati ya,” tambah Dinda. “Terima kasih untuk hari ini, Miss Dinda, Miss Tari, sudah mengajar dan menjaga adik,” ujar Nita sambil membawa tas Ares dan menggandeng tangannya yang kec

  • MENGAJAR CINTA   63. Penjelasan

    SELAMAT MEMBACA SEMUANYA..Seminggu sudah berlalu tanpa kabar dari Ares. Selama itu pula, Ares tidak terlihat di sekolah maupun di bimbel.Sementara itu, Sabtu siang ini Dinda sibuk menatap layar laptop, merapikan jadwal anak-anak les seperti rutinitas mingguannya. Ruangan terasa tenang, hanya suara ketikan jari di keyboard yang terdengar.Tiba-tiba, pintu bimbel terbuka. Dinda tidak menoleh, masih larut dalam pikirannya, sampai sebuah suara melengking memecah keheningan.“Miss Dindaaa!”Dinda tersentak, lalu segera menoleh. Senyum lebar langsung merekah di wajahnya ketika melihat siapa yang datang.“Aresss…” serunya, bangkit dari kursi dan merengkuh bocah itu ke dalam pelukan hangat.“Hihi, Yes kangen sama Miss Dinda,” ujar Ares masih dalam dekapan hangat Dinda.Dinda tersenyum lebar, lalu perlahan melepaskan pelukan mereka. “Miss juga kangeeeen banget sama Ares,” balasnya penuh sayang.“Apa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status